UPDATE , Sabtu 30 Juni 2012. 
PERIHAL HADITS KEUTAMAAN MALAM NISHFU SAY`BAN.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di sebagian kalangan masyarakat masih tersebar ritual-ritual di malam Nishfu Sya’ban, entah dengan shalat atau berdo’a secara berjama’ah. Sebenarnya amalan ini muncul karena dorongan yang terdapat dalam berbagai hadits yang menceritakan tentang keutamaan malam tersebut. Lalu bagaimanakah derajat hadits yang dimaksud? Benarkah ada amalan tertentu ketika itu? Semoga tulisan kali ini bisa menjawabnya.

Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah menyebutkan satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Awalnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban, keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak ada ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud.
Pertama: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini  munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if].
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : ” يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ ” قُلْت : لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ، قَالَ ” أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ ” قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : ” هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari Makhul. [Hadits mursal adalah hadits yang dho’if karena terputus sanadnya]
Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”Al Mundziri dalam At Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al Asy’ari. Al Bazzar dan Al Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang tidak mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.” [Hadits ini adalah hadits yang dho’if]
Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.” Al Mundziri mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada perowi yang diberi penilaian negatif/ dijarh, namun haditsnya masih dicatat).” [Berarti hadits ini bermasalah].
Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,
يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”. Al Mundziri berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi, hadits ini mursal jayyid.” [Berarti dho’if karena haditsnya mursal, ada sanad yang terputus]. Al Mundziri juga berkata, “Dikeluarkan pula oleh Ath Thobroni dan juga Al Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْهِلُ الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban,  Dia akan mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan, “Hadits ini juga antara Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. [Berarti hadits ini pun dho’if].
Keenam: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Apabila malam nisfu Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.” Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburoh Al Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani. Ada yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula Muhammad. Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits, sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib. Adz Dzahabi dalam Al Mizan mengatakan, “Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak Imam Ahmad, ‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasai mengatakan, “Ia adalah perowi yang matruk (dituduh dusta)”. [Berarti hadits ini di antara maudhu’ dan dho’if]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”[1]
Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.[2]
Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhoifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”[3] [Tanggapan kami, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal mutasahil, yaitu orang yang bergampang-gampangan dalam menshahihkan hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dicek kembali.”]
Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat.”[4]
Ada tanggapan bagus pula dari ulama belakangan, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”[5]
Begitu juga Syaikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.”[6]
Memang sebagian ulama ada yang menshahihkan sebagian hadits yang telah dibahas oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al Asy’ari di atas. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa hadits tersebut shahih karena diriwayatkan dari banyak sahabat dari berbagai jalan yang saling menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq, ‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah. Lalu beliau rahimahullah perinci satu per satu masing-masing riwayat.[7]
Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah munqothi’ (terputus sanadnya). Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari kedho’ifan. Sehingga kami lebih cenderung pada pendapat yang dipegang oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi tersebut. Ini serasa lebih menenangkan karena dipegang oleh kebanyakan ulama. Itulah mengapa beliau, penulis Tuhfatul Ahwadzi memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak ada hadits yang shahih yang membicarakan keutamaan bulan Sya’ban. Wallahu a’lam bish showab.
Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah hadits dho’if yang telah diterangkan di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Dan juga beberapa hadits dho’if lainnya jadi pegangan semacam hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib.
Imam Al Ghozali menjelaskan tata cara tertentu dalam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan tata cara yang khusus. Namun ulama Syafi’iyah mengingkari tata cara yang dimaksudkan, ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai bid’ah qobihah (bid’ah yang jelek).
Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang dibuat-buat yang qobihah (jelek) dan mungkar.
Mayoritas fuqoha memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara berjama’ah. Ada pendapat yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam hal ini, mereka menganggap menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama yang juga melarang hal ini adalah Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.
Adapun Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu yang dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari seorang sahabat pun.
Sedangkan Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rohuyah menyunnahkan menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.[8]
Apabila kita melihat dari berbagai pendapat di atas, jika ulama tersebut menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, maka ada dua cara untuk menghidupkannya.
Pertama, dianjurkan menghidupkan secara berjama’ah di masjid dengan melaksanakan shalat, membaca kisah-kisah atau berdo’a. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban semacam ini terlarang menurut mayoritas ulama.
Kedua, dianjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, namun tidak secara berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah pendapat salah seorang ulama negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif.[9]
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[10]
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”[11]
Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.”[12]
Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya
Dalam masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka sebaiknya tidak dilakukan secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun dengan membaca secara berjama’ah do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara sendiri-sendiri atau dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama membolehkan hal ini. Namun yang lebih menenangkan hati kami, tidak perlu malam Nishfu Sya’ban diistimewakan dari malam-malam lainnya. Karena sekali lagi, dasar yang dibangun dalam masalah keutamaan malam nishfu Sya’ban dan shalatnya adalah dalil-dalil yang lemah atau hanya dari riwayat tabi’in saja, tidak ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat yang shahih yang menerangkan hal ini.
Jadi di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat di malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan khususkan malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya.
Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.”[13]
Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.
‘Abdullah bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).[14]
Semoga sajian ini bermanfaat untuk memperbaiki amal ibadah kita.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat.
Referensi:
1.      Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
2.      Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, www.islamqa.com/ar.
3.      Lathoif Al Ma’arif fii Maa lii Mawaasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H.
4.      Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
5.      Majmu’ Al Fatawa, Ahmad Ibnu Taimiyah,Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
6.      Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’.
7.      Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
Kami harap para pembaca bisa membaca artikel yang berkaitan dengan artikel ini di sini.
Selesai disusun di Panggang-GK, 4 Sya’ban 1431 H (16/07/2010)



[1] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 3/365-367. Kata yang didalam kurung [...] adalah kesimpulan dari kami.
[2] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[3] Lathoif Al Ma’arif, 245.
[4] Lathoif Al Ma’arif, 248.
[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/188.
[6] Idem.
[7] Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144.
[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (2/594) pada pembahasan “Ihyaul Lail”.
[9] Lathoif Al Ma’arif, 247-248.
[10] Majmu’ Al Fatawa, 23/131.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 23/132.
[12] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/190.
[13] Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 115.
[14] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 49678.



[Baca...]



BUSYROO LAKUM ….
CIVITAS AKADEMICA  IMAM BUKHARI FULLDAY & BOARDING SCHOOL
JATINANGOR – JALAN RAYA BANDUNG-SUMEDANG  KM 20,5 JAWA BARAT
--------------------------------- 

SDIT DAN SMPIT FULLDAU & BOARDING SCHOOL
TAUHUN PELAJARAN 2011/2012,
ALHAMDULILLAH RABBIL `ALAMIN
LULUS 100 % KELAS VI DAN KELAS IX

SALAH SEORANG SISWI SDIT IMAM BUKHARI FULLDAY SCHOOL,
BERNAMA : SYAKIRA HUSNA LATHIFAH
MEMPEROLEH NILAI UN TERTINGGI SE KAB. SUMEDANG,
BI`IDZNILLAH WA BIQADRILLAH….

SEMOGA MENJADIKANNYA SEBAGAI BEKAL  MOTIVASI
UNTUK MERAIH PRESTASI LEBIH BESAR LAGI DI SEKOLAH LANJUTANNYA KELAK, DAN SEMOGA ANUGERAH KECERDASANNYA DAPAT MENJADI MODAL BAGINYA UNTUK LEBIH SEMANGAT DALAM MENAATI ALLAH DAN DALAM MEMBELA AGAMA ALLAH…… SELALU MENAMPILKAN KEPRIBADIAN SHALIHAH DIMANAPUN DAN KAPANPUN SEBAGAIMANA PARA USTADZ-USTADZAHNYA DI IMAM BUKHARI SELALU MENGAJARKAN DEMIKIAN…
DAN MENJADI QURRATU `AIN BAGI AYAH-IBU NYA ….

YANG BERSANGKUTAN (SYAKIRA) KINI DITERIMA
DI AKSELERASI SMPN-2 SUMEDANG JAWA BARAT.
-------------------------------------------------

KEGEMBIRAAN KAMI YANG TAK KALAH PENTING:
SEBAGAIN BESAR ANAK-ANAK CERDAS DAN BERKEPRIBADIAN SHALIH/SHALIHAH, PAPAN ATAS DALAM PRESTASI SELAMA MEREKA DI SDIT DAN SMPIT NYA, BAIK YANG FULLDAY MAUPUN YANG BOARDING,
KHUSUSNYA UNTUK 3 ANGKATAN TERAKHIR (2009 – 2011) :
TIDAK SAJA DITERIMA DI SEKOLAH-SEKOLAH FAVORIT (NEGERI/SWASTA, RSBI, UNGGULAN DAN AKSELARASI),
JUGA DI PONDOK-PONDOK PESANTREN MODERN PAPAN ATAS :
DI GONTOR – PESANTREN AL ISRYAD SALATIGA – MU`ALLIMIN AL MUKMIN NGRUKI - SMA FG BEKASI – NURUL FIKRI LEMBANG – HIDAYATUN NAJAH BEKASI – IHYA’ AS SUNNAH TASIK MALAYA – IMAM BUKHARI SOLO – IMAM BUKHARI JATINANGOR – ASY SYIFA’  SUBANG – RIYADLUS SHALIHIN PANDEGLANG – ISLAMIC CENTRE BIN BAZ JOGYAKARTA – HUSNUL KHATHIMAH DAN MULTAZAM DI KUNINGAN - DAN MASIH BANYAK LAGI ….

----------------------------------------
BERITA LOMBA :
MEREKA YANG MERAIH PRESTASI DI ARENA LOMBA, TINGKAT SMP
MESSA AL MA`SOM, MEI 2012 :

·      IZZATUL ISLAM (KELAS VII BOARDING) , JUARA PERTAMA TAHFIZH AL QUR’AN,
·      NADHIFAH AISYAH (KELAS VIII), JUARA KE-3 LOMBA MIPA (MATEMATIKA),
·      MUTIARA KHANSA’ (KELAS VIII), JUARA KE-2 LOMA MIPA (FISIKA)…


APABILA PADA TH PELAJARAN 2010/2011,
TERDAPAT SATU SISWA YANG DITERIMA DI TES NASIONAL
MAN SERPONG / GORONTALO, YAITU  ADETIKO (ASAL BEKASI),
MAKA PADA TAHUN 2011/2012 INI, DITERIMA DUA SISWA/SISWI
SMPIT IMAM BUKHARI, YAITU : ADZ DZIKRA DZKRULLAH , Dan TANIA.

------------------------------

IMAM BUKHARI JATINANGOR DAN
PESANTRTEN ISLAM AL IRSYAD SALATIGA :

ALHAMDULILLAH, 8 SISWA SMPIT IMAM BUKHARI BOARDING, PADA TES SELEKSI TH 2012/2013, UNTUK MASUK I`DAD LUGHAWI, DARI 11 YANG MENGIKUTI TES SELEKSI, 9 DIANTARANYA DITERIMA DI PESANTREN ISLAM AL-IRSYAD SALATIGA, …. MEREKA INI 10 BESAR DI SMPIT INI (PAPAN ATAS PRESTASI DARI KELAS 1 – 3), SALAH SATUNYA DITERIMA DI MAN INSAN CEDEKIA (SERPONG / GORONTALO) ……

DAN TAHUN 2012/2013, PESANTREN ISLAM AL IRSYAD SLATIGA MEMBERI KEPERCAYAAAN KEPADA IMAM BUKHARI JATINANGOR, DENGAN MENGIRIM KAN 3 (TIGA) SISWA NYA UNTUK BER-HIDMAT DI SMPIT IMAM BUKHARI BOARDING SCHOOL JATINANGOR, YAITU : BURHANUDDIN, ABDURRAHMAN MUNDZIR, DAN FATIH FATHURRAHMAN.
(KE TIGA SISWA INI ADALAH ALUMNI DARI SMPIT IMAM BUKHARI, YANG BERPRESTASI SEJAK DI SMPIT NYA MAUPUN SELAMA DI AL IRSYAD).

[Baca...]



Bismillah...

Berikut ini informasi nilai sengaja dipublish di sini dengan tujuan siswa SMPIT IB dapat mengetahui nilai mapel B. Ing plus mengetahui blog ini juga. Silahkan dilihat:

1. Nilai UTS dan UKK kelas 7 dan 8 Putra





2. Nilai UTS dan UKK Kelas 7 dan 8 Putri




Siswa - siswi sekalian, silahkan diambil faedahnya, dimana jika kita bersungguh-sungguh Insya Allah kita akan dapatkan yang diinginkan, dan pencapaian kita dari waktu kewaktu seharusnya meningkat, jika menurun berarti kita bisa termasuk orang-orang yang merugi. Yup.. semangatlah selalu dalam belajar.

lihat juga : http://myimambukhari.wordpress.com/?p=96&preview=true

[Baca...]



CIRI-CIRI UMUM
GOLONGAN YANG MENINGGALKAN
AHLI SUNNAH WALJAMA`AH
Oleh : Syaikh Abdul Hadi al Mishri, Penerjemah: Abu Fahmi (Imam Bukhari-Jatinangor), Buku sumber : Ahlussunnah wal Jama`ah, Ma`alim Inthilaqatul Kubra
Tidak mengetahui kebenaran dan berhukum dengan hawa nafsu
Orang-orang yang menyemapal dari Ahli Sunnah Waljama`ah disebabkan oleh dua hal.

Pertama, karena jahil terhadap kebenaran sehingga memutuskan hukum berdasarkan prasangka tanpa ilmu.

Kedua, memperturutkan hawa nafsu, sehingga dalam menentukan hukum mereka bertindak zhalim dan berbuat tak adil.

Pertama sekali munculnya orang-orang yag keluar dari jama`ah pada masa Rasulullah adalah ketika mereka melihat pembagian hasil rampasan perang yang dilakukan oleh Rasulullah. Salah seorang dari mereka berkata: “Hai Muhammad berbuat adillah, karena Anda telah berlaku tidak adil.” Maka Nabi Saw berkata kepadanya:”Aku telah berbuat sia-sia dan rugi jika aku tidak berbuat adil.” Kemudian sebagian sahabat berkata kepada Nabi: “Wahai Raslullah biarlah aku potong leher orang munafik ini.” Lalu Nabi bersabda: “Sesungguhnya akan keluar dari tempat-tempat ini satu kaum yang salah seorang di antara kalian mermehkan shalatnya dan shalat mereka, puasanya bersama puasa mereka, dan bacaannya bersama bacaan mereka.” Maka awal munculnya bid`ah adalah mencela Sunnah dengan mengikuti prasangka hawa nafsu, sebagaimana iblis mencela perintah Rabbnya dengan ra`yu dan nafsunya. (Juz 3: 350)

Saling membenturkan pendapat mereka, bertafaruq, dan bermusuhan
Orang-orang yang menyempal dari Ahli Sunnah Waljama`ah mempertahankan kebodohan dan hawa nafsu yang menyeret mereka kepada pertikaian pendapat, saling memukul, dan ikhtilaf. Di samping itu menyeret mereka kepada tafaruq, perpecahan, dan saling bermusuhan.

Setiap manusia dapat diikuti dan ditinggalkan ucapannya kecuali Rasulullah Saw. lebih-lebih lagi generasi mutaakhirin yang tidak mengetahui Kitab dan Sunnah, tidak bisa membedakan antara hadits yang shahih dan yang cacat, dan antara qiyas yang dapat diterima dan tidak, di samping karena dikuasai hawa nafsu, memperbanyak pendapat, mempertajam ikhtilaf, menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Penyebab-penyebab inilah yang memperkokoh kebodohan dan kezhaliman, dua hal yang telah disifati Allah dalam firman-Nya:
“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (Al Ahzab 72)
Maka jika Allah memberi manusia ilmu dan keadilan, selamatlah manusia dari kesesatan mereka. (Juz 3:378)

Bersikap berlebihan dalam beragama
Faktor lain yang menyebabkan orang meninggalkan Ahli Sunnah adalah sifat melampaui batas yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika pada masa Rasulullah dan Khalifah ar-Rasyidin yang mendap petunjuk ada orang-orang yang mengaku Islam telah keluar dari Islam (jama`ah) –karena sikap berlebihannya dalam beragama sehingga meninggalkan Sunnah, meskipun banyak beribadah, dan Nabi menyuruh memerangi mereka- maka dapat dimengerti jika di jaman sekarang juga terdapat orang-orang seperti itu. Mereka mengaku Ahli Sunnah, padahal bukan dari golongan itu bahkan sebenarnya telah keluar dari golongan itu. Hal itu disebabkan sikap berlebihan dalam beragama, salah satu sikap yang dicela oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang bear.” (An Nisa 171)
Rasulullah Saw bersabda:
“Janganlah kamu melampaui batas (berlebihan) dalam agama, karena orang-orang sebelum kamu binasa oleh sebab sifat seperti itu.”

Di samping itu, yang menyebabkan orang keluar dari Ahli Sunnah adalah adanya perselisihan dan perpecahan, sebagaimana disebutkan Allah dalam Kitab-Nya yang mulia. Kemudian adanya hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal matanya endustakan-Nya, menurut kesepakatan ahli ilmu. Hal demikian disebabkan adanya orang jahil yang mendengar hadits, kemudian ia membenarkannya berdasarkan prasangka dan hawa nafsu. Sedangkan kesesatan yang paling nyata adalah mengikuti prasangka dan hawa nafsu, sebagaimana pernyataan Allah kepada orang yang patut untuk dicela:
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah dating petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (An Najm 23)

Dan Allah berfirman tentang Nabi-Nya:
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsu.” (An Najm 1-3)
Muhammad Saw dibersihkan dari kesesatan dan penyipangan yang keduanya merupaka kebodohan dan kezhaliman. Karena kesesatan adalah tidak mengetahui kebenaran, dan penyimpangan (al-ghawi) adalah mengikuti hawa nafsu. Allah telah menjelaskan bahwa Nabi tidaklah mengucapkan (Al Quran) menurut hawa nafsunya, melainkan wahyu yang disampaikan Allah kepadanya. Maka Nabi Saw dibersihkan dengan ilmu dan disucikan dari hawa nafsu. (Juz 3 :383)

Jahil terhadap kebenaran dan berperilaku munafik
Orang-orang yang menyempal dari as-Sunnah, di antara mereka adalah orang yang jahil
terhadap ad-Din, termasuk di dalamnya orang-orang munafik.
Adakalanya terjadi perselisihan di dalam menjelaskan Al-Kitab. Kadang-kadang perselisihan itu terjadi antara ulama-ulama mu`tabarin dalam masalah ijtihad. Terkadang juga perselishan itu terjadi di kalangan orang-orang jahil terhadap agama, atau oranng-orang munafik, atau orang-orang yang setia kepada golongan munafik. Allah member tahu bahwa di antara kita ada segolongan orang yang setia kepada kaum munafik.
Pada kebayakan orang jahil yang menyia-nyiakan kebenaran dan menyimpangkan pembicaraan terdapat cabang kemunafikan. Kedua kelompok tersebut berlaku sesat dan perkataan mereka menjadi fitnah. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka katakana merupakan puncak tujuan ilmu agama, sehingga orang-orang yang buta agama boleh jadi mengikuti sebagian kesesatan mereka. Inilah di antara hal-hal yang menyebabkan perubahan pada agama-agama, kecuali Dinul Islam yag akan tetap terpelihara. (Juz 25:128-131)

Fanatisme yang disertai perlakuan keji terhadap penentang mereka
Orang-orang yang menyempal dari as-Sunnah melampaui batas dalam mentaati pribadi-pribadi tertentu tanpa didasarkan pada ilmu dan keadilan. Mereka berlebihan dalam ta`ashub terhadap persoalan-persoalan yang didalamnya dibolehkan berijtihad, disertai dengan tindakan keji dan permusuhan terhadap penentang mereka.
Barang siapa mencintai dan menyepakati seseorang selain Rasulullah –yang sikap dan tindakannya sesuai dengan Al Qur`an dan Sunnah- maka dia termasuk Ahli Sunnah Waljama`ah. Dan barang siapa menentangnya, dia termasuk ahli bid`ah dan firqah, sebagaimana dijumpai pada kelompok-kelompok yang mengikuti para imam dalam pembicaraan dan lainnya, padahal mereka termasuk ahli bid`ah, sesat, dan tafaruq. (Juz 3:347)

Barang siapa yang mendukung orang yang sejalan dengan pendapatnya, memusuhi orang yang menentangnya, dan memisahkan diri dari jama`ah muslimin, kemudian menghukum kafir dan fasiq orang yang menentangnya –yang tidak selaras dengan dengan pendapatya- dalam persoalan-persoalan ijtihad dan pendapat, serta menghalalkan darah mereka, maka ia termasuk ahli tafaruq dan ikhtilaf (pemecah-belah jama`ah) (Juz 3:349)

Mengagung-agungkan seseorang atau pendapat yang dapat memecah-belah umat
Orang-orang yang menyempal dari as-Sunnah mendukung dan memusuhi orang lain disebabkan mereka mengagung-agungkan seseorang selain Rasulullah, mengagungkan perkataan yang bukan Kalamullah, bukan sabda Rasulullah, serta bukan yang telah disepakati umat.

Manusia tidak akan mampu menyelesaikan perselisihan yang timbul di antara mereka tanpa kembali kepada Kitab yang diturunkan Allah dari langit. Jika mereka mengembalikannya kepada akal dan rasio, maka setiap orang akan mengeluarkan pendapat akalnya. Dari sinilah timbul kesesatan para pembuat bid`ah, baik jalan yang ditempuh maupun i`tiqad –yang menyatakan bahwa iman tidaklah sempurna kecuali dengannya. Maka bid`ah menurut kesepakatan kaum muslimin adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak pernah disebutkan Rasulullah dan bertentangan dengan nash.

Diriwayatkan dari Imam Malik rahimahullah bahwa Nabi Saw berkata:
“Jika terdapat sedikit ilmu maka akan muncul kebencian dankebatilan, dan jika pengetahuan atsar (hadits dan riwayat) sedikit maka akan muncul berbagai kemauan hawa nafsu. Oleh karena itu, akan didapati satu kaum yang jumlahnya banyak, yang mencintai suatu kaum dan membenci kaum lain hanya berdasarkan nafsu, tanpa mengetahui makna dan dalilnya. Bahkan mereka mendukung (umumnya) atau memusuhi tanpa mengambil hadits shahih dari Nabi dan Salaf umat ini, tanpa memikirkan maknanya, tidak pula mengetahui kewajiban dan ketentuannya.”

Sebab itulah muncul pendapat-pendapat yang tidak berdasarkan nash, kemudian dijadikan sebagai madzhab-madzhab yang diserukan kepada orang lain agar mengikuti, mendukung, dan memusuhi berdasarkan hal itu. Padahal, telah ditegaskan di dalam hadits shahih bahwa Nabi Saw pernah berkata di dalam khutbahnya:”Sesungguhnya sebenar-benarnya kalam adalah Kalamullah….”

Islam ditegakkan (dibangun) di atas Kitabullah, Sunnah Rasulullah, dan segala sesuatu yang telah disepakati umat. Inilah tiga sumber pokok yang bebas dari kesalahan.oleh karena itu, segala sesuatu yang menjadi perselisihan di kalangan umat hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak dibenarkan mengagungkan seseorang selain Rasulullah dan bersahabat atau bermusuhan berdasarkan prinip seperti itu. Tidak pula dibenarkan bagi seseorang untuk menjunjung perkataan seseorang sebagai sandaran dukungan dan kebencian, selain Kitabullah, Sunnah, dan ijma` umat. Karena mengangkat seseorang atau menegakkan perkataan yang dapat menimbulkan perpecahan umat merupakan perbuatan ahli bid`ah.

Golongan Khawarij menakwilkan ayat-ayat Al Qur`an menurut keyakinan mereka, dan menuduh kafir penentang –penentang mereka. Karena menurut mereka, para penentang itu telah menyalahi Al Qur`a. maka barang siapa melkukan bid`ah berupa perkataan yang tidak berpangkal dari Al Qur`an dan menuduh kafir penentangnya, sama dengan golongan Khawarij. (Juz 20:163-164)

Bertindak zhalim, suka permusuhan, dan ceroboh
Orang-orang yang menyempal dari As-Sunnah bertindak berlebihan dan zhalim, di samping ceroboh dan jahil.
Kebanyakan ahli bid`ah, seperti Khawarij, Rafidlah, Qadariyah, Jahmiyah, dan semisal mereka meyakini sesuatu kesesatan sebagai kebenara, serta mengganggap kafir orang yang menentangnya. Maka muncullah di kalangan mereka orang yang memiliki sifat kuat –seperti ahli kitab- dalam mengingkari kebenaran dan menganiaya sesama manusia. Kebanyakan mereka mengkafirkan dengan perkataan yang sebenarnya tidak mereka fahami hakikatnya dan tidak mengetahui hujjahnya.

Orang-orang yang menuduh kafir dengan cara batil sebenarnya tidak mengetahui Ahli Sunnah Waljama`ah sebagaimana mestinya, atau kalaupun mereka mengetahuinya hanyalah sebagian. Dan apa yang mereka ketahui tentang Ahli Sunnah tidak dijelaskan kepada orang lain, bahkan mereka menyembunyikannya. Mereka juga tidak mencegah perbuatan bid`ah yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah. Tidak pula mencela ahli bid`ah dan memvonis mereka. Namun,anehnya, mereka bahkan mencela pembicaraan tentang Sunnah dan prinsip-prinsip Din secara mutlak. Mereka tidak membedakan antara apa yang ditunjukkan Al-Qur`an, Sunnah dan ijma`, dengan apa-apa yang dikatakan ahli bid`ah dan ahli firqah. Atau mereka membenarkan semuanya menurut madzhab-madzhab mereka yang berbeda – beda, sebagaimana halnya ulama menetapkan kebenaran ijtihad yang dilakukannya yang di dalanya masih terdapat perselisihan yang dibolehkan. Jalan seprti ini telah melanda kebanyakan golongan Murji`ah, sebagian ahli fiqh, sufi, dan filosof, sebagaimana melanda kebanyakan pengikut hawa nafsu dan ahli kalam. Kedua jalan ini –pendukung hawa nafsu dan kalam- menyimpang dan keluar dari Kitab dan Sunnah.(Juz 12: 446-467)

Mengkafirkan dan menuduh fasik penentang mereka dalam ijtihad dan takwil
Orang-orang yang menyempal dari as-Sunnah tidak mau menerima ijtihad dan takwil yang bertentangan dengan mereka. Bahkan mereka cenderung meninggalkan Sunnah dengan mengikuti keyakinan-keyaikinan batil: mengkafirkan dan menuduh fasik para penentang mereka. Kemudian menempatkan hal itu sebagai hukum yang mereka ada-adakan untuk menghalalkan darah, harta, dan kehormatan lawan mereka.

Menurut Sunnah dan ijma`, ahli bid`ah lebih buruk dibandingkan ahli maksiat yang memperturutkan hawa nafsunya. Kaidah ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang telah disebut sebelumnya. Sesungguhnya dosa ahli maksiat disebabkan karena melanggar sebagian larangan Allah, seperti mencuri, berzina, minum khamar, dan memakan harta dengan cara batil. Sedangkan dosa-dosa ahli bid`ah disebabkan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan Allah (syari`at), seperti mengikuti Sunnah dan jama`ah mukminin. Bila perbuatan semacam itu disertai i`tiqad yang diharamkan, seperti mengkafirkan orang lain, menuduh fasik, dan menganggap orang Islam yang berdosa kekal di dalam neraka, maka dalam hal ini kedudukan mereka terhadap Ahli Sunnah bagaikan orang kafir terhadap orang mukmin. Meninggalkan keimanan terhadap apa yang ditunjuki Al Qur`an, Sunnah, dan ijma` adalah sesat, jika disertai dua i`tiqad itu –misalkan memiliki suatu dasar dari Sunah- maka tidaklah tergelincir kedalam bid`ah. (Juz 20:103-105)

Yang menyebabkan munculnya Khawarij adalah sikap dan tindakan yang dilakukan Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib bersama para pengikut mereka dalam hal-hal yang dapat ditakwilkan. Kemudian mereka tidak mau menerimanya, dan menganggap ijtihad-bahkan kebaikan-kebaikan-sebagai dosa, da menganggap perbuatan dosa sebagai kekafiran. Oleh karena itu, mereka belum muncul pada jaman Abu Bakar dan Umar, karena penakwilan-penakwilan semacam itu memang belum ada, di samping keadaan mereka belum kuat. (Juz 28: 489)

Pokok kesesatan mereka adalah menganggap bahwa para Imam yang mendapat petunjuk dan jama`ah kaum muslimin telah keluar dari sifat keseimbangan (lurus dan benar) serta sesat. Inilah dasar pijakan mereka yang meninggalkan Sunnah, seperti Rafidlah dan lainnya. Selanjutnya mereka menganggap kezhaliman sebagai kekafiran, dan menetapkan beberapa hukum yang mereka ada-adakan. Inilah tiga tingkatan orang-orang yang sesat dari Islam, seperti golongan Hururiyah, Rafidlah, dan golongan sesat lainnya. pada setiap tingkatan mereka meninggalkan sebagian pokok Dinul Islam, sehingga kesesatan mereka bagaikan meluncurnya anak panah dari busurnya. (Juz 28: 497)

Menyejajarkan antara kesalahan dengan dosa
Orang-orang yang menyempal dari as-Sunnah jatuh dalam perbuatan bid`ah ini dan lainnya, karena menyejajarkan kesalahan dengan dosa.
Sebagaimana kita ketahui bahwa shidiqun, syuhada, dan orang-orang shaleh bukanlah orang-orang ma`shum, terutama mengenai dosa-dosa yang diperbuatnya. Oleh karena itu, dalam berijtihad mereka kadang-kadang benar, terkadang salah. Apabila hasil ijtihad mereka benar, mereka mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika hasil ijtihad mereka salah, mereka memperoleh satu pahala, sedangkan kesalahan mereka diampuni Allah.
Ahli dlalal (orang-orang sesat) menganggap kesalahan dan dosa sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Terkadang mereka bersikap melampaui batas dengan menganggap bahwa para mujtahid itu ma`shum. Kadang-kadang juga mereka bersikap kasar dengan mengatakan bahwa para mujtahid berlaku zhalim karena kesalahan ijtihad yang dilakukannya. Adapun Ahli ilmu dan ahli iman tidak mema`shumkan siapa pun selain Rasulullah, dan tidak pula menganggap kesalahan sebagai dosa yang dapat membawa kepada kekafiran. Dari sinilah lahir firqah-firqah dari ahli bid`ah dan ahli dlalal. (Juz 35: 69-70)

Mereka keluar dari Sunnah dan jama`ah, serta menuduh Ahli Sunnah dengan cara zhalim, keji, dan permusuhan
Orang-orang yang menyempal dari as-Sunnah bertindak mendahului ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka keluar dari Sunnah, ini yang pertama. Yang kedua, mereka keluar dari jama`ah. Pada hal yang pertama disebabkan mereka gegabah menuduh Ahli Sunnah dengan cara keji, zhalim, dan sikap permusuhan. Inilah pokok pangkal yang melahirkan macam-macam bid`ah dan hawa nafsu.

Awal munculnya bid`ah di dalam Islam dan yang paling menampakkan celaan terhadap sunnah dan atsar adalah bid`ah Hururiyah yang sesat. Pada mereka terdapat dua cirri yang popular yang memisahkan mereka dari jama`ah dan para Imam.

Pertama, keluarnya mereka dari Sunnah karena menganggap sesuatu yang baik sebagai sesuatu yang buruk, dan sebaliknya. Ini merupakan predikat yang di dalamnya berhimpun bid`ah yang bertentangan dengan Sunnah, karena mereka membenarkan yang tidak diakui Sunnah dan menolak apa-apa yang dikuatkanya. Mereka menganggap baik apa-apa yang dianggap buruk oleh as-Sunnah, dan menganggap buruk sesuatu yang dianggap baik oleh Sunnah. Lain halnya dengan ahli ilmu yang membuat kesalahan dalam beberapa persoalan ijtihad, maka ahli bid`ah menentang as-Sunnah dengan cara terang-terangan.

Adapun golongan Khawarij menganggap mungkin Rasulullah bisa berbuat zhalim dan sesat dalam Sunnahnya, serta tidak wajib untuk mentaati dan mengikutinya. Mereka hanya membenarkan apa-apa yang disampaikannya bersumber dari Al Quran tanpa harus membenarkan persyari`atan yang bersumber dari Sunnah yang menurut mereka bertentangan dengan zhahir Qur`an. Ahli bid`ah selain Khawarij pada hakikatnya tunduk mengikuti mereka terhadap hal tersebut. Sehingga mereka beranggapan jika Rasulullah mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pernyataan mereka, tidaklah perlu diikuti.

Kedua, ciri ini ada pada Khawarij dan ahli-ahli bid`ah. Mereka mengkafirkan para pelaku dosa dan kesalahan. Bahkan lebih dari itu –karena telah mengkafirkan para pelaku dosa dan kesalahan-kesalahan menghalalkan darah, harta dan kehormatan kaum muslimin. Mereka menganggap darul Islam sebagai darul harb (daerah perang), sementara daerah mereka adalah darul iman. Demikian pula pendapat jumhur Rafidlah, Mu`tazilah, Jahmiyah, serta sempalan-sempalan lain yang bertindak melampaui batas dalam menasabkan diri kepada ahli hadits, ahli fiqh, dan ahli ilmu kalam mereka.
Inilah titik pangkal bid`ah yang dikuatkan berdasarkan Sunnah Rasulullah dan ijma` kaum Salaf. Hal-hal seperti itu merupakan bid`ah karena menjadikan hal yang dimaafkan sebagai keburukan dan mencap keburukan sebagai kekufuran. Oleh karena itu seyogianya bagi setiap muslim berhati-hati terhapad kedua pokok bid`ah yang kotor itu, dan terhadap apa-apa yang lahir dari keduanya. Termasuk di dalamnya kebencian, celaan, dan kutukan, serta penghalalan darah dan harta mereka.

Kedua pokok tersebut menyalahi Sunnah dan jama`ah. Maka barangsiapa menentang Sunnah yang telah disyari`atkannya, terhukum bid`ah dan keluar dari Sunnah. Dan barangsiapa mengkafirkan kaum muslimin berdasarkan dosa yang dilihatnya, dalam masalah agama atau bukan, kemudian menganggapnya sebagai orang kafir, maka dia telah memisahkan diri dari jama`ah. Pada umumnya, bid`ah dan hawa nafsu terlahir dari kedua titik pangkal tersebut.

[Baca...]