SIKAP
AHLI SUNNAH WALJAMA`AH
TERHADAP
AHLI BID`AH
Oleh
Syaikh Moh Abdul Hadi al Mishri, Ahlussnah wal Jama`ah, Ma`alim Inthilaqatul
Kubro, penerj. Abu Fahmi.
Sikap
ke-1 :
Pertimbangan
Ahli Sunnah Waljama`ah dalam Bermu`amalah dengan Ahli Bid`ah
Ahli
Sunnah Waljama`ah memiliki kewajiban utama terhadap Ahli Bid`ah dalam hal
menjelaskan posisi mereka dan memperingatkan umat terhadap bahaya mereka.
Termasuk menzhahirkan Sunnah dan memberikan pengertian kepada kaum muslimin.
Kemudian mencegah meluasnya pengaruh bid`ah dan menolak timbulnya kezhaliman
serta permusuhan dari pelakunya. Hal itu demi menegakkan keadilan dan hukum
berdasarkan Al Quran dan Sunnah.
Itulah
sikap Ahli Sunnah, dan aku selalu berlapang dada menghadapi penentang paham
Ahli Sunnah yang aku yakini. Maka jika seseorang melampaui batas aturan Allah
dalam mengkafirkan, menuduh fasik, mengada-ada, atau fantastis jahiliyah, dalam
hal ini aku tidak membalasnya dengan sikap yang sama. Bahkan akan berusaha agar
ucapan dan perbuatanku selalu selaras dengan mizan keadilan. Aku menjadikan
ucapan dan perbuatanku itu sempurna dengan Kitab yang Allah turunkan, yang
menjadi petunjuk bagi umat manusia, menjadi hakim bagi mereka yang berselisih
paham.(Juz 3:245)
Seseorang
yang menyaksikan suatu khabar yang menyakitkan atau yang merupakan celaan
terhadap sikap keadilan dan dinnya, maka barulah disebut menyaksikan jika ia
mengetahui seorang saksi melalui berita yang tersebar –atau bahkan hanya
melalui pendengaran dan penglihatan langsung –dan hal itu menjadi celaan yang
bersifat syar`i. Dan aku tidak
mengetahui hal ini diperselisihkan di antara manusia. Sesungguhnya yang kaum muslimin saksikan pada masa kami,
seperti halnya terjadi pada diri Umar bin Abdul Aziz dan Hasan Basri serta
Ahlul `Adl wad-Din lainnya, hanyalah melalui berita-berita yang tersebar.
Demikian juga yang mereka ketahui tentang Hajjaj bin Yusuf, Mukhtar bin Abi
`Ubaid, Amru bin `Ubaid, Ghailan al-Qadri, Abdullah bin Ubay (seorang Rafidli),
dan pelaku kezhaliman serta bid`ah lainnya, hanyalah melalui berita-berita yang tersebar. Dalam hal ini, jika yang
dimaksudkan adalah menuduh mereka fasik, maka tertolak kesaksian dan perwalian
mereka. Tetapi jika dimaksudkan hanya sebagai peringatan dan usaha menjauhkan
kejahatan mereka, cukuplah kesaksian mereka.
Orang
yang menyerukan bid`ah wajib mendapat hukuman berdasarkan kesepaktan kaum
muslimin. Dan bentuk hukuman itu bisa dengan dibunuh atau dengan cara lain.
Andaikata dia tidak patut dihukum atau tidak mungkin dihukum, maka haruslah
dijelaskan bid`ahnya dan hendaklah berhati-hati terhadapnya. Sesungguhnya hal
ini termasuk amar ma`ruf nahi munkar yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Dan jika pelaku bid`ah tersebut dapat digolongkan sebagai ahlul hawa`, atau
yang dikenal di kalangan Ahli Ilmu Sunnah sebagai penentang Kitab dan Sunnah,
seperti Khawarij, Rawafidl, Qadariyah, dan Murji`ah, maka telah berkata
Abdurrahman bin Mahdi:”Kedua bid`ah ini harus diwaspadai, yaitu Jahmiyah dan
Rafidlah. Karena, termasuk bid`ah yang paling jahat.” (Juz 35:413-415)
Demikian
juga bagi orang yang mengkafirkan kaum muslimin atau menghalalkan darah dan
harta mereka. Terhadap bid`ah seperti ini –yang tidak terdapat di dalam
Kitabullah dan Sunnah Rasul- wajib ia meninggalkannya, dan hukumannya
disesuaikan dengan kejahatan yang diperbuatnya, sekalipun dengan pembunuhan
atau peperangan. Jika orang yang melampaui batas dihukum dan orang-orang yang
bertakwa dimuliakan, maka hal ini merupakan sebab terpenting yang menjadikan
Allah dan Rasul-Nya meridlainya dan menjadikan maslahan bagi urusan kaum
muslimin.(Juz 3:423)
Jika
pada diri seseorang berhimpun kebaikan dan kejahatan, kedurhakaan dan ketaatan,
maksiat, Sunnah, dan bid`ah, maka patut baginya mendapatkan hak muawalah dan
pahala sesuai dengan kebaikan yang ada padanya. Dia juga berhak menerima
mu`adah da hukuman sesuai dengan kejahatan yang ada padanya. Oleh karena itu,
pada seseorang terdapat sebab-sebab kemuliaan dan kehinaan, sehingga padanya
berhimpun “ini dan “itu” (Juz 28:209)
Hal
yang perlu diketahui dalam pembahasan ini adalah bahwa syari`at telah
memerintahkan kepada kita untuk menegakkan aturan bagi seseorang di dunia,
apakah dengan hukum bunuh, dera, atau lainya, sehingga di akhirat kelak tidak
akan disiksa. Seperti membuuh orang melakukan bughat (membangkang) dan orang
yang melakukan takwil, dengan tetap
memperhatikan prinsip keadilan. Atau menegakkan hukuman bagi orang yang bertaubat setelah memenuhi kriteria taubat
yang benar. Berbeda dengan orang yang tidak melakukan takwil.
Kita
pun mengetahui bahwa seseorang tidak dihukum di dunia, namun dia dihukum
bersama orang-orang kafir di akhirat kelak. Seperti ahli dzimmah yang mau
memenuhi jizyah atas kekafiran mereka. Juga seperti orang-orang munafik yang
menzhahirkan Islam (namun batinnya kufur), maka pada diri mereka berlaku
hukum-hukum Islam di dunia. Akan tetapi di akhirat mereka tetap sebai
orang-orang kafir yang patut disiksa.
Hal
ini disebabkan karena balasan pada hakikatnya tak lain hanya ada di kampong
akhirat yang memang merupakan Dar Uts-Tsawab wal-`Iqab (medan balasan dan
hukuman). Adapun di dunia, Allah hanya mensyari`atkan adanya hukuman untuk
mencegah tindak kezhaliman dan permusuhan. Jika demikian, maka hukuman dunia tidaklah
mengharuskan adanya hukuman akhirat, dan tidak pula sebaliknya. Oleh karena
itu, mayoritas ulama Salaf memerintahkan untuk membunuh orang yang menyeru
kepada bid`ah yang bisa menyesatkan manusia dan merusak agama. Hal ini, menurut
mereka, sama saja apakah dia kafir atau bukan kafir. (Juz 12:500)
Adapun
mengenal Imam-imam bid`ah dari golongan yang berpaham menyalahi Kitab dan
Sunnah, atau ibadah-ibadah yang menyalahi kedua hal itu, maka menelaskan
perihal mereka dan memperingatkan umat dari bahaya mereka adalah wajib
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Seseorang bertanya kepada Ahmad bin
Hambal:”Ada orang berpuasa, shalat, dan beri`tikaf, mana yang lebih Anda cintai
daripada orang yang membincangkan ahli bid`ah?”Ia pun menjawab:’Jika seseorang
shalat dan i`tikaf, maka apa yang ia lakukan itu untuk dirinya sendiri.
Sedangkan jika ia berkata tentang ahli bid`ah, maka hal itu menyangkut kaum
muslimin, hal ini lebih utama.”Oleh karena itu, jelaslah bahwa manfaat ini
bersifat umum bagi kaum muslimin dalam Din mereka, termasuk jenis jihad di
jalan Allah. Karena hal ini dapat membersihkan jalan Allah, agama, manhaj,
serta syari`at-Nya, di samping mencegah kezhaliman dan pelanggaran mereka.
Berdasarkan
hal tersebut, mencegah kerusakan mereka termasuk wajib kifayah berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin. Sebab andaikan tidak ada orang yang dibangkitkan
Allah untuk mencegah mudharat yang dilakukan seseorang, tentulah agama Islam
ini akan rusak, dan kerusakannya lebih besar daripada kerusakan yang disebabkan
pendudukan ahli harbi. Karena ahli harbi jika berkuasa tidak sampai merusak
hati dan apa-apa yang ada di dalam unsur agama, keculi efek sampingnya.
Sedangkan ahli bid`ah tujaun utamanya adalah merusak hati.(Juz 28:231-232)
Musuh-musuh
Islam ada dua golongan, yaitu orang-orang kafir dan kaum munafik. Oleh
karenanya Allah memerintahkan untuk berjihad memberantas kedua golongan
tersebut. Kaum munafik melakukan bid`ah dengan menyeru hal-hal yang
bertentangan dengan Kitab, dan mereka
mencampuradukannya untuk disebarkan kepada khalayak manusia, tanpa
menjelaskannya kepada mereka. Golongan ini merusak perintah Kitab dan mengubah
agama, sebagaimana rusaknya agama Ahli Kitab sebelum kita, karena adanya
berbagai perubahan dan penggantian yang tidak diingkari oleh kaumnya. Jika kaum
itu bukan kaum munafik, paling tidak mereka adalah orang-orang yang
memperdengarkan kaum munafik.
Kelompok
ini telah mencampuradukan persoalan kepada orang-orang sehingga mereka menganggap semua pendapat kelompok ini benar,
padahal jelas bertentangan dengan Kitab. Maka jadilah mereka para penyeru
bid`ah-bid`ah munafikin. Meskipun perihal mereka dijelaskan, tetapi fitrah yang
menyertai mereka lebih besar. Karena pada diri mereka terdapat keimanan yang
harus didukung, tetapi mereka telah masuk ke dalam bid`ah-bid`ah munafikin yang
merusak ad-Din. Oleh sebab itu, mereka perlu diwaspadai. Bahkan bila perlu
disebutkan identitas mereka. Seandainya mereka tidak menerima bid`ah-bid`ah itu
dari orang munafik, tetapi mereka mengatakannya karena mengira bahwa hal itu
adalah petunjuk dan kebaikan bahkan termasuk ad-Din, maka keadaan orang seperti
ini pun perlu dijelaskan. (Juz 28:232-233)
Maka
wajib menjelaskan keadaan orang yang melakukan kesalahan di dalam hadits dan
riwayat, termasuk orang yang salah dalam berpendapat dan berfatwa, juga orang
yang salah dalam berzuhud dan beribadah.
Jika ia keliru dalam berijtihad, maka diampunilah kesalahannya serta
mendapatkan pahala dari ijtihadnya. Dengan demikian, menjelaskan perkataan dan
perbuatan yang dipandu Kitab dan Sunnah merupakan kewajiban, meskipun ada orang
yang menentang perkataan dan perbuatannya. Dan siapa yang mengetahui kekeliruan
ijtihad yang diperbolehkan, maka tidak boleh mencela dan menganggap dosa, sebab
Allah mengampuni kesalahannya. Bahkan wajib mengadakan muwalah dan mahabbah
dengannya selama unsur iman dan takwa masih ada pada dirinya. Juga harus
memberikan hak-haknya seperti pujian, doa, serta lainnya. jika pada dirinya
diketahui ada sifat nifak –sebagaimana diketahui kemunafikan sekelompok orang
pada masa Rasulullah, dan seperti halnya kaum muslimin mengetahui kemunafikan
Rafidlah- maka ia disebut nifak.
Jika
seseorang jelas-jelas melakukan bid`ah, tetapi tidak diketahui apakah ia
seorang yang munafik atau beriman yang keliru menyebutkan sesuatu karena
ketidaktahuannya, maka tidak halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa
didukung oleh ilmu. Juga tidak halal baginya kecuali karena ikhlas kepada
Allah, dan hanya menjadikan agar kalimat Allah itu tinggi, serta agar
menjadikan Din ini seluruhnya untuk Allah. Maka barang siapa membicarakan
sesuatu hal tanpa ilmu atau dengan sesuatu yang ia ketahui penyimpangannya,
maka ia menjadi berdosa. (Juz 28:233-234)
Sekelompok
orang dari ashab Asy-Syafi`i, Ahmad, dan lainnya, membolehkan membunuh penyeru
bid`ah yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah. Demikian juga kebanyakan dari
sahabat-sahabat Malik. Mereka berkata:”Malik dan lainnya membolehkan membunuh
Qadariyah semata-mata melihatnya sebagai perusak di atas bumi, bukan karena
segi kemurtadannya.” Kemudian mereka mengajukan dalil:”Manakala pelaku
kerusakan tidak bisa dihentikan kecuali dengan membunuhnya, maka ia harus
dibunuh.”(Juz 28:346)
Adapun
membunuh sesseorang dari Khawarij dan Rafidlah, telah diriwayatkan dari Umar
dan Ali. Para fuqaha juga membolehkan membunuh kedua golongan itu sekalipun di
antara mereka masih berselish, asalkan bukan perselisihan mengenai kewajiban
memerangi pelaku aniaya dan pembangkang yang melawan, meskipun ada di antara
mereka yang tidak patut dihukum kecuali berdasarkan perintah Allah dan
Rasul-Nya.
Nash-nash
mutawatir tentang Khawarij itu berasal dari Nabi Saw dan telah diperluas
cakupannya oleh para ulama, hingga meliputi seluruh pengikut aliran sesat yang
keluar dari syariat Rasulullah dan jama`ah muslimin. Bahkan mereka lebih jelek
daripada Khawarij al-Hururiyah, seperti Al-Khurmiyah, Qaramithah, dan
Nushairiyah. Juga setiap orang yang meyakini manusia sebagai Tuhan, atau
menganggap orang lain sebagai nabi, dan juga bagi orang yang membunuh da
memerangi kaum muslimin. Pemberian sebutan oleh Nabi terhadap Khawarij
al-Hururiyah hanyalah karena mereka merupakan kelompok pertama ahli bid`ah yang
keluar dari barisan kaum muslimin. Bahkan merekalah kelompok yang paling
pertama keluar dari jama`ah pada masa Nabi, maka jika beliau menyebut mereka
hanyalah karena dekatnya mereka dari kehidupannya, sebagaimana juga Allah dan
Rasul-Nya mengkhususkan penyebutan suatu peristiwa pada jaman tersebut.
Pengkhususan dalam penyebutan bukanlah untuk pengkhususan secara hukum, namun
demi kejelasan pembicaraan mereka, ini pun jika tidak menjadikan
lafazh-lafazhnya mencakup mereka.(Juz 28:475-477)
Adapun
membunuh seseorang dari Khawarij –seperti Al-Hururiyah, Rafidlah, dan lainnya-
dalam hal ini ada dua pendapat fuqaha. Kedua pendapat tersebut diriwayatkan
dari Imam Ahmad yang membolehkan membunuh mereka, seperti membunuh orang yang
menyerukan madzhabnya padahal terdapat kerusakan.
Sedangkan
dalam hal mengkafirkan dan menganggap mereka kekal di neraka juga ada dua
pendapat ulama yang masyhur, keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad. Dua
pendapat tersebut berkenaan dengan Khawarij dan para pembangkang dari kalangan
Hururiyah, Rafidlah,dan lainnya. memang benar bahwa perkataan-perkataan yang
diketahui bertentangan dengan ajaran Rasulullah adalah kufur. Demikian pula
perbuatan mereka yang mengikuti perbuatan orang-orang kafir terhadap kaum
muslimin adalah kufur. Tetapi mengkafirkan seseorang dari mereka dan menghukumi
mereka kekal di neraka diperlukan persyaratan pengkafiran yang benar dan
tertolaknya penghalang-penghalangnya. Kami mengumumkan pendapat berdasarkan
nash-nash janji ancaman, pengkafiran, dan tuduhan fasik, serta kami tidak
menghukumi orang tertentu yang tergolong umum sehingga tegak
ketentuan-ketentuan yang dikehendaki yang tidak dipertentangkan. Maka
sesungguhnya hukum kufur itu tidaklah terjadi kecuali setelah sampainya
risalah. Dan kebanyakan mereka tidak mengetahui nash-nash yang bertentangan
dengan pendapat mereka dan tidak mengetahui bahwa Rasul diutus untuk itu.
Jelaslah bahwa perkataan seperti itu kufur, dan kafirlah yang
telah ditegakkan hujjah padanya namun mengingkari untuk meninggalkannya. Allahu
A`lam. (Juz 28:499-501)
Pelaku
bid`ah yang keluar dari sebagian syari`at Rasulullah da Sunnahnya, menghalalkan
darah kaum muslimin yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah dan
syari`atnya, serta menghalalkan harta kaum muslimin,mereka lebih patut
diperangi daripada orang fasik. Meskipun ia menjadikan hal sebagai cara yang
dibenarkan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Untuk itulah para
Imam Islam bersepakat bahwa bid`ah-bid`ah yang berat ini lebih jahat daripada
dosa-dosa yang diyakini pelakunya sebagai dosa. Dengan demikian, berlakulah
Sunnah Rasulullah yang menyuruh memerangi Khawarij yang keluar dari Sunnah,
menyuruh bersabar terhadap kedurhakaan dan kezhaliman pemimpin mereka, juga
agar tetap bershalat di belakang mereka sekalipun mereka berdosa. Rasulullah
menyaksikan sebagian para sahabatnya yang terus-menerus melakukan sebagian dosa
padahal ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini beliau melarang
mengutuknya.
Beliau
mengabarkan perihal Dzul Khawaishirah dan sahabat-sahabatnya yang taat dalam
beribadah dan kewara`an mereka, tetapi sesungguhnya mereka telah keluar dari
Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya.(Juz 28:470-471)
Inilah
Sunnah Amirul Mukminin Ali dan yang lainnya, yang telah memerintahkan menghukum
tiga golongan Syi`ah. Golongan Syi`ah yang paling ringan adalah Al-Mufadlilah.
Ali dan Umar memerintahkan hukuman dera kepada mereka. Sedangkan golongan yang
ekstrem dijatuhi hukuman bunuh menurut kesepakatan kaum muslimin. Mereka adalah
golongan yang menganggap Ali dan lainnya sebagai tuhan dan nabi, seperti
golongan Nushairiyah dan Ismailiyah, karena mereka lebih kafir daripada Yahudi
dan Nashrani. Jika salah seorang dari mereka tidak menampakkan tanda-tanda
seperti itu, mereka termasuk golongan munafik yang diancam dengan siksa neraka
paling bawah. Sedangkan bagi yang menampakkan hal itu, ia termasuk
sejahat-jahat orang kafir. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan untuk menetapkannya sebagai
golongan muslim, tidak pula dengan jizyah maupun zhimmah, dan tidak boleh mengawini
wanita-wanita mereka, tidak memakan sembelihan mereka, sebab mereka termasuk
orang-orang murtad yang paling buruk.
Jika
mereka merupakan sekelompok penentang, wajiblah diperangi, sebagaimana
diperanginya kaum murtad, sebagaimana diperanginya para pendukung dan
sahabat-sahabat Musailamah al-Kadzdzab. Jika mereka berada di dusun kaum
muslimin, pisahkan dan tempatkan mereka di antara kaum muslimin setelah
bertaubat. Dan mereka harus mengikuti syari`at Islam yang diwajibkan kepada
kaum muslimin secara konsekuen. Hukuman ini bukan hanya untuk golongan ekstrem
Rafidlah, bahkan berlaku pula bagi orang yang bertindak berlebih-lebihan
terhadap salah seorang syekh dengan mengatakan bahwa dia yang memberi rezeki kepadanya telah gugur darinya
kewajiban shalat, dia lebih utama daripada Nabi, atau dia tidak perlu lagi
dengan syari`at Nabi, dia sebagai jalan menuju Allah, atau menganggap ada salah
seorang dari syekhnya yang selalu menyertai Nabi Muhammad seperti Nabi Khidir
menyertai Nabi Musa. Mereka yang berpendapat demikian adalah kafir dan wajib
diperangi berdasarkan ijma` kaum muslimin, dan wajib dibunuh satu orang
tertentu dari mereka.(Juz 28:474-475)
Sikap
Ahli Sunnah Waljama`ah terhadap Orang-Orang yang Menyembunyikan Bid`ahnya
Berbeda dengan Sikap Mereka terhadap Orang yang Menampakkannya dan Menyeru
kepadanya
Sikap
ke-2 :
Sikap Ahli Sunnah terhadap orang yang
menyembunyikan bid`ahnya berbeda dengan terhadap orang yang menampakkannya dan
menyeru kepada bid`ahnya.
Mengingat
bahwa kelompok yang disebutkan terakhir terhadap orang lain, maka wajib
menghentikan dan mengingkarinya, serta memberikan hukuman kepadanya seperti
memutuskan hubungan dengannya atau dengan cara lainnya. Sedangkan terhadap
orang yang menyembunyikan bid`ahnya, maka harus diingkari secara diam-diam dan
ditutupinya, dengan tujuan mendudukan mereka seperti orang-orang munafik.
Sebagaimana Nabi menerima orang munafik sebatas yang tampak dari mereka,
sedangkan yang berhubungan dengan hal-hal yang mereka sembunyikan kita serahkan
kepada Allah.
Siapa
yang menyalahi Kitab yang jelas dan Sunnah yang terang atau apa yang disepakati
Salaf umat,maka kesalahan tersebut tidak bisa dimaafkan, dan harus diperlakukan
seperti memperlakukan ahli bid`ah. Kaum muslimin berpendapat agar memutuskan
hubungan dengan mereka karena tanda-tanda penyimpangan yang mereka tampakkan.
Termasuk terhadap mereka yang menampakkan bid`ah, yang menyeru kepada bid`ah,
dan yang menampakkan dosa-dosa besar yang mereka lakukan.
Adapun
terhadap orang yang menyembunyikan kemaksiatan atau bid`agnya yang tidak
dikafirkan, tidak boleh memutuskan hubungan. Hijrah (pemutusan hubungan) dari
orang yang menyeru bid`ah hayalah salah satu cara hukuman baginya. Dan yang
harus dihukum adalah orang yang menampakkan kemaksiatan, baik perkataan maupun
perbuatan. Sedangkan orang yang menampakkan kebaikan kepada kita, maka kita
terima sebatas yang ditampakkannya, mengenai yang disembunyikannya kita
serahkan kepada Allah. Inilah yang dicontohkan Nabi Saw.
Oleh
karena itu, Imam Ahmad dan para Imam sebelum dan sesudah beliau, seperti Imam
Malik dan lainnya, menolak riwayat dari orang yang menyeru kepada bid`ah. Dan
tidak mau bergaul dengan mereka kecuali yang bersikap diam. Para penulis kitab
shahih telah mengeluarkan riwayat dari sekelompok ahli bid`ah yang bersikap
dia, tetapi mereka tidak meriwayatkan dari para penyeru bid`ah. (Juz
24:172-175)
Perlu
diketahui bahwa hijrah (pemutusan hubungan) syari`at itu ada dua macam.
Pertama, dalam pengertian meninggalkan kemunkaran. Sedangkan yang kedua, dalam
pengertian hukuman atas kemunkaran tersebut. Maksud hijrah yang pertama adalah
tidak menyaksikan kemunkaran tanpa ada keperluan. Berbeda halnya dengan orang
yang hadir menyaksikan kemunkaran untuk menolak mereka atau hadir tanpa
dikehendakinya. Hijrah ini termasuk jenis hijrah nafsiah (memutuskan hubungan
dirinya) dari perbuatan munkar. Termasuk dalam hijrah ini adalah hijrah dari
darul kufur dan fusuq ke darul Islam dan iman. Oleh karena itu, hijrah dari
tempat tinggal kalangan orang-orang kafir dan munafik termasuk perbuatan yang
diperintahkan Allah.
Sedangkan
pengertian hijrah yang kedua adalah dengan maksud mendidik. Yakni hijrah dari
orang yang menampakkan kemunkaran sehingga ia bertaubat dari kemunkarannya.
Sebagaimana hijrah yang dilakukan nabi beserta kaum muslimin dalam memutuskan
hubungan dengan ketiga orang sahabat yang menolak untuk ikut berperang
(maksudnya dalam perang Tabuk,penj.) sehingga Allah menurunkan ayat tentang
taubat mereka. Hal itu dilakukan Nabi karena mereka jelas-jelas meninggalkan
jihad yang diwajibkan atas mereka tanpa adanya udzur syar`i. Tetapi Nabi tidak berhijrah dari orang yang menampakkan
kebaikan, sekalipun ia munafik. Oleh karena itu, hijrah disini sama
kedudukannya dengan ta`zir (hukuman). Sanksi ini berlaku bagi siapa saja yang
meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan terlarang, seperti seseorang
yang meninggalkan shalat dan zakat, atau orang yang melakukan kezhaliman dengan
terang-terangan, termasuk juga orang yang berbuat keji. Sementara bagi penyeru
bid`ah yang menentang Kitab dan Sunnah serta ijma` Salaf umat –yang tampak oleh
kita tindakan bid`ahnya maka berlaku hukuman baginya.
Inilah
hakikat ucapan Salaf dan para Imam:”Sesungguhnya orang-orang yang menyeru
kepada bid`ah tidaklah diterima syahadatnya, tidak boleh shalat dibelakang
mereka, tidak boleh menerima ilmu dari mereka, dan tidak boleh menikahi wanita
mereka.” Ini merupakan bentuk hukuman bagi mereka sehingga mereka menghentikan
perbuatannya.
Oleh sebabitu, para Imam membedakan
antara penyeru bid`ah dan yang bukan penyeru bid`ah. Orang yang menyerukan
bid`ah berarti menampakkan kemunkarannya sehingga patut mendapat hukuman.
Berbeda halnya dengan orang yang menyembunyikan bid`ahnya, ia tidak lebih buruk
dari orang-orang munafik yang sikap
lahiriah mereka diterima Nabi, sedangkan apa-apa yang mereka sembinyikan
diserahkan kepada Allah. Meskipun Nabi mengetahui banyak tentang mereka. Dengan
demikian, orang-orang yang melakukan kemunkaran secara terang-terangan wajib
diingkari, berbeda dengan orang yang melakukannya di dalam batin, hukuman
baginya lebih bersifat khusus.(Juz 28:203-206 dan 216-217)
Barangsiapa
yang melakukan kemunkaran, seperti berbuat keji, minu khamar, suka permusuhan,
dan lainnya, wajib diingkari sesuai dengan kadar kemunkarannya. Sedangkan jika
orang tersebut menyembunyikan kemunkarannya, dan kita tidak mengetahui dengan
jelas,haruslah mengingkarinya dengan diam-diam dan menutupinya, kecuali jika
telah melampaui batas. Orang yang melampaui batas haruslah dicegah dengan
perlawanan. Karena jika mencegahnya secara diam-diam, maka ia tidak akan
meninggalkannya. Lakukanlah sesuatu yang ia tidak sukai, seperti hijrah darinya
atau dengan cara lainnya jika hal itu akan membawa kemaslahatan dalam agama.
Jika
seseorang melakukan kemunkaran dengan terang-terangan, maka wajib
mengingkarinya dengan terang-terangan pula agar dia jera, seperti memutuskan
hubungan dengannya atau lainnya. maka tidak perlu mengucapkan salam kepadanya
dan menjawab salamnya, jika pelaku kemunkaran itu tidak termasuk yang perusak berat.
Bagi
orang yang baik dan ahli ad-Din hendaklah menjauhi mayatnya, sebagaimana
menjauhinya ketika dia masih hidup, dan tidak perlu mengantarkan jenazahnya.
Sikap seperti ini dimaksudkan agar para pelaku dosa seperti dia merasa
jera.(Juz 28:217-218)
Para
ulama tidak berbeda pendapat tentang bolehnya melakukan ghibah (mengumpat) terhadap kedua golongan tersebut. Pertama,
jika seseorang ,menampakkan kemunkaran dan kedurhakaan, seperti kezhaliman,
kekejian, dan bid`ah-bid`ah yang bertentangan dengan Sunnah, maka wajib
diingkari sesuai dengan kemampuan, dikucilkan, dan dicela. Berbeda dengan orang
yang menyembunyikan perbuatan dosanya sehingga benar-benar tidak terlihat. Jika
demikian, hendaknya ditutupi keburukannya dan dinasihati secara diam-diam. Akan
tetapi, bagi orang yang mengetahui keadaannya bolehlah ia menjauhinya agar
pelaku dosa tersebut bertaubat. Kedua, jika seseorang dimintai pendapatnya
untuk menikah dengan pelaku perbuatan tercela ini, untuk bergaul dengannya,
atau untuk menjadikannya saksi, padahal dia mengetahui bahwa tidak dibenarkan
melakukan hal itu, maka hendaklah dia menasihatinya dengan menjelaskan
keadaannya. (Juz 28:219-220)
Jika
seseorang meninggalkan shalat dan melakukan berbagai kemunkaran, kemudian
bergaul dengan orang lain yang dikhawatirkan rusak agamanya, maka hendaknya
dijelaskan agar menjauhinya. Dan jika ia seorang pelaku bid`ah yang menyeru
kepada aqidah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah, atau meniti jalan
yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, dan dikhawatirkan akan menyesatkan
orang lain, maka haruslah dijelaskan kepada masyarakat agar berhati-hati dan
mengetahui keadaannya. Hal seperti ini wajib dilakukan dengan cara yang baik
dan semata-mata mencari ridla Allah. Bukan karena sentiment pribadi, seperti
adanya perselishan duniawi antara keduanya, saling mendengki, saling membenci,
atau bersaing berbuat kedudukan, sehingga ia membicarakan segala keburukannya
dengan alasan member nasihat, padahal bertujuan untuk merendahkan martabatnya.
Inilah perbuatan setan.
Sesungguhnya
semua amalan tergantung pada niat, dan setiap perkara hanyalah mengikuti apa
yang diniatkan. Oleh karena itu, orang yang member nasihat agar bertujuan agar
Allah menjadikan orang yang dinasihati kembali kepada kebaikan dan sekaligus melindungi
kaum muslimin dari bahaya orang tersebut, baik dalam urusan agama maupun dunia.
Dan dalam member nasihat hendaklah menempuh jalan yang paling mudah jika memang
memungkinkan. (Juz 28: 220-221)
Allah
membolehkan membunuh jiwa seseorang demi menjaga kemaslahatan umat, sebagaimana
firman-Nya:”Dan fitnah itu lebih jahat daripada pembunuhan”(Al Baqarah 191).
Maksudnya, sekalipun di dalam pembunuhan terdapat keburukan dan kerusakan,
tetapi fitnah yang disebarkan orang-orang kafir akan menimbulkan keburukan dan
kerusakan yang lebih besar. Oleh karena itu, orang yang menghalangi kaum
muslimin dalam menegakkan agama Allah, maka bahaya kekafirannya akan menimpa
dirinya sendiri. Dalam hal ini para fuqaha berkata:”sesungguhnya penyeru bid`ah
yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah haruslah dihukum dengan hukuman yang
tidak sama dengan yang dikenakan kepada ahli bid`ah yang diam(tidak menyeru
orang lain kepada bid`ah).” (Juz 28:355)
Sikap
ke-3 :
Upaya-Upaya
Syar`iyah Ahli Sunnah Waljama`ah dalam
Memperlakukan Ahli Bid`ah
Apabila
Ahli Sunnah Waljama`ah mengungkapkan ahli bid`ah dan menjelaskan perihal mereka
kepada khalayak, dan mencela tindakan mereka dengan lisan dan perbuatan, maka
hal itu dilakukan dengan berpedoman kepada dua ketentuan syar`iyah yang asasi.
Pertama, mereka melakukan hal itu secara ikhlas karena Allah, karena taat
kepada-Nya, karena menunaikan perintah-Nya, serta mengharapkan adanya
perbaikan. Bukan berdasarkan hawa nafsu, balas dendam, atau permusuhan duniawi.
Kedua,
semua yang mereka lakukan berupa amalan syar`I yang diperintahkan sehingga
dapat mewujudkan kemaslahatan dan menyingkirkan kerusakan sesuai dengan keadaan
dan situasi yang berbeda-beda. Jika tidak demikian, maka perbuatan tersebut
tidak disyari`atkan dan tidak diperintahkan.
Jika
demikian, maka pemutusan hubungan sesuai dengan syari`at (hijrah syar`iyah)
termasuk perbuatan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu,
ketaatan heruslah dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah dan selaras
dengan perintah-Nya, sehingga keikhlasan itu menjadi amalan yang benar. Maka
barang siapa memutuskan hubungan karena menuruti hawa nafsu, atau tanpa
mengikuti perintah-Nya, berarti ia telah keluar dari ketentuan ini. Sering kali
manusia melakukan perbuatan yang didasarkan pada hawa nafsu, namun ia sendiri
menganggapnya sebagai ketaatan kepada Allah. Pemutusan hubungan yang
semata-mata karena kepentinga manusia tidak boleh lebih dari tiga hari. Maka
jika hijrah untuk tujuan seperti ini terhukum haram. Meskipun dalam beberapa
hal manusia diberi keringanan, seperti dibolehkannya seorang suami untuk
menjauhi istrinya di tempat tidur, karena sang istri nusyuz (membangkang).
Bertolak
dari hal tersebut, haruslah dipisahkan antara pemutusan hubungan karena Allah
dengan pemutusan hubungan demi kepentingan pribadi,. Niat yang pertama
diperintahkan oleh Allah, sedangkan niat yang kedua dilarang. Karena, semua
mukmin itu bersaudara.(Juz 28:207-208)
Oleh
karena pemutusan hubungan merupakan salah satu dari tindakan hukuman syariat,
maka itu termasuk jihad di jalan Allah. Dan hal ini dilakukan agar kalimat
Allah tetap tinggi, serta menjadikan agama ini seluruhnya milik Allah (tidak
tercampur bid`ah). Seorang mukmin, dalam memusuhi dan mencintai mukmin lainnya
haruslah karena Allah. Sekalipun mukmin
lain yang harus dicintainya itu pernah berbuat aniaya terhadapnya, tetapi ia
tetap mencintainya sebagai saudara seiman. Karena, kezhaliman tidak dapat
memutuskan hubungan muwalah al-imaniyah (kasih sayang darena iman). Allah
berfirman:”Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya…” sampai kepada firman-Nya:”Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara…”(Al Hujurat 9-10). Orang-orang mukmin
dijadikan bersaudara. Sekalipun mereka terkadang diwarnai peperangan dan penganiayaan,
naumn Allah memerintahkan untuk mendamaikan mereka.
Maka
seorang mukmin hendaknya memperhatikan perbedaan antara kedua hal tersebut.
Jangan mencampuradukan yang satu dengan lainnya. Perlu diketahui juga bahwa
orang mukmin harus didukung sekalipun ia berbuat aniaya dan berbuat melampaui
batas terhadapmu. Sedangkan orang kafir harus dianggap sebagai lawan, meskipun
ia berjasa dan berbuat baik kepadamu. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul
dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menjadikan Din ini untuk-Nya. Maka seorang
mukmin hendaknya mencintai dan memuliakan para kekasih-Nya yang telah membela Din-Nya, dan membenci serta
merendahkan musuh-musuh-Nya. Seperti halnya Allah memberikan pahala kepada para
wali-Nya dan member hukuman kepada musuh-musuh-Nya. (Juz 28:208-209)
Hijrah
(pemutusan hubungan) ini bermacam-macam sesuai dengan kekuatan, kelemahan,
sedikit dan bayaknya jumlah pelaku hijrah. Yang dimaksudkan di sini adalah
menjauhi orang dengan meninggalkannya dan mendidinya agar kembali sebagaimana
keadaannya. Jika sikap ini membawa kemaslahatan berupa melemahnya kejahatan,
maka hiijrah seperti ini disyari`atkan. Tetapi jika hal ini tidak menimbulkan
ketakutan pada pelaku dosa ataupun lainnya, atau bahkan bertambah buruk,
sementara yang melakukan hijrah dalam posisi lemah sehingga mafsadah yang
timbul lebih menonjol daripada kemaslahatannya, maka hijrah seperti ini tidak
dibenarkan syari`at. Bahkan bersikap lunak demi keutuhan persatuan lebih baik
daripada memutuskan hubungan dengannya. Meskipun adakalanya memutuskan hubungan
dengan sebagian mereka lebih baik dibandingkan bersikap lunak seperti itu.
Oleh
karena itu, Nabi Saw terkadang bersikap lunak terhadap satu kaum, dan
adakalanya memutuskan hubungan dengan sebagian lainnya, seperti yang dilakukan
kepada ketiga orang sahabat yang menolak ikut dalam perang Tabuk. Hal itu lebih
baik daripada memutuskan hubungan terhadap para muallaf sebagai
pemimpin-pemimpin suku yang disegani. Karena dengan menjinakkan hati mereka
akan membawa kemaslahatan bagi agama. Sedangkan ketiga sahabat tersebut
merupakan orang-orang mukmin –sementara orang-orang mukmin seperti mereka masih
banyak- maka pegecualian terhadap mereka merupakan kemuliaan agama sekaligus
membersihkan dosa-dosa mereka. Sebagaimana syari`at dalam menghadapi musuh,
kadangkala perlu diperangi, kadang-kadang perlu berdamai, terkadang pula dengan
memungut jizyah, semuanya itu sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan yang ingin
dicapai.
Jawaban
Imam Ahmad dan para Imam Ahli Sunnah lainnya tentang perkara ini sebenarnya
berdasarkan prinsip ini. Oleh karenanya beliau membedakan antara tempat-tempat
yang didalamnya banyak terdapat bid`ah –seperti Basrah dengan Qadariyahnya,
Khurasan yang banyak terdapat Jahmiyah, dan Kufah dengan Syi`ahnya –dengan
tempat-tempat yang tidak banyak terjadi bid`ah. Demikian juga, dalam menghadapi
Imam yang perlu ditaati dan yang tidak perlu ditaati. Jika beliau mengetahui
syari`at, maka beliau tempuh jalan yang paling dekat untuk sampai kepadanya.
(Juz 28:206-207)
Ishak
bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad):”Siapakah yang mengatakan bahwa Al
Quran itu makhuk?” Beliau menjawab:” Aku menghubungkan perkara ini dengan
segala bencana.” Kemudian Ishak berkata lagi:”Apakah kita harus memperllihatkan
permusuhan terhadap mereka atau membujuk mereka?” Beliau menjawab:”Penduduk
Khurasan tidak mampu menghadapi mereka.” Jawaban ini berkenaan dengan pendapat
beliau tentang Qadariyah. Beliau meneruskan:”Kalau kita tolak periwayatan
hadits dari Qadariyah, niscaya kita tinggalkan periwayatan dari mayoritas
penduduk Basrah. Meskipun sikap dan tindakannya dalam menghadapi ujian dan
cobaan atas dirinya demikian besar seperti menolak kejahatan dengan cara
baik-baik, berdiskusi dengan hujjah-hujjah yang kuat, mengisolasi mereka,
melarang bergaul dan berbicara dengan mereka, sehingga mereka berhijrah di satu
jaman yang bersih dari sumber-sumber kabair (dosa-dosa besar), maka perintah
hijrah ini karena adanya sifat Jahmiyah pada diri mereka. Hijrah dalam
pengertian pemutusan hubungan, termasuk salah satu jenis hukuman, dan hukum
sendiri termasuk jenis hijrah. Hijrah seperti ini terkadang tergolong dalam
jenis ketakwaan, bila di dalamnya meninggalkan keburukan. Terkadang juga masuk
dalam jenis jihad dan amar ma`ruf nahi munkar. Hal itu merupakan hukuman bagi
orang-orang zhalim.
Menghukum
pelaku kezhaliman didasarkan pada kemampuan. Oleh karena itu, hukum syar`i
terhadap kedua macam bentuk hijrah tersebut berlainan antara orang yang mampu
dan yang tidak mampu, antara sedikit dan banyaknya pelaku bid`ah, dan antara
yang kuat dan yang lemah. Begitu juga terhadap hukum dalam berbagai macam
kezhaliman, kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Semua yang diharamkan Allah
adalah kezhaliman baik mengenal hak Allah, hak hamba, ataupun kedua-duanya.
Kedua
bentuk hijrah yang diperintahkan itu –dalam artian meninggalkan kejahatan
ataupun pemutusan hubungan- hanya dapat
dilakukan apabila benar-benar tidak ada kemaslahatan di dalamnya. Jika tidak
demikian, maka hal itu bukanlah kejahatan, sebab bukanlah kejahatan itu di
dalamnya terdapat kebaikan. Dan bila karena hukuman muncul mafsadat yang kuat
pada kejahatan tersebut, maka hal itu bukanlah langkah kebaikan. Dan jika
seimbang antara keduanya, maka hal itu bukanlah kebaikan juga bukan keburukan.
(Juz 28:211-212)
Hijrah
adakalanya dimaksudkan untuk meninggalkan keburukan bid`ah, seperti kezhaliman,
dosa, dan kerusakan. Terkadang, juga dimaksudkan untuk melakukan kebaikan,
seperti jihad, amar ma`ruf nahi munkar, serta menghukum orang-orang yang zhalim
agar meninggalkan perbuatannya. Di samping itu, hukuman dimaksudkan agar
pelakunya dapat memperkuat iman dan mau beramal shaleh. Maka hukuman terhadap
orang-orang zhalim dapat mencegah kezhaliman mereka serta menggantikannya
dengan perbuatan yang berdasarkan iman dan Sunnah.
Oleh
sebab itu, jika kedua hijrah tersebut tidak membuat jera pelakunya –bahkan
semakin bertambah kebatilannya sehingga mengalahkan kebaikan- maka dalam hal
ini hijrah tidak diperintahkan. Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Imam Ahmad
tentang penduduk Khurasan yang tidak mampu menghadapi Jahmiyah. Maka jika
mereka tidak mampu menampakkan perlawanan terhadap golongan tersebut, gugurlah
perintah hijrah atas mereka. Tugas mereka hanyalah mencegah bahaya agar tidak
mempengaruhi mukmin yang lemah dan melemahkan hati pendurhaka yang kuat.
Sama
halnya ketika ahli Qadariyah menjadi mayoritas di Basrah. Apabila periwayatan
hadits dari mereka ditolak, tentu kita tidak dapat mempelajari ilmu,
sunnah-sunnah, serta atsar yang terpelihara di kalangan mereka. Apabila
menegakkan kewajiban sulit dilakukan, baik dalam hal ilmu, jihad, atau yang
lainnya, kecuali menyertakan ahli bid`ah yang mudaratnya tidak sampai
menggugurkan kewajiban tersebut –demi menciptakan kemaslahatan sekalipun di
dalamnya masih terdapat mafsadat- maka hal ini lebih baik daripada bersikap
sebaliknya.
Perbincangan
persoalan ini sangatlah luas, dan banyak jawaban yang diberikan Imam Ahmad
serta lainnya menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat memancing. Atau
beliau sengaja keluar dari pokok persoalan –jika telah mengetahui keadaan
penanya- agar tetap menempatkan persoalan menurut sumber dari Rasulullah.
Beberapa
golongan melaksanakan hal tersebut tanpa pandang bulu. Mereka menerapkan
hukuman isolasi (hijrah) dan pengingkaran yang tidak diperintahkan. Sedangkan
lainnya berpaling secara keseluruhan, yakni tidak meninggalkan pelaku-pelaku
bid`ah sesuai perintah Allah. Kalaupun mereka meninggalkannya hanyalah karena
kebencian. Mereka juga tidak berusaha mencegah orang lain agar terhindar dari
perbuatan itu, dan tidak memutuskan hubungan dengan dengan orang yang berhak
menerimanya. Dengan demikian, mereka
telah mengabaikan nahi munkar. Mereka di tengah-tengah antara berbuat
kemunkaran dan meninggalkan perintah. Begitulah Dinullah berada di tengah-tengah
antara sikap ekstrem (berlebihan) dan jumud (meninggalka sama sekali) Allahu
A`lam. (Juz 28:212-213)
Sikap
ke-4 :
Ahli
Sunnah Waljama`ah tetap Mendo`akan Ahli Bid`ah agar Memperoleh Hidayah dan
Rahmat-Nya, selama tidak Diketahui Kekufuran Mereka
Bagaimanapun
juga, Ahli Sunnah Waljama`ah tetap endoakan ahli bid`ah agar mendapat petunjuk,
rahmat, dan ampunan dari Allah selama tidak menampakkan kekufuran da
kemunafikan mereka. Dan jika ahli bid`ah bercampur bersama kaum muslimin, maka
Ahli Sunnah memperlakukan mereka sesuai dengan hak masing-masing serta tidak
menolak bid`ah dengan bid`ah yang lain. Karena, yang penting adalah melindungi
darah, harta, dan kehormatan kaum muslimin.
Berdasarkan
nash, menshalatkan jenazah orang munafik tidak diperbolehkan. Kita mengetahui
kemunafikannya berdasarkan kenyataan lahiriah, sedangkan hati mereka hanyalah
Allah yang mengetahui. Pada waktu Nabi Saw menshalatkan dan memohonkan ampunan
untuk mereka, Allah melarang beliau karena alasan kekufuran mereka. Hal itu
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang menyimpan kekafiran di dalam
batinnya boleh dishalatkan dan dimohonkan ampunan untuknya, sekalipun ia
melakukan bid`ah dan perbuatan dosa. Apabila Imam dan ahli ilmu, dan ahli agama
tidak menshalatkan pelaku bid`ah dan kedurhakaan –dengan tujuan mencegah
perbuatan mereka- maka hal itu tidak berarti larangan untuk menshalatkan dan
memohonkan ampunan bagi mereka. Bahkan ketika Nabi tidak mau menshalatkan orang
yang melampaui batas, orang yang membunuh dirinya, serta orang yang tidak mau
membayar utangnya, beliau
berkata:”Shalatilah sahabatmu.” Diriwayatkan bahwa beliau memohonkan ampunan
untuk orangn tersebut secara tersembunyi (dalam batin), sekalipun lahiriyahnya
beliau meninggalkannya. Hal ini dilakukannya untuk mencegah orang lain berbuat
seperti itu. (Juz 7:216-217)
Imam
Ahmad misalnya, pernah bergaul dengan Jahmiyah yang menyerunya kepada keyakinan
bahwa Al Qur`an adalah makhluk dan Allah tidak memiliki sifat. Mereka menguji
Imam Ahmad dan ulama-ulama pada jamannya. Di samping itu, mereka juga membuat
fitnah terhadap orang-orang mukmin yang tidak sepaham dengan keyakinan mereka
dengan cara memukul, memenjarakan, membunuh, memecatnya dari jabatan,
memblokade perekonomian, menolak kesaksian, serta membiarkan mereka tetap dalam
penguasaan musuh. Ketika itu banyak tampuk pimimpinan dipegang oleh kaum
Jahmiyah, semisal gubernur, hakim, dan jabatan lainnya. mereka mengkafirkan
setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka. Hal seperti ini merupakan
kekejaman Jahmiyah yang paling berat.
Sesungguhnya
menyeru kepada suatu paham adalah lebih berat daripada sekedar mengatakannya,
member imbalan kepada yang mengatakannya serta menghukum orang yang meninggalkannya
adalah lebih besar dosanya dari sekedar menyerukan kepadanya, dan menjatuuhkan
hukuman dengan membunuhnya lebih berat dosanya daripada memukulnya. Meskipun
demikian, Imam Ahmad berdoa untuk khalifah dan lainnya –yang memukul dan
memenjarakannya. Beliau pun memohonkan ampunan untuk mereka dan memaafkan
mereka dari kezhaliman dan seruan mereka yang mengarah kepada kekufuran.
Seandainya mereka termasuk orang-orang yang murtad dari Islam, tentu tidak
boleh memohonkan ampunan bagi mereka. Karena memintakan ampunan bagi
orang-orang kafir tidak diperbolehkan berdasarkan Kitabullah, Sunnah dan ijma`
Salaf. (Juz 12:488-489)
Darah
dan harta kaum muslimin tetap suci sekalipun mereka dalam keadaan durhaka atau
lainnya. Dan membatu orang keluar dari syari`at Islam adalah terlarang. Bagi
orang yang berdiam di perkampungan pendurhaka, diwajibkan hijrah jika tidak
dapat melaksanakan Dinnya. Tetapi, jika dia masih dapat melaksanakannya maka
hanya disunnahkan berhijrah. Membantu pendurhaka untuk memusuhi kaum muslimin
dengan jiwa dan harta merupakan perbuatan terlarang, dan wajib menolaknya
dengan jalan apa pun, baik dengan mengumpat, menyindir, atau membujuk. Jika
cara-cara seperti itu tidak memungkinkan, maka hendaklah berhijrah. Dan tidak
diperbolehkan mencaci mereka secara keseluruhan serta menuduh mereka munafik.
Jika
perkampungan tersebut menyakngkut darul harb (daerah perang) dan harus darus
silmu (daerah damai), maka tidak sama dengan kawasan damai yang berlaku hukum
Islam di dalamnya, karena adanya tentara-tentara muslim. Begitu juga tidak sama
kedudukannya dengan daerah perang yang penduduknya kafir. Maka ia termasuk
golongan ketiga. Maksudnya, orang muslim yang ada di daerah tersebut harus
diperlakukan sebagaimana mestinya. Adapun orang yang keluar dari syari`at Islam
haruslah diperangi sebagaimana mestinya. (Juz 28:240-241)
Sikap
Ke-5 :
Pandangan
Ahli Sunnah Waljama`ah mengenai Shalat di Belakang Ahli Bid`ah
Syi`ar Ahli Sunnah Waljama`ah jika berada di daerah
kaum muslimin adalah melakukan shalat berjama`ah, shalat Jumat, shalat Id, dan
mengikuti prinsip muwalah kaum muslimin.
Termasuk
prinsip Ahli Sunnah Waljama`ah adalah melakukan shalat jama`ah, shalat Jumat,
dan shalat Id. Mereka tidak meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjama`ah
seperti ahli bid`ah dari golongan Rafidlah dan lainnya. Jika seorang imam
tertutup keadaannya, yaitu tidak menampakkan bid`ah dan kedurhakaannya, maka dibolehkan
shalat di belakangnya, baik pada saat shalat Jumat maupun shalat jama`ah
lainnya, hal ini berdasarkan kesepakatan Imam kaum muslimin yang empat dan
lainnya. Tidak satu pun dari Imam-imam itu yang melarang shalat di belakang
imam yang tidak diketahui amalannya. Bahkan kaum muslimin sepeninggal Nabi
tetap shalat di belakangn seorang muslim yang tertutup perilakunya. Adapun jika
tidak mungkin melakukan shalat kecuali dibelakang pelaku bid`ah atau orang
fajir, seperti shalat Jumat –sementara tidak ada lagi tempat Jumat lainnya-
maka dibolehkan shalat di belakangya, menurut kebanyakan Ahli Sunnah
Waljama`ah.
Sebagian
orang ada yang tidak mau shalat kecuali di belakang orang yang benar-benar
telah dikenalnya dikarenakan telah tersiar paham sesat. Hal ini dibolehkan,
bahkan merupakan anjuran. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad mengatakan hal seperti
itu ketika ditanya oleh seseorang, dan beliau tidak mengatakan bahwa shalat
tersebut tidak sah.
Ketika
Abu Amru Utsman bin Marzuq berkunjung ke negeri Mesir, ia memerintahkan para
sahabatnya agar tidak melakukan shalat kecuali di belakang orang yang sudah
mereka kenal. Karena pada waktu itu, raja-raja di negeri itu menampakkan
kesyi`ahannya dan termasuk golongan bathiniyah malahidah yang menyebabkan
tersebarnya bid`ah di Mesir. Setelah ia wafat, negeri-negeri itu ditaklukan
oleh raja-raja yang berpaham as-Sunnah, seperti Shalahuddin, sehingga muncullah
kalimah yang menentang Rafidlah. Dan berkembanglah Sunnah dan ilmu disana. Maka
shalat dibelakang imam yang tidak diketahui keadaannya diperbolehkan menurut
kesepakatan ulama muslimin. Barang siapa mengatakan bahwa shalat di belakang
orang yang tidak diketahui keadaannya haram atau batil, berarti ia menyalahi
ijma` Ahli Sunnah Waljama`ah.
Kewajiban
seorang muslim jika berada di tengah kaum muslimin adalah melakukan shalat
Jumat dan shalat berjama`ah bersama mereka, serta mencintai kaum mukmin dan
tidak memusuhi mereka. Jika ia melihat sebagian mereka melakukan kesesatan atau
kekeliruan, sedangkan ia mampu untuk meluruskan dan membimbing mereka, maka
hedaklah ia lakukan. Tetapi jika tidak mampu, maka Allah tidak membebani
seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Demikian juga bila dia mampu
mengangkat pemimpin muslim yang lebih utama, hendaklah ia melakukannya. Jika ia
tidak mampu melakukan semua itu, maka shalatlah di belakang orang yang lebih
mengetahui Kitabullah dan Sunnah Rasul, serta mereka yang lebih menanti Allah
dan Rasul-Nya. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda di dalam hadits shahih:
“Jama`ah
diimami oleh orang yang lebih pandai membaca Kitabullah. Jika sama-sama pandai
membaca Kitabullah, maka dahulukan orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah.
Bila sama-sama juga tingkat pengetahuannya dalam hal Sunnah, dahulukan yang
iktu hijrah. Dan apabila sama-sama ikut hijrah, maka dahulukan yang lebih tua.”
(HR. Muslim-Abu Dawud dari Abu Musa Albadri)
Kalau
pemutusan hubungan terhadap pelaku bid`ah dan kedurhakaan lebih membawa
kemaslahatan, hendaklah ia melakukannya. Sebagaimana Nabi Saw mengucilkan
ketiga sahabat yang menolak ikut Perang Tabuk sampai taubat mereka diterima
oleh Allah. Sedangkan jika imam dipegang oleh orang lain tanpa seizinnya, dan
meninggalkan shalat jama`ah dan shalat Jumat di belakangnya tidak menimbulkan
maslahat syar`iyah, maka tindakannya merupakan kebodohan dan kesesatan. Ia
telah menolak bid`ah dengan bid`ah.(Juz 3: 280-286)
Sikap
ke-6 :
Sikap
Ahli Sunnah Waljama`ah dalam Menjatuhkan Tuduhan Fasik dan Kafir bagi Allah
Bid`ah
Ahli
Sunnah sangat berhati-hati dalam mengkafirkan ahli bid`ah, khususnya jika mereka
menakwilkan dengan cara yang wajar.
Tidak
boleh mengkafirkan seorang muslim karena dosa dan kekeliruan yang diperbuatnya,
seperti masalah-masalah yang diperselisihkan ahli kiblat dan Khawarij
pembangkang yang harus diperangi menurut Nabi Saw. maka Ali, salah seorang
Khulafa ar-Rasyidin, memerangi mereka, demikian juga para Imam agama dari
kalangan sahabat, tabi`in, serta generasi setelah mereka. Akan tetapi, Ali bin
Abi Thalib, Sa`ad bin Abi Waqash, dan para Shahabat lainnya, tidak mengkafirkan
mereka, bahkan tetap menganggap sebagai muslim meskipun mereka harus diperangi.
Ali tidak memerangi mereka jika mereka tidak menumpahkan darah kaum muslimin
dan menjarah harta mereka. Maka klaupun Ali memerangi mereka hanyalah untuk
mencegah kezhaliman mereka, bukan karena kekafiran mereka. Oleh karena itu,
beliau tidak menawan wanita-wanita dan tidak pula merampas harta mereka.
Kalau
mereka yang telah jelas kesesatannya berdasarkan nash dan ijma` tidak
dikafirkan –sekalipun diperintahkan Allah dan Rasul-Nya- maka bagaimana halnya
dengan kelompok-kelompok yang masih berselisih dalam persoalan-persoalan yang
di dalamnya masih terdapat kerauan? Maka tidak dibolehkan salah seorang dari
kelompok-kelompok tersebut mengkafirkan yang
lainnya, serta tidak boleh menghalalkan darah dan hartanya, sekalipun padanya
tampak perbuatan bid`ah. Bagaimana pula jika yang mengkafirkan sendiri
melakukan bid`ah? Tentulah bid`ah mereka lebih berat. Dan ironisnya, mereka
tidak mengetahui hakikat yang mereka perselisihkan.
Pada
prinsipnya, darah, harta, serta kehormatan sebagian kaum muslimin adalah haram
atas yang lainnya kecuali dengan izin Allah dan Rasul-Nya. Dan jika seorang
muslim melakukan takwil dalam hal memerangi dan mengkafirkan, maka ia pun tidak
dikafirkan, sebagaimana dikatakan Umar bin Khatab kepada Hatib bin Abi
Balta`ah:”Ya Rasulullah, biarkanlah aku menebas leher orang yang munafik ini!”
Maka Nabi menjawab:”Ia telah mengikuti Perang Badar, dan siapa tahu Allah
memperhatikan orang yang mengikuti Perang Badar.” Kemudian beliau bersabda:”
Lakukanlah apa yang kamu sukai, sesungguhnya aku telah mengampuni
kesalahanmu.”Riwayat ini terdapat dalam Shahihain.(Juz 3:282-284)