27
Oct 2014 Penulis:
Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.
Segala
puji bagi Allah, Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada Nabi
kita Muhammad , keluarganya yang suci dan para sahabat beliau yang
terbaik. Waba’du:
Kita
Ahlussunnah mengenal Asyura adalah hari puasa pada tanggal 10 Muharram yang
keutamaannya bisa menghapus dosa setahun yang lalu. Sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Dua
bid’ah di hari Asyura
Namun
qaddarallahu, Asyura’ juga bertepatan dengan mati syahidnya Husain radhiallahu’anhu.
Ini tentu musibah besar, meski kalah besar dengan terbunuhnya Ali, Utsman, Umar
radhiyallahu’anhum. Maka dalam hal ini, ada dua kelompok dari umat Islam
yang menyimpang dari sunnah:
Kelompok
pertama
menjadikan Asyura’ sebagai hari meratap dan menyiksa diri, dengan cara
memukul-mukul kepala dan dada dengan tangan sambil menyanyi dengan nyanyian
ratapan. Atau dengan memukul punggung dengan rantai dan pedang, dan melukai
kepala dengan pisau atau pedang sampai berdarah lalu dipukul-pukul biar darah
banyak mengalir dan biar pahala pun mengalir. Kelompok ini adalah kelompok
Syiah yang di Indonesia menamakan diri sebagai Syiah Ahlul Bait lalu disingkat
Ahlul Bait atau Jamaah Ahlul Bait. Tentu penamaan ini salah dan melecehkan
istilah Ahlul Bait yang sangat dicintai oleh Ahlussunnah.
Kedua
adalah kelompok Nawashib yaitu musuh-musuh keluarga Nabi yang
senang dengan wafatnya Husain sehingga mereka menjadikannya sebagai hari pesta
dan kenduri.
Artikel ini
khusus mengupas tentang Syiah yang mengaku sebagai pengikut Ahlul Bait, namun
ternyata mereka justru merusak nama Ahlul Bait. Mengapa demikian? Sebab mereka
menjadikan nama Ahlul Bait sebagai topeng untuk menjajakan kebid’ahan dan
kesesatan mereka. Mereka sejatinya tidak mengikuti Ahlul Bait tapi mengikuti
imam-imam yang sesat, yang kebanyakan berasal dari Persia. Setelah sebelumnya
mengikuti ajaran al-wala’ wal bara’ buatan Abdullah bin Saba’ al-Yahudi.
Para
imam Ahlul Bait Menegaskan soal Asyura
Berikut
adalah Kalimat-kalimat dari para Imam Ahlul Bait yang sesungguhnya tentang
masalah ‘Asyura’. Ucapan-ucapan tersebut bersesuaian satu sama lain, dan
bersesuaian dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan
perbuatan para Sahabat Nabi radhiallahu’anhum. Nukilan-nukilan tersebut
sangat banyak. Anda bisa melihatnya pada kitab Man Qatala al-Husain
(Siapakah Yang Membunuh al-Husain?)
Secara
ringkas bisa saya sebutkan sebagai berikut:
Muhammad
bin ‘Ali bin al-Husain yang diberi gelar dengan as-Shaduq (Ibnu
Babawaih al-Qummiy, Syaikhul Muhadditsin (306-381), penulis Kitab Man La
Yahdhuruhul Faqih, dan kitab ‘Ilalus Syarayi’, ia berkata, “Diantara
lafazh-lafazh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang tidak
mungkin diterjang adalah:
«
النِّيَاحَةُ مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ »
“Niyahah
(meratapi mayit) adalah termasuk perbuatan jahiliyah.” (Ibnu Babawaih
al-Qummii, Man La Yahdhuruhul Faqih (4/271-272)).
Ja’far
as-Shadiq
(Abu Abdillah, imam mereka yang ke-6, 83-148 H) dari bapak-bapaknya berkata,
«
نَهَىٰ رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الرَّنَّةِ عِنْدَ
الْمُصِيْبَةِ، وَنَهَىٰ عَنِ النِّيَاحَةِ وَاْلاِسْتِمَاعِ إِلَيْهَا »
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam melarang tangisan pada saat musibah dan
melarang niyahah serta mendengarnya.” (Al-Huri al-‘Amili, Wasailus
Syi’ah (2/915)).
Ali
bin Abu Thalib
(imam pertama, abul Hasan al-Murtadha, 23 SH-40 H) radhiallahu’anhu,
berkata:
ثَلاَثٌ مِنْ أَعْمَالِ
الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَزَالُ فِيْهَا النَّاسُ حَتىَّ تَقُوْمَ السَّاعَةُ:
الاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ وَالطَّعْنُ فِيْ الأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ عَلىَ
الْمَوْتىَ
“Ada
tiga perkara termasuk perbuatan jahiliyah, tidak henti-hentinya manusia berada
di dalamnya hingga terjadinya hari kiamat; meminta hujan dengan bintang,
mencela nasab, dan niyahah atas mayit.” (Al-Majlisi, Biharul Anwar,
(82/101))
Ali
ibn Abi Thalib
berkata: “Siapa yang memukulkan tangannya pada pahanya ketika musibah maka amal
shalihnya menjadi lebur.” (Nahjul Balaghah)].
Ali Ibn Abi Thalib telah berwasiat kepada istrinya Fatimah binti Rasulillah :
“Jika aku mati maka kamu jangan mencakar wajah, jangan meneriakkan kata-kata
celaka, dan jangan menunggui orang yang meretap.” (Man La Yahdhuruhul Faqih,
51).
Imam
Husain bin Ali sendiri telah berwasiat kepada Zainab saudari perempuannya:
“Hai saudariku, aku bersumpah demi Allah, wajib atas kamu memelihara sumpah
ini, jika aku terbunuh maka janganlah kamu merobek bajumu dan jangan mencakar
wajahmu dengan kuku-kukumu, dan jangan meneriakkan kata celaka dan binasa atas
kesyahidanku.” (Abbas al-Qummi, Muntaha al-Amal, 1/248)]
Ja’far as-Shadiq rahimahullah berkata,
«
لاَ يَصْلُحُ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ
يَنْبَغِيْ، وَلَكِنَّ النَّاسُ لاَ يَعْرِفُوْنَ
»
“Tidak
benar berteriak atas mayit, dan tidak layak, akan tetapi manusia tidak
mengetahui.” (al-Kulaini, al-Kafi (2/226)
Dia juga berkata,
«
لاَ يَنْبَغِيْ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ
بِشَقِّ الثِّيَابِ »
“Tidak
layak berteriak (histeris) atas mayit, dan tidak layak pula merobek-robek
baju.” (al-Kafi, 3/225)
Dari
Fadhl bin Muyassir, dia berkata, ‘Dulu kami berada di sisi Abu ‘Abdillah
(Ja’far as-Shadiq), kemudian datang seorang laki-laki yang mengeluhkan
musibah yang menimpanya, maka Abu ‘Abdillah berkata kepadanya:
«
أَمَّا إِنَّكَ إِنْ تَصْبِرْ تُؤْجَرْ، وَإِلاَّ
تَصْبِرْ يُمْضِى عَلَيْكَ قَدَرُ اللهِ الَّذِيْ قُدِّرَ عَلَيْكَ وَأَنْتَ مَأْزُوْرٌ »
“Adapun
kamu, jika kamu bersabar, kamu akan diberi pahala, dan jika tidak bersabar maka
taqdir Allah yang telah ditaqdirkan atasmu tetap berlaku atasmu sedang kamu
diberi dosa.” (al-Kafi, (3225))
Perhatikanlah
wahai para pembaca bahwa kewajiban yang dilakukan saat tertimpa musibah adalah bersabar
dan berharap pahala, tidak dengan berkeluh kesah dan berkeberatan. Karena
tidak mungkin merubah musibah sedikitpun, karena telah terjadi, selesai dan
telah berlalu padanya putusan Allah Ta’ala. Sabar atau tidak sabar,
orang yang diuji tersebut tidak akan bisa merubah sesuatu. Akan tetapi jika dia
bersabar dia akan diberi pahala dan berhasil meraih pahala, namun jika dia
tidak bersabar dan marah, maka dia berdosa dan kehilangan pahala serta tidak
bisa merubah sesuatu.
Selama
14 abad, manfaat apa yang kita peroleh dari tangisan, memukul-mukul kepala dan
dada, dan menyakiti diri sendiri, dan bahkan kadang membunuhnya?! Yang kemudian
musibah tersebut berubah menjadi dua musibah; terbunuhnya al-Husain radhiallahu’anhu,
menyakiti diri sendiri, dan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah
dan juga dilarang oleh para Imam.
Jadi,
larangan tersebut telah valid dari para imam Syi’ah, juga telah shahih dari
para Imam Ahlussunnah. Di antara ulama Ahlussunnah yang menyatakan masalah ini
adalah:
Hari
Asyura Menurut Syaikhul Islam
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya
tentang apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ‘Asyura'(10
Muharram) yang berupa bercelak, mandi, memakai hina’ (pewarna
tangan, pacar), saling berjabat-tangan, menampakkan kegembiraan, apakah ini ada
asal yang shahih di dalam agama ini? Ataukah itu adalah sebuah bid’ah? Demikian
pula yang dilakukan oleh sebagian manusia dalam perkumpulan kesedihan,
kerinduan, nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan orang yang sudah mati di
hadapan umum), niyahah (meratap), dan merobek-robek baju, apakah itu
semua memiliki asal?!
Maka
beliau rahimahullah menjawab, “Alhamdulillâh rabbil
‘âlamîn, tidak ada satu hadits shahihpun dari semua itu yang diriwayatkan
dari Nabi , tidak juga dari para sahabat beliau, dan tidak ada satupun di
antara para imam kaum muslimin yang menganggapnya baik, tidak imam empat tidak
juga yang lain. Para pemilik kita-kitab yang menjadi pegangan tidak pernah meriwayatkan
hal tersebut, tidak dari Nabi , tidak dari para sahabat, tidak juga dari para
tabi’in, tidak yang shahih, maupun yang dha’if, tidak pada kitab-kitab shahih,
tidak pada kitab-kitab sunan, tidak juga pada kitab-kitab musnad. Hadits-hadits
tersebut tidak ada satupun yang dikenal pada masa-masa yang paling diutamakan.”
(al-Fatawa al-Kubra (1/194)).
Karena
inilah maka kita ahlussunnah wal jama’ah menolak dengan keras bentuk
perayaan atau pesta apapun pada hari-hari di bulan Muharram, terutama pada
hari kesepuluh (hari Asyura`), karena hal itu bukanlah hari raya, tidak
dirayakan, dan bahkan kami berkeyakinan bahwa merayakannya adalah menyalahi
sunnah Nabi dan sunnah Khulafaurrasyidin. Inilah yang disebutkan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam pertanyaan terdahulu.
Berkaitan
dengan terbunuhnya Husain radhiallahu’anhu, maka kita berkeyakinan
bahwa al-Husain radhiallahu’anhu telah terbunuh dalam
keadaan terzhalimi, dan sebagai syahid, dan tidak ada keragu-raguan dalam
hal itu. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Adapun orang yang telah membunuh al-Husain radhiallahu’anhu atau
yang membantu pembunuhannya, atau ridha dengan hal itu, maka wajib atasnya
laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Ibnu Taimiyah, Majum’
al-Fatawa (4/487))
Inilah
sikap beliau terhadap al-Husain radhiallahu’anhu dan terhadap
orang-orang yang membunuhnya.
Puasa
Asyura dan Keutamaannya
Mengenai
puasa Asyura` ahlussunnah waljama’ah berpandangan bahwa itu adalah sunnah.Telah
shahih dari Nabi , juga telah shahih dari pihak syi’ah dengan periwayatan para
Imam.
Telah
shahih bahwa Nabi mendapati orang-orang Yahudi Madinah menjadikan hari Asyura
sebagai hari puasa dan hari raya (pesta). Orang-orang Khaibar merayakan dengan
memakaikan perhiasan-perhiasan kepada para wanitanya, maka Rasulullah
memerintahkan kaum muslimin agar puasa saja tanpa hari raya pada tanggal 10,
dan ditambah dengan hari sebelumnya yaitu tanggal 9 (HR. Bukhari: 1980, 1981;
Muslim: 2613, 2614, 2619, 2620).
Nabi
mengabarkan bahwa puasa hari Asyura akan menghapuskan dosa satu tahun yang
lalu. (HR. Muslim: 2700)]
5
hal yang menyedihkan
Pertama; bahwa
riwayat-riwayat tentang puasa tersebut tidak pernah disebut oleh ulama-ulama
syiah.
Kedua: mereka juga tidak
pernah menyebut kapan dimulainya acara ratapan Husainiyyah yang tidak pernah
dilakukan oleh para Imam tersebut.
Ketiga: saat mereka menyebut
tragedi Karbala, kisah mati syahidnya al-Husain radhiallahu’anhu dan
ahlul Bait yang lain mereka banyak melakukan pemutar balikan fakta, melalui
riwayat-riwayat yang lemah dan atau palsu!!
Sebenarnya
pembunuh al-Husain radhiallahu’anhu adalah orang-orang Kufah
sendiri –semoga Allah memperlakukan merek dengan keadilan-Nya – bukan
selain mereka, tidak ada seorangpun menyertai mereka selain mereka sendiri.
Merekalah yang berdusta terhadap al-Husain radhiallahu’anhu, menipunya,
mengkhianatinya, membiarkannya sendirian, sebagaimana mereka membiarkan
bapaknya (Ali radhiallahu’anhu), dan saudaranya sebelumnya.
Keempat: mereka tidak pernah
menyebut saudara-saudara al-Husain radhiallahu’anhu yang mati
syahid bersamanya di padang Karbala`. Mereka adalah Abu Bakar, Umar,
‘Utsman, putra-putra ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, [juga Abu
Bakar putranya sendiri dan Abu
Bakar
putra Hasan
bin Ali ra] Mengapa…? Bahkan tidak pernah ditemui untuk mereka sekedar
penyebutan atau belas kasihan,
Mengapa
mereka bersikap demikian?
Jawabnya adalah, bahwa tidak
disebutnya nama mereka hanyalah kekhawatiran terhadap pertanyaan orang-orang
awam syi’ah, “Mengapa Imam ‘Ali menamai putra-putranya dengan nama-nama
tersebut (Abu Bakar, Umar dan Usman)? Mengapa Imam Husain dan Imam Hasan
menamai putranya dengan Abu Bakar? Bukankah penamaan menunjukkan akan kecintaan
dan keridhaan?”
Kelima: bahwa umat di zaman
sekarang hidup dalam ujian, musibah, perpecahan, dan kelemahan. Bersamaan
dengan itu Anda akan mendapati bahwa para khatib di mimbar al-Husaini tidak
memiliki apapun untuk disampaikan kecuali mengoyak sejarah, menghidupkan
fitnah, dan membuat-buatnya, serta mengobarkannya, padahal tidak memiliki
landasan yang shahih.
Kita
Menolak Acara Asyura ala Syiah
Sikap
kita, Ahlussunnah terhadap acara ratapan tersebut adalah sebagaimana disebutkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata tentang orang-orang yang
menjadikan ‘Asyura` sebagai acara ratapan nestapa dan nista, “Yang
diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya terhadap musibah –jika
musibah itu baru terjadi- adalah hanya bersabar, ihtisab (berharap
pahala) dan istirjâ’ (mengucapkan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn)…
maka, jika Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk bersabar dan ihtisab
saat musibah baru terjadi, maka bagaimana pula jika musibah itu telah berlalu
sekian lama. Maka menjadikan hari ‘Asyura` sebagai acara kesedihan termasuk
perkara yang dihias-hiasi syetan untuk orang-orang sesat lagi membangkang.
Demikian pula nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan, dalam bentuk ratapan),
dan pelantunan sya’ir-sya’ir sedih. Kedua kelompok tersebut telah melakukan
kesalahan, keluar dari sunnah. Rasulullah , dan Khulafaur Rasyidin tidak
pernah menyunnahkan satu perbuatan dari perbuatan tersebut pada hari ‘Asyura`,
tidak syi’ar-syi’ar kesedihan, tidak juga syi’ar-syi’ar kegembiraan.” (Majmû’ul
Fatawa (25/308-309))
Setelah
ini kita katakan, “Telah banyak para Nabi yang terbunuh, tetapi Rasulullah
tidak pernah melakukan yang seperti itu sama sekali. Demikian pula terbunuh
sejumlah keluarga Nabi , seperti Hamzah, dan Ja’far di zaman Nabi , dan
beliau tidak pernah melakukan sesuatupun untuk keduanya. Beliau juga tidak
membangun kuburan untuk keduanya, tidak juga membuat musim-musim untuk
menziarahinya, tidak juga yang lainnya, padahal keduanya adalah orang yang
sangat utama, dan beliau al-Mushtafa sangat mencintai keduanya, demikian pula
keadaannya terhadap Khadijah radhiallahu’anha.”
Demikian
pula waktu terbunuhnya ‘Ali radhiallahu’anhu, putra-putranya tidak
pernah melakukan sesuatupun, termasuk yang paling utama di antara mereka adalah
al-Hasan dan al-Husain radhiallahu’anhuma. Maka apakah Rasulullah dan
putra-putra ‘Ali radhiallahu’anhu berada di atas kesalahan..?!
Maka
lihatlah wahai para pembaca yang budiman, dengan pandangan tafakkur (perenungan),
i’tibar (pengambilan pelajaran), tidak dengan pandangan kesombongan dan
penentangan!! Ketahuilah bahwa tidak ada bagi anda di akhirat kecuali apa yang
telah anda perbuat di dunia yang berupa amal shalih setelah rahmat Allah Ta’ala.
Aku
memohon kepada Allah agar dengan kalimat-kalimatku ini, Allah Ta’ala
membuka hati-hati yang lalai, serta mata-mata yang buta dan telinga-telinga
yang tuli. Allâhumma âmîn.
Ya
Allah, janganlah Engkau menjadikan kami termasuk orang-orang yang sesat
mengikuti perbuatan mereka di kehidupan dunia, sementara mereka menganggap
bahwa mereka telah berbuat bagus dalam perbuatan mereka.*
—
Penulis:
Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.