Bagian ke-6/7:
ADAB Berdasar pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa (Allah)
Nabi Muhammad saw berhasil membangun peradaban Islam di Madinah, yakni suatu masyarakat yang menegakkan adab dalam kehidupan mereka. Masyarakat beradab – menurut Islam — adalah masyarakat yang memuliakan orang yang berilmu, orang yang shalih, dan orang yang taqwa; bukan orang yang kuasa, banyak harta, keturunan raja, berparas rupawan, dan banyak anak buah.  Karena itu, jika ingin merujuk kepada konsep Islam tentang adab, pemimpin yang baik adalah yang mampu mengembangkan masyarakat yang beradab. Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, derajat orang yang berilmu dan shalih dibedakan dengan derajat para penghibur. Manusia memang sama-sama manusia, tetapi Allah SWT sudah membeda-bedakan harkat dan martabat manusia  sesuai dengan keilmuan, keimanan dan ketaqwaannya. Inilah adab dalam konsep Islam.

Jika konsep ini diletakkan pada sila kedua, logis jika dipahami, sila kedua ini terkait dengan konsep Tauhid pada sila pertama. Analisis ini bukan mengada-ada dan sekedar melegitimasi bahwa Pancasila adalah sesuai dengan Islam. Sejarah dan makna kosa kata-kata dasar dalam Islam menunjukkan, bahwa masuknya istilah dan konsep ”adil” dan ”adab” dalam Dasar Negara RI, bisa dikatakan sebagai hasil perjuangan para tokoh Islam pada waktu itu.
Ketika itu diadakan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan:  (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. 13

Jadi, menurut keputusan Munas Alim ulama tersebut, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bermakna tauhid dan menjiwai sila yang lain. Tauhid di sini juga ditegaskan: ”menurut pengertian keimanan dalam Islam”. Pemahaman bahwa sila pertama ”Ketuhanan Yang  Maha Esa” harus dimaknai sebagai tauhid dalam Islam, bukanlah klaim kosong. Para tokoh yang terlibat dalam perumusan Pancasila itu sendiri sudah menegaskan, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa memang harus dimaknai Tauhid. Mohammad Hatta yang giat melobi para tokoh Islam agar rela menghapus tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya), dari sila pertama dan menggantinya dengan ”Yang Maha Esa” menegaskan, bahwa pengertian ”Ketuhanan Yang Maha Esa” memang Tauhid dalam ajaran Islam.  

Sebenarnya, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing, harusnya bangsa Indonesia mau bersikap jujur, bahwa rumusan Pancasila yang berlaku sekarang ini, tidaklah terpisahkan dari rumusan Pembukaan UUD 1945, yang kini berlaku kembali sebagai hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, dalam memahami sila Pertama, misalnya, tidak boleh dilepaskan dari alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”. Jadi, sila pertama, menurut berbagai tokoh organisasi Islam,  bisa dikatakan sebagai penegasan konsep Tauhid dalam Islam, sebab dalam alinea ketiga jelas-jelas disebutkan nama Tuhan yang Esa yaitu Allah
Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” 13

Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada  pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut. Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa, Hamka menyatakan:
“Ada yang sebagai orang kecemasan menerangkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang kita cantumkan dalam UUD ’45, pasal 29 itu bukanlah Tuhan sebagai yang diajarkan oleh suatu agama. Ada pula yang menafsirkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu bersumber dari jiwa bangsa Indonesia sendiri, lama sebelum agama Islam datang ke Indonesia. Tafsir-tafsir yang berbagai ragam itu kdaang-kadang dengan tidak disadari telah menyinggung perasaan orang yang beragama, seakan-akan Tuhan sepanjang ajaran agama itu tidaklah boleh dicampur-aduk dengan Tuhan Kenegaraan. Maka, supaya perselisihan ini dapat diredakan, atau sekurang-kurangnya dapat mengembalikan sesuatu kepada proporsinya yang asal, ingat sajalah bahwa dalam Preambule UUD’45 itu telah dituliskan dengan jelas: “atas berkat rahmat Allah”. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.”  14

Tentu saja, ini adalah pemahaman yang sah dari sudut pandangan-dunia Islam, bagi umat Islam. Umat lain dipersilakan memahami sesuai dengan kemauan dan visi mereka sendiri. Tetapi, juga tidak pada tempatnya jika mereka memaksakan pandangan komunis atau sekular (netral agama) kepada umat Islam, dengan menyatakan, bahwa pemahaman yang benar terhadap Pancasila adalah yang netral agama, dan bukan menurut pemahaman satu agama saja. Umat Islam juga akan menghormati jika kaum Kristen menyatakan, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah rumusan konsep Allah-Tritunggal. Itu hak kaum Kristen, yang tentunya juga tidak dapat dipaksakan kepada kaum Muslim.


Bagian ke-7/7,  Tamat) : Kesimpulan
Istilah  “adab” dalam Pancasila sejatinya merupakan salah satu istilah kunci (Islamic basic vocabulary) dalam ajaran Islam.  Masuknya istilah adab dalam sila kedua Pancasila, diduga kuat merupakan buah perjuangan sejumlah tokoh Islam – yang sekaligus pendiri bangsa – terutama empat anggota Panitia Sembilan BPUPK, yaitu KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoeno Tjokrosoejoso, dan  Abdul Kahar Muzakkir.

Karena berasal dari kosa kata Islam, maka seyogyanya istilah “adab” yang sebenarnya juga harus dipahami dalam perspektif pandangan alam (worldview) Islam.  Pemaknaan “adab” dengan sopan-santun, baik budi bahasa, tidak sesuai dengan makna istilah ini sendiri dalam ajaran Islam, yang pada intinya adalah memahami dan mengakui segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah SWT. 

Karena pentingnya penegakan “adab” di tengah masyarakat Muslim, maka  pakar pendidikan dan pemikiran Islam, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sudah mengajukan istilah “ta’dib” untuk suatu proses pendidikan, yang tujuannya adalah membentuk manusia yang beradab, atau manusia yang baik (a good man).  Dengan itu, tujuan pendidikan Islam adalah mencetak manusia yang beradab.   Adalah aneh, meskipun tercantum dalam Pancasila, konsep adab tidak dipahami sebagaimana mestinya.  Karena pentingnya konsep adab ini, maka  sudah saatnya pemerintah dan umat Islam pada umumnya mengacu pada konsep adab dalam penyelenggaraan seluruh tatanan kehidupan, baik individual, sosial, maupun tatanan kenegaraan. Wallahu a’lambil-shawab. (****)


11 Uraian selengkapnya tentang adab bisa dikaji dalam buku Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hal. 118-120. Dalam rumusan lain, al-Attas mendefinisikan: “Adab is recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and one’s physical, intellectual and spiritual capacities and potentials. (alAttas, the Concept of Education in Islam.” (Petaling Jaya: ABIM, 1980), hal. 27.

12 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2003), hal. 150-151.
13 Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Lihat juga, Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH Achmad Siddiq, (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), hal. 118-145.  M. Ali Haidar, dalam bukunya, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), memberikan komentar terhadap keputusan Munas Alim Ulama tersebut: “Penegasan ini sebenarnya bukannya tidak terduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa pemimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan UUD, mereka dapat menerima penghapusan ‘tujuh kata’ yang tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya… Salah seorang yang dipandang Hatta berpengaruh dalam kesepakatan ini ialah Wachid Hasjim, tokoh NU yang memiliki reputasi nasional ketika itu. Jadi rumusan deklarasi itu hakekatnya menegaskan kembali apa yang telah disepakati sejak negara ini baru dilahirkan tanggal 18 Agustus 1945 yang lalu.” (hal. 285-286).

13 Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.

14 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hal. 224.


[Baca...]





Makna Adab Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini

Bagian ke-5/7 : Adab dan Tujuan Pendidikan
Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Naquib al-Attas. Menurut Prof. Naquib, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.”  Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas.

Lebih jauh, Prof. Naquib menjelaskan, bahwa jatuh-bangunnya umat Islam, tergangtung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Lebih jauh, pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu ini menjelaskan:
”Ta’rif adab yang dikemukakan di sini dan yang lahir dari pengertian Islam, dengan sendirinya menjelaskan bukan sahaja harus dia itu ditujukan maksud pengenaannya pada bangsa insani belaka; bahkan dia juga harus dikenakan pada keseluruhan alam tabi’i dan alam ruhani dan alam ilmi. Sebab, adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu. Tiap sesuatu atau seseorang memiliki hak yang meletakkannya pada keadaan atau kedudukan yang sesuai bagin keperluannya. Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya. Apabila faham adab itu dirujukkan kepada sesama insan, maka dia bermaksud pada kesusilaan akhlakiah yang mencarakan kewajiban diri berperangai mengikut keperluan haknya dalam susunan berperingkat darjat yang terencana, umpamanya, dalam keluarga, dalam musharakat, dalam berbagai corak pergaulan kehidupan. Apabila dia dirujukkan pada alam ilmi pula, maka dia bermaksud  pada ketertiban budi menyesuaikan haknya pada rencana susunan berperingkat martabat yang mensifatkan ilmu; umpamanya pengenalan serta pengakuan akan ilmu bahawa dia itu tersusun  taraf keluhuran serta keutamannya, dari yang bersumber pada wahyu ke yang berpunca pada perolehan dan perolahan akal; dari yang fardu ain ke yang fardu kifayah; dari yang merupakan hidayah bagi kehidupan ke yang merupakan kegunaan amali baginya. Dan adab terhadap ilmu itu iaitu mengenali serta mengakui taraf keluhuran serta keutamaan yang terencana pada ilmu, nescaya dapat menghasilkan dalam diri pencapaian yang seksama terhadap meramukan, menurut taraf keperluannya, pelbagai macam ilmu yang membina keadilan dalam diri. Dan keadilan dalam diri itu menyesuaikan haknya pada kewajiban membimbingnya ke arah pengenalan serta pengakuan akan ilmu yang bersumberkan wahyu, yang menyesuaii hak diri jua, dan yang dengannya dapat menjelmakan akibat amali dalam diri sehingga menyelamatkannya dunia-akhirat.” 11

Jadi, seperti ditegaskan oleh Prof. Naquib al-Attas, di dalam Islam, konsep ”adab” memang sangat terkait dengan pemahaman tentang wahyu. Orang beradab adalah yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah.

Di dalam Islam, orang yang tidak mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, bisa dikatakan tidak adil dan tidak beradab. Sebab, di dalam al-Quran, syirik dikatakan sebagai kezaliman besar, seperti dikatakan Lukman kepada anaknya: ”Wahai anakku, janganlah kamu menserikatkan Allah, sesungguhnya syirik adalah   kezaliman yang besar.” (QS 31:13). Adalah tidak beradab mengangkat derajat makhluk ke derajat al-Khalik. Begitu juga menurunkan derajat al-Khalik ke derajat makhluk juga tindakan yang tidak beradab. Orang yang berilmu juga tidak sama derajatnya dengan orang bodoh.  Begitu juga orang mukmin, tidak sama derajatnya dengan orang kafir (QS 98; QS 3:110, 119). Jadi, derajat manusia di hadapan Allah SWT tidaklah sama. Derajat seseorang di hadapan Allah tergantung pada keimanan dan ketaqwaannya.
Konsep adab seperti ini sesuai dengan istilah dan tujuan Pendidikan Islam itu sendiri, yaitu ta’dib dan tujuannya adalah membentuk manusia yang beradab (insan adaby). Prof. Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism, menggariskan tujuan pendidikan dalam Islam tesebut: 
“The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”  12

“Orang baik” atau good man, bisa dikatakan sebagai manusia yang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya. Dengan berpijak kepada konsep adab dalam Islam, maka “manusia yang baik” atau “manusia yang beradab”, adalah manusia yang mengenal Tuhannya, mengenal dan mencintai Nabinya, menjadikan Nabi SAW sebagai uswah hasanah, menghormati para ulama sebagai pewaris Nabi, memahami dan melatakkan ilmu pada tempat yang terhormat – paham mana ilmu yang fardhu ain, dan mana yang fardhu kifayah; juga mana ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang merusak – dan memahami serta mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah fil-ardh dengan baik.



[Baca...]





Makna Adab (Dr. Adian Husaini, ke-3/7
 Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa  Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
أكرموا أولادكم وأحسنوا أدبهم
(Muliakanlah anak-anakmu dan  perbaikilah adab mereka” (HR Ibn Majah)

لأَنْ يُؤَدِّبَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ أَوْ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ كُلَّ يَوْمٍ بِنِصْفِ صَاعٍ ….مسند أحمد
(Jika seseorang mendidik anaknya (menjadikan anaknya beradab), maka itu lebih baik baginya daripada bersedekah setiap harinya setengah sha’) (HR Imam Ahmad)

Istilah “adab” dalam kedua hadits Nabi tersebut identik dengan istilah Pendidikan saat ini. Karena itulah, istilah “adab” juga merupakan salah satu istilah kunci dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Di Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, menulis sebuah buku berjudul  Aadabul ‘Aalim wal-Muta’allim (edisi Indonesia: Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007). Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas secara panjang lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka kitabnya dengan mengutip hadits Rasulullah saw: “Haqqul waladi ‘alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina adabahu.”  (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).
Dikutip juga perkataan sejumlah ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan: “In kaana al-rajulu la-yakhruja fii adabi nafsihi al-siniina tsumma siniina.” (Hendaknya seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun).   

Habib bin as-Syahid suatu ketika menasehati putranya: “Ishhabil fuqahaa-a wa ta’allam minhum adabahum, fainna dzaalika ahabbu ilayya min katsiirin minal hadiitsi.” (Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang demikian itu akan lebih aku cintai daripada banyak hadits.” Ruwaim juga pernah menasehati putranya: “Yaa bunayya ij’al ‘ilmaka milhan wa adabaka daqiiqan.” (Wahai putraku, jadikanlah ilmumu seperti garam dan adabmu sebagai tepung).
Ibn al-Mubarak menyatakan: “Nahnu ilaa qaliilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa katsiirin mina ’ilmi.”  (Mempunyai adab meskipun sedikit lebih kami butuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan).

Suatu ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: ”Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab? Beliau menjawab: Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.”   Beliau ditanya lagi, ”Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, ”Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

Maka, dalam bukunya ini, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan kesimpulan:
”Kaitannya dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain menjelaskan, ”Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah (yakni dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan, jika keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.
Berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw dan keterangan para ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT (sebagai satu amal kebaikan), baik menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah (perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah SWT adalah melalui sejauh mana aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.” 10

Demikianlah penjelasan KH Hasyim Asy’ari tentang makna adab. Menyimak paparan pendiri NU tentang adab tersebut, maka tidak bisa tidak, kata ”adab” memang merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar ”sopan santun” atau baik budi bahasa.  Maka, tentunya sangat masuk akal jika orang Islam memahami kata ”adab” dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami oleh sumber-sumber ajaran Islam dan para ulama Islam. Sebab, memang itu istilah yang sangat khas dalam Islam.
Jika adab hanya dimaknai sebagai ”sopan-santun”, maka bisa-bisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, ”Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’anil  munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak sopan. Banyak yang menganggap entang dosa zina, dan dianggap tidak etis jika masalah itu diangkat ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat ke permukaan.

Islam Memaknai Adab (Dr. Adian Husaini, ke-4/7)
Karena itulah, menurut Islam – sekali lagi menurut ajaran Islam – harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan pada manusia atau budaya. Sebagai contoh, kriteria orang yang mulia, menurut al-Quran adalah orang yang paling taqwa. (Inna akramakum ’indallaahi atqaakum/QS 49:13). Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, kaum Muslim harus menghormati seseorang karena keimanan dan ketaqwaannya; bukan karena jabatannya, kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab, menurut al-Quran. Begitu juga ketika al-Quran memuliakan orang yang berilmu (QS 35:28, 3:7, 58:11),  maka sesuai konsep adab, seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya.

Al-Quran sangat menekankan, bahwa ada perbedaan antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu. Orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya. “Katakanlah, tidaklah sama, orang yang tahu dan orang yang tidak tahu.” (QS 39:9). “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu, beberapa derajat.” (QS 58:11).  

Karena itulah, Allah mengecam keras orang-orang yang tidak menggunakan segala potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu. Orang-orang seperti ini, dalam al- Quran, disamakan derajatnya dengan binatang ternak:  “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai qalb tapi tidak untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7:179).

Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu yang benar sebagaimana digariskan dalam al-Quran ini.  Jika budaya santai, budaya hedonis, budaya jalan pintas, terus dikembangkan, maka hanyalah mimpi saja untuk berangan-angan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang disegani dunia. Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab soerang Muslim senantiasa berdoa: ”Rabbi zidniy ’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai ketentuan Allah SWT. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami oleh kaum Muslim.

Maka, jika ditelaah, adalah sangat masuk akal menghipotesakan, bahwa masuknya kata ”adil” dan ”adab” dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah usulan para tokoh Islam yang duduk dalam Panitia Sembilan. Perlu dicatat, bahwa sebelum Panitia Sembilan bermusyawarah, Soekarno dan Muhammad Yamin sudah mengajukan asas atau dasar ”peri-kemanusiaan” sebagai salah satu asas atau dasar dari Dasar Negara Indonesia. Mengapa, misalnya, sila kedua itu tidak berbunyi: Kemanusiaan yang sopan dan berbudi? Atau Kemanusiaan yang sopan dan santun? Atau, hanya berhenti pada istilah kemanusiaan.  Jika demikian, maka akan sangat mungkin kata ini dimaknai secara fleksibel dan netral agama. Inilah yang secara mendasar digugat oleh Mohammad Natsir dalam pidatonya di Majelis Konstituante, ”Dimana sumber perikemanusiaan itu?”  Bagi yang memegang nilai-nilai relativisme dalam kebenaran dan moral, maka makna ”kemanusiaan” akan memiliki makna yang nisbi dan tidak absolut, tergangung pada tradisi atau kesepakatan suatu masyarakat. Seperti disinggung sebelumnya, jika masyarakat tidak berkeberatan dengan budaya pornografi dan pornoaksi, maka nilai itu akan dianggap sebagai kebenaran. Orang yang menentang tradisi masyarakat tersebut bisa dikatakan manusia tidak beradab. Begitu juga ketika suatu masyarakat menerima praktik pelacuran, perjudian, atau minuman keras, maka itu dianggap sebagai nilai yang benar. Menurut kaum relativis ini, tidak ada nilai yang tetap sepanjang zaman dan sembarang tempat. Nilai selalu berubah. Batasan aurat wanita, misalnya, menurut mereka, tidak ada yang tetap, tetapi berdasarkan budaya setempat. Apa yang sopan dan tidak sopan, ditentukan oleh tradisi dan kesepakatan dan konsensus. Tentu saja, konsep semacam ini sangat berbeda dengan konsep Islam.

 Karena itulah, masuknya kata adil dan adab dalam sila kedua dari Pancasila semakin memperkuat bahwa Pancasila bukanlah konsep yang netral agama. Tampak, pandangan-dunia Islam yang dibawa oleh para tokoh perumusnya, terutama KH Wachid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari), Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosuyoso, cukup mewarnai rumusan Pancasila, sehingga sangat tidak keliru jika umat Islam memberi makna adil dan adab sesuai dengan makna dalam Islam, bukan makna yang netral agama. Sebab, jika istilah adil dan adab diletakkan dalam bingkai atau perspektif pandangan-dunia sekular atau netral agama, maka kata itu juga tidak akan bermakna sesuai dengan makna asalnya. Dengan demikian, adalah tidak fair, tidak adil dan tidak beradab,  jika orang Islam memberi makna adil dan adab dilepaskan dari pandangan-alam Islam. Bisa dipastikan, sebelum Islam masuk ke wilayah Nusantara, kedua istilah tersebut tidak dikenal di wilayah ini. Hingga kini, tidak ditemukan, terjemahan yang tepat dari kata adil dan adab ke dalam bahasa Jawa, Minang, Sunda, Makasar, dan sebagainya.

------------------------
1 Dikutip dari Usman Syihab, Membangun Peradaban dengan Agama, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hal. 77-78.
2 Dikutip dari Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 240- 241.

3 Ibid, hal. 241.
4 Ibid, hal. 241.
5 Ibid, hal. 243.
6 Lebih jauh, lihat, Conferences of Riyad, Paris, Catican City, Geneva, and Strsbourg, on Muslem Doctrine and Human Right in Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1972), hal. 54.
7 Kaelani, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2010, edisi ke-9), hal. 24-27.
8 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1997).
9 Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007), hal. 60.  Secara khusus, Prof. Naquib al-Attas mengingatkan: “Many major key terms in the Islamic basic vocabulary of the languages of Muslim peoples have now been displaced and made to serve absurdly in alien fields of meaning. This modern cultural phenomenon is what is causing the confusion of the Muslim mind. It is a kind of regression towards non-Islamic worldviews; it is what I call the de-islamization of language.” ( S.M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, p.11)
10  K.H. M. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam (terj.), (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007).



[Baca...]