PETAKA BESAR MENIMPA UMMAT :
KARENA TAKLID BUTA DAN FANATISME SEMPIT
Bagian-05, selesai, oleh Abu Fahmi Ahmad

(Lanjutan)
Keempat, Wajib membedakan antara ittiba’ dan taqlid.

Syaikh Syanqithi berkata, “Ketahuilah, bahwa diantara yang harus dipahami adalah mengetahui perbedaan antara ittiba’ dan taqlid. Seseorang dapat saja melakukan ittiba’ dalam satu hal, namun tidak diperbolehkan baginya bertaqlid dalam hal tersebut.”
“Jelasnya demikian; Bahwa setiap hukum yang sudah jelas dalilnya dari Kitabullah atau Sunnah RosululNya ataupun ijma’ kaum muslimin, maka tidak diperbolehkan untuk bertaqlid dalam masalah ini. Sebab, setiap ijtihad yang menyalahi nash maka ijtihadnya batil, dan tidak boleh bertaqlid kecuali dalam masalah-masalah ijtihadi. Sebab nash-nash Kitab dan Sunnah merupakan penentu (perkara hukum) bagi setiap orang yang melakukan ijtihad. Maka tidaklah dibenarkan bagi siapapun yang menentangnya. Dan tidak boleh taqlid dalam hal yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah ataupun ijma’, sebabtidak ada uswah dalam hal kebatilan.”

“Maka didalam perkara yang ditunjukan oleh dalil nash-nash, tidak ada jalan lain kecuali ittiba’ saja. Dan tak ada ijtihad ataupun taqlid di dalam perkara-perkara yang sudah ditunjukan oleh dalil-dalil nash, dari Kitab dan Sunnah, yang selamat dari pertentangan.”

“Membedakan antara taqlid dan ittiba’ merupakan perkara yang sudah biasa menurut ahli ilmu, nyaris tak terbantah tentang kebenaran maknanya oleh seorangpun dari mereka.” (lihat Adlwa’ul Bayan, VII : 547-548)

Kemudian Syaikhul Islam rohimahullah menerangkan sebab-sebab mengapa beramal mengikuti wahyu itu disebut ittiba’, bukannya taqlid. Sebab ayat Al Qur’an sendiri menujkan tentang penamaan dalam masalah ini dengan ittiba’ disebutkan dalam firman Allah,

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). (Al A’rof : 3)
Lalu firmanNya lagi,

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Robbmu.
(Az Zumar : 55)

Katakanlah : Sesungguhnya akau hanya mengikuti apa yang diwahyukan dari Robbku. (Al A’raf : 203)

Dalam pembahasan ini ada perkataan para Imam, diantaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dari Ibnu Khuwaiz Mindad Al Maliky, ia berkata, “Taqlid dalam syari’at, yaitu merujuk kepada perkataan yang tak disertai hujjah oleh yang mengatakannya, adalah terlarang untuk dilakukan. Sedangkan ittiba’ adalah mengikuti perkara hukum yang disertai hujjah diatasnya.” (Bayaanul ‘Ilmi wa Fadlihi, II : 117)

Dikutip juga beliau, “Siapa saja yang kamu ikuti perkataannya tanpa dalil yang mewajibkan kamu untuk mengikti perkataannya itu, berarti kamu telah bertaqlid kepadanya. Dan taqlid dalam Dienulloh tidak dibenarkan. Siapa saja yang mewajibkan kamu untuk mengikuti perkataannya karena suatu dalil, maka kamu berittiba’ kepadanya. Dan ittiba’ dalam dienullah adalah dibolehkan, sedangkan taqlid itu dilarang.” (lihat Jaami’ Bayaanul ‘Ilmi wa Fadlihi, II : 117)

Kelima, Kaidah-kaidah umum dalam perkara taqlid :
1.   Bagi muqollid, hendaklah dia tidak mengikuti orang yang bertaqlidkannya kecuali terhadap sesuatu yang ia (orang yang ditawlidkannya) memang ‘alim terhadap ilmu yang dibutuhkan oleh si muqollid. Hal itu juga merupakan jalan yang ditempuhnya untuk mendapatkan faedah dari limu tersebut. Jika diketahui atau diduga kuat bahwa ia (yang ditaqlidinya) itu salah, hendaklah tidak meneruskan taqlidnya, kecuali perkara itu jelas. Karena kesalahan dan ketergelinciran adalah hal yang mungkin saja terjadi bagi setiap manusia. (Al I’tishom, II : 344)
2.   Agar tidak membabi buta dalam melakukan taqlid, terhadap orang yang jelas-jelas memiliki kesalahan secara syari’ dalam taqlidnya. (Al I’tishom, II : 345; Majmu’ul Fatawa, XX : 214)
3.   Orang awwam tidak boleh meminta fatwa, kecuali terhadap orang yang diduga kuat, bahwa dia itu seorrang ahli fatwa. Jika di dalam suatu negeri ada beberapa orang mujtahid, maka boleh bertanya kepada siapa saja yang dikehendaki dari mereka. (lihat Mudzakaroh Ushul Fiqh, oleh Syanqthi, hal 315)
4.   Tidak benar untuk beriiltzam kepada satu mahjab tertentu. Pada hakekatnya itu merupakan bentuk taqlidnya seseorang kepada orang ‘alim pada setiap permasalahan yang diperintahkan dan yang dilarangnya, dan ini adalah prinsip.Dalam menetapkan prinsip tersebut , syaikhul Islam berkata, “Dan tidaklah wajib bagi seseorang dari kaum muslimin untuk bertaqlid kepada seseorang ulama manapun, dalam setiap hal yang dikatakannya.” (Majmu’ul Fatawa, XX : 209)
5.   Pengucalian dalam prinsip tersebut adalah : dibolehkan ittiba’ kepada mahjab tertentu bagi seseorang yang tidak mampu mengetahui syari’at kecuali dengan cara tersebut. Syaikhul Islam berkata, “Ittiba’nya seseorang kepada mahzabnya sendiri, adalah jalan yang dibolehkan bagi orang yang tidak mampu mengetahui syari’at tanpa cara tersebut. Namun bagi orang yang memungkinkan untuk menempuh jalan lai dalam mengetahui syari’at, itu tidak boleh. Bahkan  setiap orang hendaknya benar-benar bertaqwa (takut) kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. (Majmu’ul Fatawa, XX : 209).
Dibagian lain, Syaikhul Islam mengatakan, bahwa dengan prinsip ini berarti ditolaknya menisbatkan pada syaikh tertentu. Namun jika orang itu memungkinkan tidak bisa beribadah kepada Allah, dengan apa-apa yang diperintahkanNya, kecuali dengan jalan itu (menisbatkan diri pada madzhab tertentu), sebagaimana kondisi di suatu tempat, dimana petunjuk, ilmu dan iman lemah ditempat tersebut, atau dengan menisbatkannya ia pada syaikh, lalu akan  menambahkannya (pengetahuan) diennya dan ilmunya, maka dalam hal ini sesungguhnya ia telah melakukan kebaikan bagi agamanya. Kemudian syaikh menerangkan bahwa yang demikian itu biasanya tidaklah terjadi kecuali disebabkan kelengahannya dalam mencari petunjuk, jika memang ada. (lihat Majmu’ul Fatawa, XI : 514)
6.   Tidak boleh bagi orang yang menisbatkan pada seseorang ulama tertentu, untuk menampakan muwalah dan mu’adahnya di atas asas penisbatan tersebut. Bagi siapa yang melakukan hal demikian, berati ia termasuk ahli bid’ah. Syaikhul Islam berkata, “Maka barang siapa yang lebih condong untuk bertaqlid kepada Syafi’I daripada yang lainnya, sepatutnya tidak mengingkari orang yang lebih condong untuk bertaqlid kepada Malik ketimbang pada yang lainnya. Dan barang siapa yang lebih mengutamakan betaqlid kepada Imam Ahmad ketimbang pada yang lainnya, hendaklah ia tidak mengingkari orang yang lebih mengutamakan bertaqlid kepada Syafi’I, dan seterusnya…..(Majmu’ul Fatawa, XX : 292).
Dibagian lain beliau berkata, “Barang siapa yang menisbatkan diri kepada seseorang, sehingga ia bermuawalah dan bermu’adah terhadap apa-apa yang disepakatinya dalam hal apapun dan kondisi manapun, baik dalam perkataan maupun perbuatan, maka orang itu termasuk dalam apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
Termasuk orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka dalam keadaan berkelompok-kelompok.”  (Majmu’ul Fatawa, XX : 908).
Juga dibagian yang lain beliau berkata lagi, “Adapun penisbatan-penisbatan yang menyebabkan terpecahnya kaum muslimin, dalam hal ini keluar dari jama’ah dan berikhtilaf, menuju firqoh dan menempuh jalan ibtida’ (bid’ah), maka yang demikian adalah terlarang baginya, berdosa bagi pelakunya, dan berarti juga keluar dari ketaatan kepada Allah dan RosulNya.” (Majmu’ul Fatawa, XI : 514)
7.   Dipebolehkan bagi muqollid untuk beralih madzhab kepada madzhab yang lain dalam perkara dien, dan bukan untuk mencari kemudahan atau serupa dengan itu, yang bukan dengan alasan perkara dien.

Contoh dari kaidah ini adalah ; “seseorang muqollid berpindah kemadzhab lain dalam suatu perkara yang dibangun di atas hujjah yang kuat dan dalil yang jelas, maka yang demikian ini adalah perbuatan terpuji dan berpahala bagi pelakunya. Bahkan hal ini wajib bagi setiap orang bila telah jelas baginya hhukum Allah dan RosulNya, dalam urusan yang tidak menyimpang darinya.”  (Majmu’ul Fatawa, XX : 223)

Jika kaum muslimin benar-benar memperhatikan kaidah kaidah ini serta kaidah lainnya yang telah dijadikan prinsip oleh ulama-ulama Islam, tentulah mereka tidak terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan syari’ seprti ta’ashshub yang menyebabkanya berfirqoh-firqoh dan bergolong-golongan.



[Baca...]





PETAKA BESAR MENIMPA UMMAT :
KARENA TAKLID BUTA DAN FANATISME SEMPIT
Bagian-04, oleh Abu Fahmi Ahmad

PERKARA TAKLID DALAM HUKUM AMALIYAH

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam bab ini adalah tentang perbedaan esensi antara ta’ashshub dan tsabat (menetapi) terhadap suatu kebenaran. Keduanya mempunyai pengertian yang hampir sama, sehingga banyak juga orang yang tidak bisa membedakannya.

Kedua istilah itu berbeda secara hakiki, baik dalam asal mula terjadinya, jalannya maupun hasil-hasilnya. Masing-msing mempunyai pengertian dan batasannya sendiri.

Penulis Kitab Al Muqoddimah berkata, “Memisahkan pengertian antara ta’ashshub dan tsabat terhadap kebenaran, agaknya cukup sulit. Keduannya mempunyai makna yang berdekatan, sehingga keduanya hampir tidak bisa dibedakan, kecuali bagi orang yang mempunyai keinginan untuk menelitinya secarra mendalam. Maka kita melihat sebagian orang ada yang memuji ta’ashshub, katanya hal itu sebagai bukti kuatnya iman dan mantabnya aqidah. Namun ada juga sebagian yang mencela orang yang berpegang teguh kepada kebenaran dan tsabit terhadapnya, mereka menuduhnya dengan jumud dan ta’ashshub.”

“Asal mula timbulnya ta’ashshub adalah lemahnya jiwa dan kejahilan akalnya. Kebenaran yang dipegang adalah yang lahir dari kepuasan ra’yu (akal) dan kejelasan dalil.”

“Jalan yang ditempuh orang yang ta’ashshub adalah melawan (menghalangi) seseorang untuk mengetahui dalil yang menyalahinya atau menolak untuk mendengarkan (kebenarannya), atau mempertimbangkannya dalam bentuk apapun.”

“Sementara, jalan yang ditempu oleh orang yang berpegang teguh pada kebenaran adalah munaqosyah (diskusi) bebas, dan mendengarkan dalil yang bertentangan dengan dada terbuka dan wawasan yang luas, serta menolak secara halus tanpa menjatuhkannya dengan berharrap semoga dia diberi petunjuk.”

“Hasil ta’ashshub adalah ikhtilaf, terbentuknya firqoh dan saling bembenci, sedangkan hasil dari menetapi kebenaran adalah persatuan dan kesatuan pada kebenaran, serta mengoreksi/menegur orang-orang yang menyalhi manhajnya. Lalu cahaya dalam hati akan memancarkan sinar terang yang akan menunjukinya kepada jalan yang luurus.”

“Ta’ashshub dan berpegang teguh pada kebenaran, masing-masing mempunyai tempat dan batasannya tersendiri.”

“Didalam ushuluddin, prinsip-prinsipnya yang tsabit dan metawatir, dan apa-apa yang datang dari Rosulullah saw, tidak ada tempat untuk toleransi. Bahkan, berpegang teguh kepada kebenarran hingga mencapai titik optimalnya adalah hal yang dituntut dan terpuji. Adapun dalam masalah-masalah yang dibolehkan untuk berikhtilaf adalah sepertihalnya dalam masalah-masalah fiqh yang mengandung berbagai pandangan, sesungguhnya berketetapan (tsabat) terhadap kebenaran, bukanlah berarti meniadakan tasamuh (toleransi) atau saling menghargai, saling menghormati ijtihad orang lain.” (lihat Moqoddimah fi Asbab Ikhtilaf ‘l Muslimin wa Tafaruqihim, hal : 85-86).


Sekalipun pembahasan ini berkaitan dengan masalah aqidah, namun, mau tidak mau, saya juga harus menyinggungnya masalah yang berkaitan dengan pasal ini, yaitu masalah taqlid dalam hukum-hukum fiqh, apakah boleh atau tidak?

Dalam bahasan ini, saya akan menjesakan dengan bersandar pada perkataan-perkataan para muhaqqiqin dari ahli ilmu, disamping penyajiannya sendiri saya ringkas menurut perkara-perkara yang penting saja. Saya bicarakan masalah ini karena:
1.   Erat kaitannya dengan pembahasan pasal ini (taqlid dan ta’ashshub).
2.   Perhatian ‘ulama, dulu maupun sekarang, tentang pentingnya perkara ini.
3.   Salafush Sholih tidaklah memisahkan antara yang ushul dan furu’ sebagaimana generasi sekarang, dimana mereka bersandar pada pembagian-pembagian secara ilmiyyah dalam rangka memperluas ilmunya lalu mengklasifikasikannya dengan membuatnya bercabang-cabang.
4.   Manhaj Ahlus Sunnah wa Jama’ah adalahsatu dan bersifat umum dalam perlakuannya terhadap berbagai jenis ilmu. Sebagaimana mereka mencela taqlid dan fanatik golongan dalam hal prinsip agama dan aqidah, mereka pun mencela keduanya menakala menyangkut perkara-perkarra ijtihadiyyah, yang bersifat cabang sekalipun.

Bahsan akan saya urut menurut point-point berikut ini :

Pertama, Manusia, dalam hal ini ada yang berlaku ekstrim dan ada yang berlaku adil (di tengah-tengah). (1) Diantara mereka ada yang mengharamkan total tentang taqlid dan mewajibkan ijtihad. (2) Namun ada juga yang mengatakan ‘wajibnya’ taqlid tanpa kecuali, sehingga setiap orang baik ‘ulama maupun orang awam, diharuskan mengikuti secara taqlid kepada salah seorang ‘alim diantara keempat imam mujtahid yang masyhur (Syafi’i, Malik, Abu Hanafi, dan Imam Ahmad bin Hambal).

Kedua golongan ini sama-sama ekstrim dalam memandang suatu perkara, dan ini tercela. Yang benar dan yang diikuti oleh jumhur ‘ulama, dalam masalah ini perluadanya klasifikasi. Dimana mereka menjadikan (hukum) bertaqlid itu dibolehkan secara umum, demikian pula berijtihad. Tentu saja ungkapan ini, menurut mereka disesuaikan dengan kemampuan dan ketidakmampuannya (dalam berijtihad).

Maka ijtihad adalah boleh saja bagi yang memiliki kemampuuan untuk melakukannya, dan berlaku taqlid juga boleh saja bagi yang tidak mampu berijtihad. (lihat Majmu’ul Fatawa, XX : 203-204)

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan hukum-hukum syari’at, Asy Syatibi mengelompokan manusia menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama, yang layak sebagai mujtahid. Maka baginya dalam menentukan hukum haruslah dengan ijtihadnya. (Al I’tishom, II : 342)

Kelompok kedua, tergolong dalam muqollid murni, tidak memiliki ilmu yang bisa digunakan untuk memutuskan  hukum dalam segala hal. Maka baginya diperlukan pemandu yang membimbingnya.(Al I’tishom, II 343)

Kelompok ketiga, yang tergolong memahami dalil dan kedudukannya, namun tidak mencapai tingkat maujtahidin. Ia juga memiliki pemahaman dalam mentarjih sumber-sumber yang rojih….. (Al I’tishom, II : 343)

Syatibi menganggap kelompok yang terakhir ini labil dalam posisinya diantara kedua kelompok yang lain. Bila tarjihnya dianggap layak, hal ini dihukumi sebagai mujtahid dan bagi yang tidak, dihukumi sebagi mana orang awam pada umumnya.


Yang ke (3) :  adalah yang dinyatakan oleh sebagian ‘ulama sebagai “Ittiba”. Insya Allah nanti akan disebutkan perbedaannya dengan taqlid.

Syaikh Abdurahman bin Hasan Ali Syaikh berkata, “Maka (jelaslah), tidak ada satupun iman yang menguasai seluruh ilmu. Maka setiap mukallaf, jika sampai kepadanya dalil dari kitab dan sunnah RosulNya serta memahami pengertian itu, wajib baginya memutuskan untuk mengikutinya dan beramal dengannya, sekalipun bertentangan dengan orang lain yang berbeda pendapatnya. Seperti firman Allah Ta’ala,            

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya…(Al A’rof : 3).” (Fathul Majid, Syarah Kitab Tauhid, hal :345)

Justru yang harus diperhatikan adalah syarat yang disebutkan oleh syaikhul tersebut, katanya, “Faham yang menyebutkan tercegahnya seseorang melakukan perbuatan dengan sesuatu yang ia ketahui dari Kitab dan Sunnah, sampai ia mencapai tingkatan mampu untuk berijtihad secara mutlak, perkataannya bisa menjadi penghalang bagi kaum muslimin untuk memperoleh manfaat cahaya Al Qur’an, sampai mereka memenuhi persyaratan yang dituntut, yang ada dlam keyakinan orang-orang yang mengatakan demikian. (lihat Adwa’ul Bayan,VII : 434)

Tak diragukan lagi, bahwa berpalingnya kebanyakan kaum muslimin dari petunjuk Kitab dan Sunnah serta jauhnya mereka dari penyinaran cahaya wahyu, merupakan sebab terjerumusnya mereka ke dalam perselisihan pendapat dalam hal-hal sysri’at, yang akan mengarah pada tafarruq di kalangan kaum muslumin yang menjadikan mereka berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan.

Kedua, Taqlid apa yang diharamkan ? Dan kepada siapa larangan taqlid itu ditunjukan?

Pertanyaan dijawab oleh Ibnul Qoyyim rohmahullah dalam kitabnya I’lam al Muwaqi’in, jilid II halaman 187, yaitu ketika ia membahas bagian-bagian taqlid yang diharamkan;
1.   Berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah dan tak memperdulikan sama sekali, mencukupkan diri dengan bertaqlid kepada bapak-bapak dan nenek moyangnya.
2.   Bertaqlid karena tidak mengetahui bahwa (orang yang ditaqlidkannya itu) ahli, sehingga ia mengambil (begitu saja) perkataannya.
3.   Taqlid setelah ditegakannya hujjah dari jelasnya dalil yang menentang perkataan Muqollad (orang yang ditaqlidkan).

Adapun kepada siapa larangan taqlid ditujuakan, dapat kita fahami lewat uraian Ibnul Qoyyim tentang pengelompokan jenis-jenis taqlid yang diharamkan. Maka setiap orang yang terjerumus kedalam jenis tersebut, tekena celaan yang oleh para Imam ditujuakan kepada para Muqollad.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh mengomentari pernyataan Imam Ahmad yang berkata, “Saya heran kepada satu golongan yang mendengarkan hadits, mengetahui sanad dan keshohihannya, lalu meninggalkannya dan kemudian mengikuti pendapat sofyan dan lain-lain.”
Berkata Syaikh, “Tentang pernyataan imam Ahmad itu menunjukkan kepada pengertian, bahwa bertaqlid sebelum sampainya hujjah, maka pelakunya tidak dicela. Namun bagi orang yang telah sampai kepadanya hujjah, lalu menyalahinya dan mengikuti seseorang  imam, itu adalah tertolak (patut dicela).” (Fathul Majid, syarah Kitab Tauhid, hal ; 345)

Ketiga, Dalam perkara apa saja seseorang dibolehkan untuik bertaqlid? Siapa saja yang dibolehkan untuk berlaku demikian?
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata, “Tidak diperbolehkan taqlid, kecuali dalam perkara-perkara ijtihad yang tidak ada dalil padanya, dari Kitab dan Sunnah, yang dapat dijadikan rujukan.”(Fathul Majid, hal 344)

Penulis Kitab Al Muqoddimah berkata, “Kita wajib mengetahui, bahwa atsar-atsar yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dan yang lainnya dari kalangan ‘ulama tentang celanya bertaqlid, tidaklah mutlak (berlaku umum), namun ia lebih kuat kaitannya dengan taqlid yang diharamkan. Kalau tidak demikian, bagaimana jadinya mencela orang yang bertaqlid di dalam masalah-masalah yang diperbolehkan dan dibenarkan baginya berlaku taqlid.” (lihat Al Muqoddimah fi Asbab Iktilafil Muslimin, hal :93)

Syaikh Syangiti menambahkan tentang perkara-perkara yang menyangkut ijtihad, yang menurutnya ada dua bagian, “Ijtihad hanya diperbolehkandalam dua hal : perkara yang tidak ada nashnya sama sekali dan perkara yang terdapat nash-nash yang lahiriyyahnya bertentangan, maka wajib dilakukan ijtihad dalam rangkan mempertemukan keduanya (nash yang tampaknya bertentangan itu), atau mentahrijnya.” (lihat Mudzakaroh Ushul Fiqh ‘alaa Raudlotin Nazhir, hal : 314-315)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pada perkara ijtihadi, barang siapa yang beramal berdasarkan pada perkataan sebagian ‘ulama, tidaklah tercela. Dan barang siapa yang beramal berdasarkan salah satu dari dua perkataan (pendapat), juga tidak ditolak. Dan jika masalah itu mempunyai dua pernyataan (ulama), maka seseorang bisa saja beramal dengan salah satu dari dua pernyataan (ulama) itu bila nampak padanya sebagian pendapat yang raji. Dan jika tidak demikian, ia boleh bertaqlid pada sebagian ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menjelaskan mana yang lebih rajih dari dua pernyataan itu…Allahu A’lam. (lihat Majmu’ul Fatawa, XX : 207)
Adapun orang yang diperbolehkan melakukan taqlid adalah ; orang yang tak mampu mengetahui hukum syari’ dalam satu persoalan agama. Maka bagi dia hendaklah bertanya kepada orang yang ‘alim yang dapat dipercaya dalam agamanya dan ilmunya tentang hukum perkara tersebut.

Syaik Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun bagi orang yang tidak mengetahui hukum Allah dan RosulNya, dan ia (hanya mampu) mengikuti orang yang ahli tentang (ilmu) perkara tersebut, dan juga agamanya, sementara ia belum mengetahu bahwa perkataan (ulama) lainnya itu lebih rojih dari perkataan (orang yang ditaqlidkannya) itu, maka hal itu adalah terpuji dan patut diberi pahala, pelakunya tidak dicela ataupun dihukum.” (lihat Majmu’ul Fatawa, XX :225)


[Baca...]





PETAKA BESAR MENIMPA UMMAT :
KARENA TAKLID BUTA DAN FANATISME SEMPIT
Bagian-03, oleh Abu Fahmi Ahmad

TAKLID YANG DISERTAI SIKAP SOMBONG:
Perkara tidak berhenti sampai kepada taqlid dan ta’ashshub kepada syekh-syekh, Imam-imam dan ikut-ikutan saja, namun sudah sanpai pada tingkat sombong dan membanggakan diri terhadap orang yang dinisbatkan kepadanya, menolak dan tak mau peduli terhadap yang lainnya.
Ini semua merupakan ulah ahli bid’ah dan pengabdi hawa nafsu, di mana mereka memecah ummat menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan dan masing-masing senang dengan golongannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengangkat dirinya sebagai orang yang (patut) menyeru kepada jalan yang ditempuhnya (thoriqohnya), merupakan prinsip muwalah dan mu’adah di atas jalan itu, selain dari Nabi saw. Dan tidak patut pula seseorang memaksakan pendapat (perkataannya) kepada mereka, bermuwalah dan bermu’adah di atasnya, selain kalam Allah dan RosulNya dan apa-apa yang telah disepakati ummat. Ini merupakan perbuatan ahli bid’ah yang mengangkat dirinya, dan perkataannya dapat memelah ummat, dimana mereka menjadikan perkataan dan nisbat (kaitan-kaitan) tersebut sebagai ukuran muwalah dan mu’adah.” (liihat Majmu’ul Fatawa, XX : 164)

Talid kepada seseorang, yang semata-mata didasarkan pada keyakinan yang baik terhadapnya tanpa ada keterangan, dalil dan hujjah, lalu memjadikan perbuatan dan perkataan mereka sebagai abbud, itu semua merupakan kesesatan yang nyata. Yaitu yang menyebabkan terjerumusnya kebanyakan generasi muta’akhirin ini kedalam perbuatan bid’ah dalam dienullah. (lihat Al I’tishom, oleh Asy Syatibi, II : 182)

Penulis Kitab Al Muquddimah berkata, “Ta’ashshub itu merupakan cabang dari klaim kema’shuman yang tidak terlepas dari unsur ta’ashshub. Apa yang ada dalam klaim itu sama dengan apa yang ada dalam ta’ashshub, yaitu cacatnya pola pikir dan jauh dari kebenaran. darinya lahirlah firqoh-firqoh seperti Rofidloh.” (Moqoddimah fi Asbab Iktilaf ‘l Muslimin wa Tafaruquhim, hal 84)

Diantara hasil dari sikap ta’ashshub yang membahayakan dan amat jahat itu adalah ‘enggan menerima kebenaran’ dan membantahnya manakala dianggap bertentangan dengan (pendapat)nya. Hal inilah yang dapat menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan (tafarruq), dan ini merupakan sikap mereka yang tercela dan dimurkai. Allah dan RoaulNya saw, telah memerintahkan kepada kita untuk menjauhi thoriqoh mereka dan menyerupai mereka. (kitab Iqtidlo’ Ash Shirothol Mustaqim, oleh Ibnu Taimiyyah)

Allah berfirman,                      
Dan apa bila dikatakan kepada mereka; Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah. Mereka menjawab, “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedangkan Al Quran itu adalah (Kitab) yang haq yang membenarkan apa yang ada pada mereka. (Al Baqoroh : 91)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Maka (Allah) mensifati Yahudi, bahwa mereka mengetahui kebenaran sebelum datangnya orang yang membacakan kebenaran itu dan mengajak kepadanya. Maka ketika orang yang bukan berasala dari golongannya membacakan dihadapan mereka, maka tidak mau mematuhinya. Dan mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali (yang datang) dari kelompok yang mereka nisbatkan kepadanya, di samping mereka juga tidak itzam kepada Aqidah mereka.”

“Dan inilah ujian yang sering menimpa kebanyakan orang yang menisbatkan kepada kelompok  tertentu dalam hal ilmuatau dien, yang berasal dari kalangan ahli fiqh, kaum sufi atau yang lainnya. Atau kepada tokoh-bukan Nabi- yang diagung-agungkan dalam agama menurut mereka. Dan mereka tidak mau menerima (seruan agama) baik secara akal maupun riwayat (nash), kecuali yang datang dari sisi kelompok mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa yang diwajibkan oleh kelompok mereka. …. (Iqtidlo Ash Shirothol Mustaqim, I : 73-74)

Mana kala sikap taqlid dan ta’ashshub telah mencapai pengaruh yang membahayakan, kita mendapati para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengelaurkan stetmen (kesepakatan) bersama atas terlarangnya berlaku taqlid dan ta’ashshub kepada mereka.

Imam Malik berkata, “Siapa saja perkataannya bisa diambil dan bisa juga ditolak, kecuali orang yang berada didalam kubur ini (sambil menunjuk kuburan Nabi saw.).” (Irsyad As Salik, oleh Ibnu Abdul Nadi, I : 227)

Allah Ta’ala berfirman,      
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya………(Az Zumar : 18)

Fanatik terhadap guru, syekh dan pribadi-pribadi tertentu secara berpaling dari hujjah dan dalil, adalah penyebab yang menyesatkan dari kebanyakan kaum. Dengan sebab itu, akhirnya mereka keluar dari hal-hal dankebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh salafus sholih dari kalangan sahabat dan tabiin.

Asy Syatibi menyebutkan sepuluh contoh tentang masalah ini, dan yang terpenting dan terbesar bahanya adalah kelompok yang pertama. Katanya “Yang paling bahaya adalah perkataan orang yang menjadikan bapak-bapak dan nenek moyang sebagai ikutan dalam prinsip agama, kepada mereka (nenek moyang) lah seluruh perkara dikembalikan tanpa peduli dengan yang lainnya, sampai-sampai mereka menolak bukti-bukti keterangan risalah, hujjah Al Quran dan dalil aql.”(lihat Al I’tishom, II : 347)

[Baca...]