GOLONGAN-GOLONGAN PENENTANG
AHLI SUNNAH WALJAMA`AH, ke-3

Golngan Murji`ah
Murji`ah lahir sebagai reaksi atas paham-paham Khawarij tentang iman dan kufur. Sekalipun bid`ah ini pada awalnya merupakan perselisihan mengenai nama-nama orang yang diagungkan –secara lafzhi- namum di kemudian hari berkembang kian membesar dan meluas.

Paham Murji`ah muncul di Kufah dan pengikutnya kebanyakan dari penduduk kota itu. Akan tetapi, di dalamnya tidak termasuk para pendukung Abdullah dan Ibrahim an-Nikha`i. Murji`ah merupakan kebalikan dari Khawarij dan Mu`tazilah. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tidak termasuk iman.”
Bid`ah Murji`ah adalah bid`ah yang paling ringan, karena kebanyakan perselisihan yang terjadi di dalamnya hanya menyangkut nama dan lafazh, tidak menyangkut hukum. Para fuqaha yang menganut paham ini, seperti Hammad bin Abi Sulaiman dan Abi Hanifah bersama Ahli Sunnah lainnya, sepakat bahwa Allah menyiksa para pelaku dosa dengan api neraka, kemudian mengeluarkan mereka dengan syafa`at sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Mereka berpendapat bahwa iman haruslah diucapkan dengan lisan dan melibatkan amalan-amalan fardlu yang wajib dikerjakan, serta bagi yang meninggalkannya berhak mendapat celaan dan hukuman. Oleh karena itu, perselisihan mereka mengenai amalan-amalan –apakah amalan termasuk unsur iman atau bukan, atau tentang pengecualian dan sebagainya- pada umumnya merupakan perselisihan lafzhiah. Secara ringkas, para tokoh yang dituduh berpaham Murji`ah, seperti Thalaq bin Hubaib, Ibrahim at-Taimi, dan lainnya, termasuk dalam jenis ini, karena mereka tidak mengecualikan amal perbuatan dalam iman. Abu Hanifah dan para ashabnya tidak membolehkan adanya pengecualian dalam iman dan menganggap amal merupakan bagian dari iman. Mereka mencela kaum Murji`ah. Menurut mereka, Murji`ah adalah orang-orang yang tidak mewajibkan fardhu-fardhu ataupun menjauhi larangan, dan menganggap cukup hanya dengan beriman. Jelaslah bagi kita bahwa perselisihan mereka hanya menyangkut persoalan lafzhiah. (Juz 13:38-43)

Murji`ah bukanlah termasuk pengikut bid`ah berat, bahkan telah masuk dalam paham mereka beberapa kelompok ahli fiqih dan ibadah. Pada mulanya mereka dari golongan Ahli Sunnah Waljama`ah, hingga kemudian persoalan mereka menjadi semakin berat karena mereka menambahkan pernyataan-pernyataan yang memberatkan. Manakala orang-orang telah menasabkan diri kepada Murji`ah –termasuk mereka yang masyhur- maka berbicaralah Imam-imam Sunnah yang terkenal untuk mencela Murji`ah yang berlebih-lebihan. Hal itu dilakukan untuk menghindari meluasnya paham mereka. Di antaranya Sofyan ats-Tsauri yang berkata: “Barang siapa melebihkan Ali dari Abu Bakar dan Umar, berarti ia telah meremehkan kaum Muhajirin dan Anshar, dan aku aggap amalannya tidak akan sampai kepada Allah.” Ia mengucapkan kata-kata seperti itu setelah mendengar sebagian Imam Kufah menempatkan Ali pada kedudukan yang lebih mulia dari Abu Bakar dan Umar.

Demikian pula perkataan Ayyub Assukhtiyani:”Barang siapa mendahulukan Ali (menganggap lebih patut menjadi khalifah ketiga) dari Utsman, maka ia telah meremehkan kaum Muhajirin dan Anshar.” Ia mengucapkan kata-kata seperti itu ketika mendengar Imam Kufah mendudukan Ali lebih afdlal daripada Utsman. Telah diriwayatkan bahwa ia menarik perkataannya itu. Begitu pula Ats-Tsauri, Malik, dan Asy-Syafi`i serta lainnya, ketika mereka mendengar bahwa sebagian ulama terkenal mengikuti paham Murji`ah. (Juz 3:357)
Murji`ah yang mengatakan bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) hati dan ucapan lisan, sementara amalan-amalan tidak termasuk unsur di dalamnya, di antara mereka terdapat fuqaha Kufah dan para ahli ibadah, dan tidak menjadikan perkataan mereka sama seperti perkataan Jahmiyah. Mereka mengatakan bahwa manusia tidak bisa menjadi seorang mukmin jika tidak menyatakan keimanannya dengan lisa, sementara ia mampu melakukan hal itu. Mereka berpendapat bahwa iblis dan Fir`aun dan lainnya adalah orang-orang kafir sekalipun hati mereka membenarkan. Para ahli kalam dan fuqaha Murji`ah mengatakan bahwa sesungguhnya amalan-amalan bisa dinamakan iman secara majazi, karena amal merupakan buah dan realisasi iman sekaligus menunjukan keberadaannya.

Murji`ah ada tiga golongan:
Mereka yang mengatakan bahwa iman cukup ada di hati. Kemudian di antara mereka ada yang memasukan amalan hati. Golongan ini merupakan mayoritas Murji`ah. Di antara mereka juga ada yang tidak memasukan amal ke dalam iman, seperti Jahmiyah dan para pengikutnya.
Mereka yang berpendapat bahwa iman hanya cukup berupa pernyataan lisan. Dalam hal ini tidak dikenal seorang pun yang berpendapat demikian sebelum Karomiyah.

Mereka mengatakan bahwa iman merupakan pembenaran hati dan ucapan lisan. Pendapat ini masyhur di kalangan ahli fiqih dan ahli ibadah mereka.
Kaum Murji`ah telah melakukan kekeliruan ditinjau dari beberapa segi:
Mereka menganggap bahwa iman yang diwajibkan Allah terhadap hamba-hamba-Nya adalah sama pada diri semua hamba. Dan iman yang wajib bagi seseorang adalah sama bagi setiap orang. Padahal tidak demikian persoalannya.
Termasuk kekeliruan mereka adalah anggapan bahwa iman itu cukup berupa pembenaran hati, tanpa amalan-amalan hati, sebagaimana paham Jahmiyah.
Mereka menganggap bahwa iman yang ada di dalam hati menjadi sempurna tanpa amalan sedikit pun. Oleh karena itu, mereka menjadikan amalan-amalan sebagai buah dari realisasinya, sebagaimana sebab dan musabab. Mereka tidak menjadikan amalan sebagai suatu keharusan di dalam iman. Yang pasti adalah bahwa iman dengan hati yang sempurna menurut realisasi ( keharusan) amalan-amalan nyata sesuai dengannya. Dan tidak mungkin hati menegakkan iman secara sempurna tanpa disertai amalan-amalan nyata. (Juz 7:194-294)

Qadariyah dan Jahmiyah
Qadariyah lahir pada akhir masa sahabat, ketika muncul pembicaraan tentang takdir yang mengarah kepada terbentuknya dua kelompok utama. Pertama, Qadariyah Nufat, mereka yang mengingkari takdir terkenal di kemudian hari dengan sebutan Qadariyah atau Mu`tazilah. Kedua, Qadariyah Mujbirah, yang mengingkari adanya kudrat manusia, kemudian lebih dikenal dengan nama Jahmiyah.

Kemudian masing-masing kelompok itu menisbatkan paham yang bid`ah, sekalipun kedua kelompok ini telah sepakat terhadap prinsp-prinsp penolakan sifat-sifat Alah, sebagian atau seluruhnya. Pada akhir masa sahabat muncullah Qadariyah. Akar Qadariyah bersumber dari ketidakmampuan akal mereka dalam megimani qadar Allah, perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, serta mereka mengira bahwa hal-hal seperti itu dilarang untuk dipikirkan. Mereka telah beriman kepada agama Allah, perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, maka jika demikian, menurut mereka, tidaklah dapat diketahui siapa di antara manusia yang taat dan yang menentang sebelum datangnya perintah. Karena mereka mengira bahwa siapa yang mengetahui apa yang akan terjadi tidaklah patut untuk menyuruh, sementara Dia mengetahui bahwa yang disuruh akan menentang dan tidak mentaati-Nya. Mereka juga mengira bahwa jika Dia mengetahui manusia akan berbuat kerusakan, maka tidak patut menciptakan mereka yang akan berbuat seperti itu.

Ketika mendengar pendapat mereka, para sahabat mengingkarinya dengan keras dan melepaskan diri dari mereka. Sampai-sampai Abdullah bin Umar berkata:”Aku beritahukan bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka pun berlepas diri dariku.” Kemudian dia bersumpah:”Andaikan ada seorang dari mereka mempunyai emas seberat bukit Uhud, kemudian dinafkahkannya, niscaya Allah Swt tidak akan menerimanya sehingga ia beriman kepada qadar Allah.” Abdullah bin Umar lalu menyebutkan hadits Jibril dari ayahnya, dan ini merupakan hadits shahih yang paling pertama di dalam Shahih Muslim. Bukhari dan Muslim meriwayatkannya pula dari jalan Abu Hurairah secara ringkas.

Selanjutnya banyak orang membincangkan mengenai qadar. Kebanyakan mereka dari Basrah dan Syam, sebagian lagi dari Madinah. Maka golongan Muqtashid dan jumhur mereka menetapkan adanya qadar yang mendahului dan dengan kitab al-Mutaqaddam. Alhasil, manusia berselisih tentang iradah dan penciptaan perbuatan-perbuatan hamba, sehingga menjadi dua golongan:
An_naufat, mereka mengatakan bahwa tidak ada iradah kecuali mengandung pengertian masyi`ah. Allah tidak menginginkan kecuali apa-apa yang diperintahkan-Nya, dan Dia tidak menciptakan sesuatu dari perbuatan para hamba-Nya.

Paham Jabariyah, seperti Jahm bin Shafwan dan lainnya, yang mengatakan bahwa tidak ada iradah kecuali dalam pengertian masyi`ah. Sedangkan perintah dan larangan tidak menuntut keharusan iradah. Mereka lalu mengatakan, seorang hamba tidak mempunyai perbuatan dan tidak berkemampuan sama sekali, hanya Allah-lah Yang Berbuat dan Mampu.
Bersamaan dengan itu Jahm menafikan asma dan sifat-sifat Allah. Dia berkata: “Allah tidak diberi nama apa pun, dan tidak pula mempunyai nama-nama lain kecuali Dia Mahakuasa (Al Qadir), sebab seorang hamba tidak memiliki kemampuan dan tidak berkuasa.

Sementara itu, Khawarij telah membincangkan perihal pengkafiran terhadap ahli kiblat yang melakukan dosa. Mereka, menurut Khawarij, adalah orang-orang kafir yang kekal di dalam neraka. Maka orang-orang pun ramai memperbincangkan masalah tersebut, termasuk Qadariyah setelah matinya Al-Hasan al-Basri. Amru bin `Ubaid berkata:”ahli kiblat yang berdosa bukanlah orang-orang muslim dan bukan pula orang-orang kafir, namun mereka berada di antara dua kutub kedudukan (manzilah bainal manzilatain), dan mereka kekal di dalam neraka.”Mereka bersepakat atas paham Khawarij yang berpendapat bahwa pelaku dosa kekal di neraka, pada diri mereka tidak ada Islam dan iman, tetapi tidak disebut kafir. Kemudian mereka melakukan i`tizal (memisahkan diri) dari majlis Ashab Hasan al-Basri, seperti Qatadah dan Ayyub Assukhtiyani. Maka sejak itu mereka disebut Mu`tazilah  -setelah kematian Hasan al-Basri.Qatadah juga berkata :”Mereka adalah Mu`tazilah.”

Di kalangan orang banyak juga terjadi perselisihan tentang istilah dan hukum-hukkum. Misalnya istilah yang cocok dalam ruang lingkup agama, seperti muslim dan mukmin, kafir dan fasik, serta hukum-hukum dunia dan akhirat. Mu`tazilah menyepakati Khawarij hanya terhadap hukum mereka di akhirat, tanpa hukum di dunia. Mereka tidak menghalalkan darah dan harta muslim yang berbuat dosa, sebagaimana yang dihalalkan Khawarij. Sedangkan dalam soal sebutan mereka membuat istilah baru: manzilah bainla manzilatain. Inilah cirri khas mu`tazilah. Sementara pedapat-pendapat golongan lainnya sama. (Juz 13:36-38)

Kemudian timbul Qadariyah di akhir masa sahabat. Pada saat itu Khawarij berbicara soal hukum Allah (hukum syar`i), seperti perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, dan hukum bagi yang setuju serta yang menentangnya. Juga persoalan siapa yang pantas menjadi mukmin dan kafir. Hal ini merupakan masalah peristilahan dan hukum, sehingga mereka dinamakan muhakkimah, karena melibatkan diri dalam pembicaraan hukum secara batil. Jika seseorang berkata:”Tidak ada hukum kecuali untuk Allah.” Maka mereka mengatakan:”Dia itu muhakkim (pembuat hukum).”Atau jika ia berbicara tentang hukum Allah, maka ia pun berbicara tentang syari`at Allah secara batil. Begitupun Qadariyah, mereka berbicara mengenai qadar Allah dengan batil.

Pangkal kesesatan mereka adalah karena menyangka bahwa takdir bertentangan dengan syari`at. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi dua golongan. Ada golongan yang mengagungkan syari`at, perintah dan larangan, janji dan ancaman, dan mengikuti apa-apa yang dicintai dan diridlai Allah, serta meninggalkan yang dibenci dan dimurkai-Nya. Mereka mengaggap bahwa dalam hal ini tidak mungkin menyatukan antara syari`at dengan takdir.

Muncul juga golongan yang mengunggulkan syari`at dan mendustakan takdir serta eniadakannya, atau menolak sebagiannya. Golongan lain yang mengunggulkan takdir, menafikan syara` dalam batin mereka atau enafikan hakikatnya seraya berkata: “Tidak ada perbedaan antara apa yang diperintah Allah dan apa yang dilarang-Nya dalam satu perkara yang sama, semuanya sama. Demikian pula halnya dengan para wali dan musuh-musuhnya, dan juga apa yang disebutkan bahwa Dia mencintai dan membenci sesuatu. Dia membedakan dua hal berdasarkan masyiah semata-mata. Dia memerintah satu hal dan melarang dari yang semisalnya.”Mereka mengingkari perbedaan dan pemisahan antara tauhid dan syirik, antara iman dan kufur, antara taat dan maksiat, dan antara halal dan haram.

Mereka menafikan hikmah dan keadilan-Nya, menyangkal qudrat dan masyiah-Nya, atau qudrat, masyi`ah, dan ilmu-Nya. Mereka menyerupai Majusi dalam kemusyrikan Rububiyah, karena mereka menjadikan selain Allah sebagai Pencipta. Mereka mirip dengan kaum musyrikin yang tidak membedakan antara ibadah kepada-Nya dan ibadah kepada selain-Nya. Bahkan mereka membolehkan beribadah kepada selain-Nya sebagaimana mereka membolehkan ibadah kepada-Nya. Mereka berkata:”Seandainya Allah menghendaki, tentulah kami tidak mempersekutukan-Nya.”

Mereka mengakhiri tauhid mereka dengantauhid musyrikin, yaitu tauhid Rububiyah. Sedangkan tauhid Uluhiyah yang mencakup perintah dan larangan –mengenai kecintaan terhadap yang Dia perintahkan dan kebencian terhadap yang Dia larang- mereka mengingkarinya. Oleh karena itu, mereka lebih banyak mengikuti hawa nafsu dan berlaku syirik. Mereka melebihi Mu`tazilah. Puncak pendapat ahli kalam dan ahli ibadah mereka melebihi  penyembah-penyembah patung, tidak menganggap baik sesuatu kebaikan dan tak menganggap buruk suatu keburukan.

Qadariyah berprinsip bahwa Dia tidak mengakui ketetapan qudrat dan hikmah-Nya, sebab andaikan Allah itu Qadir (berkuasa) tentulah Dia melakukan apa-apa yang tidak diperbuat. Ketika Dia tidak melakukanya, maka menunjukan bahwa Dia tidak berkuasa. Mereka berkata:”Telah tetap hikmah-Nya sebagaimana Dia menetapkan hikmah-hikmah-Nya.”

Sedangkan Mujbirah ( Jabariyah) berkata bahwa kekuasaan Allah tetap (tsabit) tanpa hikmah. Dia dapat melakukan perbuatan berdasarkan hikmah-hikmah-Nya. Kemudian di antara mereka menampakan pengingkaran syari`at secara menyeluruh dan mengingkari nubuwwah. Dan di antara mereka yang mengakui nubuwwah, mengingkari syara` di dalam batin. Mengenai hal ini seorang arif berkata:”Mereka tidak menganggap sesuatu yang baik sebagai kebaikan dan tidak menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan. Jadilah mereka munafik. Mereka menampakan sikap yang berlawanan dengan batin mereka.” Selanjutya dia berkata,”Syara itu untuk kepentingan rumah sakit jiwa.” Oleh karena itu mereka dinamakan Batiniyah, sebagaimana Malahidah (Atheis). Sesungguhnya kedua kelompok itu menyembunyikan sesuatu di balik apa yang dilahirkan. Mereka menyembunyikan pengingkaran terhadap apa yang dibawa Nabi Saw berupa perintah dan larangan. Maka pada akhirnya, JahmiyahMujbirah itu boleh jadi musyrik lahir batin, dan boleh jadi munafik yang menyembunyikan kemusyrikan.(Juz 13:211-214)

Sebagaimana telah kami bahas sebelumnya, Qadariyah terbagi menjadi tiga golongan, yaitu Qadariyah Musyrikah, Qadariyah Majusiyah, dan Qadariyah Iblisiyah.

Golongan Qadariyah pertama adalah mereka yang mengetahui qadla dan qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan. Mereka berkata:”Jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya. Dan kami pun tidak mengharamkan apa pun.”(Al An`am 148)

Mereka menakwilkan perkara mereka kepada pengingkaran syari`at, perintah, dan larangan, di samping mengenali Rububiyah umum bagi seluruh makhluk. Menurut mereka, tidak ada satu binatang melata pun kecuali Dialah yang memegang ubun-ubunnya (mengendalikannya). Dialah yang memberikan ujian yang banya –baik i`tiqad maupun hal-hal lainnya- kepada berbagai kelonpok sufi dan ahli fiqih, sehingga di antara mereka keluarlah (sekelompok orang) yang membolehkan hal-hal yang diharamkan, menanggalkan kewajiban , dan menyingkirkan hukuman.

Golongan tersebut telah bertindak melampaui batas, sehingga menjadikan sumber kejadian-kejadian ini adalah Allah. Mereka berpegang teguh dengan menyepakati iradah Qadariyah dalam hal-hal kejelekan yang terjadi di antara mereka dan dari luar mereka. Saat itulah pada diri mereka muncul pencampuran Nashrani. Sedangkan di kalangan kaum Nashrani sendiri terdapat pencampuran syirik yang mengikuti kaum musyrikin dalam hal berpegang kepada takdir yang menyalahi syari`at.

Qadariyah Majusiyah adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam penciptaan-penciptaan-Nya sebagaimana golongan pertama menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadah kepada-Nya. Mereka berkata:”Pencipta kebaikan bukanlah yang menciptakan kejahatan.” Di antara mereka juga ada yang mengatakan:” Sesungguhnya dosa-dosa yang terjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah.” Kadang kala mereka pun berkata:”Allah juga tidak mengetahuinya.”Mereka mengatakan bahwa pendapat seperti itu adalah adil. Mereka menamakannya tauhid, padahal dalam hal ini mereka merampas sifat-sifat Allah. Hal seperti itu banyak terjadi –baik menyangkut i`tiqad maupun hal-hal lain- di kalangan ahli fiqih dan ahli kalam, sebagaimana terjadi di kalangan Mu`tazilah dan Syi`ah akhir-akhir ini. Manakala antara kedua golongan tersebut tidak bisa disamakan, maka Mu`tazilah merupakan sejauh-jauh manusia dari Sufiyah, condong kepada Yahudi, dan menjauh dari Nashrani. Mereka menjadikan itsbat sifat seperti halnya perkataan Nashara.

Golongan ketiga adalah Qadariyah Iblisiyah. Mereka membenarkan bahwa Allah merupakan sumber terjadinya kedua perkara, akan tetapi menurut mereka hal ini saling berlawanan. Merekalah orang-orang yang embantah Allah sebagimana disebutkan dalam hadits. Kebanyakan mereka terdiri dari ahli aqwal dan ahli af`al dari para penyair dungu dan lainnya dari golongan zindiq. Seperti Abil Ala` al-Ma`ri yang mengatakan:”Apakah aku dilarang membunuh jiwa dengan sengaja, padahal aku beranggapan bahwa dia akan kembali ke tempat lain. Dua keadaan tersebut tidaklah memberinya manfaat.” Dan masih banyak lagi ucapan semisal ini yang menyebabkan pelakunya harus dikafirkan da dibunuh.(Juz 8: 226-260)

Adapun Mu`tazilah, mereka menolak sifat-sifat Allah da mendekati ucapan Jahm, akan tetapi mereka menafikan qadar. Sekalipun mereka mengagungkan perintah dan larangan, janji dan ancaman, namun mereka melampaui batas dalam perkara tersebut- yankni mendustakan qadar- sehingga pada diri mereka terdapat sejenis syirik. Pengakuan terhadap perintah dan larangan, janji dan ancaman, yang disertai pengingkaran terhadap qadar lebih baik daripada mengakui qadar disertai dengan pengingkaran adanya perintah dan larangan, serta janji dan ancaman. Mereka termasuk kaum sufi yang menyaksikan hakikat hukum alam, tetapi menentang perintah dan larangan. Mereka lebih jahat daripada Qadariyah al-Mu`tazilah dan semisalnya. Mereka mirip dengan Majusi dan menyerupai orang-orang musyrik.(Juz 3:103-104)

Lafazh ini pertama kali diciptakan oleh Mu`tazilah. Mereka menamakan al-jama`ah dan as-Sawadul A`zham sebagai orang-orang jelata. Sebagaimana halnya menamakan mereka dengan al-jumhur (orang awam), mereka bukanlah orang-orang terkenal. Istilah ini muncul dari ucapan Amru bin Ubaid: “Abdullah bin Umar adalah hasyawiyyan (orang biasa, jelata).” Oleh karena itu, Mu`tazilah menyebut al-jama`ah sebagai orang-orang jelata, seperti halnya Rafidlah menamakan mereka dengan jumhur (orang biasa, awam). (Juz 30:185)
Adapun Qadariyah murni lebih baik daripada seluruh Rafidlah, karena mereka lebih mendekati Kitab dan Sunnah. Tetapi, Mu`tazilah dan golongan lain dari Qadariyah adalah Jahmiyah juga, karena  mereka mengkafirkan darah kaum muslimin. Oleh sebab itu, mereka lebih mendekati Khawarij. (Juz 3:357).

Adapun cikal bakal munculnya perkataan ini –pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah- berasal dari murid-murid kaum Yahudi dan musyrikin, termasuk kaum Shabi`in. orang yang pertama kali mengucapkan perkataan ini dalam Islam –yakni perkataan bahwa Allah tidak berada di atas `Arsy dengan sebenarnya, dan lafazh istawa mereka artikan dengan istaulaa (berkuasa)- adalah Al-Ja`d bin Darhim. Kemudian diambil dan dipopulerkan oleh Al-Jahm bin Shafwan, sehingga paham Jahmiyah dinisbatkan kepadanya. Telah dikatakan bahwa Al-Ja`d mengambil pernyataan tersebut dari Abban bin Sam`an. Abban sendiri mengambilnya dari Thalut bin Ukhti Lubaid bin Al-A`sham. Dan Thalut mengambilnya dari Lubaid bin Al-A`sham, seorang ahli sihir Yahudi, yang menyihir Nabi Saw. (Juz 5:20)

Jahm pernah mengatakan bahwa sesungguhnya iman itu cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran) hati, sekalipun tidak dinyatakan. Pendapat seperti ini tidak pernah dinyatakan oleh seorang ulama atau imam umat ini. Bahkan Ahmad dan Waki` serta yang lainnya mengkafirkan siapa saja yang mengatakan demikian. (Juz 13:47)

Orang yang pertama kali menyatakan paham ini di dalam Islam adalah Al-Ja`d bin Darhim, sehingga Khalid bin Abdullah Al-Qisri membunuhnya pada hari Adha. Pernyataan ini juga diabil dari Jahm bin Shafwan yang dibunuh Salamah bin Ahwaz di Khurasan. Paham ini dinisbatkan kepadanya, yang kemudian dinamakan Jahmiyah, yakni paham yang mengingkari sifat-sifatAllah. Mereka berkata:”Sesungguhnya Allah tidak bisa dilihat dengan mata di hari akhirat dan tidak berbicara dengan para hamba-Nya secara lagsung. Dia juga tidak mempunyai pengetahuan (ilmu), tidak hidup, tidak berkuasa, dan tidak memiliki sifat-sifat lainnya.”Mereka beranggapan bahwa Al Quran adalah makhluk. Dalam soal ini Al-Jahm mempunyai persamaan  paham dengan Mu`tazilah dan ashab (orang-orang yang mendukung paham) Amru bin Ubaid. Dan kepadanyalah mereka menambahkan bid`ah-bid`ah lain dalam soal qadar dan lain-lainnya.(Juz 12:502-503)

Pokok-pokok paham Mu`tazilah ada lima: tauhid, al-`adl, manzilah bainal manzilatain, melaksanakan ancaman dan al-amru bil ma`ruf wannahayu anil munkar. Akan tetapi, makna tauhid menurut mereka termasuk menafikan sifat-sifat Allah. Sedangkan makna `adil menurut mereka, termasuk di dalamnya dusta terhadap qadar. Dialah yang menciptakan perbuatan-perbuatan haamba, Dialah yang berkehendak atas terjadinya segala sesuatu, dan Dialah yang berkuasa. Selain itu di antara mereka ada yang mengingkari qadimnya ilmu Allah dan Kitabullah.

Adapun manzilah bainam manzilatain, mennurut mereka, adalah bahwa orang fasik tidak disebut sebagai orang mukmin, dan mereka juga tidak dinamai kafir. Oleh karena itu, mereka menempatkan orang fasik pada kedudukan “di antara dua kedudukan.” (bainal manzilatain)
Sedangkan pengertian infadz al-wa`id (pelaksanaan ancaman), menurut mereka, adalah bahwa orang fasik dari pemeluk agama ini kekal di dalam neraka. Mereka tidak dikeluarkan dari neraka karena syafa`at dan tidak pula karena pertolongan lainnya, sebagaimana dikatakan Khawarij.
Perihal amar ma`ruf nahi munkar, menurut mereka, mencakup pengertian diperbolehkannya keluar melawam Imam-imam dan memerangi mereka dengan pedang.(Juz 13:386)


Pada mulanya manusia belum mengemukakan pendapat yang macam-macam dalam hal menafikan sifat-sifat Allah, sampai munculnya Al-Ja`d bin Darhim. Dialah yang pertama kali mengungkapkan pendapat-pendapat seperti itu. Kemudian disusul Jahm dari arah timur, Tirmidzi, dan disitulah muncul Jahmiyah. Paham mereka telah tersohor sejak ulama-ulama Sunnah mengalami cobaan karenanya. Di antara ulama yang mengalami cobaan berat adalah Imam Ahmad. Paham mereka berkembang pada jaman kepemimpinan Al-Ma`mun, semakin kokoh dan banyak pengikutnya. Ketika itu para ulama Sunnah, seperti Mubarak, Ahmad, Ishak, dan Bukhari, menyebut mereka sebagai golongan Jahmiyah.

Sebagian besar generasi terakhir dari pengikut Imam Ahmad dan lainnya mengangka bahwa lawan debat paham mereka adalah Mu`tazilah. Padahal tidak demikian, bahkan Mu`tazilah termasuk sejenis dari mereka. Maksud kami adalah bahwa paham Jahm terkenal dengan dua jenis bid`ahnya. Pertama, mereka menafikan sifat-sifat Allah, dan yang kedua, bertindak melampaui batas dalam persoalan qadar dan irja` (harapan). Sehingga mereka menganggap iman hanya soal pembenaran hati, serta menganggap bahwa para hamba tidak mempunyai perbuatan dan kemampuan.

Kedua paham bid`ah yang melampaui batas tersebut justru menyalahi Mu`tazilah. Jahmiyah tidak membenarkan satu pun dari sifat-sifat Allah, baik Iradah maupun yang lainnya. pendapat seperti ini banyak tersebar di kalangan kaum sufi. Oleh karena itu, mereka bersesuaian dengan JAhmiyah dalam masalah perbuatan dan takdir, tetapi bertentangan dalam persoalan sifat-sifat Allah.(Juz 8:228-230)



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------