PETAKA BESAR MENIMPA UMMAT :
KARENA TAKLID BUTA DAN FANATISME SEMPIT
Bagian-02, oleh Abu Fahmi Ahmad
PERKARA TAQLID KEPADA NENEK MOYANG DALAM PANDANGAN `ULAMA

Allah memberitakan, bahwa ketaqlidan mereka terhadap nenek moyang mereka itu merupakan penyebab ummat-ummat terdahulu berpaling dari hidayahNya dan wahyuNya. Dan mereka menjadikannya sebagai hujjah untuk menolak wahyu yang dibawa oleh nabi-nabi mereka, tanpa mau berpikir, merrenung dan meneliti. Yang mereka lakukan adalah menapak diatas kebatilan dan ta’ashshub terhadap kebiasaan-kebiasaan (adat) sekalipun bertentangan dengan kebenaran. Allah Ta’ala berfirman,   

dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamuu seorang pemberi peringantan pun dalam satu negeri, melaikan orang-orang yang hidup mewah dalam negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak mereka.” (Rosul) Itu berkata,”Apakah (kamu akan) mengikutinya (juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk aripada apa yang kamu dapati dari anutan bapak-bapak kamu?”. Merek menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az Zukruf : 23-24)

Imam Al Qurtuby berkata, “Ayat ini jelas menunjukan batalnya (berlaku) taqlid, karena tercelanya mereka yang bertaqlid kepada bapak-bapak mereka dan meninggalkan perhatian mereka dalam menerima seruan yang dibawa oleh Rosulullah saw, kepada mereka.” (Al Jaami’ li Ahkamil Quran, XVI : 75)

As Sa’ady berkata, “Hujjah-hujjah mereka itu termasuk hujjah yang biasa dilakukan oelh kaum musyrikin yang sesat. Dengan bertaqlid kepada bapak-bapak mereka yang sesat, tidak ada maksud mereka untuk mengikuti petunjuk dan kebenaran. Itu mereka lakukan semata-mata dalam rangka ta’ashshub (fanatis), yang dimaksud untuk membela kebatilan mereka.”

Tentang hal ini, maka ketahuilah bahwa mereka enggan mengikuti kebenaran dan petunjuk. Justru yang ingin mereka ikuti adalah kebatilan dan hawa nafsu.” (Tafsir Al Karimur Rohaman, VI : 640)
       
Allh Ta’ala telah memberikan tentang keadaan orang-orang yang berpaling dari petunjukNya dan tiodak mengikuti apa-apa yang dibawa oleh para nabi mereka, mereka hanya mengikuti tokoh-tokoh da pembesar-pembesar mereka. Allah SWT, menjelaskan tentang mereka di akhirat,    

Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya andaikan kami taat kepada andaikan kami telah mentaati pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al Ahzab : 66-67)

Ibnu Katsir berkata, “Berkata Thawus ; yang dimaksud pemimpin-pemimpin kami adalah orang-orang yang terkemuka, dan pembesar-pembesar kami artinya para ‘Ulama. Diriwayatkan dari Ibnu Hatim, artinya ‘kami mengikuti umara’ (para pemimpin) dan para pembesar dari guru-guru dan syekh-syekh kami, dan kami menyalahi rosul-rosul serta meyakini bahwa mereka (pemimpin dan pembesar) itu memiliki sesuatu (pengetahuan) dan mereka berdiri diatasnya, namun nyatanya mereka tiak memiliki sesuatu (pengetahuan) apapun.” (tafsir Al Quran ‘l ‘Azhim, III : 519)

Didalam tafsirnya Imam Al Qurtuby berkata tentang ayat tersebut diatas, “Sikap demikian itu merupakan larangan untuk bertaqlid.” (Al Jaami’li Ahkamil Quran, XIV: 249). Adapun yang dimaksud dengan jalan yang menyesatkan mereka daripadanya adalah tauhid.

Berkata Asy Syaukani, “Yang dimaksud dengan para pemimpin dan pembesar-pembesar mereka adalah pemimpin dan tokoh yang mereka ikuti perintahnya di dunia dan mereka teladani. Dalam hal inilah taqlid ini dikenakan larang an yang keras. Banyak sekali peringatan di dalam Kitabullah tentang larangan bertaqlid dan perintah untuk menjauhkan dirinya.” (Fathul Qodir, IV : 306).

Hujjah-Hujjah yang disajikan oleh ayat-ayat tersebut hanyalah untuk menunjukan batilnya taqlid tanpa hujjah da dalil. Ayat-ayat tersebut sekalipun ditujukan untuk orang kafir, namun sekaligus sebagai ibroh bagi orang-orang mukmin. Sebab taqlid itu, antara satu dengan yang lainnya memiliki kesamaan model, sekalipun didalamnya terdapat dosa yang berbeda-beda.

Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ‘ulama telah berhujjah dengan ayat ini tentang batilnya taqlid, dan kekafiran mereka tak menghalangi untuk berhujjah dengannya. Sebab persamaannya bukanlah dari sisi kekafiran dan kimanannya, yang ada diantara sesama muqollid adalah karena sikapnya yang tanpa hujjah. Seperti halnya, andaikata bertaqlid kepada seseorang yang berakibat kufur, dan bertaqlid kepada yang lainnya berakibat dosa, kemudian bertaklid kepada yang lainnya berakibat salah, maka titik permasalahannya adalah mereka masing-masing tercela karena bertaklid tanpa hujjah. Sebab semua taqlid, antara satu dengan yang lain, modelnya sama, sekalipun berbeda tingkat dosa yang dilakukannya.” (Jaami’ Bayan ‘l ‘ilm wa Fadlihi, II : 110)

Banyak hadits yang dijadikan para ‘ulama jadikan hujjah dalam membatalkan taqlid dan melarang melakukannya. Antara lain hadits dari Adi bin Hatim. Bahwasannya dia berkata, “Aku mendatangi Nabi saw, sementara dileherku terpasang kalung salib dari emas, maka beliau berkata kepadaku, ‘Lepaskan berhala itu dari lehermu.’ Akupun melepaskannya, dan mengekhiri (memakai barang haram itu) sementara Nabi saw, membacakan surat At Taubah (ayat 31) :
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) mereka mempertuhankan Isa Al Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh untuk menyembah Ilah yang Esa, tidak ada Ilah selain Dia.

Adi berkata, “Wahai Rosulullah, aku tidaklah menyembahnya.” Lalu Rosulullah saw, bersabda, “Bukankah mereka itu telah menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan olehNya, sehingga kamu membenarkannya dan mentaati mereka ?” Adi berkata, “Ya, memang benar.” Kemudia Rosulullah bersabda lagi, “Itu sama artinya menyembah mereka.” (Lihat Sunan Turmudzi, III : 56)

Adapun dari atsar para sahabat dan salafus sholih tentang masalah ini sangat anyak sekali, antaranya ;

Berkata Ibnu Abbas ra, “Hampir-hampir batu menimpamu dari langit, ketika aku katakan,” Berkata Rosulullah saw, ‘kalian berkata, “Berkata Abu Bakar dan Umar?” (Jaami’ Bayannul ‘ilmi wa Fadluhu, Ibul Abdil Barr, II : 196)

Ibnu Qoyyim berkata dalam menanggapi perkatan Ibnu Abbas ra, “Semoga Allah memberi rahmat kepada Ibnu Abbas ra, bagaimana seandainya ada seseorang melihat satu kaum yang menentang perkataan Rosulullah saw, dengan mengatakan, ‘Telah berkata Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al Farabi, Jahm bin Sofwan, Bisyr bin Ghoyats Al Marisy, Abil Huzail Al ‘Allaf dan yang semisal dengan mereka.” (lihat Muktshor Ash Showa’iq ‘l Mursalah, Ibnu Qoyyim, I : 224)

Dan dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hambal, bahwa sesungguhnya ada seorang (golongan) yang meninggalkan hadits, dan berpihak pada pendapat pendapat Sofyan dan yang  lainnya. Lalu Imam Ahmad berkata, “Saya heran tehadap satu kaum yang mendengar hadits dan mengetahui sanad-sanadnya dan menshohihkannya lalu meninggalkannya, kemudian mengikuti pedapat sufyan dan yang lainnya." All”h berfirman,      

Maka hendaklah orang-orang yang memyalahi perintahNya takut akan ditimpa azab yang pedih. (An Nur : 63)
Tahukah anda apa fitnah itu ? Fitnah adalah syirik, sehingga jika ia membantah sebagian firmanNya, karena dalam hatinya terdapat sesuatu perkara yang menyimpang, maka binasalah ia. (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah ‘an Ayari’atil Firkotin Najiyah, I : 260)

Imam Syafi’I berkata, “Pra ‘ulama besepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas padanya sunnah Rosulullah saw, maka tak patut ia meninggalkannya karena perkataan seseorang.” (lihat I’lam al Muwaqi’in, Ibnu Qoyyim, II : 361)

Para dalil-dalil yang terdahulu, telah dipaparkan jelas kepada kita bahwa taqlid dan ta’ashshub, keduanya akan menolak ittiba’nya seseorang kepada Nabi saw secara penuh, dan juga menghalanginya dalam menerima petunjuk dan kebenaran.

Dengan demikian, sudah cukup jelas untuk dikatakan berdosa (bagi orang yang taqlid dan ta’ashshub) dan jauh dari jalan yang lurus. Disini terdapat ibroh, bagi orang yang mau mengambilnya sebagai ibroh, dalam rangka menjauhkan dan membuang jauh-jauh taqlid dan ta’ashshub.
Penyakit kronis ini telah tersebar pada diri ummat Islam, lebih-lebih pada masa-masa sekarang ini.

Asy Syaukani mensifati kondisi ummat Islam manakala mereka taslim (pasrah) kepada taqlid dan mengikuti kebiasaan-kebiasaannya yang buruk. Ia berkata, “Dan dengan taqlid inilah yang merupakan mediiator bagi syetan dan thoghut. Sehingga tetaplah musyrik jahiliyyah itu pada kemusyrikannya., Yahudi tetap pada ajaran Yahudinya dan Nashroni tetap pada kenashroniannya, begitu pula dengan pelaku bid’ah tetap pada bid’ahnya. Maka jadilah yang ma’ruf itu munkar dan munkar itu ma’ruf.



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------