Etos Kerja Islami

Empat Prinsip Etos Kerja Islami
Kamis, 21 Maret 2013, 06:45 WIB
Republika/Amin Madani

Pekerja di Lapangan Minyak Bunyu
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini

Bekerja merupakan keniscayaan dalam hidup. Dalam suasana zaman yang semakin sulit, kaum beriman dituntut mampu survive dan bangkit membangun peradaban seperti sedia kala. Syarat untuk itu tidak cukup lagi ditempuh dengan kerja keras, tetapi harus kerja cerdas.

Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali harus mengkaji pandangan Islam tentang etos kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah, "...maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).

Menurut ayat itu, rezeki harus diusahakan. Dan seakan mengonfirmasi ayat di atas, firman Allah di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan bekerja. “Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung” (Qs Al-Jumu’ah: 10).

Ayat lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada waktu siang (Qs Al-Qashash: 73).

Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah hanya akan diperoleh dengan etos kerja tinggi. Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah Allah di atas?

Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.

Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.

Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.

Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.

Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.

Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).

Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3). Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.

Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.


Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Redaktur : Heri Ruslan


[Baca...]




Ternyata ajaran Islam tidaklah membuat susah. Ajaran Islam itu mengandung rahmat dan petunjuk hidayah. Sehingga orang yang menjalankan ajaran Al Qur’an dan Sunnah akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala berfirman,
طه (1) مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لِتَشْقَى (2) إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى (3) تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلَا (4)
Thoha. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.” (QS. Thoha: 1-4).

Faedah pertama
Ayat kedua dari surat Thoha menerangkan bahwa ketika Al Qur’an diturunkan oleh Allah pada Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu beliau dan sahabatnya membacanya, lantas orang-orang musyrik Quraisy berkata, “Al Qur’an itu diturunkan kepada Muhammad melainkan hanya membuat susah.” Lantas turunlah ayat di atas, surat Thoha ayat 1-4. Demikian kata Juwaibir dari Dhohak. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Sehingga ayat di atas menunjukkan bahwa Al Qur’an itu bukan menyusahkan umatnya, malah mempermudah. Oleh karenanya, Qotadah mengatakan,
لا والله ما جعله شقاء، ولكن جعله رحمة ونورًا، ودليلا إلى الجنة
“Tidak, wallahi (demi Allah), Al Qur’an tidaklah diturunkan untuk menyusahkan. Akan tetapi, Al Qur’an adalah rahmat dan cahaya, serta petunjuk menuju surga.”

Faedah kedua
Al Qur’an itu mendatangkan kebaikan yang banyak. Disebutkan oleh Ibnu Katsir, “Tidaklah seperti yang disangkakan oleh orang musyrik. Bahkan siapa yang Allah beri ilmu, itu berarti diinginkan padanya kebaikan yang banyak. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari-Muslim, dari Mu’awiyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka ia akan diberi kepahaman dalam agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037).”

Faedah ketiga
Al Qur’an berisi perinngatan halal dan haram. Dalam ayat yang kita kaji disebutkan,
إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى
Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)”, yang dimaksud adalah bahwa Allah menurunkan kitab-Nya dan mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat, tanda kasih sayang pada hamba. Juga pengutusan tersebut bermaksud sebagai jalan sampainya peringatan sehingga yang mendengarnya bisa mengambil manfaat. Peringatan yang diturunkan oleh Allah ini mengandung halal dan haram. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah.

Faedah keempat
Al Qur’an adalah sebagai peringatan bagi orang yang takut pada Allah Ta’ala. Karena orang yang tidak takut pada Allah, tidak bermanfaat Qur’an bagi dirinya. Bagaimana bisa bermanfaat sedangkan ia tidak beriman pada surga dan neraka, juga dalam hatinya tidak ada khosyatullah (rasa takut pada Allah) walau seberat dzarroh (semut kecil)? Demikian nasehat berharga dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya, dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى * وَيَتَجَنَّبُهَا الأشْقَى * الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى
Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).” (QS. Al A’laa: 10-12).
Pelajaran penting dari pembahasan tafsir kali ini, Al Qur’an dan ajaran Islam tidak menyusahkan, bahkan ajaran yang mudah. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
Sesungguhnya agama Islam itu mudah.” (HR. Bukhari no. 39).

Wallahu waliyyut taufiq, semoga Allah memberi taufik.

Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir dan Taisir Al Karimir Rahman karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.


[Baca...]



Haji Mabrur, Tetapi Bagaimana Setelah Haji?
﴿ حج مرور وسعي مشكور, ولكن ماذا بعد الحج؟﴾
]  Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Daar Ibnu Khuzaimah
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Islamhouse.com 2009 - 1430


          بسم الله الرحمن الرحيم

HAJI MABRUR, AKAN TETAPI BAGAIMANA SETELAH HAJI?

          Segala puji bagi Allah I yang telah memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya  jalan yang lurus,  shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi r pemilik telaga dan kedudukan yang agung,  demikian pula keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka kepada jalan yang lurus.
          Dan sesudah itu, wahai saudaraku yang melaksanakan haji: apabila para haji telah berniat pulang kembali ke tanah air mereka, mereka teringat bapak, ibu, istri, anak, dan saudara, maka ia membawakan hadiah untuk mereka. Dan siapa yang memiliki harta yang banyak, ia membawa berbagai macam barang untuk perdagangan, dan orang yang berhaji dibolehkan melakukan hal itu, berdasarkan firman Allah I:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ
Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allahsebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang -orang yang sesat. (QS. Al-Baqarah:198)

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, 'Ayat tersebut merupakan dalil boleh melakukan bisnis bagi orang yang melaksanakan ibadah haji saat berhaji sambil melakukan ibadah, dan sesungguhnya hal itu bukan merupakan perbuatan syirik dan tidak keluar dari tuntutan keikhlasan yang dibebankan kepadanya. Ad-Daraquthni rahimahullah meriwayatkan dalam sunannya dari Abu Umamah at-Taimi, ia berkata,'Aku berkata kepada Ibnu Umar t, 'Sesungguhnya aku seorang laki-laki yang bekerja di jalur ini, dan sesungguhnya orang-orang berkata, 'Sesungguhnya tidak ada haji untukmu'. Ibnu Umar t berkata, 'Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah r, lalu bertanya kepada beliau seperti yang engkau tanyakan. Maka Rasulullah r diam sampai turun ayat:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu
Maka Rasulullah r bersabda: 'Sesungguhnya ada pahala haji untukmu.'
         
Saudaraku yang berhaji, sesungguhnya mengambil dari dunia sekadar kebutuhan tidak mempengaruhi keikhlasan, akan tetapi bagaimana perasaanmu saat meninggalkan tempat-tempat suci tersebut? Apakah engkau mengetahui wahai saudaraku, bahwasanya Rasulullah r memerintahkan kepada setiap orang agar tidak meninggalkan kota Makkah sebelum melaksanakan thawaf wada' (thawaf perpisahan)? Dari Abdullah bin Abbas t, ia berkata, 'Orang-orang berpaling (meninggalkan kota Makkah) dari segenap penjuru. Maka Rasulullah r bersabda:
لاَيَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُوْنَ آخِرَ عَهْدِهِ بِاْلبَيْتِ
"Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah) sehingga akhir ibadahnya di Baitullah (thawaf wada')." HR. Muslim.
         
Saudaraku yang berhaji, seperti inilah Rasulullah r memerintahkan kepada para sahabat saat akan meninggalkan Baitullah yang mulia, agar mereka melakukan thawaf terakhir sebelum meninggalkan kota Makkah, saat itu hati dan pandangan mata mereka telah dipenuhi keagungan Baitullah tersebut–semoga Allah I menambah kemuliaannya-.
          Dan engkau, wahai saudaraku, apakah yang engkau rasakan, saat engkau bersiap-siap meninggalkan tempat yang suci tersebut?
         
Saudaraku, tidak diragukan lagi, sesungguhnya meninggalkan tempat yang suci tersebut terasa sangat berat di hati, terutama jiwa yang ikhlas karena Allah I saat menunaikan ibadah haji.
          Kemudian wahai saudaraku yang berhaji, ingatlah saat engkau meninggalkan Baitullah yang agung, sesungguhnya engkau tadinya berada di hari-hari taat dan musim-musim ibadah serta saat-saat yang sangat membahagiakan. Akan tetapi wahai saudaraku, apakah ibadah menjadi terhenti saat engkau pulang ke tanah airmu? Dan engkau teringat dirimu di hadapan Allah I di sisi bait-Nya yang agung, hari Arafah dan kehebatannya, serta hari-hari Mina dan keagungannya.
         
Saudaraku, bagaimana bisa engkau gantikan kondisimu dengan yang lain? Teruskanlah berbuat ibadah, bukalah lembaran baru dalam kehidupanmu, agar engkau mendapatkan ciri-ciri haji yang mabrur. Al-Hasan al-Bashari rahimahullah berkata: 'Haji mabrur adakah bahwa pelakunya pulang, zuhud terhadap dunia dan senang terhadap akhirat.' Sebagian dari salaf berkata, 'Di antara tanda haji mabrur adalah bahwa hal itu nampak di akhirnya. Jika ia pulang menjadi lebih baik dari sebelumnya, diketahuilah bahwa ia mabrur.
          Kemudian, ada hal lain wahai saudaraku yang berhaji, saat engkau meninggalkan Baitullah, memohonlah kepada Allah I agar ini bukanlah saat terakhirmu di Baitullah, maka sesungguhnya meneruskan taat termasuk sebab-sebab ketetapan (iman dan ibadah), sebagaimana meneruskan maksiat termasuk sebab-sebab kesesatan dan penyimpangan.
                Saudaraku, istiqamah engkau di dalam ibadah merupakan kunci keberuntungan engkau di hari persidangan besar. Dan Nabi kita Muhammad r pernah ditanya, 'Amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab:
أدومه وإن قلّ  [رواه مسلم].
 'Yang terus menerus, sekalipun sedikit." HR. Muslim.
         
Saudaraku yang telah berhaji, sesungguhnya di antara tanda keshalihan adalah terus menerus (istiqamah) di atas taat, sekalipun sedikit. Saudaraku, inilah permata yang tak ternilai, yaitu hendaklah engkau memperbanyak amal shaleh dan menekuninya, janganlah engkau menganggap remeh hal tersebut, semoga Allah I menetapkan husnul khatimah untukmu, dan memelihara untukmu keberkahan hajimu.
         
Saudaraku, janganlah engkau seperti orang-orang yang tidak pernah mengingat ibadah kecuali di musim-musim tertentu, dan apabila musim itu telah berlalu, mereka kembali kepada kondisi mereka sebelumnya. 'Alqamah t bertanya kepada 'Aisyah radhiyallahu 'anha, maka ia berkata, 'Wahai Ummul Mukminin, bagaimana amalan Rasulullah r, apakah beliau r menentukan hari tertentu (untuk beribadah)?' Ia menjawab:
" لا, كان عمله ديمة وأيكم يستطيع ما كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم -؟! " [رواه البخاري].
 'Tidak, ibadahnya terus menerus, siapakah di antaramu yang mampu seperti Rasulullah r? HR. al-Bukhari.
          Muhammad bin al-Qasim meriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa sesungguhnya apabila dia (Aisyah) mengamalkan sesuatu, ia menekuninya.
          Saudaraku yang berhaji, engkau harus sabar dalam ibadah, sedangkan engkau meneruskan perjalanan hidupmu yang baru. Dan bersabarlah pula dalam meninggalkan maksiat, maka sesungguhnya sabar dalam melaksanakan ibadah dan meninggalkan maksiat merupakan tingkatan sabar yang tertinggi. Maimun bin Mihran rahimahullah berkata, 'Sabar terbagi dua: sabar di atas musibah merupakan suatu kebaikan, dan yang lebih utama dari hal itu adalah sabar dalam meninggalkan maksiat.'
         
Dan janganlah engkau, wahai saudaraku yang berhaji, termasuk orang-orang yang dikatakan oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah: 'Orang-orang yang tercela adalah mereka yang paling sabar dalam mentaati hawa nafsu dan syahwat mereka, dan paling tidak sabar dalam ibadah kepada Rabb mereka. Ia memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menuruti keinginan syetan, dan tidak sabar berkorban dalam beribadah kepada Allah I. Ia sangat sabar memikul beban yang berat untuk mengikuti hawa nafsunya agar mendapatkan ridha musuhnya dan ia tidak sanggup menahan sabar untuk mendapatkan ridha Rabb-nya.
          Ia adalah orang yang paling sabar berkorban untuk menuruti kemauan syetan dan hawa nafsunya, dan ia paling tidak sabar dalam hal itu pada Allah I. Ini adalah celaan yang paling besar, ia tidak akan mulia di sisi Allah I, tidak akan berdiri bersama orang-orang yang mulia saat dipanggil di hari kiamat di atas pandangan para saksi, agar semua yang berkumpul mengetahui, siapakah yang paling mulia pada hari ini,di mana orang-orang yang bertaqwa.
          Saudaraku yang berhaji, sesungguhnya kesudahan orang-orang yang sabar adalah surga:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ . جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ ءَابَآئِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلاَئِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ . سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), * (yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; * (sambil mengucapkan):"Salamun 'alaikum bima shabartum".Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Ar-Ra'ad:22-24)
Dan dalam firman-Nya (Salamun 'alaikum bima shabartum), Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, 'Mereka sabar terhadap apa-apa yang diperintahkan kepada mereka dan sabar meninggalkan apa-apa yang mereka dilarang darinya.'
          Saudaraku, tabi'at nafsu adalah menyukai sifat malas dan istirahat, maka janganlah engkau memberikan kepadanya keinginannya, supaya syetan tidak mendapatkan jalan kepadamu. Al-Hasan al-Bashari berkata, 'Apabila syetan memperhatikanmu, lalu ia melihatmu tekun dalam ibadah kepada Allah I, maka ia menghendakimu dan menghendakimu, maka ia melihatmu tekun dalam ibadah, maka ia jemu dan menolakmu. Dan apabila engkau terkadang seperti ini dan terkadang seperti ini, niscaya ia sangat berharap padamu.'
         
Saudaraku yang berhaji, engkau datang dari hajimu, dan engkau masih dekat masamu dengan ibadah kepada Allah I, maka teruskanlah semangatmu dalam ibadah sebelum datangnya rasa malas dan jemu. Dan apabila engkau merasa cenderung kepada rasa malas, niscaya  nafsu ammarah menguasaimu untuk berbuat keburukan, maka sirnalah hajimu bersama angin. Dari Huraisy bin Qais rahimahullah, ia berkata, ‘Apabila engkau ingin melakukan kebaikan, maka janganlah engkau tunda sampai besok hari. Dan apabila engkau mengerjakan urusan dunia, maka perlahanlah. Dan apabila engkau melaksanakan shalat, lalu syetan berkata kepadamu, ‘Engkau riya di dalam shalat.’ Maka panjangkanlah shalatmu.’
          Saudaraku yang berhaji, segeralah, segeralah,  janganlah engkau katakan: Akan saya lakukan, akan saya kerjakan. Tsumamah bin Bajad as-Salami berpesan kepada kaumnya:’Wahai kaumku, aku memperingatkan kamu: saya akan mengerjakan, saya akan shalat, saya akan puasa.’
         
Saudaraku yang berhaji, ‘Berjihadlah terhadap dirimu, dan janganlah engkau menjadi lemah, sebagaimana engkau berjihad di hari-hari engkau berada di tempat yang suci tersebut.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Ankabuut:69)

فَأَمَّا مَن طَغَى . وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى . وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Adapun orang yang melampaui batas, * nerakalah tempat tinggal(nya). * Dan adapun orang-orang yangtakut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. * maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. An-Nazi’aat:37-41)
         
Saudaraku yang berhaji, perbanyaklah berdoa kepada Allah I agar selalu menetapkan engkau dalam taat kepada-Nya. Maka perbanyaklah menghadap kepada-Nya agar Dia meluruskan langkahmu dan engkau senantiasa menjalani jalur agama-Nya yang benar. Dan Rasulullah r memperbanyak doa kepada Allah I agar menetapkannya di atas agama-Nya. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang banyaknya doa beliau, ia berkata: ‘Kebanyakan doa beliau:
يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك
 Wahai yang membolak-balikan hati, tetap hatiku di atas agama-Mu.” Maka beliau ditanya tentang hal itu? Beliau menjawab, ‘
إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌ إِلاًّ قَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمنِ, فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
Sesungguhnya tidak ada manusia kecuali hatinya berada di antara dua jari di antara jemari ar-Rahman, maka barangsiapa yang Dia kehendaki, Dia menetapkan)di atas kebenaran), dan barangsiapa yang dikehendaki-Nya, dia menyimpang (dia menyimpang dari jalan kebenaran).” HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah. 2091
Dan dalam satu riwayat: Nabi r bersabda:
يَا مُثَبِّتَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
 Wahai yang menetapkan semua hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.’ HR. Ibnu Majah, Shahih Sunan Ibnu Majah, karya al-Albani, 166.
         
Wahai saudaraku yang berhaji, apakah Nabi r selalu meminta kepada Rabb-nya agar menetapkannya di atas agama-Nya, dan beliau melihat dari tanda-tanda Rabb sesuatu yang cukup dalam menetapkan hatinya di dalam agama Allah I. Maka bagaimana dengan kita? Sedangkan engkau, wahai saudaraku, berada di zaman yang banyak sekali fitnah dan sebab-sebab penyimpangan, di era yang mungkin saja engkau tidak menemukan para penolong di atas kebenaran. Bahkan apabila mereka melihat engkau istiqamah dalam agama, mereka memperolok engkau dan menyebutkan keburukan engkau. Akan tetapi orang beriman yang yakin berada dalam janji Rabb, ia tidak menoleh hal itu. Tidak ada pilihan bagimu, engkau harus memperbanyak doa kepada Allah I agar menetapkan engkau di atas agama-Nya. Hendaklah doamu dengan hati yang ikhlas. Nikmatilah ketaatan kepada Allah I dan senangilah beribadah kepada-Nya. Janganlah engkau berdoa seperti doa orang yang lupa, yang tidak memahami apa yang diucapakan. Sesungguhnya engkau, wahai saudaraku yang telah berhaji, membutuhkan ketatapan di atas taat kepada Allah I, sehingga engkau memetik buah hajimu dan merasakan berkahnya.
         
Wahai saudaraku yang berhaji, ada persoalan penting yang ingin saya sebutkan kepadamu, dan engkau pulang ke tanah airmu, janganlah engkau memandang kepada dirimu seperti pandangan orang-orang yang tertipu, yang mereka sedikit sekali melaksanakan ibadah, lalu menganggap diri mereka seolah-olah manusia paling mulia di muka bumi. Akan tetapi wahai saudaraku, lihatlah kepada dirimu dengan pandangan kekurangan. Karena sesungguhnya engkau, sebanyak apapun engkau melaksanakan amal shalih, engkau tidak bisa bersyukur kepada Allah I terhadap nikmat terkecil yang diberikan kepadamu. Apabila engkau ingin mengetahui, wahai saudaraku, keadaan orang-orang shalih setelah mereka melaksanakan ibadah, maka renungkanlah bersama saya tentang cerita-cerita mereka, supaya engkau mengetahui bahwa hamba-hamba Allah I yang ikhlas selalu mengakui kekurangan. Inilah Abu Bakar t setelah memangku jabatan khalifah, ia memberikan pidatonya yang terkenal setelah pelantikannya: ‘Wahai manusia, aku telah diangkap sebagai pemimpin kamu, sedangkan aku bukanlah yang terbaik darimu...”
         
Al-Hasan al-Bashari berkata, ‘Bahkan, demi Allah, dia adalah yang terbaik di antara mereka, akan tetapi orang beriman mengaku kekurangan atas dirinya sendiri.’
          Muhammad bin ‘Atha menceritakan kepada kita, ia berkata, ‘Aku sedang duduk-duduk bersama Abu Bakar t, lalu ia melihat burung, ia berkata, ‘Alangkah beruntungnya engkau, wahai burung, engkau makan dari pohon ini, kemudian engkau mengeluarkannya (buang air besar), kemudian engkau tidak menjadi sesuatu, tidak ada hisab atasmu. Aku ingin sepertimu.’ Aku berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mengatakan hal ini, sedangkan engkau adalah orang terdekat dengan Rasulullah r.
         
Inilah al-Faruq Umar bin Khaththab t, ia berkata, ‘Jikalau penyeru berseru di hari kiamat, ‘Wahai sekalian manusia, masuklah ke dalam surga kecuali satu orang,’ niscaya aku menduga bahwa satu orang itu adalah aku.’
          Wahai saudaraku yang berhaji, inilah Rasulullah r, mengajarkan kepada kita, bagaimana beribadah kepada Allah I. Beliau beribadah di malam hari hingga bengkak kedua tumitnya. Maka apabila mereka bertanya, beliau menjawab
أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
 ‘Apakah aku tidak mau menjadi hamba yang sangat bersyukur?’ HR. Al-Bukhari.
Dan Nabi r bersabda, ‘
وَاللهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ الله وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
“Demi Allah, sesungguhnya meminta ampun dan bertaubat kepada Allah swt dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.’ HR. al-Bukhari.
               
Bagaimana pendapatmu, wahai saudaraku yang berhaji, apabila Rasulullah r, padahal Allah I telah mengampuni dosanya yang terdahulu dan yang akan datang, sedangkan beliau beribadah kepada Rabb-nya dengan cara seperti ini, apakah kita pantas mengatakan, ‘Aku telah beribadah kepada Allah I dengan sebenarnya?
         
Wahai saudaraku, tekanlah nafsumu dengan sebenarnya niscaya ia menjadi lurus untukmu, dan apabila engkau memandang kepadanya dengan pandangan sempurna niscaya ia melakukan kelalaian denganmu, hingga kekurangan memasukimu dalam menunaikan ibadah.
         
Kemudian wahai saudaraku yang berhaji, aku ingin menunjukkan kepadamu obat mujarab untuk mengobati penyakit malas dalam beribadah. Maka sesungguhnya jika engkau mengambilnya, niscaya memberikan pengaruh yang mengagumkan. Tahukah engkau, obat apakah itu? Sesungguhnya ia adalah kematian. Ingatlah wahai saudaraku, sesungguhnya engkau akan berangkat meninggalkan dunia ini menuju suatu negeri yang akan dibalas padanya orang-orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat. Apabila engkau ingin terus merasakan berkah hajimu, maka ingatkanlah dirimu dengan kematian, maka sesungguhnya ia pada saat itu segera melaksanakan amal shalih dan giat beribadah kepada Allah I. Nabi r mengajarkan kepada Abdullah bin Umar t tentang obat yang ajaib ini, maka beliau memegang bahunya dan bersabda kepadanya:
كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَاِبرُ سَبِيْلٍ
Jadikanlah dirimu di dunia bagaikan orang asing atau yang sedang melewati jalan.” 

Dan Ibnu Umar t berkata, ‘Apabila engkau ada di sore hari, maka janganlah menunggu pagi, dan apabila engkau ada di pada hari maka janganlah engkau menunggu sore. Ambilah kesempatan sehatmu untuk saat sakitmu, dan ambilah kesempatan hidupmu untuk saat matimu.’ HR. al-Bukhari.

Iman an-Nawawi rahimahullah berkata, ‘Pengertian hadits tersebut bahwa janganlah engkau cenderung kepada dunia, dan janganlah engkau jadikan dunia sebagai tanah airmu, janganlah engkau berbicara kepada dirimu untuk selama-lamanya, dan janganlah engkau bergantung darinya sebagaimana orang asing (pengelana) tidak bergantung kepada selain tanah airnya.
         
Saudaraku, Hasan al-Bashari berkata, ‘Bersegerah-bersegeralah, sesungguhnya itulah napasmu. Jika telah dihisab, niscaya terputuslah darimu amal ibadahmu yang dengannya kamu mendekatkan diri kepada Allah I. Semoga Allah I memberikan rahmat-Nya kepada seseorang yang merenungkan dirinya dan menangisi dosanya, kemudian ia membaca firman Allah I:
إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدًّا
karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti. (QS. Maryam:84)
Kemudian ia menangis dan berkata, ‘Saudaraku, hitungan: keluarnya ruhmu. Hitungan yang lain: engkau berpisah dengan keluargamu. Hitungan yang lain: masuknya engkau ke dalam kuburmu.
         
Saudaraku yang telah berhaji, Inilah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, beliau berkata, ‘Kematian ini menekan penduduk dunia terhadap kenikmatan dunia dan perhiasaannya yang mereka nikmati. Maka tatkala mereka dalam keadaan seperti itu, kematian datang menjemput mereka, maka celaka dan rugilah orang yang tidak takut mati dan tidak mengingatnya di saat senang, lalu ia bisa memberikan kebaikan untuk dirinya setelah ia meninggalkan dunia dan para penghuninya.’ Kemudian ia dikalahkan tangisnya dan berdiri.
         
Saudara-saudaraku, kemanakah engkau menunda amalmu, sampai kapan engkau ingin mencapai angan-angan, dan engkau tertipu oleh kesempatan serta engkau melupakan serangan kematian? Apa yang kamu lahirkan maka untuk tanah, apa yang kamu bangun untuk kehancuran, apa yang kamu kumpulkan hanya untuk kesirnaan, dan apa yang kamu amalkan maka tetap tersimpan dalam kitab catatan amal hingga hari penghitungan.
         
Saudaraku yang telah berhaji, aku telah memaparkan kepadamu apa yang tersimpan dalam sanubariku, dan aku telah memberikan kepadamu hadiah yang berharga ini, maka renungkanlah. Kemudian, sesungguhnya aku memohon kepada Allah I agar menetapkan aku dan engkau di atas agama-Nya yang benar, dan memberikan kepadaku dan engkau kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allahu A'lam.






[Baca...]