GADAI DAN SEWA (2)

GADAI (2)
Kesalahan dalam Gadai (edisi 15)
Posted on Juli 31, 2010
Oleh Thorik Ghunara
Pengagas Pasar Islam Bandung

Ada 3 hal kesalahan gadai emas yang dikenal di masyarakat :
1. Gadai emas yang dianggap syariah
2. Kebun emas
3. Kebun dinar



وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة ، فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته واليتق الله ربه ....
Allah Swt berfirman, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)


[Baca...]




GADAI (1), oleh Abu Fahmi
ANTARA GADAI DAN SEWA MENYEWA ;
 HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA

Dalam sejumnlah ayat al Qur’an, dapat kita temukan penjelasan bahwa adanya istilah GADAI tidak lepas dari kejadian (transaksi) sebelumnya yaitu “HUTANG-PIUTANG”.
Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang menggadaikan barangnya kecuali didahului oleh persoalan hutang piutang.
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة، فأمن بعضكم بعضا فاليؤد الذي اؤتمن أمانته واليتق الله ربه
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)
[1] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai
Para `ulama sepakat menyebutkan bahwa “Hukum gadai erat hubungannya dengan hutang –piutang, dasarnya adalah ayat di atas (QS 2: 283), di atas. Ayat ini menyuratkan kepada kita bahwa dalam hutang piutang itu haruslah ada “penulis yang mencatatkan hutangnya” berikut saksinya. Hal ini ketika safat atau dalam keadaan muqim di satu negeri atau wilayah. Namun jika sulit mendapatkan petugas pencatat, karenaa safar atau bukan, maka boleh dengan memberikan barang jaminan, sehingga akadnya disebut dengan akad “GADAI”. Gadai tidak sama dengan akad sewa. Sebab akad gadai sebagai transaksi ta`awun untuk ladang akhirat, sementara akad sewa sebagai ladang dunia semata. Kedua halal untuk dilakukan selama memenuhi kreteria syariat. Namun secara tersirat, dapat membedakan tentang sifat-sifat pelakunya. Apakah dermawan apakah kikir …..
Gadaii sebagai alat bukti hutang piutang, menguatkan kepercayaan antara kedua pihak, sampai timbul “tsiqatul mutabadilah” (kepercayaan timbale balik). Agar yang memberi pinjaman yakin akan utuhnya uang yang dipinjamkan kepada orang lain yang membutuh kannya, untuk jangka waktu tertentu, walau tampa adanya tambahan (sebab tambahan dalam pinjamang uang adalah RIBA). Ia yakin bahwa uangnya tak akan musnah atau hilang atau berkurang, karena ada barang jaminan padanya, baik barangnya ataupun surat-surat nya (kalau tanah SHM nya, kalau motor atau mobil bisa BPKB nya….).
Barang gadai tetap milik yang diberi utang, dan boleh memanfaatkan agar memperoleh hasilnya. Sedang bagi yang meminjamkan uangnya (tunai) kepada si peminjam (dg jaminan gadai), tak dapat menggunakan barang jaminan untuk mendapatkan tambahan atau manfaat keuntungan. Kalau barang gadai itu binatang, missal kerbau atau kuda atau sapi, maka jika yang meminjamkan uang ingin menungganginya boleh saja, asal membayar (member) makan binatang tersebut, atau jika motor ya harus membayar bensinnya. Jika berupa sawah atau tanah lading, maka tidak boleh digarap oleh pemberi pinjaman, sebab tanah tetap milik si pemimjam, dan ia bebas menggarap dan mengolahnya untuk memperoleh hasil (bekal kehidupan).
Bagi para pelaku RIBA atau RENTENIR, menganggap Islam ini tidak adil, karena orang sudah meminjamkan uang besar selama sekian tahun tetapi tak boleh mendapat untung atau tambahan (sebagai syarat akadnya). Padahal (menurutnya) uang sekian juta kalau di putar selama 1 atau 2 tahun atau lebih pastilah akan tumbuh berkembang, bisa sampai 1,5 nya atau2 x nya. Perlu diingat, bahwa dagang atau bisnis tidak selalu ada untung, bahkan bisa juga rugi. Namun bagaimana jika merugi ? bukankah uang itu hilang sebagian atau seluruhnya ? lalu siapa yang menanggung. Rentenir atau Pelaku Riba, kalau meminjam kan uang harus disertai bunga tambahan, tergantung lamanya, ia hitung dengan inflasi. Begitu pula kalau bisnis dengan orang lain, uang yang dipinjamkan itu bukan sebagai akad MUDLARABAH atau MUSYARAKAH, tetapi dengan dasar ribawi, dengan menentukan bunga sekian dan sekian terhadap modal yang disertakan, bukan BAGI HASIL, yang bisa saja untung atau bisa saja rugi. Dalam MUDLARABAH, pelaku bisnis yang rugi (bukan dibuat-buat) padahal telah berusaha dengan tenaganya, waktunya dan seluruh potensinya, maka kerugiannya ditanggung oleh PEMILIKM MODAL, sebab pelaku bisnis telah rugi waktu, tenaga, dan pikiran serta potensi lainnya.
Di dalam ayat 284 al Baqarah di atas, Allah berbicara pinjam meminjam, gadai, dan penulis hutang. Ketika safar  dirasakan sulit mendapatkan tukang tulis hutang-piutang, apalagi jika timbul krisis kepercayaan antara yang hutang dan yang mengutanginya, maka gadai menjadi sangat penting.
Barang gadai sebagai alat bukti semata dalam akad hutang-piutang,asa aman bagi kedua belah pihak. Walau ayat ini menunjukkan adanya gadai ketika dalam safar, namun Nabi saw ketika di Madinah (tidak dalam keadaan safar) telah malakukan transaksi hutang piutang dengan seorang Yahudi, dimana beliau menggadaikan perisai kepada Yahudi, untuk mendapatkan pinjaman yang beliua butuhkan, untuk lama waktu tertentu. Sehingga kalau pada saat pelunasannya Nabi tak mampu, maka perisai bisa dijual oleh Yahudi sebagai pembayaran. Jika tak mencukupi maka Nabi harus menamabahnya, dan jika harga perisai melebihi jumlah utangnya, maka Nabi mendapatkan kembalian dari sisanya.
Sekali lagi, bahwa barang Gadai hanya sekedar alat bukti, untuk meyakinkan kepada pemberi hutang, kalau-kalau pada waktunya yang hutang tidak mampu melunasinya, maka barang gadai dapat dijual untuk melunasi hutang. Yang menghutangi merasa aman, tak akan melayang uang yang dipinjamnya. Barang Gadai juga bukan wafa’ (alat melunasi), hanya sebagai bukti dan sarana untuk cadangan melunasi hutang.
Contoh sederhana:
Pak Ahmad punya tanah sepetak, misal 1 Ha, membutuhkan modal tunai untuk menutupi kebutuhan primernya atau modal menggarap tanahnya, Lalu ia datang kepada pak Umar, menyampaikan maksudnya untuk pinjam uang, 5 juta misalnya, dan ia jaminkan tanahnya untuk membayarnya nanti jika tak mampu mengembalikan pinjamannya setelah tiba waktunya.
Pak Umar (yang baik hati lagi dermawan) dengan tulus menyambut maksud dari pak Ahmad, memberi pinjaman uang tersebut dalam rangka “Ta`awun `alal birri wat taqwa”, sebagai ladang bisnis akhirat dengan Allah, tanpa meminta tambahan atau imbalan sama sekali.
Dalam akad pinjam-meminjam ini keduanya sama-sama telah memahami akadnya, bahwa tanah tetap milik pak Ahmad, tidak pindah tangan (kepemilikannya), ia tetap berhak menggarap/mengolahnya atau memanfaatkannya guna mencari ma`isyah (bekal kehidupan, rezeki) dengan tanahnya, sementara pak Umar tak punya hak untuk menggarap atau memungut dari hasil tanah. Jika menghasilkan maka  hasilnya milik pak Ahmad, dan jika ada musibah sehingga rugi menimpa tanahnya, (missal tanamannya terkena lahar, kena hama wereng, ulat bulu, angin topan dll,  maka kerugiannya bagi pak ahmad juga. Sementara pak Umar tak menanggungnya. Barang gadai hanya sekedar jaminan, bukan sebagai barang yang disewakan atau dijual. Barang gadai tidak boleh dimanfaatkan oleh pemberi hutang. Jika dimanfaatkannya, maka terkena hukum riba, karena mendapat keuntungan dari piutang yang dihutangkannya, kecuali jika dalam memanfaatkannya ia membayar apa yang gunakan. Misal jika gadainya berupa kuda, maka kalau ia mau menungganginya ia harus memberi makan atau membayarnya.  
Zaman sekarang barang gadai, karena tetap milik pihak peminjam, sementara pemberi pinjaman tidak boleh memanfaatkannya, maka lebih mudah untuk zaman sekarang. Kalau motor atau selainnya menjadi barang gadai, maka bisa memberi BPKBnya saja, kalau rumah/tanah maka bisa dengan SHM nya, jadi tak perlu barangnya, dipegang oleh pemberi pinjaman sampai waktunya yang ditentukan kedua pihak.
Adilkah Islam jika demikian ? mengapa uang 5 juta atau lebih mandeg gara-gara dipinjamkan kepada yang lainnya, padahal jika diputar dalam tempo 1 tahun, misal bisa mendapatkan “tambahan” keuntungan (missal 1 juta) atau bahkan bisa 2 x lipat. Sementara kalau dipinjamkan dg jaminan barang gadai…. Saya tak mendapat apa-apa ? Padahal uang saya mandeg sekian tahun lamanya (sesuai kesepakatan).
Hal ini perlu penjelasan sebagai berikut:
Kita harus membedakan antara akad tolong menolong dan sewa menyewa atau jual beli.
وابتغ فيما آتاك الله الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا.

Ada Dua jenis transaksi : yang berkaitan dengan ladang dunia semata, seperti jual beli, sewa menyewa, atau menggarap tanah, dsj.
Ada pula transaksi yang berkaitan dengan ladang akhirat yaitu akad tolong menolong, tidak boleh ada keuntungan atau tambahan, seperti ber-shadaqah dan mengeluarkan zakat, pinjam meminjam, qardlul hasan,  tidak boleh ada pungutan atau imbalan (materi atau non materi), bahkan mengharapkan dapat ucapan terima kasih pun tidak diharapkan. Terlebih lagi  mengirinya dengan kata-kata tidak enak, menyakiti atau sejenisnya jelas tak boleh.
Begitu pula akad hutang-piutang, adalah ladang akhirat untuk ta`awun.  Ladang akhirat jangan dirubah menjadi ladang dunia, sebab Allah akan murka. Seperti tambahan atau sanjungan atau sejenisnya berupa pamrih La`allaka Jawwad (semoga anda sebagai orang dermawan) ketika berderma atau bersedekah atau berinfaq di jalan Allah, baik untuk si fakir, si miskin, atau anak yatim atau manula-jompo atau mustadl`afin ……
Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa melapangkan atau membantu kesulitan orang lain, maka Allah akan melapangkan baginya di akhirat”. Dan Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba itu menolong sesamanya”.
Apa ruginya bagi orang yang shadaqah tidak boleh memperoleh imbalan ? (termasuk sanjungan ?). Allah akan murka jika kalian mengubah transaksi ladang sosial ta`awun `alal khair, diubah menjadi ladang dunia seperti  jual beli atau sewa menyewa.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُخْتَارِ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ رَاشِدٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Humaid berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mukhtar dari Ishaq bin Rasyid dari Az Zuhri dari Sa'id bin Musayyab dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Gadai tidak bisa dimiliki. "  Ibnu Majah 2432

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ زَكَرِيَّا عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَبَنُ الدَّرِّ يُحْلَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَالظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ قَالَ أَبُو دَاوُد وَهُوَ عِنْدَنَا صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami Hannad dari Ibnu Al Mubarak dari Zakaria dari Asy Sya'bi dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika digadaikan maka susu hewan boleh diperah sesuai dengan nafkah yang diberikan kepada hewan tersebut, dan punggung hewan boleh dinaiki. Orang yang menaiki dan memerah wajib memberikan nafkahnya. " Abu Daud berkata, "Menurut kami hadits ini lebih shahih. "  sunan abi Daud, 3059
Pinjaman itu sebagai tolong menolong dan akadnya sebagai amal social ladang akhirat, untuk mendapat kan manfaat lillahi Ta`ala saja.
Seorang mukmin seharusnya, kalau tak sempat atau tak sanggup memberi shadaqah kepada orang lain – kepada tanggungannya ataupun pihak lain- maka minimal bersedia memberi pinjaman kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengharap imbalan atau tambahan. Sebab ia lebih merindukan pahala akhirat ketimbang imbalan dunia yang sesaat.
Yang lebih parah lagi adalah, jika memberi pinjaman saja tak bersedia, apalagi shadaqah, maka ini cerminan sikap bakhil atau kikir. Kaum rentenir atau pelaku riba, pastilah termasuk orang bakhil lagi kikir. Pelaku ribawi dan rentenir tidak ada yang tergolong dalam kelompok dermawan, karena mereka tak membutuhkan surga, namun lebih membutuhkan dunia saja. Ia lebih memilih akad sewa ketimbang pinjaman, sebab dengan sewa maka si penyewa dapat memanfaatkan barang yang disewanya, dan pemilik barang sewaan mendapat hasil sewa ketika itu.
Waspadalah dengan Riba, ancaman Allah bagi pelakunya sangatlah berat. Riba sekalipun banyak berlimpah, mudah diperoleh dan cepat hasilnya serta pasti, namun kelak – lambat atau cepat - akan hancur, dan Allah akan musnahkan. Nasib yang sama juga bagi rentenir.. tinggal waktunya saja, pasti akan dating, sebab janji Allah pastilah terjadi. Simak sekali lagi firman Allah dalam QS al Baqarah: 275-279. Ini sekaligus ancaman bagi orang yang menganggap sama antara transaksi jual-beli dengan transaksi ribawi.
Hukum memungut keuntungan termasuk memanfaatkan barang gadai adalah Haram, begitu pendapat kuat dari madzhab Syafii. Dosa besar pelaku riba atau rentenir lebih besar dari dosa berzina, mencuri, atau korupsi, atau  …….. bahkan dosa riba yang paling ringan adalah sama dengan berzina dengan ibu kandungannya sendiri. Sementara kata Nabi bahwa jenis riba dan tingakatan dosanya ada 63 jenis, dan dosa yang paling ringan adalah seperti dosa menzinahi ibu kandungnya sendiri. Na`udzu billah min  dzalik.
Allah telah menabuh genderang perang terhadap rentenir dan pemakan riba & pelaku-pelakunya serta pendukung-pendukungnya.
Hati-hati dalam barang gadai, …… anda bisa masuk ke riba, jika menganggap  boleh memanfaatkan barang gadai semaunya, ….
Pembeda antara Dermawan dan Bakhil / Kikir :
Kasus Maman dan Amin, si pemilik tanah 1 ha yang perlu dana segar karena terdesak oleh kebutuhan primernya termasuk modal menggarap tanahnya, sementara si Amin adalah seorang kaya raya lagi berkecukupan.
Maman menawarkan 2 alternative kepada Amin:
1.    Untuk menyewakan tanahnya, setahun, dua tahun atau lebih
2.    Atau mengajukan pinjaman berupa uang tunai dari pak Amin dengan jaminan tanahnya (sertifakatnya) tersebut. Jika telah melunasinya, maka tanah kembali kepadannya dan jika pada waktunya belum bisa membayarnya maka tanah bisa dijual untuk membayarnya. Jika ada kelebihan, maka lebihnya kembali ke pada Maman, dan jika kurang, maka Maman harus menambahnya lagi. Dalam hal ini Amin tidak berhak memanfaatkan tanahnya, sementara pak Maman bebas menggarap tanahnya untuk berladang agar menghasilkan. Dan hasilnya murni untuk Maman bukan untuk Amin (tak punya hak memanfaatkan atau mendapat tambahan dari garaoan tanah pak Maman tadi).
Yang pertama adalah lading dunia, hasilnya diperoleh di dunia berupa hasil sewaan. Jika Amin memilih opsi (1), maka ia termasuk orang pelit, kikir dan bakhil. Secara hukum sah, mendapat hasil dunia, dan di akhirat tidak.
Sedang opsi (2) adalah tolong menolong, manfaat akhirat, di dunia tak mendapat tambahan, sebab tanah hanya sekedar jaminan, bukan pindah kepemilikannya.

[Baca...]



TIDUR DAN KEMATIAN


TIDUR DAN KEMATIAN

Prof. Arthur Alison: ''Karena Az Zumar 42''
Kamis, 5 Safar 1423/ 18 April 2002

Namaku Arthur Alison, seorang profesor yang menjabat Kepala Jurusan Teknik Elektro
Universitas London. Sebagai orang eksak, bagiku semua hal bisa dikatakan benar jika masuk akal dan sesuai rasio. Karena itulah, pada awalnya agama bagiku tak lebih dari objek studi.
Sampai akhirnya aku menemukan bahwa Al Quran, mampu menjangkau pemikiran manusia.
Bahkan lebih dari itu. Maka aku pun memeluk Islam.


[Baca...]




WANITA PEMERAH SUSU DAN ANAK GADISNYA

Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin bersama
seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat rajin
beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi,
selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah
banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.
Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling,
sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil
dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinga nya mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.


[Baca...]



KLASIFIKASI AKAD ATAU PERJANJIAN
Oleh
Prof.Dr.Abdullah al-Muslih
Prof.Dr.Shalah ash-Shawi


Akad memiliki banyak klasifikasi melalui sudut pandang yang berbeda-beda. Di sini akan kita singgung sebagian klasifikasi tersebut:

PERTAMA : DARI SEGI TAKLIFI
Berkaitan dengan soal perjanjian ada beberapa hukum syariat yang ditetapkan. Berdasarkan sudut pandang ini, perjanjian terbagi menjadi lima:

[Baca...]



ISTRI KEDUA

Abdullah bin Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti Ramadhan Jalabi. Fatimah
ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara kebaikannya, ia biasa membelikan suaminya
pakaian yang bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian pula untuk membelikan pakaian
serta perhiasannya sendiri.
Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu
baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya suka
membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak
terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari
Allah.


[Baca...]




AL `AMAL YATA`ALLAQU BIL-ISTITHA`AH
WAL JAZA’ MIN JINSIL `AMAL
العمل يتعلق بالاستطاعة ، والجزاء من جنس العمل
(Amal itu tergantung dengan kemampuan,
dan balasan itu  sesuai dengan jenis amalnya).
Kajian malam Jum`at, oleh Abu Fahmi, di Jatinangor.


ٍSalah satu ushul (prinsip) Manhaj Salaf adalah “Berpegang teguh dengan Islam secara Kaffah”, sebagaimana diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala dalam surat al Baqarah: 208
ياأيهاالذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطان....
Wahai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (totalitas), dan jangan kalian mengikuti jejak-jejak langkah syaithan….”. 


[Baca...]




 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel w
ww.muslim.or.id

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim)
[Muslim: 47-Kitab Al Qodar, An Nawawi –rahimahullah- membawakan hadits ini dalam Bab "Iman dan Tunduk pada Takdir"]

Beberapa pelajaran berharga dapat kita petik dari hadits ini:
Mukmin yang Kuat Lebih Baik Daripada Mukmin yang Lemah:
Mukimin yang kuat di sini bukanlah yang dimaksudkan adalah mukmin yang kekar badannya, perkasa dan sehat. Semacam ini yang sering dipahami sebagian orang tatkala mendengar hadits ini.
Yang dimaksud dengan mukmin yang kuat di sini adalah mukmin yang kuat imannya. Bukan yang dimaksudkan dengan kuat di sini adalah mukmin yang kuat badannya. Karena kuatnya badan biasanya akan menimbulkan bahaya jika kekuatan tersebut digunakan dalam hal maksiat. Namun pada asalnya, kuat badan tidak mesti terpuji dan juga tidak mesti tercela. Jika kekuatan tersebut digunakan untuk hal yang bermanfaat untuk urusan dunia dan akhirat, maka pada saat ini terpuji. Namun jika sebaliknya, digunakan dalam perbuatan maksiat kepada Allah, maka pada saat inilah tercela.
Jadi, yang dimaksudkan kuat di sini adalah kuatnya iman. Kita dapat saja menyebut seorang itu kuat, maksudnya adalah dia perkasa dengan kejantanannya. Begitu pula kita dapat menyebut kuat dalam masalah iman.
Yang dimaksud dengan kuatnya iman di sini adalah seseorang mampu melaksanakan kewajiban dan dia menyempurnakannya pula dengan amalan sunnah. Sedangkan seorang mukmin yang lemah imannya kadangkala tidak melaksanakan kewajiban dan enggan meninggalkan yang haram. Orang seperti inilah yang memiliki kekurangan.
Lalu yang dimaksudkan bahwa orang mukmin yang kuat itu lebih baik daripada yang lemah adalah orang mukmin yang kuat imannya lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah imannya.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa mereka semua (yaitu mukmin yang kuat imannya dan mukmin yang lemah imannya) sama-sama memiliki kebaikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan demikian agar jangan disalahpahami bahwa mukmin yang lemah imannya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Mukmin yang lemah imannya masih tetap memiliki kebaikan dan dia tentu saja lebih baik daripada orang kafir. Namun sekali lagi diingat bahwa mukmin yang kuat imannya tentu saja lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah imannya.
Bersemangatlah Dalam Perkara yang Bermanfaat Bagimu:
Inilah wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Wasiat beliau ini adalah perintah untuk bersemangat dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat. Lawan dari hal ini adalah melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya (dhoror), juga melakukan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat atau pun bahaya.
Karena yang namanya perbuatan itu ada tiga macam: [1] perbuatan yang mendatangkan manfaat, [2] perbuatan yang menimbulkan bahaya, dan [3] perbuatan yang tidak mendatangkan manfaat maupun bahaya. Sedangkan yang diperintahkan adalah melakukan macam yang pertama yaitu hal yang bermanfaat.
Orang yang berakal yang menerima wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pasti akan semangat melakukan hal yang bermanfaat. Namun kebanyakan orang saat ini menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tidak bermanfaat. Bahkan kadangkala yang dilakukan adalah hal yang membahayakan diri dan agamanya. Terhadap orang semacam ini, pantas kita katakan: Kalian tidaklah mengamalkan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi kalian tidak melaksanakannya karena tidak tahu atau karena menganggap remeh. Mukmin yang berakal dan mantap hatinya tentu akan melaksanakan wasiat beliau ini, juga akan semangat melakukan hal yang bermanfaat bagi agama dan dunianya. Hal yang manfaat dalam agama kembali pada dua perkara yaitu ilmu nafi’ (yang bermanfaat) dan amalan sholeh.
Yang dimaksud dengan ilmu nafi’ adalah ilmu yang dapat melembutkan dan menentramkan hati, yang nantinya akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ilmu nafi’ inilah ajaran Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam tiga macam ilmu yaitu ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Yang juga bisa menolong dalam menggapai ilmu nafi’ adalah bahasa Arab dan beberapa ilmu lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Adapun yang dimaksud amalan sholeh adalah amalan yang selalu dilandasi dengan ikhlash dan mencocoki tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun hal yang manfaat dalam masalah dunia adalah seorang hamba berusaha untuk mencari rizki dengan berbagai sebab yang diperbolehkan sesuai dengan kemampuannya. Juga hendaklah setiap orang selalu merasa cukup, tidak mengemis-ngemis dari makhluk lainnya. Juga hendaklah dia mengingat kewajibannya terhadap harta dengan mengeluarkan zakat dan sedekah. Dan hendaklah setiap orang berusaha mencari rizki yang thoyib, menjauhkan diri dari rizki yang khobits (kotor). Perlu diketahui pula bahwa barokahnya rizki seseorang dibangun di atas takwa dan niat yang benar. Juga berkahnya rizki adalah jika seseorang menggunakannya untuk hal-hal yang wajib ataupun sunnah (mustahab). Juga termasuk keberkahan rizki adalah jika seseorang memberi kemudahan pada yang lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
Jangan lupakan untuk saling memberi kemudahan di antara kalian.” (QS. Al Baqarah: 237). Yaitu yang memiliki kemudahan rizki memudahkan yang kesulitan, bahkan seharusnya memberi tenggang waktu dalam pelunasan hutang. Apabila semua ini dilakukan, datanglah keberkahan dalam rizki.
Dahulukanlah Maslahat Agama
Hadits ini begitu baik untuk direnungkan oleh setiap insan, bahkan hadits ini bisa dijadikan pelita baginya dalam melakukan amalan dalam masalah agama maupun dunianya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Bersemangatlah kamu dalam melakukan hal yang bermanfaat bagimu.” Perkataan beliau ini mencakup segala sesuatu yang bermanfaat baik dalam masalah agama maupun dunia. Namun, apabila maslahat dunia dan agama itu bertabrakan, yang lebih didahulukan adalah maslahat agama. Karena jika maslahat agama tercapai, maka dunia pun akan diperoleh. Adapun jika maslahat dunia tercapai, namun agama malah menjadi rusak, maka nantinya maslahat tersebut akan sirna.
Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Perlu Ada Skala Prioritas: Dahulukan yang Memiliki Manfaat Lebih
Hadits ini juga menunjukkan bahwa jika bertentangan antara dua hal yang sama-sama manfaat, maka pilihlah perkata yang memiliki nilai manfaat yang lebih.
Misalnya adalah jika kita ingin bersilaturahmi dan kita punya dua pilihan yaitu bersilaturahmi ke saudara kandung dan paman. Keduanya sama-sama mendesak pada saat itu dan tidak mungkin kita berkunjung ke tempat keduanya sekaligus. Dari penjelasan di atas, kita haruslah mendahulukan silaturahmi kepada saudara kandung daripada paman karena berkunjung ke tempatnya tentu lebih utama dan lebih mendatangkan manfaat.
Begitu pula jika di dekat rumah kita ada dua masjid, yang jaraknya hampir sama. Akan tetapi salah satu dari dua masjid tersebut memiliki jama’ah lebih banyak. Dalam kondisi semacam ini, lebih utama shalat di masjid yang lebih banyak jama’ahnya.
Jadi ingatlah baik-baik kaedah yang sangat bermanfaat ini: Jika bertentangan dua hal yang sama-sama bermanfaat, yang satu memiliki nilai lebih dari yang lainnya, maka kita mendahulukan yang memiliki nilai lebih tersebut.
Namun sebaliknya, jika seseorang terpaksa harus melakukan hal yang terlarang dan dia punya dua pilihan. Di antara dua pilihan tersebut ada yang lebih berbahaya. Dalam kondisi semacam ini, dia harus memilih larangan yang lebih ringan.
Jadi, jika ada beberapa perkara yang terlarang dan kita harus menerjanginya, maka pilihlah yang paling ringan. Namun dalam beberapa perkara yang diperintahkan dan kita harus memilih salah satu, maka pilihlah yang paling bermanfaat.
Jangan Lupa Meminta Pertolongan Pada Allah
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kita untuk semangat dalam melakukan hal yang bermanfaat, kemudian beliau menyampaikan wasiat pula agar kita jangan sampai lupa minta pertolongan pada Allah Yang Berada di atas sana.
Seorang yang berakal dan cerdas pasti akan melakukan hal yang bermanfaat dan akan memilih melakukan yang lebih manfaat. Namun terkadang hati ini berubah, sampai-sampai kita bersandar pada diri sendiri dan lupa meminta tolong pada Allah ‘azza wa jalla. Inilah yang terjadi pada kebanyakan orang, mungkin juga kita. Kita terkadang merasa takjub dengan diri sendiri, seraya dalam benak hati ini mengatakan: Saya pasti bisa menyelesaikannya sendiri. Dalam kondisi ini, Rabb tempat kita bergantung dan tempat kita memohon segala macam hajat, posisi-Nya terpinggirkan. Ketika kita sudah bersemangat dalam melakukan suatu amalan sholeh dan yang bermanfaat, terkadang kita terlena dengan kemampuan kita sendiri, merasa takjub dan lupa meminta tolong pada Rabb kita. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada kita: Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah pada Allah. Maksudnya adalah janganlah kita melupakan meminta tolong pada-Nya walaupun itu adalah dalam perkara yang sepele.
Misalnya dalam hadits:
لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ
“Hendaklah salah seorang di antara kalian meminta seluruh hajatnya pada Rabbnya, walaupun itu adalah meminta dalam hal tali sendal yang terputus.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya. Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim). Yaitu mintalah pada Allah walaupun dalam perkara sepele sekalipun, jangan sampai engkau melupakan-Nya. Misalnya: ketika engkau ingin berwudhu atau melaksanakan shalat, bergerak ke kanan dan ke kiri, atau mungkin ingin meletakkan sesuatu, maka pada saat itu jangan lupa untuk meminta tolong pada Allah. Karena seandainya tanpa pertolongan-Nya, niscaya sedikit pun tidak akan engkau raih.
Teruslah Melakukan Suatu Amalan Hingga Usai
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lagi: Wa laa ta’jiz, yakni janganlah engkau lemah. Yang dimaksudkan di sini adalah hendaknya seseorang terus melakukan amalan tersebut hingga selesai, janganlah menunda-nundanya, dan janganlah biarkan pekerjaan terlalaikan begitu saja. Janganlah mengatakan bahwa waktu masih panjang. Selama engkau bertekad melakukan sesuatu, yakin bahwa yang dilakukan bermanfaat, lalu engkau meminta pertolongan pada Allah, maka janganlah menunda-nunda melakukannya.
Betapa banyak kita lihat para penuntut ilmu dalam mengkaji agamanya, dia semangat mempelajari satu kitab. Setelah seminggu atau sebulan, dia pun berpindah mempelajari kitab lainnya, padahal kitab yang pertama tadi belum dipelajari hingga usai. Dia mungkin telah melakukan yang bermanfaat dan meminta pertolongan pada Allah, akan tetapi dia begitu ‘ajz (lemah). Apa ‘ajz-nya (lemahnya)? Yaitu dia tidak mampu ajeg dalam mempelajari kitab hingga usai. Karena makna dari hadits: “Janganlah engkau lemah” adalah: Janganlah engkau meninggalkan amalan. Namun setelah engkau tahu bahwa perkara tersebut bermanfaat, hendaklah engkau terus melakukannya hingga usai.
Perbuatan seperti yang dilakukan di atas cuma berpindah dari satu kitab ke kitab lain, namun tidak mendapatkan faedah apa-apa dan hanya menyia-nyiakan waktu semata.
Jika tidak memperoleh sesuai yang diinginkan, janganlah berkata: “Seandainya akulakukan demikian dan demikian, pasti…”
Lalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’” Maksudnya di sini adalah setelah engkau semangat dan giat melakukan sesuatu, juga engkau tidak lupa meminta pertolongan pada Allah, serta engkau terus melakukan amalan tersebut hingga usai, namun ternyata hasil yang dicapai di luar keinginan, maka janganlah engkau katakan: “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian.” Karena mengenai hasil adalah di luar kemampuanmu. Kamu memang sudah melaksanakan sesuatu prosedur yang diperintahkan, namun Allah pasti tidak terkalahkan dalam setiap putusan-Nya.
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21)
Misalnya: Seseorang ingin melakukan perjalanan jauh dalam rangka mengunjungi saudaranya. Namun di tengah jalan mobil yang dia gunakan rusak. Akhirnya dia pun kembali, lalu berkata: Seandainya aku tadi menggunakan mobil lain tentu tidak akan seperti ini. Kami katakan: Janganlah engkau katakan demikian. Engkau memang sudah giat melakukan amalan tersebut. Seandainya Allah menghendakimu sampai ke tempat tujuan, itu pun karena takdir-Nya. Akan tetapi saat ini, Allah tidak menghendakinya.
Kenapa tidak boleh mengatakan “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, pasti…”?
Jika seseorang telah mencurahkan seluruh usaha untuk melakukan suatu amalan, namun hasil yang diperoleh tidak sesuai keinginan, maka pada saat ini hendaklah ia menyandarkan segala urusannya pada Allah karena hanya Dia-lah yang menakdirkan segalanya. Oleh karena itu, maksud hadits ini adalah: “Jika engkau telah mencurahkan seluruh usahamu, juga tidak lupa meminta pertolongan pada Allah, lalu hasilnya tidak tercapai, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka nanti akan demikian dan demikian’.” Ketetapan mengenai hal ini telah ada, tidak mungkin hal tersebut diubah kembali. Urusan tersebut telah ditetapkan di Lauh Al Mahfuzh sebelum penciptaan langit dan bumi 50.000 tahun yang lalu.
Apa hikmah tidak boleh mengatakan ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan demikian dan demikian’? Hal ini diterangkan dalam perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya, “Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” Maksudnya apa? Yaitu perkataan law (seandainya) dalam keadaan seperti ini akan membuka rasa was-was, sedih, timbul penyesalan, dan kegelisahan. Akibatnya karena rasa sedih semacam ini, engkau pun mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan demikian dan demikian.”
Apakah Semua Perkataan Seandainya Terlarang?
Kata law (seandainya atau andaikata) biasa digunakan dalam beberapa keadaan dengan hukum yang berbeda-beda. Berikut rinciannya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Qoulul Mufid (2/220-221), juga oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Bahjatul Qulub (hal. 28) dan ada beberapa contoh dari kami.
Pertama: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk memprotes syari’at, dalam hal ini hukumnya haram. Contohnya adalah perkataan: “Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap harinya.”
Kedua: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menentang takdir, maka hal ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan kehilangan kesempatan yang bagus ini.”
Ketiga: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk penyesalan, ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak ketiduran, tentu saya tidak akan ketinggalan pesawat tersebut.”
Keempat: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat, maka hukumnya haram. Seperti perkataan orang-orang musyrik:
وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ
“Dan mereka berkata: ‘Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).’” (QS. Az Zukhruf: 20)
Kelima: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk berangan-angan, ini dihukumi sesuai dengan yang diangan-angankan karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan.
Jadi, apabila yang diangan-angankan adalah sesuatu yang jelek dan maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan pelakunya terkena dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat. Misalnya: “Seandainya saya kaya seperti si fulan, tentu setiap hari saya bisa berzina dengan gadis-gadis cantik dan elok.”
Namun, apabila yang dianggan-angankan adalah hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat). Misalnya: “Seandainya saya punya banyak kitab, tentu saya akan lebih paham masalah agama.” Atau kalimat lain: “Seandainya saya punya banyak harta seperti si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak berderma.”
Keenam: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan hanya sekedar pemberitaan, maka ini hukumnya boleh. Contoh: “Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham mengenai jual beli yang terlarang.”
Haruslah Engkau Yakin, Semua Ini Adalah Takdir Allah
Setelah kita berusaha melakukan yang bermanfaat, lalu tidak lupa memohon pertolongan pada Allah dan kita tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, janganlah sampai lisan ini mengatakan: “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, …” Oleh karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah.” Maksudnya adalah ini semua sudah menjadi takdir dan ketetapan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti Dia laksanakan.
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Huud: 107)
Tidak ada seorang pun yang berada di bawah kekuasaan-Nya mencegah kehendak-Nya. Jika Dia menghendaki sesuatu, pasti terjadi.
Akan tetapi, wajib engkau tahu bahwa Allah subhnahu wa ta’ala tidak melainkan sesuatu melainkan ada hikmah di balik itu yang tidak kita ketahui atau pun sebenarnya kita tahu. Yang menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Insan: 30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kehendak Allah berkaitan dengan hikmah dan ilmu. Betapa banyak perkara yang terjadi pada seseorang, namun di balik itu ada akhir yang baik. Sebagaimana pula Allah Ta’ala berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 216)
Banyak cerita mengenai hal ini. Ada sebuah kejadian kecelakaan pesawat terbang di Saudi Arabia yaitu penerbangan Riyadh-Jeddah. Penumpang yang akan menaiki pesawat terbang tersebut adalah lebih dari 300 penumpang. Salah satu pria yang akan menaiki pesawat tersebut pada saat itu sedang menunggu di ruang keberangkatan, namun ketika itu dia tertidur. Kemudian diumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat. Ketika pria yang tertidur itu terbangun, ternyata pintu pesawat telah tertutup kemudian pesawat pun lepas landas. Akhirnya, pria tadi sangat sedih karena ketinggalan pesawat. Kenapa dia bisa ketinggalan pesawat? Namun, Allah memiliki ketetapan yaitu di tengah perjalanan ternyata pesawat tersebut mengalami kecelakaan. Subhanallah, laki-laki tersebut ternyata yang selamat. Awalnya dia sedih dan tidak suka karena ketinggalan pesawat. Namun ternyata hal itu baik baginya.
Oleh karena itu –saudaraku-, jika engkau telah mencurahkan seluruh usaha dan engkau meminta pertolongan pada Allah, namun hasil yang dicapai tidak seperti yang engkau inginkan, janganlah engkau merasa sedih hati. Janganlah engkau mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, pasti akan…” Jika engkau mengatakan seperti ini, maka akan terbukalah pintu setan. Engkau pun akan merasa was-was, gelisah, sedih, dan tidak bahagia. Yang sudah terjadi memang sudah terjadi. Tugasmu hanyalah memasrahkan semua urusanmu pada Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, katakanlah, “Apa yang Allah kehendaki, pasti terlaksana.”
Mengambil Sebab Bukan Berarti Tidak Tawakkal
Hadits ini juga menunjukkan beriman kepada takdir dan ketetapan Allah, di samping itu kita harus melakukan usaha (sebab). Dua hal inilah yang merupakan kaedah pokok yang ditunjukkan dalam dalil yang amat banyak dalam Al Kitab dan As Sunnah. Keadaan agama seseorang tidaklah sempurna melainkan dengan meyakini takdir dan melakukan usaha. Segala macam perkara pun tidak akan sempurna melainkan dengan dua hal ini. Karena maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, …”, ini maksudnya adalah perintah untuk melakukan usaha baik dalam urusan dunia maupun agama.
Dalil yang lain yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:
“Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.” (Darul Falihin, 1/335)
Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.’ Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69)
Tak Pernah Usai
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, “Seandainya, kalau kita menelusuri terus kandungan hadits ini, niscaya kita akan dapati faedah yang amat banyak. Namun itulah manusia, terkadang mereka melanggar wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berharga ini.
Pertama, sebagian kita kurang bersemangat melakukan hal yang bermanfaat baginya, malah semangat jika melakukan hal yang berbahaya atau hal yang tidak ada bahaya dan manfaat. Siang dan malam hanya dia lewati dengan sia-sia, tanpa faedah, dan sirna begitu saja.
Kedua, jika dia memang melakukan hal yang bermanfaat, lalu dia tidak memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan, akhirnya dia akan menyesal. Perlahan-lahan keluar dari lisannya, “Seandainya saya melakukan ini dan ini, pasti akan …” Sikap semacam ini tidaklah tepat. Selama seseorang sudah berusaha melakukan yang bermanfaat baginya dan tidak lupa meminta kemudahan dari Allah untuk menyelesaikan urusan tersebut, maka serahkanlah semuanya pada Allah.”
Referensi:
1.    Bahjatu Qulub Al Abror wa Qurrotu ‘Uyuni Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Maktabah ‘Abdul Mushowwir Muhammad ‘Abdullah, cetakan pertama 1425 H
2.    Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Sholihin, Muhammad ‘Ali bin Muhammad bin ‘Allan Asy Syafi’iy, Asy Syamilah
3.    Qoulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama 1425 H
4.    Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Mawqi’ Jami Al Hadits An Nabawi
5.    Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah
6.    Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Asy Syamilah

[Baca...]



Penulis: Firanda Andirja
Artikel www.firanda.com

Bagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.          Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu 'anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.

[Baca...]



Perbedaan pendapat yang seperti ini banyak jumlahnya.[3]

Adapun perselisihan mereka dalam masalah-msalah hukum (fiqh), maka sangat banyak.

Sekiranya untuk setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh dua muslim lalu keduanya saling hajr, maka tidak akan tersisa bagi kaum muslimin persatuan dan persaudaraan.

Abu Bakr dan 'Umar –yang keduanya adalah pemimpin kaum muslimin- pernah berselisih dalam beberapa masalah, namun mereka tidak menghendaki kecuali kebaikan.

[Baca...]




Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Thursday, 09 December 2010 13:41 administrator
Posted : AFA, 28 april 2011, ma`had imam bukhari jatinangor

Ibnu Taimiyyah berkata, "Hajr yang disyari'atkan ada dua. Pertama, maknanya adalah meninggalkan kemungkaran. Kedua, memberi hukuman kepada pelaku kemungkaran.

Hajr Jenis Pertama: Meninggalkan Kemungkaran.

Allah berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

"Dan apabila kalian melihat orang-orang yang memperolok-olokan ayat-ayat Kami maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kalian lupa (akan larangan ini), maka janganlah kalian duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)." (al-An’aam: 68)


[Baca...]



Bagian-2
Oleh : Ust. Firanda Andirja
Uwais di sisi Allah memiliki kedudukan yang tinggi dan hal yang menyebabkan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya tersebut. Sikapnya yang berbakti kepada ibunya menjadikannya seorang yang dikabulkan doanya. Nabi tidak menyebutkan amalan lain yang dilakukan oleh Uwais kecuali bahwasanya ia berbakti kepada ibunya. Hal ini menunjukan sikapnya yang berbakti kepada ibunya merupakan salah satu sebab utama yang menjadikannya menjadi tabi’in yang terbaik. Wallahu A’lam.

[Baca...]