ASYURO DALAM AJARAN ISLAM DAN AGAMA SEBELUMNYA DAN BANTAHAN TERHADAP RAFIDHAH (SYIAH) YANG MENGATAKAN BAHWA DIA MERUPAKAN BID'AH BANI UMAYYAH, Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid (QA Islam)

Apakah hari Asyuro yang kita berpuasa di dalamnya merupakan hari yang benar? Karena saya pernah membaca bahwa hari yang benar adalah hari kesepuluh pada bulan Tisyri berdasarkan kalender Ibrani, dan bahwa khalifah Bani Umayyah lah yang merubahnya ke hari kesepuluh bulan Muharram. Bulan Tisyri adalah bulan pertama berdasarkan kalender Yahudi.
1-   Puasa Asyuro yang kita lakukan pada tanggal sepuluh bulan Muharram adalah hari diselamatkannya Nabi Musa alaihissalam, karenannya, segolongan kaum Yahudi di Madinah berpuasa pada hari itu. Pada hari ini pula Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa pada awalnya, kamudian perintah (wajib) tersebut dihapus dengan datangnya perintah wajib puasa Ramadan. Maka puasa Asyuro hukumnya berubah menjadi sunnah.  
Tuduhan bahwa para khalifah Bani Umayyah yang menjadikan Asyuro di buan Muharram bersumber dari kalangan Rafidhah (syiah) yang merupakan salah satu rangkaian dusta mereka yang dengan itu mereka membangun agama mereka. Juga rangkaian dari dusta mereka yang menisbatkan semua keburukan kepada para khalifa Bani Umayyah dan masanya. Seandainya kalangan Bani Umayyah hendak menciptakan hadits dusta dan menisbatkannya kepada syariat, niscaya mereka akan mengarang-ngarang hari Asyuro sebagai Id (hari raya)! Bukan berpuasa yang mencegah diri seseoragn untuk makan, minum, berjimak. Puasa adalah ibadah menahan diri dari perkara yang dibolehkan, sedangkan Id adalah meluapkan kegembiraan, dengan menyantap makanan.  
2-   Tak diragukan lagi bahwa kedatangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Madinah saat berhijrah terjadi pada bulan Rabiul Awal, bukan di bulan Muharram, lalu beliau melihat sekelompok orang Yahudi berpuasa, ketika dia bertanya kepada mereka tentang puasa mereka, mereka berkata, 'Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan pengikutnya dari tenggelam, maka kami berpuasa untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah.' 
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ketika tiba di Madinah, beliau mendapatkan mereka berpuasa pada satu hari, yaitu hari Asyuro, lalu mereka berkata, 'Ini adalah hari yang agung, yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir'aun, maka Nabi Musa berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah. Maka Beliau bersabda, 'Aku lebih berhak mengikuti Nabi Musa dibanding mereka, maka beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa.' (HR. Bukhari, no. 3216) 
Apakah beliau mendapatkan mereka di awal kedatangannya pada bulan Rabiul Awal, atau setelah di bulan Muharram? 
Ada dua pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat adalah bahwa penyaksian dan dialog tersebut serta perintah berpuasa terjadi pada bulan Muharram, yaitu pada tahun kedua dari kedatangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka berdasarkan hal ini, kaum Yahudi berpedoman dengan bulan-bulan Qamariah dalam penanggalannya.  
Ibnu Qoyim rahimahullah berkata;
"Sebagian orang bertanya-tanya dalam masalah ini, mereka berkata, 'Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda datang ke Madinah pada bulan Rabi'ul Awal, bagaimana Ibnu Abbas berkata bahwa beliau datang ke Madinah dan mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura?" 
Beliau –rahimahullah- berkata,
"Adapun pertanyaan pertama, bahwa ketika beliau datang ke Madinah mendapatkan mereka (orang-orang Yahudi) berpuasa pada hari Asyuro, bukanlah persis saat beliau datang melihat mereka berpuasa pada hari itu. Karena kedatangan beliau pada hari Senen tanggal dua belas bulan Rabiul Awal. Akan tetapi yang dimaksud adalah bahwa pertama kali beliau mengetahui kisah tersebut terjadi pada tahun kedua setelah kedatangannya ke Madinah, dimana hal itu tidak dia ketahui ketia berada di Mekah. Hal ini apabila penanggalan Ahli Kitab dalam puasanya menggunakan bulan-bulan Qomariah.  
Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairil Ibad, 2/66 
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,  
"Riwayat ini secara tekstual menimbulkan pertanyaan, karena di dalamnya terkandung pemahaman bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika datang ke Madinah mendapatkan orang-orang Yahudi melakukan puasa pada hari Asyura, padahal beliau tiba di Madinah pada bulan Rabi'ul Awal. Jawaban dari pertanyaan tersebut, bahwa yang dimaksud adalah pertama kali beliau mengetahui dan pertama kali beliau menanyakan hal tersebut terjadi setelah beliau datang ke Madinah, sebelum kedatangannya beliau tidak mengetahuinya. Kesimpulannya, bahwa dalam kalimat riwayat tersebut terdapat kata yang dibuang, perkiraannya adalah; 'Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah dan menetap hingga hari Asyuro, lalu beliau mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasanya pada hari itu."  
Fathul Bari, 4/247 
3-     Apakah perhitungan orang Yahudi untuk menetapkan puasa mereka berdasarkan bulan Qomariah atau bulan Syamsiah? 
Jika kita katakana bahwa perhitungan mereka berdasarkan penanggalan Qomariah seperti telah dijelaskan sebelumnya, maka tidak ada permasalahan. Karena tanggal sepuluh Muharram, tidak berubah setiap tahun. Adapun jika dikatakan bahwa perhitungan mereka berdasarkan penanggalan Syamsiah, maka timbul pertanyaan, karena itu berarti hari Asyura berubah-ubah setiap tahun tidak harus selalu tanggal sepuluh Muharram.
Ibnu Qoyim rahimahullah telah menyebutkan terjadinya perbedaan tersebut dan menjelaskan bahwa jika berpendapat bahwa perhitungan mereka berdasarkan bulan-bulan Syamsiah, maka hari dimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyaksikan mereka berpuasa adalah pada bulan Rabi'ul Awal, saat pertama kali Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah. Maka perhitungan tanggal mereka berdasarkan peredaran matahari bertepatan dengan awal kedatangan beliau. Sedangkan hari yang Allah selamat Nabi Musa pada hakekatnya adalah hari kesepuluh bulan Muharram, akan tetapi patokan mereka berdasarkan peredaran matahari membuat mereka keliru dalam menetapkannya.  
Ibnu Qoyim Al-Jauziah rahimahullah berkata,  
'Apabila perhitungan mereka berdasarkan peredaran matahari, maka hilanglah permasalahannya. Allah menyelamatkan Nabi Musa alaihissalam pada hari Asyura di permulaan Muharram, hanya saja orang Yahudi menetapkannya (asyuro) berdasarkan peredaran matahari, sehingga hari itu bertepatan dengan kedatangan Rasulullah shallallahu alaiih wa sallam ke Madinah di bulan Rabi'ul Awal, karena waktu puasa Ahli Kitab berdasarkan peredaran matahari, sedangkan puasa kaum muslimin berdasarkan peredaran bulan, demikian pula amal-amal pada bulan-bulan yang diakui baik wajib maupun sunnah. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Kami lebih berhak kepada Musa dibandingkan kalian" untuk menjelaskan bahwa kaum muslimin lebih berhak untuk memuliakan hari tersebut dan menetapkannya. Sedangkan mereka keliru menetapkannya, karena berdasarkan peredaran matahari, sebagaimana orang-orang Nashrani keliru dalam menetapkan puasa mereka dengan menetapkan salah satu musim dalam setahun yang berbeda-beda bulannya.  
Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairil Ibad, 2/69-70 
Al-Hafiz Ibnu Hajar telah menyatakan bahwa penafsiran ini merupkan kemungkinan dan beliau telah menjawabnya sebagaimana beliau telah membantah pilihan yang dikuatkan oleh Ibnu Qoyim.  
Beliau (Ibnu Hajar) rahimahullah berkata,  
"Sebagian ulama belakangan berkata, 'Ada kemungkinan puasa mereka (Yahudi) berdasarkan bulan Syamsiah, sehingga tidak ada halangan jika hari Asyura jatuh pada bulan Rabi'ul Awal, sehingga tidak ada lagi problem di dalamnya sama sekali. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Qoyim dalam 'Al-Huda', dia berkata, 'Puasanya Ahli Kitab ditetapkan berdasarkan peredaran matahari.' Saya katakan, 'Apa yang dia katakan bahwa tidak adalagi problem di dalamnya adalah perkara aneh, karena kesimpulan tersebut akan menimbulkan problem lainnya, yaitu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa Asyura berdasarkan hisab, sedangkan yang telah di kenal di kalangan kaum muslimin sepanjang masa tentang puasa Asyura bahwa dia dilakukan pada bulan Muharram, bukan pada bulan-bulan lainnya. Benar, terdapat riwayat Thabrani dengan sanad yang baik dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, 'Hari Asyuro bukanlah hari yang orang-orang katakan, tapi dia adalah hari ketika Ka'bah di tutup, dan hari melakukan permainan pedang dan alat perang. Hari itu berputar setiap tahun! Dahulu orang-orang mendatangi seorang Yahudi untuk menanyakannya, ketika dia meninggal, mereka mendatangi Zaid bin Tsabit untuk menanyakannya.' 
Berdasarkan hal tersebut, maka jalan komprominya adalah dengan mengatakan bahwa asalnya memang demikian, maka ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan  untuk berpuasa Asyuro, beliau mengembalikannya berdasarkan petunjuk syariat dengan berpatokan pada hilal, lalu hal tersebut dijadikan patokan umat Islam. Akan tetapi orang yang mengatakan bahwa kalangan Yahudi melandasi puasanya dengan perhitungan bulan Syamsiah perlu dikritisi, karena orang Yahudi hanya melandasi puasanya dengan hilal (perhitungan bulan). Ini yang kami saksikan dari mereka. Kemungkinannya, ada di kalangan mereka yang pernah menghitung bulan berlandaskan peredaran matahari, akan tetapi sekarang sudah tidak ada lagi, sebagaimana tidak ada lagi ada di kalangan mereka yang mengatakan 'Uzair adalah anak Allah! Maha Tinggi Allah dari tuduhan tersebut.  
Fathul Bari, 7/276, lihat pula, 4/247 
Di tempat lain dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari riwayat Thabrani,  
'Aku menguatkan maknanya dalam kitab 'Al-Atsar Al-Qadimah' oleh Abu Raihan Al-Biruni, dia menyebutkan kesimpulannya, 'Orang-orang bodoh di kalangan Yahudi berpatokan dengan hitungan bintang dalam menetapakan puasa dan hari raya mereka. Hitungan tahun pada mereka berdasarkan peredaran matahari bukan bulan'. Aku katakan, 'Karena itu, mereka membutuhkan orang yang mengetahui hisab untuk berpatokan pada hal tersebut.'  
Fathul Bari, 4/247-248 
Adapun riwayat Zaid bin Tsabit yang disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullh dan telah dijawab olehnya, perkara ini telah dibahas oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab rahimahullah dari sisi periwayatan dan matannya.
Beliau berkata,  
"Dalam riwayat ini memberikan isyarat bahwa Asyuro tidak terjadi pada bulan Muharram, akan tetapi dihitung berdasarkan peredaran matahari, sebagaimana perhitungan Ahli Kitab. Ini bertentangan dengan apa yang telah dilakukan kaum muslimin sejak dahulu, ... sedangkan Ibnu Abi Zanad tidak dapat dijadikan patokan dengan pendapatnya seorang diri, dia telah menjadikan seluruh hadits tersebut dari Zaid bin Tsabit, padahal bagian akhirnya tidak layak dikatakan sebagai perkataan Zaid, mungkin dari orang-orang sesudahnya, wallahua'lam 
Latha'iful Ma'arif, hal. 53 
4-     Boleh jadi seseorang bertanay, 'Bagaimana Nabi shallallahu alaihi membenarkan orang Yahudi bahwa hari Asyuro adalah hari diselamatkannya Nabi Musa alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya? Itu berarti sesuai dengan tuduhan kaum rafidhah (syiah) yang dengan penuh kebusukan dan makar menuduh bahwa hadits-hadits tentang Asyuro adalah karangan kaum Umawiyah! 
Al-Maziri rahimahullah berkata tentang masalah ini dengan menjawab; 
"Berita yang bersumber dari orang Yahudi tidak diterima, kemungkinannya adalah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan wahyu yang membenarkan apa yang mereka katakan, atau bahwa informasi tentang hal tersebut sudah umum dikenal masyarakat (mutawatir) sehingga sudah menjadi pengetahuan umum." 
Dikutip oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/11 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, rahimahullah, berkata; 
"Jika puasanya tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Ahli Kitab, maka ucapan beliau 'Kami lebih berhak kepada Musa dibandingkan kalian', itu berarti memperkuat puasa yang telah dilakukannya, dan penjelasan kepada Yahudi bahwa apa yang mereka kerjakan untuk mengikuti Nabi Musa, juga telah kami kerjakan. Maka kami lebih utama mengikuti Nabi Musa dibanding kalian." 
Iqthida Ash-Shiratal Mustaqim, hal. 174 
5-     Yang layak diketahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada awalnya senang mengikuti Ahli Kitab dalam perkara yang tidak diperintahkan (untuk berbeda). Termasuk dalam hal ini adalah puasa Asyuro.  
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjulurkan rambutnya, sedangkan orang-orang musyrik membelah rambut mereka, sedangkan Ahli Kitab menjulurkan rambutnya. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada awalnya senang menyepakati Ahli Kitab terhadap perkara yang tidak diperintahkan (berbeda) dengan mereka. Baru kemudian beliau membelah rambutnya." 
Riwayat Bukhari, no. 7328 
Merupakan fiqh (pemahaman) yang baik dari Imam Bukhari rahimahullah, ketika beliau meriwayatkan hadits ini setelah hadits Abu Musa dan Ibnu Abbas tentang puasa Asyuro.  
Abu Al-Abbas Al-Quthubi berkata,  
"Puasa (Asyuro) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada kemungkian sebagai tindakan menyepakati mereka (Ahli Kitab) dalam hal ini, sebagaiman beliau  menyepakati mereka dengan menunaikan haji bersama mereka dan berdasarkan tata cara haji mereka, maksudnya adalah pada pelaksanaan haji pertama kali sebelum hijrah dan sebelum diwajibkannya haji; Karena semua itu dianggap sebagai perbuatan baik.  
Mungkin juga dikatakan, Allah telah mengizinkan kepadanya untuk berpuasa Asyuro. Namun ketika berada di Madinah beliau mendapatkan orang-orang Yahudi melakukan puasa Asyuro, lalu beliau menanyakan mereka tentang alasan puasa mereka. Mereka berkata sebagai diriwayatkan Ibnu Abbas, 'Ini adalah hari agung, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir'aun serta kaumnya, lalu Musa berpuasa sebagai rasa syukur, maka kamipun berpuasa pada hari ini. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, 'Kami lebih utama kepada Musa dibandingkan kalian' Maka ketika itu beliau melakukan puasa tersebut di Madinah dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa, maksudnya adalah mewajibkan berpuasa dan menguatkan perintahnya, sehingga kaum musliminnya memerintahkan anak-anaknya yang masih kecil untuk berpuasa. Rasulullah shallallahu alaihi selalu berpuasa dan memerintahkan para shahabatnya untuk berpuasa hingga akhirnya diwajibkan puasa Ramadan dan dihapus kewajiban puasa Asyuro. Beliau berkata kala itu, 'Allah kini tidak mewajibkan puasa (Asyuro) atas kalian hari ini' Kemudian beliau mempersilahkan untuk memilih antara berpuasa dan berbuka, sementara keutamaannya masih tetap, beliau berkata, 'Aku berpuasa' sebagaimana diriwayatkan dalam riwayat Mu'awiyah.  
Dengan demikian, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak berpuasa Asyuro dalam rangka mengikuti orang Yahudi, karena beliau telah melakukannya sebelum datang ke Madinah. Dan ketika itu masih dalam waktu beliau suka menyepakati Ahli Kitab dalam perkara yang tidak dilarang kepadanya. 
Fathul Bari, 4/248 
6-     Telah kita sebutkan dalam perkataan para ulama bahwa hari Asyuro telah dikenal di tengah masyarakat Quraisy dan juga telah dikenal oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam semasa beliau masih di Mekah. Mereka memang mengagungkannya, bahkan mereka berpuasa pada hari itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga melakukan puasa pada hari itu, hari itu mereka jadikan sebagai hari untuk memakaikan (kiswah) Ka'bah. Mana tuduhan batil itu yang mengatakan bahwa Asyuro merupakan karangan Bani Umayyah dengan semua kenyataan ini?! Banyak hadits-hadits shaheh yang secara jelas menyebutkan hal tersebut.  
Dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata, 
'Dahulu kaum Quraisy melakukan puasa Asyuro semasa jahiliah, dan adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga berpuasa pada hari itu. Maka ketika beliau hijrah ke Madinah, beliaupun berpuasa dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa, ketika bulan Ramadan diwajibkan, beliau berkata, 'Siapa yang suka hendaknya dia berpuasa, siapa yang suka dia boleh meninggalkannya.' 
Riwayat Bukhari, no. 1794, Muslim, no. 1125. Redaksi berasal darinya. 
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, 'Kaum jahiliah dahulu melakukan puasa Asyuro, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kaum muslimin juga melakukan puasa pada hari itu sebelum diwajibkan Ramadan. Ketika Ramadan telah diwajibkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya Asyuro adalah hari di antara hari-hari Allah, siapa suka hendaknya dia berpuasa, siapa yang suka dia boleh meninggalkannya' 
Riwayat Muslim, no. 1126 
Kami sebutkan riwayat Ibnu Umar di sini sebagai bantahan bagi kaum rafidhah dan siapa yang mengikuti mereka karena kebodohannya, atas tuduhan bahwa hanya Aisyah radhiallahu anha yang meriwayatkan bahwa  Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah berpuasa Asyuro  di Mekah.  
Ibnu Abdil Bar, rahimahullah, berkata,  
'Abdullah bin Umar telah meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini seperti riwayat Aisyah, diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Umar dan Ayub dari Nafi dari Ibnu Umar, bahwa dia berkata tentang puasa Asyuro, 'Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada hari itu dan memerintahkan (orang lain) untuk berpuasa.' 
At-Tamhid Lima Fil Muwaththa Minal Ma'ani wal Asanid, 7207.  
An-Nawawi, rahimahullah, berkata,  
Kesimpulan dari keseluruhan hadits-hadits ini adalah bahwa hari Asyuro adalah hari yang pada hari itu kaum jahiliah dari kafir Quraisy dan selainnya, serta orang-orang Yahudi, melakukan puasa. Kemudian Islam datang menguatkan hal tersebut, kemudian setelah itu penekanannya berkurang.' 
Syarah Muslim, 8/9-10 
Abu Al-Abbas Al-Qurthubi, rahimahullah, berkata,
Perkataan Aisyah, 'Kaum Quraisy berpuasa Asyuro pada masa jahiliahnya' menunjukkan bahwa puasa pada hari itu seudah dikenal ajaran dan ketentuannyanya di kalangan mereka. Boleh jadi mereka melandasi puasanya dari ajaran Nabi Ibrahim dan Islam alaihimassalam, karena mereka sering melandasi ajarannya dengan kepada kedua Nabi tersebut, seperti haji dan lainnya. 
Al-Mufhim Limaa Asykala min Talkhis Kitab Muslim, 3/190-191 
Dapat juga dilihat tentang sebab puasa kaum Quraisy pada hari tersebut dalam kitab Al-Mufashshal fi Tarikhil Al-Arab Qablal Islam, 11/339-340 
7-    Akhirnya, semua yang kami telah sebutkan dari sunnah yang shahih tentang keutamaan puasa Asyura, dan bahwa berpuasa di dalamnya dapat menghapus dosa setahun, dan bahwa dia telah ditetapkan sebagai hari kesepuluh bulan Muharram, semua itu bukan hanya pendapat Ahlussunnah. Bahkan hal itu telah dinyatakan pula dalam kitab-kitab kaum rafidhah yang terpercaya! Bagaimana hal ini dapat mereka pahami dengan tuduhan mereka bahwa apa yang kami yakini merupakan isra'iliyat yang bersumber dari orang Yahudi atau karangan Bani Umayyah!! 
a-      Diriwayatkan dari Abu Abdillah alaihissalam dari bapaknya, bahwa Ali alaihimassalam, berkata, 'Berpuasalah kalian pada hari Asyuro, yaitu hari kesembilan dan kesepuluh, karena hal itu dapat menghapus dosa setahun."  
Diriwayatkan oleh Ath-Thusi dalam Tahizib Al-Ahkam, 4/299, dan Al-Istibshar, 2/134, juga oleh Al-Faidh Al-Kasani dalam Al-Wafie, 7/13, Al-Hur Al-Amili dalam Wasa'il Syiah, 7/337, Al-Brujudi dalam Jami Ahadits Syiah, 9/474-475.  
b-     Diriwayatkan dari Abul Hasan alaihissalam, dia berkata, 'Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam pada hari Asyuro.' 
Tahzib Al-Ahkam, 4/29, Al-Ishtibshar, 2/134, Al-Wafie, 7/13, Wasa'il Asy-Syiah, 7/337, Jami Ahadits Asy-Syiah, 9/475.  
3- Diriwayatkan dari Ja'far dari bapaknya alaihissalam, dia berkata, 'Puasa pada hari Asyuro menghapus dosa setahun.'  
Tahzibul Ahkam, 4/300, Al-Istibshar, 2/134, Jami Ahadits Asy-Syiah, 9/475, Al-Hada'iq An-Nadhirah, 13/371, Al-Wafi, Al-Kasyani, 7/13, Al-Hurrul 'Amili dalam Wasa'ilul Syi'ah, 7/337. 
4- Dari Ali radhiallahu anhu, dia berkata, 'Berpuasalah pada hari Asyura, tanggal sembilan atau sepuluh, sebagai kehati-hatian, karena hal itu akan menjadi penghapus dosa setahun sebelumnya. Jika ada di antara kalian tidak mengetahuinya sehingga dia sudah makan, maka sempurnakan (sisa harinya) dengan berpuasa.' 
Riwayat ini disampaikan oleh ahli hadits kalangan syiah Husain An-Nuri Ath-Thibrisi dalam Al-Mustadrak Al-Wasa'il, 1/594, Al-Brujurdi dalam Jami Ahadits Asy-Syiah, 9/475.  
5- Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, dia berkata, 'Jika engkau melihat hilal Muharram, hitunglah. Jika aku berada di tanggal sembilan, maka di pagi harinya aku berpuasa.' Lalu aku (perawi) berkata, 'Begitukan puasanya Muhammad shallallahu alaihi wa alihi? Beliau berkata, 'Ya'.  
Riwayat ini disampaikan oleh seorang Syi'i Radhiauddin Abul Qasim Ali bin Musa bin Ja'far bin Thaus, dalam kitabnya, Iqbal Al-A'mal, hal. 554, Al-Hurrur Amili dalam Wasa'ilul Syi'ah, 7/347, An-Nuri Ath-Thibrisy dalam Mustadrak Al-Wasa'il, 1/594, Jami Ahadits Asy-Syiah, 9/475.  
Kami dapatkan riwayat-riwayat ini dengan seluruh takhrijnya dari kitab, Man Qatala Husain radhiallahu anhu (Siapa yang membunuh Husain radhiallahu anhu), pengarang, Abdullah bin Abdul Aziz.  
Wallahua'lam.

Soal Jawab Tentang Islam


[Baca...]




8. Lalai Dari Perintah Allah
Sikap lalai terkadang menguasai hati yang terpisah dari kecintaan kepada Allah dan senantiasa menurutkan hawa nafsunya serta lupa kepada Allah.
ولا تطع من أغفلنا قلبه عن ذكرنا واتبع هواه وكان أمره فرطا
"Dan janganlah anda mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya telah melampaui batas" QS Al Kahfi: 28.
Penghalang ini tidak akan tersingkap kecuali dengan menumbuhkan tiga cahaya dalam hati:
1.  Nur Mulahazhah (cahaya penelitian): dengan memperhatikan nikmat-nikmat Allah, dalam keadaan diam-diam maupun terangan-terangan sampai hatinya dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah SWT, sebab hati dikondisikan oleh orang yang berbuat baik kepadanya.
2.  Nur Muthala`ah Jinayah Nafsi (cahaya dalam meneliti perbuatan maksiat oleh jiwa), sehingga yakin dapat mengantarkan kepada kesengsaraan. Dengan demikian jiwapun menjadi tahu akan kekurangan dan kelemahannya, serta mengetahui sifat Allah yang Mahaindah dan Mahasempurna. Maka ia pun menghinakan diri di hadapan Allah, sehingga bersemangat untuk beribadah kepada Allah SWT.
3.  Nur Al Intibah (cahaya kesadaran), dengan melihat kelebihan dan kekurangan hari-hari yang telah dilaluinya, maka ia pun mengetahui umurnya merupakan harta yang berharga baginya. Demikian itu ia dapat mengisi sisa-sisa umurnya dengan kebaikan dan amal-amal shalih.
Dengan memperhatikan ketiga jenis cahaya di atas, maka hati pun akan tumbuh kembali dan tunduk pada perintah Allah SWT, sehingga tersingkaplah penghalang yang satu ini.

[Baca...]



9. Adat, Kebiasaan dan Tradisi
Sungguh banyak kita dapati manusia yang menyembah kebudayaan dan tradisinya, contohnya:
Ada orang bertanya kepada orang lain, Mengapa anda merokok ? Ia pun menjawab dan mengakui bahwa hal ini merupakan kebiasaan buruk dan pada hakikatnya saya tidak menikmati sebatang rokok tersebut dan tak butuh padanya, hanya saja ketika saya marah lalu menyalakan sebatang rokok, maka marahpun hilang dariku. Oleh sebab itu, kebiasaan merokok menjadi penghalang antara diriku dan Allah.
Merupakan cara yang ampuh menghilangkan penghalang ini, adalah dengan melepaskan dari adat yang buruk. Bagi orang yang ingin menjadi budak dari tradisi senantiasa terhalang dari Allah, sampai ia membebaskan diri dari penghambaan kepada selain Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Tidak dikatakan seseorang itu menghambakan diri kepada Allah, sehingga ia melepaskan dari penghambaan kepada selain-Nya".
10. Menyimpang dari Jalan Yang Dituju (Rusak Tujuan, Fasadul Qashdi).
Perkara ini merupakan penghalang bagi setiap hamba yang selalu iltizam, dimana ia bangga terhadap amalannya, sehingga amalan ini menjadi penghalang antara dia dengan Allah.
Diantara yang harus ia lakukan adalah: ia tidak melihat pada amalan yang telah dilakukan, namun seharusnya melihat pada pemberian Allah dan melihat kekurangan jiwa dan amalnya.
Sepatutnya ia selalu melihat  anugerah Allah yang telah memberinya taufiq dan hidayah serta melihat amalannya itu apakah sudah dikerjakan sesuai dengan perintah Allah ataukah terdapat penyakit yang menghalangi sampainya amalan kepada Allah. Jika tidak demikian, maka hatinya akan tergantung kepada amal dan ridlo-nya, serta sibuk dari Allah (lalai dari ridlo Allah). Yang demikian ini menjadi penghalang antara dia dan Allah.
Karena ridlonya seorang hamba dengan ketaatan kepada Allah, menunjukkan adanya sikap husnu zhann terhadap diri dan sikap jahilnya pada hakikat penghambaannya kepada Allah serta hilangnya amal yang diinginkan oleh Allah SWT serta lahirnya sifat ujub dan takabbur pada dirinya. Keduanya – ujub dan takabbur - lebih bahaya daripada dosa besar.
Bagaimana mungkin bagi orang yang puas dengan diri dan amalnya itu akan ridlo kepada Allah.
Manakala Allah menjadi agung di hatimu, tentulah kamu menganggap kecil (hina) dirimu, dan setiap kamu melihat hakikat ubudiyah dan rububiyah Allah, pastilah engkau mengetahui siapa Allah dan siapa dirimu. Menjadi jelaslah, apa yang ada pada dirimu berupa barang yang kamu miliki, tidak layak untuk kamu miliki, sekalipun engkau beramal dengan amalan manusia dan jin yang engkau takuti akibat buruknya. Akan tetapi dengan sebab karunia dan kemuliaan Allah, engkau diberi pahala, dan tersinmgkaplah penghalang ini. Laa haua wa laa quwwata illaa billah.
Inilah 10 penghalang antara hamba dan Allah, apakah engkau tidak menyadari jumlah penghalang yang ada pada dirimu dalam sehari, antara kamu dan Rabb-mu ? Apakah semua itu telah terbebas dari dirimu ?  Seharusnya anda yakin kepada Allah, dan beribadah kepada-Nya, agar tersingkap seluruh hijab-hijab ini yang tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta`ala.
Berkata Ibnu Qayyim al Jauziyah : "Sepuluh penghalang ini tumbuh dari empat unsure, yaitu: Jiwa, syaithan, dunia dan hawa nafsu".
Dan penghalang ini tidak akan dapat hilang, selama unsure-unsur nya masih berada dalam hati seorang. Oleh karena itu, hilangkan dulu ke-empat unsur tersebut, dan pastilah unsure lainnya akan hilang pula atas idzin Allah.
Kami memohon kepada Allah, agar Dia memberikan taufiq dalam amalan dan perkataan, serta menerima amalan-amalan kami.
نسأل الله أن يوفقنا للإخلاص في القول والعمل، وأن يتقبل أعمالنا ، وصلى الله وسلم على نبينا محمد ,على آله وصحبه.

[Baca...]



5-Dosa Dosa Kecil
Sesungguhnya dosa-dosa kecil terkadang menjadi dosa besar,  dan berapa banyak dosa kecil yang bisa menyeret  pelakunya kepada su’ul khotimah – Allah tempat berlindung kita.
Maka seorang mukmin seharusnya dia melihat dosa kecil yang diperbuatnya, seakan- akan sebagai dosa besar, karena selalu merasa di awasi Allah, sebagaimana dia juga tidak meremehkan perbuatan baik sedikitpun, karena di dalamnya terdapat keutamaan dari Allah.  Maka dengan itu, dia senantiasa berada pada dua keadaan ini, sehingga terlepaslah dari hatinya dua perkara tadi, yaitu: meremehkan dosa kecil dan meremehkan kebaikan, sehingga dia menghadap Allah dengan hati yang bersih dan selamat.
6-Syirik (Menyekutukan Allah)
Syirik merupakan penghalang yang paling berat dan berbahaya, yang hanya bisa di hilangkan dengan memurnikan tauhid kepada Allah azza wa jalla. Adapun hakikat syirik adalah ketergantungan hati kepada selain Allah dalam segala bentuk jenis ibadah, maupun cinta serta amalan hati, dan syirik merupakan sesuatu yang paling di murkai Allah, dan Dia-pun sangat murka kepada pelakunya.
Syirik ini sangat banyak bentuknya, adapun jenis yang paling berbahaya adalah syirik khofi (tersembunyi) sebagaimana Allah berfirman dalam surat al Aan’am ayat 22 dan 24 :
ويوم نحشرهم جميعا ثم نقول للذين أشركوا أين شركائكم الذين كنتم تزعمون  ثم لم تكن فتنتهم إلا أن قالوا والله ربنا ما كنا مشركين. أنظر كيف كذبوا على أنفسهم وضلّ عنهم ماكانوا يفترون. (الأنعام 22، 24)
"Dan pada hari Kami himpun mereka seluruhnya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang yang menyekutukan Allah,'Mana sekutu-sekutu kalian yang kalian sangka, kemudian tidaklah fitnah mereka kecuali mereka berkata Demi Allah, wahai Rabb kami, benar-benar kami tidak melakukan kesyirikan, maka lihatlah bagaimana mereka mendustakan atas diri-diri mereka dan sungguh sesat apa yang mereka dustakan".
Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam ber Tauhid kepada Allah, dan mintalah keselamatan kepada Allah dari syirik dan bahayanya. "
اللهم إني أعوذ بك أن أُشرِك بك شيئا أعلمه وأستغفرك لما لا أعلمه
Ya Allah sungguh aku berlindung kepada-Mu dari syirik kepada-Mu dengan sesuatu apapun yang aku ketahuinya dan aku memohon ampun kepada-Mu dari dosa yang tidak aku ketahuinya".
Dengan demikian, maka hilanglah Hijab ini yang disertai dengan Isti`adzah, ikhlash, ketulusan dalam bersandar kepada Nya.
7-Berlebih- lebihan dalam hal yang Mubah
Terkadang masalah perut menjadi penghalang antara hamba dan Allah, sebagaimana  sabda Rasulullah Saw yang mulia bersabda:
ما ملأ أدمي وعاء شرّا من بطنه (رواه الترمذي)
"Tak ada bejana yang paling buruk dari pada perut anak Adam". HR. at Tirmidzi.
Karena jika perut terisi penuh maka konsentrasi pun menjadi berkurang dan anggota badan pun menjadi malas dalam menjalankan ketaatan.
Ada kalanya, pakaian pun menjadi penghalang antara hamba dengan Allah, sebagaimana Nabi Saw bersabda, "
تعس عبد الدينار وعيد الدرهر وعبد الخميصة (رواه البخاري)
"Celakalah bagi hamba dinar, hamba dirham dan hamba dari pakaian"
Dalam hadits tadi, Nabi Saw menamakannya dengan "hamba", hal ini menunjukkan (penghambaannya kepada ketiga jenis dunia tadi: dinar, dirham dan pakaian) bisa menjadi penghalang antara hamba dengan Allah SWT.
Sebagai contoh: Anda mengatakan kepada saudaramu, 'Angkatlah sedikit pakaianmu (celana-mu), karena Nabi Sat telah bersabda,
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار (رواه البخاري)
"Apa saja (kain) yang berada di bawah kedua mata kaki mu, tempatnya di neraka"
Orang tersebut pun menjawabnya, 'Saya malu memakai pakaian seperti itu (seperti orang kebanjiran) dan mengapa saya harus seperti itu ? Apakah anda memandangku sebagai orang yang tak mampu membeli bahan ?
Maksudnya begini, terkadang budaya, adat kebiasaan, dan hal-hal yang mubah, bisa menjadi penghalang antara seorang hamba dan Rabb-nya. Begitu pula banyak tidur, juga bisa menjadi penghalang antara hamba dan Rabbnya, padahal tidur merupakan perkara mubah. Namun kebanyakan tidur sehingga tidak mampu bangun untuk shalat malam atau bangun shubuh kemudian tidur sampai datang waktu ashar sehingga tidak melakukan shalat zhuhur, maka tidur seperti ini dapat menjadi penghalang antara hamba dan Allah.
Terkadang pula menikah dan ketergantungan hati dengan pasangannya, dapat menjadi penghalang antara hamba dengan Rabbnya. Begitu pula, perkara mubah-mubah lainnya, jika berlebih-lebihan, akan menjadi penghalang antara hamba dengan Allah.
Kami memohon kepada Allah, agar senantiasa dibebaskan dari penghalang-penghalang ini.

[Baca...]




PENGHALANG KE-3 : DOSA-DOSA BESAR YANG BERSIFAT BATHIN.
Yang termasuk dosa-dosa besar yang bersifat bathin sangtatlah banyak. Seperti : sombong, congkak, hasad, riya, ujub dan lain sebagainya. Dosa-dosa besar bathin ini  lebih berbahaya dari dosa dosa besar lainnya , seperti zina, mencuri, mium khomer, dll.
Apabila penyakit ini ada pada diri seorang hamba, maka dapat menjadi penghalang antara hati hamba dan Allah Ta’ala. Oleh karena itu maka jalan untuk sampai kepada Allah terputus dengan hati,  bukan dengan anggota badan, dan penyakit hati inilah yang  menjadi pemutus hati hamba dan Allah ta’ala.
PENGHALANG KE-4 : DOSA DOSA BESAR
Yang termasuk doss-dosa besar seperti: mencuri, minum khamr, zina, dan lain sebagainya.
Saudaraku …….
Patut kita pahami bahwa tidak ada dosa-dosa kecil yang di lakukan secara terus  menerus, dan  tidak ada dosa besar yang di barengi dengan istighfar dan taubat,

Dengan demikian, ada kalanya dosa- dosa kecil-pun bisa menjadi dosa besar apabila memenuhi 6 kriteria:
1-    Apabila dilakukan secara terus menerus (kontinu)
Sebagai contoh: seseorang yang melihat lawan juenis yang bukan mahram, maka ke dua matanya tengah melakukan zina,  dan zina nya itu adalah melihat. Akan tetapi zina mata lebih ringan dari pada zina kemaluan, dengan melihatnya secara terus meners maka berubah menjadi dosa besar, karena tidak ada dosa kecil yang di lakukan secara terus menerus.
2- Meremehkan dosa
Sebagai contoh : engkau bekata kepada seorang perokok, 'bertaqwalah kepada Allah, sebab merokok adalah perbuatan yang diharamkan, sementara engkau telah memasuki usia tua, artinya bahwa pada dirimu telah terdapat beberapa tanda:
A.     Rambutmu telah ber uban
B.     Jenggot mu sudah memutih
C.    Engkau orang yang fakir
    Dengan adanya 3 tanda di atas , sepatutunya engkau berhenti merokok, namuin dengan enaknya seorang  seorang perokok tadi menjawab, 'ini hanyalah termasuk dosa kecil.
3 – Bangga melakukan kemaksiatan dan berbuat dosa
      Terkadang engkau melihat pelaku maksiat yang menampakkan kesenangannya dengan dosa yang di perbuatnya, padahal sikap merasa senang dengan berbuat dosa itu lebih berat dari dosa yang dilakukannya, maka dia pun senang  terhadap dosa yang diperbuatnya, sehingga ia pun merasa senang ketika mencela atau membnuh orang lain, padahal Rosulullah Saw pernah bersabda, "mencela orang muslim adalah fasiq, sedangkan membunuhnya adalah kekafiran, atau senang dalam mencela wanita muslimat padahal Allah telah berfirman:
إن الذين يحبون أن تشيع الفاحشة في الذين آمنوا لهم عذاب أليم (سورة النور: 19)
"Sesungguhnya orang-orang yang suka menyebarkan berita keji di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka itu adzab yang sangat pedih" QS An Nur: 19.
Wahai manusia, maka renungkanlah olehmu, bahwa sikap merasa senang dalam berbuat dosa itu lebih berat dari dosa itu sendiri.
4 –Menganggap Remeh Dosa yang telah Allah tutupi
      Abdulloh ibn Abbas Ra pernah berkata : "wahai para pelaku dosa, janganlah merasa aman dengan akibat buruk dari perbuatan dosa tersebut, dan jika engkau memperturutkan hawa nafsumu untuk berbuat dosa maka itu lebih buruk dari dosa itu sendiri, sedikitnya rasa malu ketika engkau berbuat dosa terhadap orang-orang yang berada di sekitarmu, itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Ketika engkau tertawa, padahal engkau tidak tau apa yang akan Allah perbuat akibat dari dosa yang diperbuat, itu lebih buruk dari dosa itu sendiri.  Dan takutmu dari angin yang menyingkapkan tirai mu padahal engkau dalam berbuat dosa , namun engkau tidak takut dari adab Allah. Yang demikian itu lebih  buruk dari dosa itu sendiri.
5. Terang terangan dalam Berbuat Dosa
Telah dikisahkan pada satu malam ada seorang telah bermaksiat kepada Allah, lalu Allah menutupi aibnya. Namun justru di siang harinya, dia menceritakan maksiat yang diperbuatnya semalam itu, maka dia telah membongkar apa yang telah Allah tutupi.     Rosululloh telah bersabda dalam hadist yang shahih:
كل أمتي معافى إلا المجاهرين ، وإن المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملا ثم يصبح وقد ستره الله عليه فيقول يا فلان عملت البارحة كذا وكذا .  وقد بات يستره ربه ويصبح يكشف ستر الله عليه.
    "Setiap umat ku di maafkan dosa-dosanya,  kecuali orang yang terang terang-terangan dan bangga dalam berbuat dosa. Dan sesungguhnya al Mujaharah itu adalah seseorang yang melakukan perbuatan dosa di malam hari, lalu di pagi harinya menceritakannya kepada orang lain, padahal Allah telah menutupinya, lalu berkata, 'hai fulan, aku telah melakukan ini dan itu (kemaksiatan), sementara malam harinya Allah telah menutupinya, dan pada pagi harinya ia membuka apa yang telah Allah tutupi atasnya"
6-Menjadi Publik Figur (Tokoh) Panutan:
Sebagai contoh: engkau sebagai Manager suatu Pabrik (Perusahaan) atau sebagai Rektor  di sebuah Universitas atau sosok figur yang terkena, lalu engkau terbiasa  merokok atau mengosumsi narkoba, kemudian Anda diikuti oleh bawahan anda, atau contoh lain ada seorang pemudi yang memakai celana yang ketat yang di ikuti oleh orang lain, maka keadaan seprti inilah yang di sabdakan oleh nabi dalam hadist nya yang berbunyi:
من سنّ في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزاره شيء.
(رواه المسلم)



[Baca...]




PENGHALANG KEDUA : BID’AH
Perbuatan bid`ah merupakan salah satu penghalang antara hamba dan Allah. Maka bagi siapa saja yang melakukan kebid`ahan, ia pun akan terhalang dari Allah karena perbuatan bid`ahnya itu, sampai benar-benar ia melepaskannya dari dirinya. Rasulullah Saw bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو ردّ
"Barangsiapa yang mengada-ada (hal yang baru) dalam urusan kami (agama), padahal bukan berasal darinya maka ia tertolak" HR Muttafaq `alaih.

Amal shalih menurut syari`at haruslah memenuhi dua syarat, yaitu:
1.  Amal itu ditujukan hanya untuk Allah samata ( Li wajhillah wahdahu), tidak menyekutukan dengan sesuatu apaun terhadap Nya.
2.  Amal itu hendaklah dikerjakan sesuai dengan sunnah  Nabi Saw

Tanpa disertai kedua syarat ini, maka amal apapun tidak bisa dikatakan sebagai amal shalih, dan (pahalanya) tidak akan sampai kepada Allah, karena Allah hanya menerima amalan yang shalih saja. Dengan demikian, jelaslah bahwa bid’ah benar-benar menjadi penghalang antara hamba (pelaku amal) dan (penerima amal) Allah, serta menghalangi sampaiya amalan kepada Allah azza wa jalla. Dan ketahuilah bahwa sanya seorang mubtadi` ( pelaku bid’ah ) pada hakikatnya dia telah beribadah atas dasar hawa nafsunya, bukan atas dasar perintah Allah. Sehingga hawa-nya telah menjadi hijab (penghalang) antara dia dan Allah, karena sebab perbuatan bid`ah yang dia lakukan yang tidak didasarkan pada syariat (perintah) Allah.
Maka jelaslah, bahwa pelaku amal-amal shalih dapat mengendalikan nafsunya, adapun seorang mubtadi`(pelaku bid`ah) itu telah melakukan amal keburukan yang lebih buruk dari kemaksiatan. (Bahkan para `ulama salaf, seperti Sufyan ats Tsauri RA dll, menmgatakan, 'Bahwa iblis lebih menyukai perbuatan bid`ah daripada maksiat, sebab pelaku maksiat dimungkinkan untuk bertaubat dari maksiatnya, sedangkan pelaku bid`ah itu tidak merasa salah sehingga tak perlu merasa bertaubat).

Tambahan Dari Dewan Redaksi (Abu Fahmi):
ديننا دين اتباع لا دين فكر وابتداع
الاتباع : هو أصل الأصول وأسُّ الأ ُسُسِ في ديننا بل هو الدين كله (النساء: 125)
"Din kita adalah Din ittiba', bukan Din pemikiran dan kebid`ahan".
"Al Ittiba'" adalah pokok dari segala pokok, asas dari segala asas di dalam Din kita, bahkan ia merupakan agama secara menyeluruh. Dalilnya adalah surat an Nisa' : 125
125.  Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
الاتباع لغة : السير في طريق مسلوك، والابتداع : احداث طريق جديد ، لم يسلك من قبل. والاتباع شرعي يعني : السير على طريق من رضي الله عن سيرهم (واتبع سبيل من أناب ، سورة لقمان: 15).
Al ittiba' secara bahasa (etimologi) adalah berjalan di atas jalan yang telah ditempuh (orang lain, sebelumnya), sedangkan makna al Ibtida' adalah mengadakan jalan baru, yang belum ditempuh (orang lain) sebelumnya. Adapun secara syar`iy (terminology) maka makna al-ittiba' adalah : berjalan di atas jalan orang yang telah Allah ridloi, dalilnya adalah QS Luqman : 15.
dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu  apa yang Telah kamu kerjakan.
الأول لغوي : أن يكون العمل أو القول مسبوقا به .  والشرعي : أن يكون العمل أو القول صادرا ممن أناب إلى الله تعالى ، والمنيبون لا يُعرفون إلا بتزكية الله أو رسوله صلى الله عليه وسلم لهم .
Sehingga makna al Ittiba' itu terbagi secara etimologi (bahasa) dan terminology (istilahi).
Secara bahasa makna al ittiba' adalah: menjadikan amal perbuatan atau perkataan memngikuti pendahulunya. Dan secara istilahi makna al Ittiba' adalah: menjadikan amal atau perkataan bersumber dari orang yang telah kembali kepada Allah SWT. Sememntara mereka (orang-orang yang telah kembali) itu tidak dikenali (diketahui) kecuali dengan adanya "Tazkiyah" (rekomendasi) dari Allah atau Rasul-Nya Saw atas mereka itu. Tazkiyah itu kita jumpai di dalam QS 9 (at taubah): 100 berikut
100.  Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. QS AT TAUBAH : 110

قول عمر رضي الله عنه : والله إني لأعلم أنك حجر لا تضرّ ولا تنفع ، ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبلك ما قبلتك ، أخرجه البخاري.
(Dalam soal ittiba') ini kita dapat mengikuti mauqif (sikap) dari Umar bin al Khaththab RA ketika menyaksikan Nabi saw mencium hajar aswad, ia pun tanpa banyak tanya mengapa dan mengapa, ittiba' kepada Rasulullah saw.
Umar berkata: " Demi Allah aku benar-benar mengetahui bahwa engkau adalah batu (maksudnya hajar aswad di Ka`bah) tidak dapat memberi madarat dan manfaat (buat siapapun), dan andaikan aku tidak melihat Rasulullah saw mencium kamu, pastilah aku tak (pernah) mencium-mu" HR Bukhari.
حكم الابتداع في الطريق :   المقصود بِـ (الطريق) : كل طريقة يسلكهاالعابد للوصول إلى غايته ، كطرق الدعوة ، طرق الوصول للحكم ، طرق التغيير ، وطرق الحكم نفسه. ومنها : الهجرة والبيعة والاختيار، والجهاد والخلافة والشورى
Hukum Bid'ah dalam mencari jalan lain selain jalan para Sahabat yang mengikuti jalan Rasul Saw:
Yang dimaksud dengan "ATH-THURUQ" adalah setiap jalan (yang ditempuh dalam beragama ini) yang ditempuh oleh seorang `abid (ahli ibadah; hamba) untuk sampai pada tujuannya. Misal saja: kita mengenal Turuq ad da`wah (jalan/metode da`wah: tidak boleh mengambil setiap cara untuk sampainya pada tujuan dakwah kecuali yang sejalan dengan s Thariqah Rasul Saw), metode sampainya kepada kekuasaan (pemerintahan. Dan demokrasi bukan thariqah sunnah), metode perubahan ummat, metode menetapkan hokum itu sendiri. Diantara thariqah an Nubuwwah dan al Khilafah adalah hijrah, bai`ah, ikhtiyar (dimana ahlu syura memilih seorang imam kaum muslimin – khilafah atau sejenisnya – lalu ummat berbai`at atas kebasahannya sebagai pemimpin mereka, juga jihad dan khilafah serta syura.
ودليله : سورة يوسف ¨108 ،
108.  Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". QS YUSUF: 108.
(والصحابة مِمَّنْ تَبِعَهُ صلى الله عليه وسلم ، ومُخَالَفَتُهُمْ تعني الخروج عن سبيله صلى الله عليه وسلم).
Makna "wa manit taba`ani" adalah Shahabat dari kalangan yang mengikuti Nabi Saw, dan yang menentang mereka artinya keluar dari jalan yang ditempuh Rasulullah SAW. 
وجوب التزام طريقة النبي صلى الله عليه وسلم في كل شيء، ومالم يكن طريقته صلى الله عليه وسلم فليس فيه بصيرة ، وما ليس فيه بصيرة ، فهو عماية وضلالة .  أي : طريق واحد لا طريقان ، وصراط واحد متميز لا خلط فيه بسبل أخرى.
Ini menjadi kewajiban bagi kita, yaitu iltizam mengikuti thariqah Nabi saw dalam segala hal, dan bagi yang tidak mengikuti jalannya Saw maka pastilah tidak disertai Bashirah (ilmu), dan apa saja yang di dalamnya tak ada bashirah, maka ia dalam kesesatan. (Jalan Rasulullah Saw dalam agama ini) hanya satu dan bukan dua atau lebih, dan jalan satu yang terpisah dari jalan-jalan lainnya, yang di dalamnya tidak bercamnpur dengan jalan-jalan lainnya.
قال صاحب الظّلال (ولا يملك الإنسان أن يستمد آدابه من معين ، ويتخذ شرائعه وقوانينه من معين آخر ، ويستمد أوضاعه الاجتماعية والاقتصادية من معين ثالث (5 : 2823).
Berkata penulis Tafsir Fi Zhilal al Qur'an : Dan tidak lah ada kekuasaan bagi manusia untuk menyandarkan adab dan etikanya dari satu sumber (missal dari Syariat Islam), menghambil syariat dan undang-undangnya (missal saja dengan demokrasi barat dll), dari sumber lainnya lagi, dan menyandarkan urusan-urusan social kemasyarakatannya dan ekonominy dengan sumber ketiga (missal saja dengan sosialis atau kapitalis), (Jilid 5 :2823)
والسبل : البدع والشبهات (تفسير ابن جرير) ،  السبل : بطرق اليهود والنصارى وغيرهم (تفسير ابن جرير).  السبل : كل من تفرق واختلف كان على طريق أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم (قوله صلى الله عليه وسلم: ليس منا من عمل بسنة غيرنا)
As Subul adalah bid`ah dan syubhat (Tafsir Ibnu Jarir), as Subul adalah jalan Yahudi dan nashrani serta yang lainnya (Tafsir ibnu Jarir), as Subul adalah setiap yang menyempal dari jalan Thariqah para Shahabat Nabi Saw, sebagaimana sabdanya : "Bukanlah dari golongan kami yang beramal dengan sun nah selain kami".
115.  Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu[*] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. QS An Nisa’ : 115
 [*]  Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
تحذير شديد ، ووعيد أليم ، لمن اتبع غير طريق الرسول صلى الله عليه وسلم والصحابة.
Ayat 115 surat an Nisa' ini menunjukkan adanya peringatan keras dan ancaman yang menyakitkan, bagi siapa saja (dari kaum muslimin) yang mengikuti BUKAN JALAN Rasulullah Saw dan SHAHABAT Ra
الأنعام : 153 ...  السبل : الضلالات (قال ابن عباس) .
قال شيخ الإسلام في تفسير للآية 105 من سورة النساء : إنها تدل على وجوب اتباع سبيل المؤمنين وتحريم اتباع غيرهم ، ومن شاقه – أي الرسول- فقد اتبع غير سبيلهم ، وهذا ظاهر ، ومن اتبع غير سبيلهم فقد شاقه ...  وفي الآية التوبة : 100 زكّت المتبعين للصحابة ، و أنهم من الناجين يوم القيامة ، فإن هذه الآية (النساء : 115) ذمّت المخالفين لسبيل الصحابة ، وحكمت عليهم بالضلال في الدنيا ، والعذاب الأليم في الآخرة يوم القيامة.
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
أي : عن أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو : سبيله ، ومنهاجه ، وطريقته ، وسنته وشريعته ..، أو يصيبهم عذاب أليم ، أي : في الدنيا بتقتيل ، أو حدّ ، أو حبس ، أو نحو ذالك ... تفسير ابن كثير 3: 319.
Maksudnya menyimpang (menyelisihi) dari perintah Nabi Saw berupa: jalannya, minhajnya, thariqahnya, sunnah dan syariatnya …  adzab di dunia berupa pembataian, boikot –pembatasa gerak, penahanan (tau penjara) atau sejenisnya.. dan adzab di akhirat jelas adzab yang sangat pedih (neraka) …. Tafsir ibnu Katsir: 3/319.
65.  Katakanlah: " dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu[1] atau dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran kami silih berganti[2] agar mereka memahami(nya)".  QS al An`am : 65
[1]  azab yang datang dari atas seperti hujan batu, petir dan lain lain. yang datang dari bawah seperti gempa bumi, banjir dan sebagainya. Juga "pemimpin yang suu' (jelek agama dan prilakunya)- aimmatus suu' - dan "pembantu-pembantu pemimpin" yang jelek pula – khadamus suu' – dan dalam riwayat dikatakan sebagai orang-orang dungu dan jelata. (Tafsir Ibnu Jarir, 11/418 dari dua jalan semuanya dari Ibnu Abbas Ra).
Shahabat Ali bin Abi Thalib Ra bernama Ibnu Khairah berkata bahwa "Balasan kemaksiatan" antara lain : semangat lemah dalam ibadah, sempit dalam  kehidupan, dan sulit merasakan kelezatan, ini dikuatkan oleh Ibn u Katsir ketika menafsiurkan ayat Saba', jiilid 3: 533, oleh Ibnu Hatim.
[2]  Maksudnya: Allah s.w.t. mendatangkan tanda-tanda kebesaranNya dalam berbagai rupa dengan cara yang berganti-ganti. Adapula para Mufassirin yang mengartikan ayat di sini dengan ayat-ayat Al-Quran yang berarti bahwa ayat Al-Quran itu diturunkan ada yang berupa berita gembira, ada yang berupa peringatan, cerita-cerita, hukum-hukum dan lain-lain.
والمنهاج هو : الطريق والسبيل الذي تسير عليه الجماعة المسلمة لتحقيق أمر العقيدة في القلب ، وإقامة شرع الله في الأرض. (لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا) المائدة: 48
Yang dimaksud dengan "Minhaj atau Manhaj" adalah ath thariq dan as sabiil (metode dan jalan) yang mana nJama`ah kaum muslimin berjalan di atasnya untuk merealisasikan urusan aqidah di dalam hati dan mengekakkan syari`at Allah di muka bumi. Kata Minhaj ini didapatkan dalam QS al Maidah: 48 , dan dalam hadits Hudzaifah al Yamani. Dengan demikian maka "al Manhaj" sebagai bagian dari agama, sebagaimana halnya aqidah, dan mensikapinya merupakan "TAUQIFY" (artinya tinggal ikut saja metode dan cara yang dilakukan Nabi Saw dan para Shahabatnya Ra), sebab ia bukan sesuatu "IJTIHADI" yang bisa berubah karena zaman dan tempat; seperti yang banyak ditempuh oleh "Gerakan-Gerakan dakwah Kontemporer" yang terperangkap ke dalam sikap "Tubarrirul wasilah" (menghalalkan segala cara : yang penting sampai di kekuasaan) walau harus berkolaborasi dengan "musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya, juga musuh Islam dan Dakwahnya".

URGENSI ITTIBA' :
1.   Banyaknya nash baik dari al Qur'an maupun as sunnah yang memerintahkan kita untuk ittiba', menganukurkan, memujinya, bahkan lebih dari 60 topik tersebar di berbagai surat dan ayat dalam al Qur'an. Adapun perintah untuk menaati Allah sekaligus menaati Rasulullah saw atau menganjurkan padanya atau pujian bagi mereka yang menaati keduanya, tidak kurang dari 50 topik. Begitu pula di dalam as sunnah, banyak terdapat nash yang memerintahkan ittiba'.
2.   Ittiba' merupakan satu-satunya penjaga kita dari Allah dari segala penyimpangan dan kesesatan (al haafizhul wahiid –minallah-minal inhiraf wadl dlalal).

BUAH DARI ITTIBA' :
1.   Hidayah. QS al Ankabut: 69, sebab Mujahadah itu hanya terjadi dengan ittiba'. QS 5: 16.
2.   Pertolongan di dunia dan keselamatan di akhirat. QS Thaha: 123, al baqarah: 38
3.   Sertifikat mendapatkan ridlo Allah, dan ini puncak dari tujuan hidup manusia. QS 9 : 100

WASPADAI BAHAYA BID'AH :
Secara terminolgi, maka makna Bid`ah adalah mengambil (mengadakan) jalan baru dalam agama, baik berupa ibadah, pemikiran maupun cara (metode, jalan), yang sama sekali tidak dianjurkan oleh Allahj, tidak dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan tidak pula ditempuh (dijalani) oleh Salaf dari ummat ini (para shahabat, tabi`in, tabi`ut tabi'in termasuk para Imam Ahlus sunnah wal Jama`ah). Atau bias juga dikatakan, bahwa termasuk bid`ah adalah mentakhshish (mengkhususkan) ibadah yang disyariatkan, baik secara zaman (waktu, atau tempat atau cara, yang tidak tegak dalil tentang "pengkhususann" nya, walau ada perintah yang bersifat umum dan nash yang jelas. Jadi mengkhususkan dalil yang bersifat umum baik waktunya, tempatnya maupun caranya dalam melaksanakan perintah, adalah bid`ah.  Yang pertama disebvut dengan bid`ah Haqiqiyah dan yang terakhir disebut bid`ah idlofiyah. Kedua-duanya sesat, dan kesesatan iotu berada di dalam neraka.

MENGAPA BID`AH ITU BAHAYA ?
1. Bahwa pelaku bid`ah itu menempatkan dirinya pada posisi pembuat syariat, padahal ini hak penuh Allah. QS 42:21.
2. Bid`ah dalam agama jauh lebih bahaya daripada melakukan dosa-dosa dan kemaksiatan, sebab ia telah membuat syariat baru dan menyamakan dengan syariat Allah dan hokum-hukumNya. Kebid`ahan ini telah menjadi kesepakatan para `ulama (Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa, 28: 370) dan dalam Zadul Muyassar 7: 282.
3. Pelaku Bid`ah itu tidak pernah berpikir untuk bertaubat dari kesalahannya, sebab ia menduga nya sebagai kebenaran, oleh karenanya ia terus menerus dalam perbuatan dosanya, dan ini lebih dahsyat dari maksiat (asyaddu minal ma`shiyah) Dan bahkan ia mengajak orang lain untuk mengikutinya. Sofyan ats Tsauri RA berkata : "Bahwa bid`ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada maksiat" (Abu NU`aim di dalam al Hilyah, 7: 26, al Lalika'ii di dalam Ushul al I`tiqad, 1: 132, silahkan juga lihat Talbis Iblis, Ibnu Jauzi, hal. 13.  Shira`ul Fikri  wal ittiba', Syaikh Adnan bin Muhammad Alu `Ar Ur, seri 3, hal. 12-25)
4. Bid`ah merupakan perbuatan yang pling menyesatkan manusia, karena ia termasuk "man sanna fil islami sunnatan sayyi'atan……" HR Muslim. Bid`ah itu lebih jahat dari pada perbuatan dosa (pernyataan `ulama salaf).
5. Bid`ah itu merupakan pokok pangkal dari kesyirikan dan kesesetan dari Dinullah, juga akar dari kekufuran: juga menandingi pembuat syariat (Allah) dan menghalangi dari Ittiba', serta menganggap bahwa agama mini belum sempurna. Imam Malik Ra berkata n: " Barangsiapa yang melakukan satu bid`ah dalam islam dan menganggapnya sebagai perbuatan hasanah, maka ia benar-benar telah menngklaim bahwa Muhamamd itu mengkhianati risalh, sebab Allah telah berfirman "al Yauma akmaltu lakum.." 5:2




[Baca...]