SIFAT
MALU YANG MENDOR0NG PADA SIKAP TERPUJI
----------------------------------------------------------------------
"Sifat
Malu atau al-Haya'" merupakan bagian terpenting yang tak terpisahkan
dari "Muraqabah" (sejauh mana seorang hamba itu merasa berada
di bawah pengawasan Allah Subhanahu wa Ta`ala).
Syaikh Ibrahim at Tuwaijiri hafizhahullah mengatakan, bahwa ada dua hal yang melahirkan “Malu”
pada diri hamba, yaitu : ru’yatul aala’ dan ru’yatul taqshir
(hamba merasa pada dirinya terdapat serba kekurangan dan kehinaan)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata (Dalam Madarijus
salikin,jilid : II, fasal al Haya' hal. 258):
Malu itu selalu berdampingan dengan kebaikan (al-khair),
karena hamba yang memiliki sifat malu itu selalu merasakan ada pengawasan Allah
kapanpun dan dimanapun berada.
Beliau membahas masalah "al Haya' " ini
di dalam kerangka manzilah "Iyyaka Na`budu wa Iyyaka Nasta`in".
منـزلة (الحياء) من منازل (إياك نعبد وإياك نستعين)
Allah
Subhanahu wa Ta`ala berfirman :
(ألم يعلم بأن الله يرى)
"Tidakkah
dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?"
(Al-Alaq: 14).
(إن الله كان عليكم رقيبا)
Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. QS An Nisa' : 1
(يعلم خاشنة الأعين وما تخفى الصدور) المؤمن 19
"Dia mengetahui (pandangan)
mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati."
Dari
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau
bersabda,
الإيمان بِضْعٌ وسبْعُونَ شُعْبَةٌ – أو بِضْع وسِتُّون شُعْبة – فأَفْضَلُهَا : قَوْلُ لا إله إلا الله . وَ أَدْنَاهَا إِماطَةُ الأذَى عَنِ الطَّرِيْقِ, والحياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيْمَانِ
"Iman
itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang le-bih. Yang paling
utama adalah perkataan la ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu itu cabang dari iman."
Juga
di dalam Ash-Shahihain dari Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, bahwa
dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang
yang lebih mudah merasa malu daripada gadis di tempat pingitannya.
Malu
merupakan akhlak yang agung yang tidak mendatangkan pada diri pemiliknya
kecuali kebaikan saja.
Dari
Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu, bersabda Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam
الحياءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
"Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan."
Suatu
akhlak yang mampu mendorong diri untuk meninggalkan segala macam perbuatan
jelek (tarkul qaba’ih).
Oleh
karena itu manakala pada diri hamba itu terdapat “kekuatan hidupnya hati” (quwwah
hayatil qalbi) maka semakin kuat pula “haya’ul qalbi” (malu
hatinya).
Sementara
“sedikit malu” itu sebagai tanda “matinya hati” (mautul qalbi).
Oleh
karena itu siapa yang merasa malu dari Allah, dia akan menaati Nya, dan akan
meninggalkan perbuatan dosa. Ini disebabkan karena pengagungannya terhadap
Allah dan kemulian Nya. Malu itu sebagai akhlak yang indah, dan hanya
dikhususkan pada manusia saja, tidak pada makhluk-makhluk lainnya. Dan malu
merupakan seutama-utamanya akhlak dan seagung-agungnya dan se mulya-mulyanya,
baik kadarnya maupun dalam hal mendatangkan kemanfaatannya.
Siapa
saja dari manusia yang tak ada sifat malu pada dirinya, maka padanya telah
hilang sisi kemanuasiannya. (pent. Oleh karena `afwan bagaimana para pejuang
HAM itu gembar-gembor memperjuangkan nilai-nilai HAM padahal pada dirinya telah
tidak ada “amlu” dalam hatinya, karena tak ada kehidupan pada hatinya. Bukankah
orang kafir itu telah mati hatinya ? dan tidak ada perintah dan ;larangan Allah
bagi mereka yang telah mati hatinya, karenan tak ada manfaat dan pengaruhnya
bagi mereka. Karena telah hilang sisi kemanusiaannya).
Wajarlah
apabila kita menuaksikan sebagian manusia tak lagi menghormati tamunya, tidak memenuhi janjinya, khianat dan tidak
menunaikan amanat, tidak lagi merasa perlu menutup aurat, tidak lagi merasa
perlu memberikan hajat (atau hak orang lain) dst ….
Kebaikan
bagi mereka tak mempengaurhi keburukan, baik dalam perkataan maupun perbuatan,
dan tidak mencegah perbuatan-perbuatan keji.
Maka
jelas, bahwa manusia yang telah hilang rasa malunya itu telah kehilangan sisi
“kemanusiaannya” (insaniyahnya), sehingga yang ada pada diri mereka hanyalah
“daging dan darah”. Dan dalam dua bentuk itulah penampakan mereka.
Mayoritas
manusia, manakala “malunya” hilang, maka mereka tak bergeming menunaikan
sesuatu apapun yang diperintahkan atasnya, tak penting untuk memberikan hak
orang lain, tak merasa perlu silaturrahmi, dan tak perlu berbakti kepada kedua
orang tua.
(2)
ADA DUA PEMBANGKIT YANG MENDORONG SIKAP “TERPUJI” ITU,
YAITU:
Factor
agama, sebab berharap hasilnya pasti terpuji, Dan factor dunia, yaitu berupa
“malu” dai Allah Ta`ala.
Perbuatan
yang hak untuk dipuji pelakunya tidak akan wujud bagi manusia yang tak memiliki
“malu”, baik yang berkaitan dengan Khaliq maupun makhluk.
Di
dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau
bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاس مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأوْلى : إِذا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ ما شِئْتَ
"Sesungguhnya di antara perkataan nubuwah pertama yang
diketahui manusia adalah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah
sesukamu."
Bagi
orang yang memiliki rasa malu maka menjadi tak ada arti baginya, apa yang
dinamakan “perintah dan larangan”, karena mereka hanya taat pada “hawa dan
syahwatnya”. Sebagaimana firman Allah:
فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا (سورة مريم: 59)
“Maka datanglah setelah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyai-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka
menemui kesesatan”
10 MACAM ALASAN MENGAPA SESEORANG ITU HARUS MERASA MALU
:
قسم (الحياء) على عشرة أوجه : حياء جناية – حياء تقصير – حياء إجلال – حياء كرم – حياء حشمة – حياء إستصغارللنفس واحتقار لها – و حياء محبة – حياء عبودية – حياء شرف وعزة – وحياء المستحي من نفسه.
(1) MALU KARENA BERBUAT SALAH
(DURAHAKA-MAKSIAT) ; (2) MALU KARENA KETERBATASAN DIRI ; (3) MALU KARENA
PENGAGUNGAN ; (4) MALU KARENA KEHALUSAN BUDI ;
(5) MALU KARENA MENJAGA KESOPANAN ; (6) MALU KARENA MERASA DIRI TERLALU
HINA ; (7) MALU KARENA CINTA ; (8) MALU KARENA `UBUDIYAH ; (9) MALU KARENA KEMULIAAN ; DAN (10) MALU TERHADAP DIRI SENDIRI.
Malu terhadap diri sendiri, point terakhir di atas,
itulah yang merupakan sempurna-sempurnanya malu bagi setiap hamba, sebab
apabila hamba terhadap dirinya (yg serba kekurangan dan kelemahan) itu merasa
malu, maka apalagi terhadap orang lain…. Tentu lebih memiliki malu lagi.
(3)
ADA
TIGA TINGKATAN MALU:
وهو على ثلاث درجات : (1) حياء يتولد من علم العبد بنظر الحق إليه (2) حياء يتولد من النظر في علم القرب فيدعوه إلى ركوب المحبة. (3) حياء يتولد من شهود الحضرة , وهي التى لا تشوبها هيبة.
قال صلى الله عليه وسلم: (أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد، فأكثروا الدعاء)
PENJELASAN
DARI KE-TIGA TINGKATAN MALU :
1. Malu yang muncul karena seorang hamba tahu bahwa Allah
melihat dirinya, hingga mendorong nya untuk bermujahadah, mencela
keburukannya dan membuatnya tidak mengeluh.
Selagi
seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini akan
membuatnya malu terhadap Allah, lalu mendorongnya untuk semakin taat. Hal ini
seperti hamba yang bekerja di hadapan tuannya, tentu akan semakin giat dalam
bekerja dan siap memikul bebannya, apalagi jika tuannya berbuat baik kepadanya
dan dia pun mencintai tuannya. Keadaan ini berbeda dengan hamba yang tidak
ditunggui dan dilihat tuannya. Sementara Allah senantiasa melihat hamba-Nya.
Jika hati merasa bahwa Allah tidak melihatnya, maka ia tidak merasa malu
kepada-Nya.
Yang
demikian ini juga mendorongnya untuk mengecam keburukannya, karena rasa malu.
Namun dorongan yang lebih tinggi lagi ialah karena cinta. Rasa malu ini membuat
hamba urung mengadu dan mengeluh kepada selain Allah.
2.
Malu yang muncul karena merasakan kebersamaan dengan Allah, sehingga
menumbuhkan cinta, merasakan kebersamaan dan tidak suka bergantung kepada
makhluk.
Kebersamaan
dengan Allah ada dua macam: Umum dan khusus. Yang umum ialah kebersamaan ilmu
dan keikutsertaan, seperti firman-Nya,
( (وهو معكم أين ما كنتم والله بما تعملون بصير) الحديد : 4
Dan
Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan. QS Al Hadid: 4
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan
Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan
Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari
itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka
berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa
yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. AL MUJADALAH : 7
Sedangkan kebersamaan yang khusus ialah kedekatan
bersama Allah, seperti firman-Nya,
إن الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون
128. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang-orang yang berbuat kebaikan. An Nahl : 128
يا أيها الذين أمنوا استعينوا بالصبر والصلاة إن الله مع الصابرين
"Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah:
153).
والذين جهجوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين
69.
dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. Al Ankabut: 69.
Dua
makna ini merupakan kesertaan Allah dengan hamba. Kata ma'a dalam Bahasa
Arab berarti kesertaan atau penggabungan yang selaras, tidak
mengharuskan adanya pencampuran, kedekatan dan berdampingan.
Sedangkan
kata dekat, tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an kecuali dengan pengertian
yang bersifat khusus, yaitu ada dua macam:
Kedekatan
Allah dengan orang yang berdoa kepada-Nya, dengan cara
mengabulkannya, dan kedekatkan Allah dengan orang yang beribadah kepada-Nya,
dengan cara memberinya pahala.
Yang
pertama : seperti firman Allah,
"Dan,
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku ,maka (jawablah), bahwa Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku." (Al-Baqarah: 186).
Ayat
ini turun karena para shahabat bertanya kepada
Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam,
وقد سألوا رسول الله صلى الله عليه وسلم (ربُّنا قريب فنُنَاجِيْهِ ؟ أم بعِيْد فنُنَادِيه ؟ فأنزل الله تعالى هذه الآية.
"Apakah Allah itu dekat sehingga kami bermunajat
dengan-Nya, ataukah Allah itu jauh sehingga kami berseru kepada-Nya?" Maka
turun ayat ini sebagai jawabannya.
Yang
kedua : seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, "Keadaan hamba yang paling dekat dengan Rabbnya ialah tatkala dia
sujud, dan saat yang paling dekat antara Rabb dan hamba-Nya ialah pada tengah
malam."
أقرب ما يكون العبد من ربه : وهو ساجد. وأقرب مايكون الرب من عبده : في جوف الليل) . فهذا قربة من أهل طاعته.
Kedekatan
ini mendorong hamba untuk mencintai. Selagi cinta semakin bertambah, maka dia
semakin merasakan kedekatan. Cinta itu mempunyai dua macam kedekatan: Kedekatan
sebelumnya dan kedekatan sesudahnya. Kedekatan ini membuat hati
bergantung dan senantiasa berhubungan dengan Allah.
3.
Malu yang muncul karena melepaskan ruh dan hati dari makhluk, tidak ada
kekhawatiran, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti untuk mencapai tujuan.
Jika
ruh dan hati bersama Pencipta semua makhluk, maka ia akan merasakan kedekatan
dengan-Nya dan seakan bisa menyaksikan-Nya secara langsung, sehingga tidak ada
lagi kekhawatiran untuk berpisah dengan-Nya. Di dalam hati itu juga tidak ada
sesuatu selain Allah.
Allah
subhanahu wa Ta`ala berfirman: (QS Fushshilat: 4) :
إن الذين يلحدون في آياتنا لا يخفون علينا، أفمن يلقى في النار خير أم من يأتي آمنا يوم القيامة، اعملوا ما شئتم إنه بما تعملون بصير..
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami,
mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka Apakah orang-orang yang dilemparkan ke
dalam neraka lebih baik, atau kah orang-orang yang datang dengan aman sentosa
pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha
melihat apa yang kamu kerjakan”.
اللهم إنا نسألك الجنة وما قرب إليها من قول وعمل .. ونعوذ بك من النار وماقرب إليها من قول وعمل
(4)
MALU
TIMBUL KARENA BEBERAPA SEBAB
1.
Ketika seseorang merasakan begitu banyaknya
karunia Allah dan adanya keterbatasan pada dirinya, maka memunculkan pada
dirinya sifat malu. (perkataan Al-Junaid rahimahullah). Ini artinya bahwa malu
itu mendorong orang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan mengabaikan sebagian
pemenuhan hak-hak Allah.
2. Hidup bersama dan berkumpul dengan orang-orang yang
memiliki sifat Malu. Orang `Arif berkata:
أحيوا الحياء بمجالسة من يستحيي منه ، وعمارة القلب : بالهيبة والحياء : فإذا ذهبا من القلب لم يبق فيه خير.
"Hidupkanlah rasa malu dengan
berkumpul bersama orang-orang yang mempunyai rasa malu. Dan kemakmuran hati itu
dengan kemuliaan dan rasa malu. Jika keduanya hilang dari
hati, maka di dalamnya tidak ada kebaikan yang menyisa."
WASPADA
TERHADAP LIMA
TANDA-TANDA
KESENGSARAAN (PENDERITAAN):
خمس من علامات الشقوة : القسوة القلب – وجمود العين – وقلة الحياء – والرغبة في الدنيا – وطول الأمل
Al-Fudhail bin Iyadh berkata,
"Lima tanda penderitaan:
Kekerasan hati, kejumudan mata, sedikit malu, terlalu kuat keinginan terhadap
dunia dan panjang angan-angan ."
KESIMPULAN
:
Perbuatan Manusia itu Menunjukkan
sejauh mana "sifat Malunya", yang timbul dari "adab terhadap
dirinya", khususnya dalam hal "Muraqabah" (merasakan diawasi
oleh Allah dalam diam dan geraknya, lahir dan batinnya), dan "kebersamaan
Allah" (Ma`iyallah) dengannya.
Amal hati terkait dengan amal
anggota badan (fisik); dan kemakmuran hati itu ada pada sisi "kemuliaan
dan sifat malunya". Jika keduanya telah pergi meninggalkann hati kita,
maka yang ada pada diri kita adalah keburukan… Oleh karena itu "Bermajlas
dalam majlis orang-orang yang memiliki malu adalah menjadi keniscayaan".
Bukan majlis yang berisikan mereka yang tak pernah malu terlambat, kadang hadir
kadang tidak, tak malu terhadap temannya yang rajin karena punya malu….. Diantara kita lebih mempertimbangkan
"pengawasan manusia" (absen daftar hadir dll) daripada muraqabahnya
kepada Allah SWT.
Semestinya kita jauh lebih memiliki
rasa malu dengan : keterbatasan diri kita, karena pelanggaran dan kesalahan
yang sengaja kita perbuat, karena malu
terhadap diri sendiri
Semestinya kita jauh lebih malu
dengan melihat : kemuliayaan Allah dan keagunganNya, karena `ubudiyah kita
kepadaNya, sekaligus menjaga kesopanan kita, kehalusan budi kita, merasa hina
di hadapanNya…
Waskat dan manajemen hanyalah bagian
dari "hadlaroh" (peradaban manusia), sementara "malu" itu
bagian dari tsaqafah, khususnya dalam mewujudkan nilai-nilai Adab & Akhlak
baik terhadap Allah maupun terhadap diri sendiri. Selain Taubat, muhasabah dan
mujahadah yang merupakan adab terhadap diri yang penting.
Ketika seorang hamba meyakini bahwa
Allah itu menyaksikan dirinya, lalu merasakan kebersamaannya dengan Allah
(Ma`iyallah), dan ketika merasakan ruh dan hatinya bersama sang Pencipta segala
makhluk, ……. Ternyata tak muncul juga sifat Malunya, atau hanya Sedikit Malu
(Qalilul Haya'), maka ketahuilah bahwa anda tidak akan pernah memunculkan
kebaikan baik bagi diri maupun bagi orang banyak, dan bahkan hanya akan
melahirkan keburukan yang akan membawa kepada "kesengsaraan" dan bukan
kebahagiaan "Sa`adah". Na`udzu billah mkindzalik.
وفي الترمذي مرفوعا (استحيوا من الله حق الحياء، قالوا إنا نستحيى يارسول الله. قال : ليس ذلكم ، ولكن من استحيى من الله حق الحياء فليحفظ الرأس وما وعى ، وليحفظ البطن وما حوى ، واليذكر الموت والبِلى . ومن أراد الآخرة ترك زينة الدنيا، فمن فعل ذلك فقد استحيى من الله حق الحياء)
من أنواع الحياء يكون مطلوبًا على المستوى الاجتماعي
والديني؛ لأنه يدل على حسن التربية،
لكن الخجل يتحول أحيانا
إلى مرض يسمى بـ"الرهاب الاجتماعي".
Dan diantara "malu" yang
dituntut oleh kepentingan sosial dan agama, merupakan "malu" yang
baik, sebab hal ini menunjukkan adanya "Tarbiyah yang baik", akan
tetapi terkadang rasa malu itu menjadi sebuah penyakit, yang disebut dengan
istilah "Ar Rihabul Ijtima`iy" (sejenis: fobia sosial).
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------