PANDANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA`AH
TERHADAP AHLI BID`AH
YANG MENYALAHI SUNNAH DAN PARA
PENGIKUTNYA
Oleh Syaikh Moh.
Abdul Hadi al Mishri, Ma`alim Inthilaqatul Kubro, Penerj. Abu Fahmi
Ahli Sunnah
Waljama`ah berpendapat bahwa bid`ah yang menentang Sunnah terjadi dalam
perkara-perkara yang samar, dan ada kalanya terjadi berkenaan dengan
perkara-perkara prinsip yang besar. Oleh sebab itu, pelaku-pelaku bid`ah
bersama pendukungnya mempunyai tingkat penyimpangan yang berbeda-beda terhadap
Sunnah. Sebagian mereka berselisih dalam soal lafazh dan asma`. Sebagian lagi
berselisih dalam soal makna dan hakikat segala sesuatu. Berdasarkan hal
tersebut, Ahli Sunnah Waljama`ah membagi bid`ah dalam beberapa bagian.
1.
Bid`ah yang tidak menyebankan
pengkafiran terhadap pelakunya. Mengenai hal ini tidak ada perselisihan di
antara para ulama, seperti bid`ah yang dilakukan kelompok Murji`ah dan Syi`ah
Mufadillah.
2.
Bid`ah yang di dalamnya masih
terdapat perselisihan di kalangan para ulama, soal benar atau tidaknya
pengkafiran terhadap para pelakunya. Seperti bid`ah yang dilakukan Khawarij dan
Rafidlah
3.
Bid`ah yang para pelakunya
dikafirkan berdasarkan kesepakatan ulama, misalnya bid`ah yang dilakukan
Jahmiyah murni. (Juz 3:348)
Kelompok-kelompok
yang menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti prinsip-prinsip agama
dan kalam juga bertingkat-bertingkat. Di antara mereka ada yang menyalahi
Sunnah dalam persoalan prinsip yang besar, dan ada yang menentang Sunnah dalam
persoalan samar (bukan ushul).(Juz 3:348)
(1)
Para pelaku bid`ah yang tidak
dikafirkan, menurut kesepakatan para ulama.
Adapun Murji`ah
bukanlah termasuk bid`ah yang berat, bahkan telah masuk dalam paham mereka
sejumlah ahli fiqih dan ahli ibadah. Mereka masih digolongkan Ahli Sunnah
Waljama`ah sebelum sampai kepada tingkatan pemahaman bid`ah yang berat.
Manakala kaum tersohor itu menisbatkan kepada irja` dan tafdili, barulah para
Imam as-Sunnah yang terkenal berbicara dengan nada mencela Murji`ah
al-Mufadilah untuk menjauhkan paham mereka.(Juz 3:357)
Tidak ada teks
yang disampaikan Imam Ahmad bin Hambal yang mengkafirkan Murji`ah, karena
bid`ah mereka termasuk jenis ikhtilaf fuqaha dalam persoalan furu` (cabang). Di
samping itu, kebanyakan perselisihan mereka kembali kepada perselisihan yang
menyangkut lafazh dan asma. Oleh sebab itu, pembicaraan mereka disebut dengan
Bab al-Asma`, dan hal ini termasuk perselisihan para fuqaha, tetapi berkaitan
dengan prinsip-prinsip ad-Din. Maka siapa yang menentangnya, dialah pembuat
bid`ah.(Juz 12:485)
Demikian juga
Syi`ah yang menganggap Ali lebih utama daripada Abu Bakar, mereka tidak
dikafirkan, dan dalam hal ini tidak ada perselisihan di kalangan para ulama.
Karena hal itu merupakan pendapat para fuqaha, sekalipun mereka membuat bid`ah
(Juz 12:486)
Adapun Salaf
dan para Imam tidak berselisih dalam hal tidak mengkafirkan Murji`ah dan Syi`ah
Mufadlalah dan semisalnya. Juga tidak ada teks-teks Imam Ahmad bin Hambal yang
mengkafirkan mereka (Juz 3:351)
(2)
Bid`ah-bid`ah yang di dalamnya masih
terdapat perselisihan di kalangan para ulama, soal benar atau tidaknya
pengkafiran terhadap para pelakunya.
Adapun
Qadariyah yang mengakui ilmu, Rafidlah yang tidak ekstrem, Jahmiyah, dan
Khawarij, mengenai pengkafiran mereka terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad[1],
dan ini sebenarnya pendapat beliau yang mutlak. Meskipun sudah diketahu bahwa
beliau bersikap netral dalam mengkafirkan Qadariyah yang mengakui ilmu dan
Khawarij, dengan berkata:”Saya tidak mengetahui satu kaum yang lebih jahat dari
Khawarij.” Sedangkan mengenai pengkafiran terhadap orang yang tidak
mengkafirkan mereka, terdapat dua riwayat dari beliau. Tetapi, yang lebih
shahih adalah bahwa beliau tidak mengkafirkan. Dan kadang kala terjadi
perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal pengkafiran bagi yang tidak
mengkafirkan secara mutlak, namun hal ini merupakan kekeliruan semata-mata.
Sedangkan
menurut mayoritas ulama salaf, seperti Abdullah bin Mubarak, Yusuf bin Asbath,
kelompok pendukung Imam Ahmad dan lainnya, Jahmiyah tidak termasuk ke dalam 72
golongan firqah yang berpecah-belah di kalangan umat ini. Akan tetapi, pokok
firqah menurut ulama Salaf adalah Khawarij, Syi`ah, Murji`ah, dan Qadariyah.
Inilah yang ma`tsur (diriwayatkan) oleh Imam Ahmad dan Imam-imam Sunnah dan
Hadits. Mereka berkata:”barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur`an adalah
makhluk, berarti dia kafir. Dan barang siapa yang mengatakan bahwa Allah tidak
bisa dilihat pada hari akhirat, dia juga kafir.”
Kemudian Abu
An-Nashr As-Sajzi menceritakan dari mereka dua pendapat mengenai masalah ini.
Pertama, ia adalah kufur, berpindah agama. Ia berkata bahwa ini pendapat
mayoritas. Kedua, ia adalah kufur, tetapi tidak berpindah agama. Karena itu,
Al-Khattabi berkata:”Sesungguhnya yang mereka katakana ini dalam rangka
memberatkan.” Demikian pula perselisihan yang terjadi di kalangan generasi
Muta`akhirin dari para pendukung kami perihal kekalnya mereka di dalam neraka.
Pendapat ini merupakan mayoritas. Sebagaimana hal itu disebutkan dari kelompok
ulama hadits terdahulu, seperti Abi Hatim, Abi Zar`ah, dan lainnya, sebagian
dari mereka menolak pendapat yang menetapkan kekalnya mereka di neraka.(Juz12:
486-487)
(3)
Bid`ah-bid`ah yang tidak ada
ikhtilaf ulama terhadap pengkafiran para pelakunya secara mutlak
Pada umumnya
madzhab Imam Ahmad dan Imam-imam Sunnah, mereka mengkafirkan Jahmiyah karena
mengingkari sifat-sifat Allah Yang Rahman. Mereka jelas-jelas menolak apa-apa
yang dibawa Rasulullah dan rasul-rasul lain dari Kitab. Di samping itu,
pendapat mereka pada hakikatnya mengingkari Yang Maha Mencipta, termasuk ingkar
kepada Allah sebagai Rabb. Juga ingkar terhadap berita-berita yang datang dari
Allah melalui lisan para Rasul-Nya. Oleh karena itu Abdullah bin Al-Mubarak
berkata:”Sungguh kami ceritakan pembicaraan tentang Yahudi dan Nashrani, tetapi
kami tidak bisa menceritakan pembicaraan Jahmiyah.” Ia pun berkata: “Tidak ada
seorang pun dari Imam-imam Sunnah yang menolak mengatakan bahwa Jahmiyah itu
lebih kafir daripada Yahudi dan Nashrani” Oleh sebab itu, mereka mengkafirkan
orang yang mengatakan bahwa Al Qur`an itu makhluk, bahwa Allah tidak bisa
dilihat pada hari akhirat. Demikian juga yang mengatakan bahwa Allah tidak
berada di atas `Arsy, Allah tidak mempunyai ilmu, tidak berkuasa, tidak
mempunyai rahmat dan kemurkaan, serta sifat-sifat lainnya. (Juz 12:486-487)
Imam ahmad
telah meriwayatkan –demikian juga Imam Sunnah lainnya- akan hal tidak
mengkafirkan Murji`ah. Sementara orang yang mengutip pendapat beliau dan
Imam-imam lainnya mengkafirkan mereka, atau menjadikan mereka termasuk golongan
bid`ah yang diperselisihkan kekafirannya sebab telah mencapai bid`ah berat.
Dikutip dari Imam Ahmad dan Imam lainnya:”Sesungguhnya pengkafiran itu hanyalah
terhadap Jahmiyah al-Mutasyabbihah dan yang semisal mereka.” (Juz 7:507)
Madzhab Ahli Sunnah Waljama`ah dalam menghukumi orang tertentu.
Ahli Sunnah
Waljama`ah memisahkan atara hukum mutlak bagi pelaku-pelaku bid`ah yang
disertai maksiat, fasik, atau kufur, dengan para pelaku bid`ah tertentu orang
yang menetapkan keislamannya dengan yakin- yang darinya lahir sejenis bid`ah
dikarenakan maksiat, fasik, atau kafir. Mereka tidak menghukumi orang-orang
tersebut sebelum benar-benar jelas ucapannya bertentangan dengan Sunnah. Itu
pun harus dengan hujjah yang akurat dan menghilangkan syubhat. Sebagaimana
halnya mereka juga memisahkan antara nash-nash ancaman yang mutlak dengan yang
mesti diterima seseorang di akhirat kelak dalam hal ancaman (hukuman)ini.
Sesungguhnya
aku termasuk orang yang paling tidak suka menjatuhkan hukuman kepada seseorang
sebagai kafir, fasik, atau maksiat. Kecuali jika telah diketahui dengan jelas
hujjah risaliyah yang menyatakan bahwa siapa yang menentangnya adalah kafir,
terkadang fasik, atau mungkin maksiat. Aku mengakui bahwa Allah telah mengampuni
umat ini dari kekeliruannya, baik meliputi perkara-perkara Khabariyah qauliyah
maupun amaliah.
Riwayat yang
diambil dari Salaf dan Imam-imam yang mengkafirkan siapa yang berkata begini
dan begitu, memang benar. Tetapi dalam hal ini, harus bisa dibedakan antara
yang ithlaq (secara umum) dan ta`yin (secara khusus). Inilah awal permasalahan
yang menimbulkan perselisihan umat mengenai persoalan prinsip yang besaryakni
ancaman. Sebenarnya nash-nash Al Qur`an tentang ancaman adalah mutlak,
sebagaimana firman-Nya:”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zhalim…”(An Nisa 10)
Begitu pula
nash-nash lain, seperti barang siapa mengajarkan begini, maka baginya patut
mendapatkan balasan begini. Maka hal ini merupakan kebiasaan mutlak. Demikian
juga bagi orang tertentu bisa terbebas dari ancaman (hukuman) karena taubatnya,
karena kebaikan-kebaikan yang dapat menghapuskannya, karena musibah-musibah
yang dialaminya yang dapat menebus dosa-dosanya, atau karena syafa`at yang dia
terima. Dalam hal ini, pengkafiran itu termasuk ancaman, karena meskipun ucapan
itu mendustakan sabda Nabi, namun boleh jadi orang tersebut baru masuk Islam
atau hidup di pedusunan yang jauh terpencil.
Maka orang
seperti itu tidak bisa dikafirkan berdasarkan pengingkaran ucapannya, kecuali
ditegakkan hujjah kepadanya. Dan bisa jadi orang itu tidak mendengar nash-nash
tersebut, atau mendengarnya tetapi tidak tetap menurutnya. Atau menurutnya ada
yang menyangkalnya dari pihak lain sehingga ia harus melakukan takwil atasnya,
sekalipun ia keliru. (Juz 3:229-231)
Pada
prinsipnya, ucapan yang dianggap kufur terhadap Kitabullah, Sunnah, dan ijma`,ialah
perkataan kufur yang diucapkan secara mutlak, sebagaimana hal itu ditunjukan
oleh dalil-dalil syar`iyah. Karena iman itu termasuk hukum-hukum yang datang
dari Allah dan Rasul-Nya. Tak ada seorang pun yang patut menghukum berdasarkan
sangkaan dan hawa nafsu mereka. Juga tidak patut bagi seseorang menghukumi
orang lain dengan ucapan kafir, sebelum jelas kuat persyaratan yang membenarkan
kekafirannya dan tak ada yang menolak pengkafirannya. Ontoh kalimat kufur yang
tidak memenuhi syarat untuk dikafirkan adalah seperti orang yang mengatakan
bahwa khamar atau riba itu halal. Sedangkan orang tersebut baru saja masuk
Islam atau dia berdiam di pedusunan yang jauh. Atau seperti orang yang
mendengar perkataan kemudian dia ingkari, karena dia tidak yakin bahwa
pernyataan itu berasal dari Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah. Sebagaimana
didapati sebagian Salaf yang mengingkari sesuatu hal sebelum ketetapannya
diketahui jelas olehnya dari hadits-hadits Nabi. Sebagaimana pula para sahabat
merasa asyik dalam hal-hal tertentu, seperti melihat Allah dan lainnya, sehingga hal tersebut mereka tanyakan kepada
Rasulullah. (Juz 35:165-166)
Sesungguhnya
pernyataan bisa menjadikan kekufuran. Seperti pernyataan yang mengingkari
kewajiban shalat, zakat, shaum, dan haji. Juga menghalalkan zina, khamar, judi,
dan menikahi orang yang mempunyai hubungan mahrom. Akan tetapi, boleh jadi
orang yang mengatakan demikian karena memang tidak mendengar. Demikian juga
tidak mengkafirkan orang yang mengingkari hal-hal tersebut., seperti orang yang
baru masuk Islam atau hidup di pedusunan yang jauh sehingga tidak sampai
kepadanya syari`at Islam. Maka, sekalipun mereka mengingkari apa yang
diturunkan Rasulullah, mereka tidak dikafirkan jika memang tidak mengetahui
bahwa hal itu berasal dari Rasul.
Adapun
perkataan Jahmiyah termasuk dari jenis ini. Perkataan yang mengingkari Allah
sebagai Rabb bagi mereka dan terhadap apa-apa yang diturunkan Allah kepada
Rasul-Nya. Perkataan-perkataan mereka itu menjadi berat jika ditinjau dari tiga
segi:
Pertama : Nash-nash Al Qur`an, Sunnah, dan
ijma` yang bertentangan dengan perkataan mereka banyak sekali dan masyhur.
Tetapi mereka menolaknya dengan cara tahfir (menyimpangkan makna)
Kedua : Hakikat perkataan mereka adalah
mengingkari Allah sebagai Pencipta. Sekalipun di antara mereka ada yang tidak
mengetahui kalau perkataan mereka menjadi sebab lazim dalam mengingkari Sang
Pencipta. Sebagaimana halnya asal iman adalah pengakuan lisan kepada Allah, aka
alas kufur adalah mengingkari Allah.
Ketiga : Mereka menyalahi kesepakatan
seluruh millah dan Ahlul Fithr As-Salimah (pemilik fitrah yang sehat). (Juz
3:354)
Tidak seorang
pun dapat mengkafirkan seorang muslim, sekalipun ia keliru dan khilaf sehingga
ditegakkan dan dijelaskan hujjah terhadapnya. Begitupun bagi orang yang menetapi Islamnya secara
yakin, tidak akan gugur keislamannya karena alasan yang meragukan. Bahkan ia
tetap sebagai muslim sampai ada dalil tegas dan hilangnya kesamaran.(Juz
12:466)
Penyebab
terjadinya perselisihan Ahli Sunnah dalam mengkafirkan Jahmiyah menurut
tokoh-tokoh mereka adalah karena adanya pertentangan dalil-dalil yang mereka
hadapi. Mereka melihat beberapa dalil yang mengharuskan pengkafiran terhadap
Jahmiyah. Akan tetapi, mereka melihat bahwa orang yang mengucapkan kata-kata
itu adalah orang yang beriman, da karena keimanannya itu belum layak disebut
kafir. Maka menurut mereka, kedua dalil itu bertentangan.
Persoalan yang
sebenarnya adalah bahwa mereka benar menurut lafazh-lafazh umum, mengenai
perkataan para Imam yang membenarkan golongan terdahulu, dan yang menyangkut
nash-nash pembuat syari`at. Mereka seluruhnya berpendapat dengan
mengatakan:”Barang siapa yang berkata begini, maka ia kafir.” Kemudian
pendengar mempercayai bahwa lafazh-lafazh tersebut dikenakan pada seluruh orang
yang mengatakan seperti itu. Mereka tidak merenungkan bahwa pengkafiran
diperlakukan syarat-syarat dan halangan-halanga yang menolak menyangkut hak
orang tertentu. Dan pengkafiran secara mutlak tidak mengharuskan pengkafiran
tertentu, kecuali jika didapati persyaratan-persyaratan dan tertolaknya
halangan-halangan. Mengenai persoalan ini Imam Ahmad pernah menerangkannya,
demikian juga para Imam pada umumnya yang memutlakan pengkafiran ini. Mereka
tidak mengkafirkan kebanyakan orang yang mengatakan kesalahan seperti itu
secara langsung. Ucapan da sikap Imam Ahmad dan para Imam lainnya jelas
menunjukan bahwa mereka tidak mengkafirkan orang-orang tertentu dari golongan
Jahmiyah. Yakni mereka yang mengatakan bahwa Al Qur`an itu makhluk, dan
sesungguhnya Allah tidak bisa dilihat oleh hamba-Nya di akhirat.
Telah dinukil
dari Imam Ahmad yang menunjukan bahwa ia mengkafirkan kaum tertentu. Untuk itu,
ia berpegang pada dua riwayat, atau memasukan perkara kepada pengutamaan. Ia
berkata bahwa siapa yang mengkafirkan bahwa di dalamnya ditemui
persyaratan-persyaratan pengkafiran dan tertolaknya halangan-halangan. Dan bagi
siapa yang tidak mengkafirkan secara langsung hendaknya menolak hal itu sesuai
dengan haknya. Pendapat ini disertai dengan penyampaian pengkafiran menurut
jalan umum. (Juz 12:487-489)
Dari
pembicaraan tersebut melahirkan dua prinsip besar:
Pertama : ilmu,iman, dan petunjuk
merupakan hal-hal yang dibawa oleh Rasul. Maka orang yang menentang hal
tersebut adalah kafir secara mutlak. Mengingkari sifat-sifat Allah adalah
kafir. Demikian juga jika mendustakan kebenaran yang menyatakan bahwa Allah
bisa dilihat pada hari akhir. Mendustakan bahwa dia di atas `Arsy, mendustakan
bahwa Al Qur`an itu kalam-Nya, mendustakan bahwa Dia telah berbicara kepada
Musa, mendustakan bahwa Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil, atau yang
semakna dengan semua itu, maka yang demikian itu adalah kufur. Inilah makna pembicaraan
Imam-imam Sunnah dan Ahli Hadits.
Kedua : Bahwa pengkafiran secara
umum –seperti ancaman yang bersifat umum- harus ditetapkan secara mutlak dan
umum. Adapun hukuman atas seseorang bahwa dia kafir atau masuk neraka, haruslah
didukung dalil tertentu. Karena itu, penghukuman harus didukung oleh
ketetapan-ketetapan persyaratannya dan peniadaan halangan-halangannya.(Juz
12:497)
Pengkafiran
terhadap orang tertentu dari orang-orang bodoh (yakni orang-orang yang
menentang Sunnah) dan yang semisal mereka –yang sering dihukumi sebagai bagian
dari orang-orang kafir- tidak dibolehkan kecuali setelah ditegakkan hujjah
risaliyah kepada salah seorang dari mereka. Yakni hujjah yang menjelaskan bahwa
mereka benar-benar menentang para rasul. Sekalipun perkataan seperti itu tidak
diragukan lagi sebagai perkataan kufur. Deikian pula pembicaraan mengenai
pengkafiran orang-orang tertentu.
Meskipun bid`ah
yang satu lebih berat daripada yang lain, dan sebagian pelaku bid`ah memiliki
iman yang tidak dimiliki oleh sebagian yang lain, maka tidak boleh seseorang
mengkafirkan seorang muslim yang berbuat salah atau keliru, kecuali jika telah
jelas dan tegas hujjah atasnya. Barangsiapa yang berketetapan (teguh) imannya
karena yakin, maka imannya tidak akan lepas karena alasan yang meragukan.
Bahkan dia muslim selama-lamanya kecuali setelah ditegakkan hujjah, dan
menghilangkan keragu-raguan. (Juz 12:500)
Sesungguhnya
laknat termasuk ancaman, oleh karena itu dia dihukumi secara umum. Sedangkan
seseorang yang dapat terbebas dari ancaman karena taubat secara benar, atau
karena kebaika-kebaikan yang dapat menghapuskan ancaman, atau karena musibah
yang menimpanya yang dapat menjadi kifarat, atau karena syafa`at yang
diterimanya, atau karena sebab lainnya, dalam hal ini merupakan hak bagi pelaku
dosa tersebut. Untuk itu tidak boleh menyatakan kepada orang tertentu bahwa ia
akan mendapat surge atau mendapat ancaman neraka, kecuali telah ada dalil
khusus. Tidak boleh menentukan mereka berdasarkan prasangka semata atau karena
mereka termasuk dalam dalil umum. Sebab, boleh jadi dia termasuk dalam dua
keumuman sehingga berhak mendapatkan pahala dan hukuman (siksa). (Juz 35:66-68
dan 282)
Sikap Ahli Sunnah terhadap Ulama Kaum Muslimin yang Melakukan
Ijtihad dan Takwil.
Ahli Sunnah sangat
berhati-hati dalam mengkafirkan atau menuduh fasik terhadap tokoh-tokoh bid`ah
sebelum ditegakkan hujjah dan dihilangkan keraguan. Oleh sebab itu, mereka
tidak membolehkan mengkafirkan atau menuduh fasik atau bahkan menuduh
ulama-ulama kaum muslimin berdosa karena kekeliruan ijtihad atau terlalu jauh
dalam mentakwil, khususnya yang menyangkut persoalan-persoalan zhanniah
(dugaan) yang diperselishkan.
Sesungguhnya Ahli Kalam kaum muslimin tidak boleh
mengkafirkan salah seorang dari mereka karena semata-mata kekeliruan pendapat
yang didasarkan pada ijtihad. Adapun kelancaran para penentang Sunnah dalam
mengkafirkan ulama kaum muslimin merupakan kemungkaran terbesar dan hanya
berasal dari kalangan Khawarij serta Rafidlah –ketika mereka meyakini bahwa
kesalahan para ulama tersebut merupakan kesalahan di dalam agama.
Ahli Sunnah
Waljama`ah telah sepakat bahwa ulama kaum muslimin tidak boleh dikafirkan
karena kekeliruan semata-mata. Bahkan setiap orang (ulama) boleh diambil dan
ditinggalkan perkataannya, kecuali Rasulullah. Dan tidak patut bagi orang yang
bisa ditinggalkan sebagian perkataannya karena kekeliruan dihukumi kafir,
fasik, bahkan berdosa.
Telah dimaklumi
bahwa larangan mengkafirkan ulama kaum muslimin yang berbicara tentang
persoalan ini –ma`shumnya para nabi- bahkan penolakan pengkafiran terhadap
ulama-ulama muslimin merupakan langkah paling tepat dari tujuan syar`iyah. Maka
bagaimana mungkin ulama-ulama muslimin dapat dikafirkan dalam
persoalan-persoalan yang bersifat sangkaan? Bagaimana mungkin jumhur ulama
muslimin atau jumhur Imam-imam Salaf
serta tokoh-tokoh ulama bisa dikafirkan tanpa adanya hujjah sama sekali?
Pandangan Ahli Sunnah terhadap Pelaku Bid`ah Berbeda dengan
terhadap orang yang telah jelas diketahui kekufurannya.
Ahli Sunnah
Waljama`ah memisahkan antara pelaku bid`ah dan ahli kiblat –betapapun bentuk
bid`ah itu- dengan orang yang telah jelas diketahui kekufurannya dari Dinul
Islam, seperti kaum musyrikin dan Ahli Kitab. Ini menurut hukum lahirlah pada
umumnya, meskipun sebagian besar diketahui termasuk munafik dan berlaku zindiq
di dalam batin.
Maka orang yang
keliru di dalam sebagian persoalan ini –maksudnya persoalan aqidah, seperti
tentang sifat-sifat Allah, qadar, iman, ancaman, serta lainnya- adakalanya
dikaitkan dengan kaum kafir musyrikin dan Ahli Kitab, sekalipun menyangkut
prinsip keimanan pada umumnya. Adakalanya dikaitkan juga dengan orang yang
melakukan kesalahan dalam persoalan-persoalan kewajiban dan pengharaman,
sekalipun hal itu juga berkaitan dengan persoalan prinsip keimanan.
Maka
sesungguhnya iman itu dilengkapi dengan kewajiban-kewajiban yang jelas
mutawatir, di samping adanya sejumlah pengharaman terhadap barang-barang haram
yang jelas mutawatir, yang merupakan prinsip keimanan dan tonggak-tonggak agama
terbesar, dan bagi orang yang mengingkari hal tersebut adalah kafir berdasarkan
kesepakatan. Meskipun, seorang mujtahid, dalam sebagian permasalahan prinsip
tidak bisa dihukumi kafir karena kekeliruannya berdasarkan kesepakatan.
Jika demikian
halnya, maka haruslah mengaitkan permasalahan ini dengan salah satu dari kedua
golongan tersebut. Telah dimaklumi bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya yang melakukan kekeliruan, di antaranya ada yang mirip dengan
orang-orang musyrik dan Ahli Kitab. Maka orang semacam ini diserupakan dengan
mereka. Terhadap hal ini telah berlalu perbuatan umat –baik masa dahulu maupun
sekarang- yang menunjukan bahwa umumnya mereka, mukmin yang melakukan
kekeliruan, pada diri mereka berlaku hukum-hukum Islam yang juga berlaku atas
orang selain mereka. Hal ini karena diketahui bahwa kebanyakan pelaku bid`ah
adalah orang-orang munafik yang melakukan nifak besar. Merekalah orang kafir
yang kelak ditempatkan di dasar neraka. Mereka kafir secara batiniyah, dan jika
diketahui perilakunya maka ia pun kafir secara lahiriyah. (Juz 12:496)
Setiap orang
yang beriman kepada ajaran Muhammad Saw lebih baik daripada orang yang kufur
terhadapnya. Sekalipun yang disebutkan lebih awal melakukan perbuatan bid`ah,
baik bid`ah Khawarij, Syi`ah, Murji`ah, maupun Qadariyah. Maka sesungguhnya
orang Yahudi dan Nashrani adalah orang-orang kafir yang telah pasti
kekafirannya menurut ukuran Dinul Islam. Sedangkan pelaku bid`ah, jika memang
masih tergolong bersesuaian dengan Rasulullah, padanya tidak ada hal yang
menyalahi, maka ia tidak boleh dihukumi kafir. Andaikan dia dapat dikriteriakan
kafir, maka kekafirannya tidak seperti orang yang mendustakan Rasulullah. (Juz
35:201)
[1]
Akan dibicarakan tahqiq pendapat beliau mengenai Jahmiyah. Beliau mengkafirkan
sebagian dan tidak mengkafirkan sebagian. Sehingga sebagian ulama menganggap
ada dua riwayat dari beliau mengenai masalah ini, sekalipun beliau tidak suka
berpendapat mengkafirkan mereka.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------