Wudhu’ Bagi Wanita yang Terus Keluar Cairan

Soal:
Apablia seorang wanita yang terus-menerus keluar cairan dari dirinya berwudhu untuk shalat fardhu, apakah sah baginya melakukan shalat sunat sesuka hatinya atau membaca Al-Qur’an dengan wudhu untuk shalat fardhu tersebut sehingga masuk waktu fardhu yang selanjutnya?

Jawab:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:
Jika berwudhu untuk shalat fardhu pada permulaan waktu, maka boleh baginya melakukan shalat fardhu dan sunat sesukanya, juga membaca Al-Qur’an, hingga masuk waktu shalat yang lain.[]
Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 29 pertanyaan ke-28.

Hukum Cairan yang Keluar dari Kewanitaan

Soal:
Apakah cairan yang keluar dari wanita, putih ataupun kuning, ltu suci atau najis? Dan apakah karenanya dla wajib berwudhu, karena cairan tersebut keluar terus menerus? Apa pula hukumnya jika terputus-putus, khususnya sebagian besar kaum wanita yang sedang belajar mereka menganggap hal ltu sebagai kelembaban alami (wajar) yang tidak perlu berwudhu karenanya?

Jawab:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:
Setelah diadakan penelitian, menurut saya bahwa cairan yang keluar dari wanita jika bukan dari kandung kemih, tetapi dari rahim adalah suci. Namun, sekalipun suci, membatalkan wudhu. Karena sesuatu yang membatalkan wudhu tidak disyaratkan sebagai sesuatu yang najis.

Misalnya, angin yang keluar dari dubur dan tak berbentuk, tetapi membatalkan wudhu. Atas dasar ini, jika keluar dari wanita cairan sedangkan ia dalam keadaan berwudhu, maka batallah wudhunya dan dia harus memperbaharuinya.

Jika cairan itu terus menerus, tidak membatalkan wudhu.
Tetapi hendaklah dia berwudhu untuk shalat bilamana masuk waktunya.
Dengan wudhu ini dia boleh mengerjakan shalat fardhu maupun sunat serta membaca Al-Qur’an dan melakukan apa saja yang diperbolehkan sesuka hatinya. Hal ini sebagaimana pendapat ulama tentang orang yang mempunyai penyakit beser.

Inilah hukum cairan itu, dari segi kesuciannya adalah suci, tapi dari segi membatalkan wudhu cairan itu membatalkan wudhu. Kecuali cairan yang terus-menerus keluar, hal ini tidak membatalkan wudhu.Namun, hendaklah wanita yang menderita hal ini tidak berwudhu untuk shalat kecuali setelah masuk waktu dan supaya menahan cairan. Adapun jika cairan itu keluarnya terputus-putus, dan biasanya terputus pada waktu-waktu shalat,maka supaya mengundurkan shalat sampai waktu terputusnya cairan selama tidak dikhawatirkan habis waktunya. Apabila dikhawatirkan habis waktu shalat, maka hendaklah berwudhu dan menahan cairan, kemudiansbalat.

Tidak ada bedanya antara yang sedikit dengan yang banyak karena semuanya keluar dari kemaluan, karena itu sedikit maupun banyak tetap membatalkan. Berbeda halnya dengan cairan yang keluar dari bagian tubuh lainnya seperti darah dan muntah, ini tidak membatalkan wudhu baik sedikit ataupun banyak.
Adapun apa yang diyakini oleh sebagian kaum wanita bahwa cairan tadi tidak membatalkan wudhu, maka saya tidak tahu dasarnya, kecuali pendapat Ibnu Hazm rahimahullah bahwa cairan ini tidak membatalkan wudhu.Namun beliau tidak menyebutkan satu dalil pun. Andaikata ada dalilnya dari Al-Qur’an dan Sunnah atau perkataan sahabat niscaya dapat dijadikan hujjah.
Seorang wanita hendaklah bertakwa kepada Allah dan senantiasa menjaga kesucian dirinya. Karena shalat tidak akan diterima tanpa kesucian, walaupun seratus kali. Bahkan menurut sebagian ulama bahwa orang yang shalat tanpa kesucian adalah kafir karena ini merupakan tindakan menghina ayat-ayat Allah azza wa jalla.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal.27-29 pertanyaan ke-27.


[Baca...]



GURU SPIRITUAL DAN PEDUKUNAN TERMASUK TENTARA IBLIS

Bagian 1 : Iblis dan Balatentaranya
Abu Ishaq al-Huwaini al-Atsari
Terjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2013 – 1434, islamhouse.com

Di riwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: "Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
"Sesungguhnya Iblis mempunyai kerajaan di atas lautan, lalu mengutus bala tentaranya (dengan tujuan menyesatkan manusia) keseluruh penjuru. Dan bala tentara yang bisa dekat dengan sang raja adalah mereka yang bisa meraih prestasi paling hebat, yaitu yang paling besar peranannya dalam menyesatkan manusia.

Pada suatu ketika datang salah seorang tentaranya, lalu melapor pada panglimannya:
"Saya telah berhasil melakukan ini dan itu".
Lalu di jawab: "Oh kamu belum ada apa-apanya, tidak ada yang wah darimu!

Yang kedua datang, lalu segera melapor: "Tidaklah saya tinggalkan dua pasangan suami istri melainkan mereka berdua sudah saling berpisah (cerai)". Maka sang raja mengatakan: "Suruh ia menghadapku". Tatkala sudah di hadapannya ia memujinya: "Sebaik-baik tentara adalah kamu!.
       
Berkata al-A'masy: "Saya mengira beliau mengatakan: "Lalu tentara itu di jadikan sebagai panglima".
Hadits ini shahih, di riwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad.

RASULALLAH BERSAMA IFRIT YANG MENGGANGGU SHOLATNYA
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
"Sesungguhnya Ifrit dari kalangan jin, Kemarin malam berusaha untuk memutus sholatku. Tapi Allah Shubhanahu wa ta’alla menolongku, maka aku cekik lehernya kuat-kuat, aku ingin ikat dirinya di salah satu tiang, dari tiang-tiang masjid, supaya kalian semua bisa melihatnya. Namun aku teringat perkataan saudaraku Sulaiman, yang mengatakan:
قال الله تعالى :  ﴿ قَالَ رَبِّ ٱغۡفِرۡ لِي وَهَبۡ لِي مُلۡكٗا لَّا يَنۢبَغِي لِأَحَد مِّنۢ بَعۡدِيٓۖ (سورة ص 35).
"Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku".  (QS Shaad: 35).

Lalu Allah Shubhanahu wa ta’alla membiarkan dirinya dalam keadaan hina".
Hadits ini shahih, di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Ada juga hadits yang semakna dengan ini, yang di riwayatkan dari Abu Darda radhiyallahu 'anhu.


Bagian 2 : HUKUM PERDUKUNAN, RAMALAN, dan MANTRA
(Serial Soal Jawab Aiqdah)
Oleh Syaikh Hafizh al Hakami, penerjemah: Abu Fahmi Ahmad

177. Tanya:
Bagaimana hukum yang berlaku bagi tukang tenung?
Jawab:
Tukang tenung (kuhhaan) adalah thaghut atau wali syaithan yang senantiasa menggoda manusia sebagaimana firman Allah berikut:
“... Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya ...” (Al An’aam: 121).
Syaithan turun seraya membisikkan kepada mereka dengan mengajarkan satu kalimat dan bersamaan dengan itu, syaithan telah mendustakan seratus kebohongan, sebagaimana telah difirmankan Allah:
“Apakah akan aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan- syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.”(Asy Syu’araa: 221-223).
Ketika mengomentari surat Al An’aam: 121 diatas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Sebenarnya ada dua macam bisikan, yaitu wahyu yang berasal dari Allah dan wahyu yang berasal dari syaithan. Wahyu dari Allah turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan wahyu (bisikan) syaithan turun kepada pengikutnya (wali-walinya).”
Melalui sabdanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjelaskan tentang bisikan yang datang dari syaithan tersebut:
“Maka mendengarkan syaithan pencuri berita dan yang lain begitu pula, sehingga sebagian meneruskan kepada sebagian yang lain dan sampailah bisikan syaithan itu kepada pengikut yang kemudian sampailah bisikan itu kepada tukang-tukang sihir dan tenung. Mungkin syaithan pencuri berita itu tertimpa meteor (bintang) pembakar sebelum sempat menyampaikannya. Mungkin disampaikannya sebelum berhasil mencuri lalu dia berbohong dan dengan begitu, tersebarlah seratus kebohongan.”

178.Tanya:
Bagaimana hukum orang yang mempercayai ucapan dukun?
Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
Katakanlah: ‘tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’ ...”(An Naml: 65).
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri ...”(Al An’aam: 59).
“Apakah Dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib, sehingga Dia mengetahui (apa yang dikatakan)?”(An Najm: 35).
“Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang gaib lalu mereka menuliskannya?”(Ath Thuur: 41).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung (peramal) atau dukun sehingga dia membenarkan (mempercayai) apa yang dikatakan, maka dia itu kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”(Muttafaq ‘alaih).
“Siapa yang mendatangi tukang tenung (ramal), lalu dia menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.”(HR. Muslim).


179.Tanya:
Bagaimana hukum mempercayai ramalan bintang?
Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut ...”(Al An’aam: 97).
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.”(Al Mulk: 5).
“... dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya ...”(An Nahl: 12).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang mempelajari sebagian ramalan bintang, maka dia sama dengan mempelajari sebagian ilmu sihir. Bertambahnya (syirik) sesuai dengan sejauh mana larutnya dalam ilmu tersebut.”
“Yang aku takuti hanyalah membenarkan bintang-bintang, mendustakan taqdir, dan munculnya imam-imam yang zhalim/aniaya.”
Kepada kaum yang menulis sumber-sumber kebathilan dan merenungkan masalah bintang, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku tidak melihat bahwa perbuatan seperti itu ada manfaatnya disisi Allah, kecuali hanyalah sia-sia belaka.”
Qatadah rahimahullah pun berkata, “Allah menciptakan bintang-bintang itu untuk tiga keperluan, yaitu hiasan bagi langit, pelempar syaithan, dan sebagai petunjuk bagi para pelaut dan astronom, maka siapa yang menta’wilkan bintang dalam hal yang diluar tadi, dia telah bernasib malang dan menyandarkan nasibnya serta membebani diri dengan sesuatu yang tak ada dasar ilmu baginya.”

180.Tanya:
Bagaimana hukum meminta hujan kepada bintang?
Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Kamu mengganti rezki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.”(Al Waaqi’ah: 82).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:
“Ada empat perkara dikalangan ummatku yang termasuk sifat-sifat jahiliyyah yang tidak mereka tinggalkan, yaitu menyombongkan kedudukan, mencela keturunan, memohon hujan kepada guntur dan petir, dan meratapi (orang yang mati). Dalam perkara ini, jika belum bertaubat sebelum matinya, maka besok pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai pakaian dari aspal dan memakai baju yang berupa kudis.”(HR. Muslim, dengan sanad Abi Malik Al Asy’ari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda bahwa Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Hamba-hambaKu bisa menjadi beriman terhadapKu dan bisa pula kafir terhadapKu. Maka adapun orang yang berkata bahwa hujan yang turun pada kami ini sebagai anugerah Allah, maka ia beriman kepadaKi dan kafir terhadap bintang-bintang. Dan adapun orang yang berkata bahwa hujan yang turun kepada kami ini karena (kedudukan atau adanya gugusan) bintang tertentu, maka ia telah kafir terhadapKu dan berfirman kepada bintang-bintang.”

181.Tanya:
Apa hukumnya mempercayai suara burung sebagai bentuk kesialan (tathayyur)?
Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“... Ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raaf: 131).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tak ada penularan (penyakit), tak ada penentu alamat baik dan buruk, tak ada burung hantu pembawa kesialan, dan tiada burung elang (pembawa kesialan).”(HR. Muslim).
“Percaya pada suara burung (sebagai penentu kesialan) itu syirik, percaya pada suara burung (sebagai penentu kesialan) itu syirik.”
Bagaimana penebus dosanya jika seseorang telah terlanjur percaya kepada peristiwa dibalik suara burung? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Katakan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kebaikan (yang datang dari) sisiMu dan tiada penentu nasib sial kecuali yang ditetapkan dari sisiMu, dan tidak ada ilah yang haq untuk diibadahi selain Engkau.’
Jika seseorang dari kamu melihat sesuatu yang tidak ia sukai, maka bacalah: ‘Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang dapat menolak keburukan kecuali Engkau, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Engkau.”

182.Tanya:
Apa hukum mengobati pengaruh ketajaman mata (al ‘ain) dengan bacaan-bacaan (ruqyah)?
Jawab:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Pengaruh ketajaman mata itu benar adanya.”

Dari Ummu Salamag radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat, ada seorang hamba sahaya perempuan yang mukanya terlihat bercak hitam, beliau bersabda:
“Dia terkena pengaruh ketajaman mata. Karena itu, mantrailah (ruqyahlah) dia.”(HR. Muslim).
Aisyah radhiyallahu ‘anha pun mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan memantrai (meruqyah) penyakit mata sebagaimana sabdanya berikut ini:
“Tidak ada mantra (ruqyah) kecuali untuk penyakit mata atau demam.”(HR. Muslim).

Menurut hadits Muslim dari Anas radhiyallahu ‘anhu, luka akibat gigitan serangga pun apat diobati melalui mantra-mantra/ruqyah. Hadits-hadits tersebut dijamin keshahihannya. Yang jelas, tak ada pengaruh khasiat kecuali atas izin Allah. Hal itu sesuai dengan penafsiran para ulama salaf dalam menafsirkan ayat:
“Dan Sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al Quran dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila’.” (Al Qalam: 51).


Bagian 3 : Fatwa MUI soal Larangan Perdukunan dan Peramalan
JAKARTA (voa-islam.com) 23 April 2013

Pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengelurkan Fatwa Tentang Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah). Fatwa MUI bernomor: 2/MUNAS VII/MUI/6/2005 itu di keluarkan saat Musyawarah Nasional MUI VII, pada 26-29 Juli 2005 lalu.
Setelah menimbang,  akhir-akhir ini semakin banyak praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘irafah) di masyarakat serta semakin marak tayangan media massa, baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan hal tersebut.

Hal tersebut telah meresahkan umat dan dapat membawa masyarakat kepada perbuatan syirik (menyekutukan Allah), dosa paling besar yang tidak diampuni Allah SWT.
Untuk menjaga kemurnian tauhid dan menghindarkan masyarakat dari aktivitas yang dapat membawa kepada kemusyrikan, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Perdukunan (kahanah) dan Peramalan (‘iraafah) untuk dijadikan pedoman.

Mengingat Firman Allah Swt : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An Nisa’ [4] : 48)
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. (QS. An Nisa’ [4] : 116)
 “… Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-seolah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh”. (QS. Al Hajj [22] : 31)

Sedangkan  mengacu Hadits Nabi Saw antara lain: “Orang yang mendatangi tukang ramal (paranormal) kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 malam” (HR. Muslim & Ahmad dari sebagian istri Nabi [Hafshah])
“Orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian membenarkan apa yang dikatakannya maka orang tersebut telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Saw”. (HR. Ahmad & al Hakim dari Abu Hurairah)

“Orang yang mendatangi (bersetubuh dengan) istri yang sedang haid, atau (bersetubuh dengan) istri dari duburnya atau mendatangi dukun kemudian membenarkan apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya orang tersebut telah lepas (kafir) dari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Saw”. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud & Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Dari Abu Mas’ud, Rasulullah Saw melarang pemanfaatan harga jual beli anjing, bayaran pelacuran (perzinahan) dan upah dukun. (HR. Bukhari & Muslim dari Abu Mas’ud)

“Kunci perkara ghaib itu ada lima, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya melainkan
Allah Ta’ala; (1) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok selain Allah Ta’ala, (2) tidak ada seorang pun mengetahui apa yang ada di dalam kandungan selain Allah Ta’ala, (3) tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat selain Allah Ta’ala, (4) tidak ada seorang pun yang mengetahui di bumi mana dia akan mati selain Allah Ta’ala, dan (5) tidak seorang yang mengetahui kapan hujan akan turun selain Allah Ta’ala”. (HR. Bukhari & Ahmad dari Ibnu Umar)

“Orang yang menggantungkan (memakai) jimat maka dia telah melakukan perbuatan syirik”. (HR. Ahmad, Thabrani & Al Hakim dari Uqbah bin Amir al-Juhany)
Adapun kaidah fiqihnya adalah,  “Segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka jalan (wasilah) itu juga haram”. “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan daripada menarik kemashlahatan”.
Fatwa MUI
Setelah memperhatikan Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005, MUI menetapkan  Fatwa tentang Pedukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Iraafah). Fatwa yang ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 28 Juli 2005, dan ditandatangani oleh Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa, dengan Ketua KH. Ma'ruf Amin dan Sekretaris Drs. Hasanuddin, M.Ag, itu memutuskan:

Pertama, segala bentuk praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) hukumnya haram.
Kedua, mempublikasikan praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) dalam bentuk apapun hukumnya haram.
Ketiga, memanfaatkan, menggunakan dan/atau mempercayai segala praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) hukumnya haram. [desastian]



[Baca...]



Gadai dalam Fikih Islam (Bagian Pertama dari 3 Seri Tulisan)
Islam adalah agama yang lengkap dan telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, secara sempurna. Setiap orang mesti memerlukan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.
Karena itulah, sangat perlu sekali bagi kita untuk mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya adalah dalam interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ke tangan yang lain.
Suburnya usaha pegadaian
Utang-piutang, terkadang, tidak dapat dihindari. Padahal, banyak fenomena ketidakpercayaan yang bermunculan di tengah manusia, khususnya di zaman ini. Akhirnya, orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Realita yang ada tidak dapat dipungkiri; suburnya usaha-usaha pegadaian, baik yang dikelola oleh pemerintah atau yang dikelola oleh pihak swasta, menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai-menggadai ini. Ironisnya, banyak orang muslim yang belum mengenal aturan indah dan keadilan Islam mengenai hal ini. Padahal, perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka. Sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadilah kezaliman dan sikap saling memakan harta saudaranya dengan jalan yang batil.
Kali ini, kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat, yang meliputi beberapa sub-bab yang akan diuraikan dalam tiga seri tulisan. Selamat membaca!
Definisi ar-rahn
Kata "rahn", dalam bahasa Arab, memiliki pengertian 'tetap dan kontinyu'.[1] Dikatakan "المَاءُ الرَّاهِنُ", apabila 'tidak mengalir' dan kata "نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ" bermakna 'nikmat yang tidak putus'. Ada yang menyatakan bahwa kata "rahn" bermakna 'tertahan', dengan dasar firman Allah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya." (Q.S. Al-Muddatstsir:38)
Kata "rahinah" bermakna 'tertahan'. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. [2]
Ibnu Faris menyatakan, "Huruf ra', ha', dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini, terbentuklah kata 'ar-rahn' yaitu 'sesuatu yang digadaikan'." [3]
Adapun definisi "rahn", dalam istilah syariat, dijelaskan oleh para ulama dengan ungkapan, "Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, sehingga utang dilunasi dengan menggunakan jaminan tersebut, ketika orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." [4]
Terdapat juga definisi lain, "Harta benda yang dijadikan jaminan utang agar (utang tersebut) dilunasi dengan nilai barang jaminan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." [5]
Ada definisi lain pula, "Memberikan harta sebagai jaminan utang agar harta atau nilai harta itu digunakan sebagai pelunasan utang bila pihak yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." [6]
Adapun Syekh Al-Basaam mendefinisikan "ar-rahn" sebagai 'jaminan utang dengan barang, yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya'. [7]
Hukum ar-rahn
Sistem utang-piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Alquran, Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Dalil dari Alquran adalah firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
"Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah pihak yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Rabb-nya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa saja yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala perbuatan yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Baqarah:283)
Ayat ini--walaupun ada pernyataan "dalam perjalanan"--namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata "dalam perjalanan" pada ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasa memerlukan sistem ini. Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin, Aisyah, dalam pernyataan beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
"Sesungguhnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besi beliau." (H.R. Al-Bukhari, no. 2513; Muslim, no. 1603)
Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan ar-rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan), namun mereka masih berselisih pendapat tentang kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al-Qurthubi menyatakan, "Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Adh-Dhahak, dan Daud (Azh-Zhahiri)." [8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan, "Diperbolehkan untuk melakukan ar-rahn dalam keadaan tidak safar (menetap), sebagaimana diperbolehkannya ar-rahn dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan, 'Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid; ia menyatakan, 'Ar-rahn tidak berlaku, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
'Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberikan piutang).''
Akan tetapi, yang benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, dan sabda beliau,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
'Ar-rahn (barang gadai) itu ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila dia digadaikan; susu hewan yang menyusui itu diminum dengan sebab nafkah, apabila hewan tersebut digadaikan. Nafkah itu wajib diberikan oleh orang yang menunggangi hewan tersebut dan oleh orang yang meminum susunya.' (H.R. Al-Bukhari, no. 2512). Wallahu a'lam." [9]
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, Al-Hafizh Ibnu Hajar, [10] dan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi. [11]
Apakah ar-rahn wajib ada dalam keadaan safar maupun mukim?
Setelah dijelaskan bahwa pensyariatan ar-rahn berlaku dalam keadaan safar (perjalanan), maka tersisa pertanyaan: Apakah ar-rahn itu wajib ada pada muamalah dalam keadaan safar dan mukim, tidak wajib pada seluruhan keadaan tersebut, atau wajib dalam keadaan safar saja?
Para ulama berselisih dalam dua pendapat mengenai hal ini:
1. Ar-rahn tidak wajib ada, baik pada muamalah dalam keadaan safar atau pun dalam keadaan mukim. Inilah pendapat mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah).
Ibnu Qudamah berkata, "Ar-rahn itu tidak wajib ada. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Ia adalah jaminan atas utang, sehingga ia tidak wajib ada, sebagaimana tidak wajibnya dhiman (jaminan pertanggung-jawaban). [12]
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam keadaan mukim di atas, yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga menunjukkan bahwa ar-rahn ini tidak wajib ada.
Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga ia tidak wajib, sebagaimana tidak wajibnya adh-dhiman (jaminan pertanggung-jawaban) dan al-kitabah (penulisan perjanjian utang). Selain itu, juga karena ar-rahn ini ada ketika pihak yang bermuamalah mengalami kesulitan untuk melakukan penulisan perjanjian utang. Bila al-kitabah tidak wajib dilakukan maka demikian juga penggantinya.
2. Ar-rahn wajib ada pada muamalah yang dilakukan dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya.
Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
"Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberikan piutang)."
Mereka menyatakan bahawa kalimat "maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang memberikan piutang)" adalah berita yang bermakna perintah.
Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
"Semua syarat yang tidak ada di Kitabullah maka ia batil, walaupun sebanyak seratus syarat." (H.R. Al-Bukhari).
Mereka menyatakan, "Pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar ada dalam Alquran, dan itu diperintahkan, sehingga kita wajib mengamalkannya, dan dia tidak disyaratkan ada (pada muamalah yang berlangsung) dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak (tidak diamalkan pada keadaan mukim, ed.).
Pendapat ini dapat dibantah dengan argumentasi: bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud memberikan bimbingan, bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
"Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah pihak yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya)." (Q.S. Al-Baqarah:283)
Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah kebolehan (mubah) yang tetap berlaku, hingga ada larangannya; dan di sini tidak ada larangan yang berlaku. [13]
Yang rajih adalah pendapat pertama. Wallahu a'lam.
Bersambung, insya Allah ....
Catatan kaki:
[1] Lihat Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 4:460.
[2] Lisan Al-Arab, kata: rahana; dinukil dari Al-Fiqh Al-Muyassarah, Qismul Mu'amalah, hlm. 115.
[3] Mu'jam Maqayis Al-Lughah, 2:452; dinukil dari Abhats Hai'at Kibar Al-Ulama bil Mamlakah Al-Arabiyah As-Su'udiyah, 6:102.
[4] Lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzab, 12:299--300.
[5] Lihat Al-Mughni, 6:443.
[6] Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al-Aziz.
[7] Taudhih Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, 4:460.
[8] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:107.
[9] Lihat Al-Mughni, 6:444 dan Taudhih Al-Ahkam, 4:460.
[10] Fathul Bari, 5:140.
[11] Adhwa' Al-Bayan, 1:228.
[12] Al-Mughni, 6:444.
[13] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:112--112.
Artikel www.PengusahaMuslim.com

[Baca...]