Mengapa Ada Beberapa Hal Yang Diharamkan Di Dunia Tetapi Dihalalkan Di Surga? QA Islam, Syaikh Muhammad Sholih al MUnajjid

Saya seorang muslimah yang hidup di Swedia. Saya ada pertanyaan dari seorang Nashara, saya sudah banyak bertanya dan berusaha mendapatkan jawaban di dalam beberapa buku tetapi tidak saya dapatkan. Pertanyaannya tentang bidadari. Saya dengar, seorang laki-laki akan diberi balasan dengan beberapa wanita di surga. Saya tidak tahu apakah informasi ini benar ? Akan tetapi bila Anda bisa memberikan penjelasan tentang masalah ini saya sangat berterima kasih.

Pertanyaan penting tersebut adalah: Mengapa Islam sering memberi motivasi dan memberi kabar gembira dengan sesuatu di surga padahal hal itu diharamkan di dunia ? Seperti hubungan antara laki-laki dengan wanita diluar nikah yang dianggap haram. Dan apabila seorang muslim menjauhi hal itu di dunia, maka dia akan dibalas dengan diberikan bidadari di surga. Bukahkah ini hal yang aneh ? Sayang sekali pengetahuan saya hanya sedikit tentang hal ini dan saya tidak tahu dari mana datangnya pertanyaan ini tetapi saya yakin akan ada jawaban yang logis terhadap pertanyaan ini dan saya berharap Anda membantu saya dalam hal ini. Terima kasih.
Allah telah menjelaskan tentang surga di dalam kitab-Nya yang mulia dan apa-apa yang dijanjikan di dalamnya. Diapun telah menerangkan tentang keadaan surga dan para penghuninya di beberapa ayat dalam Al-Qur'an. Di antaranya:

"Di dalamnya ada mata air yang mengalir. Di dalamnya ada tahta-tahta yang ditinggikan. Dan gelas-gelas yang diletakkan. Dan bantal-bantal sandaran yang disusun. Dan permadani-permadani yang dihamparkan." (Q.S. Al-Ghasyiyah: 12-16)

"Dan bagi orang yang takut ketika bertemu dengan Rabbnya ada dua surga. Maka nikmat Allah yang mana lagi yang akan kalian dustakan. Kedua surga itu mempunyai pohon-pohon dan buah-buahan. Maka nikmat Allah yang manalagikah yang akan kalian dustakan. Di dalam kedua surga itu ada dua mata air yang mengalir. Maka nikmat Allah yang manalagikah yang akan kalian dustakan ? Di dalam kedua surga itu ada segala macam buah-buahan yang berpasang-pasangan." (Q.S. Ar-Rahman: 46-52)

Ayat-ayat yang lainnya yang menerangkan keadaan surga sangat banyak. Ada beberapa ayat yang menerangkan wanita-wanita surga. Di antaranya :

"Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang menundukkan pandangannya, yang tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka ataupun oleh jin. Maka nikmat Allah yang manalagikah yang akan kalian dustakan ? Seakan-akan mereka itu permata yakut dan marjan." (Q.S. Ar- Rahman: 56-58)
"Bidadari-bidadari yang cantik, putih bersih, dan terpelihara dalam kemah." (Q.S. Ar- Rahman: 72)

"Dan di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang bermata jeli. Seperti mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan dari apa yang mereka lakukan." (QS.Ar-Rahman: 22-24)

Selain itu ada pula hadits-hadits dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam tentang keadaan wanita-wanita surga dan bahwa mereka disediakan pada hari kiamat untuk orang-orang yang bertaqwa. Di antaranya adalah hadits Abu Hurairoh Radhiyallahu 'Anhu dia berkata : "Telah berkata Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam:

"Sesungguhnya rombongan pertama yang masuk surga tak ubahnya seperti bulan pada malam purnama, kemudian orang-orang setelah mereka laksana bintang yang paling terang cahayanya di langit. Mereka tidak kencing, tidak buang hajat, tidak meludah, dan tidak beringus. Sisir-sisir mereka dari emas dan aroma mereka seperti minyak kasturi. Isteri-isteri mereka adalah bidadari. Bentuk mereka sama seperti bentuk bapak-bapak mereka yaitu Adam yang tingginya 60 (enam puluh hasta)." (Shahih Al Jami' 2015)

Dari Rasul Shalallahu 'Alaihi Wassalam, beliau berkata:
"Kemah (di surga) adalah mutiara yang tingginya 60 mil. Di setiap sudutnya ada isteri bagi seorang mukmin dan mereka tidak bisa dilihat oleh orang lain." (Shahih Al Jami'3357)
Hadits-hadits tersebut menerangkan tentang wanita-wanita surga yang disediakan untuk para laki-laki. Dan Allah telah menamai mereka di dalam kitab-Nya dengan sebutan Al-huur (bidadari). Al-Huur jamaknya adalah Hauraa. Imam Al Qurthubi berkata di dalam kitab Al-Ahkam (17/122): "Mereka (bidadari) itu bagian putih matanya sangat putih dan bagian hitamnya sangat hitam, maka kita mengimani hal itu dengan keimanan yang mutlak yang tidak ditembus oleh keraguan ataupun kesangsian dan hal ini tertancap di inti aqidah kita."

Untuk keterangan yang lebih jelas silakan merujuk kepada Shahih Bukhari, kitab bad'ul khalqi, bab sifat al jannah, dan Shahih Muslim, bab sifat al jannah, demikian pula kitab Sifat Al-Jannah susunan Abu Nu'aim Al Ashfahani tentang sifat wanita ahli surga dan kecantikannya.
Adapun pertanyaan bahwa Islam memotivasi dan memberi kabar gembira dengan sesuatu di surga padahal hal itu diharamkan di dunia seperti hubungan antara laki-laki dengan wanita di luar nikah, maka sebelum dijawab ada baiknya kita memperhatikan hal yang penting, yaitu bahwa Allah Ta'ala mengharamkan sesuatu sekehendak-Nya di dunia ini kepada para penghuninya. Dia adalah mencipta dan Pemilik segela sesuatu, maka tidak boleh bagi seorangpun memprotes terhadap hukum Allah Ta'ala dengan ra'yu (pikiran) dan pemahamannya yang terbalik, maka kepunyaan Allahlah hukum dan urusan sebelum dan sesudahnya.

Adapun masalah pengharaman Allah Ta'ala terhadap beberapa perkara di dunia kemudian Dia memberi balasan dengan hal itu pula bagi orang yang meninggalkan hal itu di akhirat, seperti khamr, zina, memakai sutera bagi laki-laki, dan seterusnya, maka hal ini merupakan kehendak Allah dalam memberi balasan kepada orang yang mentaatinya, bersabar, dan memerangi hawa nafsu dirinya di dunia.

Allah Ta'ala berfirman :
"Tidak ada balasan bagi kebaikan kecuali kebaikan pula.." (Q.S. Ar Rahman : 60)
Adapun tentang sebab-sebab pengharaman, maka berikut ini ada beberapa point penting :

Pertama : Tidaklah penting bagi kita mengetahui semua sebab pengharaman. Karena ada beberapa sebab yang kadang-kadang tidak kita ketahui. Dan yang pokok adalah berpegang kepada nash-nash tersebut secara tunduk sekalipun kita tidak tahu sebabnya karena sikap tunduk merupakan tuntutan Islam yang dibangun di atas ketaatan yang sempurna karena Allah Ta'ala .

Kedua : Kadang-kadang nampak bagi kita beberapa sebab pengharaman ,seperti kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat zina berupa tidak jelasnya keturunan, tersebarnya penyakit kelamin, dan yang lainnya. Maka ketika syariat melarang hubungan yang tidak disyariatkan, maka itu maksudnya untuk memelihara kejelasan keturunan dan menghindarkan penyakit, dan hal-hal yang kadang-kadang tidak dimengerti sedikitpun oleh orang-orang kafir dan durhaka sehingga mereka melakukan hubungan seksual seperti keledai. Seorang lelaki menyetubuhi kawan wanitanya, atau seseorang bersetubuh dengan kerabatnya, demikianlah seterusnya seolah-olah mereka itu kelompok binatang, bahkan sebagian binatangpun enggan melakukan hal itu, sedangkan mereka tidak enggan dan tidak peduli akan hal itu, maka jadilah masyarakat yang melakukan hal itu menjadi kumpulan orang yang bebas terlepas dari ikatan, yang penuh dengan penyakit kelamin sebagai wujud murka Allah bagi orang-orang yang melanggar hal yang diharamkannya dan membolehkan apa yang dilarangnya..

.Hal ini berbeda sekali dengan hubungan antara seorang laki-laki dengan bidadari di surga -dan inilah yang Anda tanyakan-. Maka hal yang harus diperhatikan adalah bahwa seorang wanita pelacur di dunia adalah seorang wanita yang hilang harga dirinya, sedikit iman dan rasa malunya dan tidak terikat dengan hubungan syar'i yang tetap dengan seseorang yang dilandasi akad yang benar, maka jadilah seorang laki-laki menyetubuhi wanita yang diinginkannya, dan seorang wanita bersetubuh dengan lelaki yang dikehendakinya tanpa aturan agama ataupun akhlaq. Adapun bidadari di surga maka mereka terkhususkan untuk suami-suami mereka orang-orang yang diberi balasan oleh Allah dengan diberi bidadari-bidadari itu karena kesabaran mereka dalam menahan diri dari yang haram ketika di dunia, sebagaimana firman Allah Ta'ala :

"Bidadari-bidadari yang terpelihara di dalam kemah-kemah."
Dan firman-Nya pada ayat lain tentang bidadari-bidadari itu:
"Mereka tidak pernah disentuh oleh seorang manusiapun sebelum mereka ataupun oleh jin."

Dan mereka adalah isteri bagi penghuni surga, sebagaimana firman Allah :
"Dan Kami nikahkan mereka dengan bidadari-bidadari."
Dan mereka terkhususkan hanya untuk suami mereka dan tidak untuk yang lainnya.

Ketiga : Sesungguhnya Allah Ta'ala yang mensyariatkan bagi laki-laki di dunia agar tidak mempunyai lebih dari empat isteri dalam satu waktu, Dia pulalah yang memberi nikmat kepada penghuni surga dengan bidadari yang diinginkannya, maka tidak ada pertentangan antara pengharaman di dunia dengan penghalalan di akhirat karena hukum kedua tempat itu berbeda sesuai dengan yang dikehendaki Allah Ta'ala, dan tidaklah diragukan lagi bahwa akhirat lebih baik, lebih utama, dan lebih kekal dari pada dunia. Allah Ta'ala berfirman:

"Telah dihiasi bagi manusia kecintaan kepada syahwat wanita, anak-anak, harta yang banyak berupa emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah ada tempat kembali yang baik. Katakanlah: 'Maukah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih baik dari hal itu ? Untuk orang-orang yang bertaqwa kepada Rabb mereka yaitu surga yang banyak mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selamanya .Dan ada isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat terhadap hamba-hamba-Nya." (Q.S. Ali Imran: 14-15).

Keempat : Sesungguhnya pengharaman ini kadang-kadang merupakan ujian dari Allah Ta'ala bagi hamba-hamba-Nya, apakah mereka melaksanakan perintah dan menjauhi larangan atau tidak. Dan ujian tidaklah berupa sesuatu yang tidak diinginkan dan tidak disukai jiwa, tetapi ujian akan berupa sesuatu yang diinginkan oleh jiwa sehingga jiwa akan selalu terkait dan tertarik kepadanya. Di antaranya adalah ujian dengan harta, apakah seorang hamba akan mengambil yang halal dan menggunakannya dengan cara yang halal pula serta menunaikan hak Allah di dalamnya ? Ujian dengan wanita, apakah dia akan membatasi dengan hal yang dihalalkan oleh Allah, menundukkan pandangan, dan menjauhi hal yang Allah haramkan dari wanita ? Dan di antara rahmat Allah Ta'ala bahwa Dia tidaklah mengharamkan sesuatu yang diinginkan oleh jiwa kecuali Diapun menghalalkan hal-hal yang halal yang sejenis dengan yang diharamkan tadi.

Kelima : Sesungguhnya hukum-hukum yang berlaku di dunia tidaklah seperti hukum di akhirat. Khamr di dunia bisa menyebabkan hilang akal berbeda dengan khamr di akhirat yang baik yang tidak menyebabkan hilang akal dan tidak menimbulkan pening di kepala serta tidak membuat kembung di perut. Demikian pula wanita-wanita yang disediakan pada hari kiamat untuk orang mukmin sebagai balasan atas ketaatan mereka, tidaklah seperti pezina yang membuat terkoyaknya kehormatan, tidak jelasnya keturunan serta menyebarnya penyakit kelamin yang berakhir dengan penyesalan. Wanita-wanita surga adalah wanita-wanita yang suci, baik, tidak akan mati, dan tidak akan tua. Berbeda dengan wanita-wanita di dunia.

Allah berfirman :
"Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis yang perawan penuh cinta kasih dan sepadan." (Q.S. Al Waqi'ah: 35-37).

Kita memohon kepada Allah semoga Dia merizkikan kepada kita kebaikan di dunia dan di akhirat dan merizkikan ketaatan kepada kita dalam melaksanakan perintah-Nya dan yakin terhadap pahala-Nya serta meraih pahala-Nya juga aman dari siksa-Nya. Wallahu A'lam.
Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid

[Baca...]




Seri Kado Pernikahan-4 : SEKUFU` DALAM PANDANGAN SYARI`AT ISLAM

Islam memiliki konsep tersendiri dalam kifa’ah (sekufu atau kesepadanan) antara isteri dan suami, tidak semata menyadarkan dalam perkara umur, tingkat pendidikan maupun status sosial. Para fuqaha’ berpendapat bahwa kaum muslimin itu sebagian yang satu menjadi bagian yang lainnya, tidak ada perbedaan antara satu jenis dengan jenis lainnya, maka boleh saja setiap mukmin itu kawin dengan mukminah lainnya. Mereka bersepakat bahwa agama lah yang menjadi unsur utama kifa’ah. Perhatikan misalnya QS 9: 71; dan QS 3: 195. Oleh karenanya Islam dengan tegas melarang seorang mukmin menikahi wanita musyrik sehingga ia beriman, dan begitu pula melarang wanita muslimah mengawini laki-laki musyrik sampai ia beriman       (QS 2: 221).

Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Jika seorang laki-laki datang padamu (akan meminang putrimu) sementara kamu telah ridla agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu itu). Sebab jika tidak akan terjadi fitnah besar dimuka bumi dan kerusakan yang besar” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dari nash hadits Nabi SAW diatas, maka Ibnul Qayyim menegaskan, standar agama yang dijadikan unsur utama kifa’ah, maka jelaslah adanya larangan bagi kita untuk menikahkan wanita muslimah dengan seorang laki-laki kafir, larangan menikahkan muslimah yang ‘afifah (pandai memelihara diri dari perbuatan dosa) dengan seorang laki-laki fajir (penduhaka). Hal ini pula menunjukkan haramnya muslimah laki-laki pezina yang bejat moral, dan bukan pada ikatan-ikatan lainnya seperti kaya, nasab, budak, atau merdeka. Sebab, bisa saja bagi hamba menikahi wanita merdeka, kaya, dan baik nasabnya asalkan ia sebagai hamba yang muslim dan afif’ (terpelihara dari perbuatan dosa dan kemaksiatan), dan boleh saja laki-laki Quraisy, dan juga laki-laki fakir menikahi wanita kaya ...” (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, Jilid 5, hlm 159 – 160).

Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam ketika hendak menikahkan putrinya Fatimah Az Zahra, wanita penghuni surga, tidak memperdulikan tawaran para pembesar Quraisy dengan kekayaan mereka. Ia kawinkan si jantung hati itu dengan Ali bin Abi Thalib, seorang Quraisy, saudara sepupu dan sahabat terdekat yang paling miskin pada waktu itu. Ali RA bercerita tentang perkawinannya: “Seorang pembantu perempuannya bertanya kepadaku: “Apakah kau tahu bahwa Fatimah telah dipinang orang?” Saya (Ali RA) menjawab: “Saya tidak tahu”. Lalu dia memberitahukan: “Dia sudah dipinang orang”. Dia terdiam, kemudian bertanya lagi, “Mengapa anda tidak meminangnya? Engkau pergilah kepada Nabi untuk meminangnya. Insya Allah beliau akan menerimanya dan menikahkanmu dengan putrinya”. Saya jawab, “Tapi saya tidak punya apa-apa untuk bekal perkawinan itu”. Lalu ia timpali lagi, “Kalau kau datang kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, Insya Allah beliau akan mengawinkanmu”. Dia terus menerus mendesakku, sehingga aku pun memutuskan untuk menemui Nabi SAW. Dihadapan kekasih Allah yang agung dan penuh wibawa itu aku terdiam. Tak sepatah pun kata-kata yang bisa aku keluarkan, apalagi untuk meminang putri beliau yang memulai pembicaraan. Beliau memandangku, dan dengan lembut menyapaku:

N  : “Ada keperluan apakah sehingga kau datang menemuiku?”
A  : (Aku terdiam)
N  : “Atau, barangkali kau datang untuk melamar Fatimah putriku?”
A  : (Dengan tanpa ragu-ragu aku menjawab) “Ya!”
N  : “Apakah kau mempunyai mahar untuk menikahinya?”
A  : (Aku kembali terdiam, lalu sejenak kemudian aku menjawab) “Tidak Rasulullah, Demi Allah!”
N  : “Mana baju besi yang pernah aku berikan padamu?”
A  :”Ada, bukankah ia hanya sekedar baju saja, yang nilainya tak lebih dari 400 dirham”
N  : “Tak menjadi masalah, dengan itu aku kawinkan engkau dengan putriku. Antarkan baju besimu itu kepadanya, dan perkawinanmu telah halal dengan mas kawin baju besi itu.
(Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, Jilid 3, hlm 346).

Begitulah cara Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam memilihkan calon suami dari putri kesayangannya. Manakala mendengar keputusan tersebut, Fatimah berlinang-linang air matanya. Lalu sang ayah pun bertanya kepadanya: “Mengapa engkau menangis sayangku? Demi Allah ayahmu ini telah menikahkan engkau dengan seorang yang paling banyak ilmunya, paling cerdas otaknya, paling dahulu masuk Islam” (Asadul Ghabah, Ibnu Katsir, 7/ 221)
Begitulah yang dimaksud dengan kifa’ah, keserasian antara suami dan istri, sebagai landasan utama berdirinya lembaga keluarga muslim. Dan ini berpijak kepada QS 49: 13. “Hai umatku, ketahuilah bahwa Rabbmu hanyalah satu, dan bahwa nenek moyangmu juga satu. Camkanlah bahwa tidak ada keutamaan bagi seorang Arab atas bangsa lainnya, dan tidak ada kelebihan bagi yang berkulit hitam atas kulit putih atas kulit hitam, melainkann dengan taqwanya” (Al jami’li ahkammil Qur’an, Al Qurthubi, 16/ 342)

Di kalangan salaf Shalih, kifa’ah semacam ini benar-benar mereka pahami, sehingga mereka tidak akan berani mengawinkan putrinya dengan sembarang orang, sekalipun dengan seorang pemimpin yang kaya raya dan berkedudukan tinggi, tidak artinya bagi mereka jika berani melakukan kebatilan dan kemaksiatan. Adalah kisah seorang putri cantik, bertubuh tinggi semampai, cerdas dan berpengetahuan luas tentang kitab-kitab Allah dan Sunnah Rasul, putri al Musayyab RA, seorang ulama tabi’in terbesar dan terkenal. Putri ini hendak dipinang oleh amirul mukminin Abdul malik bin Marwan untuk putra mahkotanya, al Walid bin Abdul Malik. Namun dengan ketegarannya dan tanpa ragu sedikitpun, Said bin Musayyab menolak pinangan penguasa dari istana itu, sekalipun harus menghadapi resiko penyiksaan dan hukuman 100 kali pecutan. Dikemudian hari, guru yang ‘alim dan waro’ itu kembali ke Madinah. Salah seorang muridnya, Abdullah bin Abi Wada’ah datang menjenguknya untuk mengetahui keadaannya. Beliau tahu isteri muridnya itu sudah wafat. Lalu dengan ramah ia bertanya: “Mengapa kau tidak kawin lagi nak?” ia menjawab: “Semoga Allah akan merahmatimu, syaikh? Siapa yang mau kawin denganku, sementara aku ini orang tak punya, bahkan hartaku tak lebih dari 2 atau 3 dirham”. Syaikh menimpalinya: “Maksudku, aku akan menikahkan engkau dengan putriku”. Ia kaget seraya berkata: “Benarkah ini?” Syaikh menjawab: “Tentu saja benar dan aku serius”. Ternyata benar-benar beliau (syaikh) mengawinkannya dengan putri cantik dengan mas kawin 3 dirham.

Kisah lain menyebutkan: “Pada suatu hari Tamadlar, isteri Abdurahman bin Auf datang kepada Utsman bin Affan menawarkan keponakannya.
Tamadlar  : “Maukah kau kawin dengan anak pamanku, seorang gadis cantik, bertubuh gempal, padat, lesung pipi, dan cerdas pikirannya?”
Utsman        : “Ya, tentu aku mau, siapakah dia?”
Tamadlar     : “Nailah binti Al Farafishah Al Kalbiyah”
Setelah menikah maka Utsman bertanya kepada isterinya, “Nailah, apakah engkau kurang gembira memandang usiaku ini?”. Nailah menjawab: “Saya termasuk seorang wanita yang lebih senang mempunyai suami yang usianya jauh lebih tua dariku”. Utsman: “Tetapi aku ini sudah melampaui masa tuaku”. Nailah tersenyum lembut seraya berkata menghibur suaminya: “Tetapi masa mudamu telah engkau habiskan bersama dengan Rasulullah SAW, dan itu lebih aku sukai dari segala-galanya. Kemudian dari perkawinannya tersebut mereka dikaruniai 2 orang anak yaitu Maryam dan Anbasah. Padahal ketika itu usia Utsman bin Affan telah mencapai 80 tahun, sedangkan Nailah masih belasan tahun. Ketika suaminya diserang oleh gerombolan pemberontak, isteri setia itu merebahkan diri dipangkuan suaminya menangkis serangan lawan, hingga seluruh jari-jarinya terputus oleh tebasan pedang. Dia tersenyum bahagia melihat suaminya selamat, dan tidak menampakkan rasa sakit sedikitpun. Setelah khalifah meninggal dunia, ia pernah dipinang oleh Muawiyah bin Abi Sofyan. Dia tolak pinangan itu seraya berkata: “Tidak mungkin ada seorang pun yang mampu melabuhkan cintanya dan menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku”.



Dan masih banyak hal yang patut menjadi uswah dan qudwah bagi kita kaum muslimin, tentang bagaimana pendahulu kita menempatkan secara benar unsur nasab, kifa’ah dan akhlak dalam ikatan perkawinan.

Wahai wanita shalihah, silahkan masuk surga melalui pintu mana saja
Islam didalam menata kehidupan rumah tangga muslim melengkapinya dengan rambu-rambu kewajiban isteri untuk memelihara mahligai rumah tangga yang harmonis, yakni menetapkan kewajiban-kewajiban isteri kepada suaminya. Dalam hal ini DR Rauf Syalabi menyebutkan beberapa kewajiban isteri kepada suaminya, antara lain:

Pertama : Menghormati perasaan suami
Pernikahan sebagai ikatan yang kokoh (Mistaqan Ghalizhan) yang menggunakan jaminan dan janji Allah, seorang isteri tidak boleh memasukkan ke rumah suaminya orang yang tidak dikehendaki suaminya, dan tidak diinginkan keberadaannya dalam rumah tersebut. Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wanita yang beriman kepada Allah tidak halal memberi izin (orang lain) untuk memasuki rumah suaminya sementara suaminya tidak menyukainya, (ia tidak halal pula) keluar rumah sementara suaminya tidak menyukainya, (atau ia) menaati orang lain, (atau) menghindar dari tempat tidurnya dan merugikannya. Jika sang suami berlaku zalim, hendakknya sang isteri mendatanginya hingga menyenangkannya”  (HR Hakim).

Dalam sabdanya yang lain disebutkan:
“Ada tiga golongan orang yang sejengkal pun shalatnya tidak naik diatas kepalanya, yaitu: (1) seorang laki-laki yang mengimami (shalat) suatu kaum sedangkan ia tidak disukainya, (2) seorang wanita yang meninggalkan tempat tidurnya sedangkan suaminya marah atas hal itu, (3) dua laki-laki bersaudara yang terlibat pertengkaran”
Diantara penghormatan seorang isteri kepada suaminya, adalah sang isteri tidak banyak menceritakan kepada suaminya tetang teman wanitanya (kecantikannya, budinya, dan kelebihannya yang dapat menibulkan daya tarik bagi suaminya dan khayalan atasnya).

Kedua : Berhias diri demi suami
Pergaulan suami isteri berjalan atas dasar mu’asyarah bil ma’ruf, atas keridlaan kedua belah pihak. Konsekuensi logisnya adalah sang isteri harus mampu mempersembahkan kecantikan dandannya demi kepuasan sang suami yang mampu memupuk benih cinta sesamanya. Berandan dan bersolek (tabaujj) ala jahiliyah demi menarik perhatian dan simpati laki-laki liar, hanya akan mendatangkan laknat dan porak porandanya sebuah lembaga keluarga, karena membuat sangkaan-sangkaan buruk dan kemarahan sang suami. Jika hal ini terjadi, maka kenikmatan pun berpindah dari mahligai yang harum dan halal menuju ke tengah jalan, seolah-olah wanita ibarat buah apel busuk dan terpental dari insting yang mulia, sehingga ia pun menjadi santapan yang lezat bagi laki-laki liar.
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam mengeluarkan peringatan keras kepada setiap wanita dengan sabdanya:
“Jika seorang wanita memakai wangi-wangian untuk selain suaminya, sesungguhnya wangi-wangian tersebut adalah api dan aib” (HR Thabrani).
“Apabila seorang wanita memakai wangi-wangian lalu berjalan dimuka majlis (atau memasukinya), dia termasuk pezina” (HR Ahmad).

Ketiga : Menaati Suami dan Tidak Menentangnya
Dalam hal ini suami tidak boleh sewenang-wenang memerintah dan melarang isterinya, kecuali dalam bingkai amar ma’ruf dan nahi ‘anil munkar. Yang dituntut dari suami isteri adalah keikhlasan dan kejujuran dalam pergaulan. Terdapat beberapa ketetapan Islam dalam kehidupan berumah tangga, antar lain:
Seorang isteri tidak meninggalkan tempat tidur suaminya (tanpa alasan syar’i), sebab malaikat akan melaknatnya hingga waktu subuh (HR Bukhari).
Seorang isteri tidak boleh menolak ajakan suaminya, manakala diperlukan. Nabi SAW bersabda: “Apabila suami mengajaknya isterinya ke tempat tidur, lantas tidak mau datang, maka malaikat akan melaknatnya hingga datang waktu subuh” (HR Bukhari dan Ahhmad).
Isteri menjaga harta suaminya. Seorang isteri sebagai pemimpin rumah tangga suaminya ia wajib mengatur uang belanja dan kebutuhan rumah tangga dengan menempatkan pertimbangan-pertimbangan berikut: tidak boleh memberikan madarat kepada orang lain dan tidak boleh saling memberikan madarat, tidak berlebih-lebihan dan tidak boleh membuat kerusakan. Dalam Islam kepemilikan harta isteri adalah haknya sendiri. Terdapat hukum lain yang mengangkat harkat wanita, dari segi kepribadiannya, kepemilikannya, dan kewenangannya dalam membelanjakan dan mengatur sirkulasi keuangan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bbersabda: “Apabila seorang isteri shalat lima waktu, shaum (Ramadhan) satu bulan penuh, memelihara kemaluannya dan menaati suaminya, akan dikatakan kepadanya, masuklah kamu kedalam surga dari segala pintu” (HR Ahmad).

------------------

[Baca...]




Hadits Tentang 70.000 Orang Yang Masuk Surga Tanpa Hisab

QA Islam, Syaikh Muhammad Sholih al Munajjid.
Di dalam Shahih Bukhari disebutkan hadits bahwa 700.000 orang akan masuk surga, sedangkan generasi awal saja mungkin jumlah mereka sudah mencapi 700.000. Apakah ada tafsir lain tentang hadits ini?
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Barangkali maksud anda wahai penanya adalah hadits tentang 70.000 orang yang akan masuk surga tanpa hisab yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad serta yang lainnya dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam.
Kalau anda memperhatikan hadits ini, akan hilanglah -insya Allah- ketidakjelasan yang tercermin dalam pertanyaan anda.
Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bahwa beliau berkata:
"Ditampakkan beberapa umat kepadaku, maka ada seorang nabi atau dua orang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh antara 3-9 orang. Ada pula seorang nabi yang tidak punya pengikut seorangpun, sampai ditampakkan kepadaku sejumlah besar. Aku pun bertanya apakah ini? Apakah ini ummatku? Maka ada yang menjawab: 'Ini adalah Musa dan kaumnya,' lalu dikatakan, 'Perhatikanlah ke ufuk.' Maka tiba-tiba ada sejumlah besar manusia memenuhi ufuk kemudian dikatakan kepadaku, 'Lihatlah ke sana dan ke sana di ufuk langit.' Maka tiba-tiba ada sejumlah orang telah memenuhi ufuk. Ada yang berkata, 'Inilah ummatmu, di antara mereka akan ada yang akan masuk surga tanpa hisab sejumlah 70.000 orang. Kemudian Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam masuk tanpa menjelaskan hal itu kepada para shahabat. Maka para shahabat pun membicarakan tentang 70.000 orang itu. Mereka berkata, 'Kita orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti rasul-Nya maka kitalah mereka itu atau anak-anak kita yang dilahirkan dalam Islam, sedangkan kita dilahirkan di masa jahiliyah.' Maka sampailah hal itu kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, lalu beliau keluar dan berkata, 'mereka adalah orang yang tidak minta diruqyah (dimanterai), tidak meramal nasib dan tidak mita di-kai, dan hanya kepada Allahlah mereka bertawakkal." [HR. Bukhari 8270]
Maksud hadits ini menjelaskan bahwa ada satu kelompok dari ummat ini akan masuk surga tanpa dihisab, bukan berarti bahwa jumlah ahli surga dari ummat ini hanya 70.000 orang. Maka mereka yang 70.000 orang yang diterangkan dalam hadits ini adalah mereka yang memiliki kedudukan yang tinggi dari kalangan ummat ini karena mereka memiliki keistimewaan khusus yang disebutkan oleh hadits ini, yaitu mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak meramal nasib, dan tidak minta di-kai, serta hanya kepada Allah mereka bertawakkal.
Ada lagi hadits yang menjelaskan penyebab mereka masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab di dalam riwayat lain bagi Imam Bukhari rahimahullah, dari Abbas radhiallahu 'anhu, dia berkata bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Ditampakkan kepadaku beberapa ummat. Maka ada seorang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh satu ummat, ada pula seorang nabi yang diikuti oleh beberapa orang, ada juga nabi yang diikuti oleh sepuluh orang. Ada juga nabi yang diikuti lima orang, bahkan ada seorang nabi yang berjalan sendiri. Aku pun memperhatikan maka tiba-tiba ada sejumlah besar orang, aku berkata, 'Wahai Jibril, apakah mereka itu ummatku? Jibril menjawab, 'Bukan, tapi lihatlah ke ufuk!' Maka aku pun melihat ternyata ada sejumlah besar manusia. Jibril berkata, 'Mereka adalah ummatmu, dan mereka yang di depan, 70.000 orang tidak akan dihisab dan tidak akan diadzab.' Aku berkata, 'Kenapa?' Dia menjawab, 'Mereka tidak minta di-kai, tidak minta diruqyah, dan tidak meramal nasib serta hanya kepada Allah mereka bertawakal.'Maka berdirilah Ukasyah bin Mihshan, lalu berkata, 'Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan salah satu seorang di antara mereka.' Nabi pun berdoa, 'Ya Allah, jadikanlah dia salah seorang di antara mereka.'Lalu ada orang lain yang berdiri dan berkata, 'Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku salah seorang di antara mereka.' Nabi Shalalahu 'alaihi wasslam menjawab, 'Kamu telah didahului oleh Ukasyah'." [HR. Bukhari 6059]
Tentang sifat mereka pun dijelaskan di dalam hadits Sahl bin Sa'd radhiallahu 'anhu, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, dia berkata,
"Pasti ada 70.000 orang dari ummatku atau 700.000 orang (salah seorang periwayat hadits ini ragu) akan masuk surga orang pertama di antara mereka, tidak memasukinya sebelum masuk pula orang terakhir dari mereka. Wajah-wajah mereka seperti bulan pada bulan purnama." [HR. Bukhari]
Dan dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dia berkata: aku mendengar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda,
"Akan masuk surga sekelompok dari ummatku sejumlah 70.000 orang. Wajah-wajah mereka bercahaya seperti cahaya bulan." [HR. Bukhari]
Tentang sifat mereka diterangkan pula di dalam riwayat Muslim dalam shahihnya dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu 'anhu,
"…, kemudian selamatlah orang-orang mukmin, selamat pulalah kelompok pertama dari mereka yang wajah-wajah mereka seperti bulan pada malam purnama sejumlah 70.000 orang. Mereka tidak dihisab kemudian orang-orang setelah seperti cahaya bintang di langit, kemudian yang seperti mereka."
Bagi kita semua kaum muslimin ada kabar gembira dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam di dalam hadits ini dan hadits-hadits lainnya. Adapun kabar gembira dalam hadits ini karena ada riwayat yang lain dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, dia berkata,
"Rabbku 'Azza wa Jalla telah menjanjikan kepadaku bahwa ada dari ummatku yang akan masuk surga sebanyak 70.000 orang tanpa hisab ataupun adzab beserta setiap ribu orang ada 70.000 orang lagi dan tiga hatsiyah dari hatsiyah-hatsiyah Allah 'Azza wa Jalla."
Kita memohon kepada Allah Subhana wa Ta'ala agar Dia menjadikan kita termasuk golongan mereka. Bila anda hitung 70.000 orang menyertai setiap seribu orang dari yang 70.000 itu, berapakah jumlah seluruhnya bagi orang yang masuk surga tanpa hisab?!?
Dan berapa jumlah seluruh hatsiyah dari hatsiyah Allah yang Agung dan Mulia, Yang Penyayang dan Pengasih?
Adapun berita gembira yang kedua adalah bahwa jumlah ahli surga dari ummat ini dua pertiga (2/3) dari seluruh jumlah ahli surga, maka jumlah ummat Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang masuk surga lebih banyak dibanding jumlah seluruh ummat yang lalu. Berita gembira ini datang dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam dalam sebuah hadits ketika beliau bersabada kepada para sahabatnya pada suatu hari,
"Ridhakah kalian, kalau kalian menjadi seperempat (1/4) dari penduduk surga?"Kami menjawab, "Ya."Beliau berkata lagi, 'Ridhakah kalian menjadi sepertiga (1/3) dari penduduk surga?"Kami menjawab, "Ya."Beliau berkata lagi, 'Ridhakah kalian menjadi setengah (1/2) dari penduduk surga?"Kami menjawab, "Ya."Beliau berkata lagi, "Demi Allah yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sesungguhnya aku berharap kalian menjadi setengah (1/2) dari penduduk surga karena surga tidak akan dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim dan tidaklah jumlah kalian dibanding ahli syirik kecuali seperti jumlah bulu putih pada kulit sapi hitam atau seperti bulu hitam pada kulit sapi merah." [HR. Bukhari 6047]
Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam menyempurnakan berita gembiranya kepada kita dalam hadits shahih yang lain. Beliau berkata,
"…, Ahli surga 120 shaf, 80 shaf di antaranya dari ummatku, dan 40 shaf lagi dari ummat lainnya." [HR. Tirmidzi 3469,lalu Tirmidzi berkata, "Ini hadits hasan."]
Maka kita memuji Allah atas nikmatnya dan kita memohon karunia dan rahmat-Nya, dan semoga Dia menempatkan kita di surga dengan upaya dan anugrah-Nya, dan semoga Allah melimpahkan shalawat kepada Nabi kita Muhammad.
Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid

[Baca...]




Seri Kado Pernikahan-3:
Pentingnya Memahami Tujuan-tujuan Perkawinann Menurut Islam
Perkawinan Islami bukan sekedar tujuan memenuhi kebutuhan biologis (seksual) antara pasangan suami isteri, akan tetapi terdapat tujuan-tujuan yang lebih utama yaitu:
Memperbanyak jumlah bilangan kaum muslimin dan memasukkan kegembiraan pada hati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar berkata, “Datang seorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, lalu berkata, ‘Saya jatuh cinta pada seorang wanita cantik dan molek, sayangnya ia tak bisa melahirkan (mandul), maka apakah aku harus menikahinya?’  Lalu Nabi menjawab, ‘Jangan!’. Kemudian datang lagi dia yang kedua kalinya, dan Nabi tetap melarangnya, kemudian datang lagi yang ketiga. Kemudiann Nabi SAW bersabda: ’Kawinilah kalian wanita yang subur (yang dapat melahirkan) sebab aku menginginkan umat yang banyak dari kalian’” (HR Abu Dawud dan An Nasa’i).

Memelihara diri dari perbuatan dosa dan cela serta untuk taqqarub kepada Allah
Nabi Shallallahuu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Dan pada setiap sendi dari kalian terdapat shadaqoh bagimu, mereka bertanya, ‘Hai Rasulullah, apakah jika diantara kami melampiaskan syahwatnya (kepada siapa saja) maka baginya itu pahala? Nabi berkata, ‘bagaimana menurutmu jika ia meletakannya dalam sesuatu yang haram apakah baginya patut dihukum?’ Mereka menjawab, ‘Ya tentu’. Nabi berkata, ‘Maka demikian pula apabila seseorang menempatkannya pada yang halal maka pasti baginya pahala’” (HR Muslim, An Nasa’I dan Ahmad).

Melahirkan generasi muslim
Perlu diniatkan ketika hendak melakukan hubungan dengann isteri dan berdo’a untuk mendapatkan anak-anak shalih. Terdapat riwayat dari Imam Bukhari didalam shahihnya, bab meminta anak agar siap berjihad; dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Berkata Sulaimanbin Dawud ‘alaihi Wasallam, “Sesungguhnya akan aku kunjungi (pergilir) mala mini seratus isteri atau Sembilan puluh Sembilan, masing-masing dari mereka mendatangkan (melahirkan) penunggang kuda untuk berjihad fi sabilillah. Lalu berkata sahabatnya kepadanya: katakanlah olehmu “Insya Allah”, namun mengatakannya, maka tak seorang pun dari mereka mengandung (hamil) kecuali hanya seorang saja yang melahirkan anak laki-laki. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tengah-Nya andaikan ia berkata insya’Allah, maka pasti mereka semua (melahirkan anak-anak) yang sanggup berjuang fi sabbilillah sebagai penunggang-penunggang kuda yang professional”.

Ibnu Hajar didalam Fathul Bari nya mengatakan barang siapa yang berminat ketika hendak menggauli isterinya untuk memperoleh keturunan (anak) sebagai mujahid fi sabilillah maka ia mendapat pahala, sekalipun tidak terwujud kehendaknya. (Fathul Bari, 7/272).

Melestarikan Keturunan Manusia
Dalam sebuah riwayat Thabrani dari Abi Hafshah RA bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah seorang diantara kamu tidak menginginkan anak, sebab apabila seseorang mati dan tidak memiliki anak maka teputuslah namanya”.
Pada masa sekarang ini terdapat orang-orang kafir di Barat maupun Timur secara serius mengharapkan dan mempropagandakan fikrah pembatasan kelahiran (tahdidun nasl) dikalangan kaum muslimin, dalam waktu bersamaan mereka memotivasi kalangan kafir untuk terus meningkatkan kelahiran, sehingga dengan demikian jumlah kaum muslimin mengecil dan jumlah kaum kafir bertambah.

Sifat-sifat Murabbi Najih (pendidik yang sukses)
Setiap pasangan (muda) dari kaum muslimin hendaknya mengetahui beberapa sifat yang seharusnya disandang bagi setiap pendidik, mengingat bahwa orang tua dan khususnya ibu adalah sebagai pendidik (langsung dan tidak langsung) bagi anak-anaknya.

Diantara sifat-sifat Murabbi Najih tersebut antara lain:
·         Al Hilm dan Al Anat
Al hilm sering diartikan orang dengan tabah, maksudnya adalah tidak cepat marah dan tidak pula masa bodoh. Sedangkan al Anat lebih tepat diartikan dengan tidak tergesa-gesa dalam bersikap dan tidak pula membiarkan setiap masalah menjadi berlarut-larut. Atau bertindak dan bersikap hati-hati terhadap setiap permasalahan yang dihadapi. Al hilm dan al anat merupakan dua sikap yang mencerminkan al hikmah, baik dalam bertutur kata maupun bertindak.
Santun dan rahmah (ar Rifq)

Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu sangat ramah dan suka kepada sifat ramah. Dia memberi atas dasar keramahan dan tidak memberi atas dasar kebengisan”. Sabdanya lagi: “Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap penghuni rumah maka dia masukkan kepada mereka sifat ramah. (HR Ahmad dari Aisyah RA).

·         Hati yang penuh kasih sayang (al Qalbur rahim)
Al Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Umar RA dari Nabi SAW bersabda: ”Sesungguhnya bagi setiap pemohon itu memiliki buah, dan buah itu adalah anak. Sesungguhnya Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi anaknya. Dan yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah masuk surga kecuali yang memiliki sifat kasih sayang, dan kasih sayangnya itu bukan sekedar ditandai dengan kasih sayangnya terhadap seorang sahabatnya, akan tetapi karena ia menyayangi sesama manusia”.

·         Mampu memahami orang lain sehingga lapang dada dan toleran, bukan karena lemah, rendah dan menghinakan diri.
·         Sikap menengah dan adil.
·         Layak untuk dijadikan teladan.

Kedudukan dan Pahala Nafkah Kepada Isteri dan Anak-anak:
Nafkah bagi suami memiliki pengaruh yang baik didalam aktifitas pendidikan, khususnya lagi jika didasari atas dasar keyakinan akan wajibnya bagi suami sebagai diatur oleh syari’at.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Dinar (rupiah, dsj) yang kamu belanjakan dijalan Allah, dinar yang kamu belanjakan untuk membebaskan budak, dinar yang kamu sedekahkan untuk orang miskin, dan dinar yang kamu belanjakan untuk keperluan keluargamu, maka yang paling besar (pahalanya) adalah yang kamu belanjakan kepada keluargamu”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallah bersabda pula: “Apa yang kamu berikan makan untuk dirimu maka itu sedekah bagimu, apa yang kamu berikan makan kepada anakmu maka itu sedekah bagimu, apa yang kamu berikan makan kepada isterimu maka itu sedekah bagimu, dan apa yang kamu berikan makan kepada pembantumu maka itu adalah sedekah bagimu” (HR Ahmad, dangan sanad jayyid dari Miqdam bin Ma’di Kurab RA).
Imam Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA berkata: “Mencari penghasilan yang halal itu faridlah”.

Ibnu Abbas dan Abu Nu’aim RA berkata: “Mencari penghasilan yang halal itu jihad”.
Imam ad Dailami dari Anas RA berkata: “Mencari penghasilan yang halal itu wajib atas setiap muslim”.

Ibnu Umar RA berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Cukuplah terkena dosa bagi seseorang yang mengabaikan (hak-hak) orang yang ditanggungnya” (HR All Hakim di dalam Al Mustadraknya. 1/415, dia menshahihkannya sekalipun ia tidak mengeluarkannya dan Adz dzahabi menguatkannya).

Isteri Shalihah, Silahkan Masuk Surga Melalui Pintu Mana Saja
Termasuk bagian tanggung jawab seorang ayah dalam membentuk keluarga, yaitu agar ia memilih calon isteri yang tepat. Hal ini menjadi keharusan jika dilihat dari tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak dan keluarganya.

Adnan Hasan Shalih Baharats dalam kitabnya “Mas’uliyyatul Abil Muslim Fi Tarbiyatil Walad fi Marhalatit Thufalah, (hlm 35 40). Menyebutkan secara singkat bahwa dalam memilih isteri setidaknya ada lima perkara yang harus ditimbang-timbang, yaitu (1) agamanya, (2) nasabnya, (3) umurnya, (4) kecantikannya, (5) waktu kosong yang tersedia (untuk mengurus rumah tangganya).

Diantara hak-hak anak yang paling besar atas ayahnya adalah memilihkan (calon) ibu yang baik menurut kriteria diatas, karena posisinya sebagai orang yang akan mengandungnya, melahirkannya, menyusuinya, dan mendidiknya. Yang demikian itu disebabkan karena hereditas (al waratsah) sangat berperan  dalam menentukan kualitas anak yang akan dilahirkannya, terutama dalam hal kecerdasan dan ciri-ciri keistimewaan.

Pakar psikologi menyebutkan bahwa ada dua faktor yang sangat berpengaruh dalam membentuk akhlak dan perilaku seorang anak, yaitu hereditas dan environment (al waratsah dan al bi’ah: faktor bawaan/ keturunan dan lingkungan). (Muhammad Abdul Salam Nashar, al waratsah wal bi’ah wa tsaruhuma fi takwinil akhlaq; mas’uliyyatul Abdul Muslim, hal 35).
Tentang agama calon isteri adalah menyangkut pemahaman, fiikrah, dan wawasan serta amaliyah kesehariannya baik dalam ibadah, maupun akhlak, dan suluknya. Ini semua mencerminkan sosok sholihat qanitat hafizhat lil ghaibi bima hafizhallahu” (QS 4: 34).
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan alqanitat sebagai isteri-isteri yang menaati suami, dan al hafizhat lil ghaibi artinya memelihara suami ketika tak ada disisinya dan dalam hartanya serta memelihara diri mereka sendiri. Itulah sosok Mar’ah shalihah.

Imam al Ghazali rahimahullah dalam memilih calon isteri yang shalih tersebut, menyarankan agar menanyakan tentang agamanya, pemeliharaannya dalam menegakkan shalatnya, puasanya, sifat malunya,  dan kebersihannya, juga kebagusan dan keburukan tutur katanya, komitmennya terhadap urusan rumahnya, baktinya kepada kedua orang tuanya, dan bila perlu menanyakan soal kedua orang tuanya, dan agama mereka serta amaliyah keagamaannya … (Al Adab fid Din, hlm 49).

Apabila sang ayah mengalami persoalan pilihan diantara calon isterinya, terutama dalam hal kecantikan fisik dan akhlak agamanya, maka harus memilih mendahulukan pilihan pada faktor akhlak dan agama yang lebih menonjol diantara pilihan yang ada, apalagi jika diperkuat dengan istikhoroh.

Dalam hal ini Ibnu Jauzi rahimahullah mengatakan, “Dan sepatutnya melayangkan pandangan pada aspek agamanya sebelum melihat aspek kecantikan fisik lahiriyahnya, sebab apabila seseorang (calon isteri) itu sedikit agamanya (minim pemahamannya -ilmu dan amaliyahnya- terhadap agama), maka kecantikan lahiriyahnya tidak akan memberikan manfaat sedikitpun baginya. (Shaidul Khatihir, Ibnul Jauzi, hlm 361; Mas’uliyyatul Abul Muslim, hlm 36).
Sebab pada kenyataannya bahwa setiap kecantikan itu akan hilang sirna dan pergi, cepat atau lambat, dirawat intensif atau tidak, kecuali kecantikan agama dan akhlak, yang satu ini selalu kekal melekat pada naluri seorang wanita (isteri) shalihah, komitmen dalam agamanya, dan tampil dengan adab-adab syari’at. Tentu saja apabila sosok wanita shalihah ini terdapat dalam sebuah keluarga muslim, akan menyinari seluruh kehidupan seisi rumahnya dan mendorong semangat untuk maju serta menumbuhkan bibit-bibit generasi shalihah pula.

Tentang nasab, keturunan jelas menjadi penting, sebab setiap manusia pada hari kiamat akan dipanggil dengan namanya dan nama ayahnya. Kemudian sebagai orang yang akan menjadi kerabat karena ikatan perkawinan, maka harus secara jelas diketahui nasabnya. Dan dalam Islam, nasab ini tidak terbatas pada siapa ayah ibunya saja, akan tetapi dia juga sebagai pewaris kakek-neneknya sampai moyang-moyangnya. (Fakhor Aqil, ‘Ilmun Nafs at Tarbawi, hlm 36 – 37)

Nabi shallallahu ‘alaiihi wasallam bersabda: “Pilihlah olehmu dalam menumpahkan nuthfahmu -air manimu- oleh karena itu nikahilah (wanita) yang sekufu” (HR al Hakim, didalam Al Mustardak, Kitab Nikah)
Wanita Quraisy dikenal seutama-utamanya dalam hal sekufu’, karena pandai menunggang kuda/ unta, shalih karena kasih sayangnya yang amat terhadap anak-anaknya dan perhatiannya yang sangat baik terhadap suaminya, yang dengannya ia merasa terlindungi (HR Bukhari, Kitab Nikah).

Adapun menyangkut usia calon isteri:
Berdasarkan pengamatan pakar-pakar ilmu jiwa dan didukung kenyataan (jika kita mau jujur dan terbebas dari interes-interes yang menyesatkan), maka sesungguhnya anak-anak yang lahir dari pasangan usia muda mampu hidup lebih panjang daripada yang lahir dari pasangan usia mendekati tua (terutama mendekati habis masa kesuburan keduanya, penta) … (Fu’ad al Bashi as Sayyid, Al assun Nafsiyyah Lin Namu minath Thufullah ila Syaikhukhah, hlm 65 – 66; Mas’uliyyatul Abul Muslim, hlm 37).

Oleh karenanya wajar jika Nabi SAW menasihatkan kepada umatnya agar menikahi wanita muda (gadis belia). Tentu hal ini berkaitan dengan kelebihannya dalam hal perasaan cinta dan kepuasan bathiniyyah, “senyummu dan senyumnya lebih mesra, permainanmu dan permainannya lebih memuaskan” (Inti dari HR Muslim, kitab ar Radla’, Bab Istihbab Nikahul Bikr).
Apabila dahulu wanita 17 tahun sudah matang untuk nikah, itu karena dipersiapkan oleh kedua orang tunya dengan didikan dan perhatian yang memadai soal kerumah tanggaan, namun pada zaman kini terlalu banyak muslimah di atas usia 25 tahun merasa belum pantas dan belum berani berumah tangga. Hal ini karena produk sistem pendidikan sekuler, yang menyamaratakan jenjang dan kurikulum antara laki-laki dan wanita dalam segala hal.
Menyangkut soal kecantikan lahiriyah seorang calon isteri, tidak bisa kita pungkiri sebagai faktor penting juga, sebab secara alami (naluriyah) bahwa manusia cenderung pada bentuk/ gambar yang bagus, suara yang bagus, dan juga pemandangan serba indah. Oleh karena ketika seorang laki-laki hendak meminang seorng wanita, ia diperintahkan untuk melihat padanya, sebab pada mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu. (HR Muslim, Kitab Nikah, Bab anjuran melihat wajah wanita dan kedua telapak tangannya bagi yang ingin menikahinya).

Hal ini untuk menghindari penyesalan dikemudian hari, apabila terdapat hal-hal yang belum meyakinkan dan memuaskan dirinya. Untuk mengetahui kearah sana, bisa dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Langsung artinya, melihat langsung wajah dan kedua telapak tangannya, minimal sekali. Tidak langsung bisa melalui informasi teman-temannya atau saudara wanitanya yang sering melihatnya, tidak saja wajah dan telapak tangannya, akan tetapi jauh lebih luas dari itu.

Perihal penting lagi yang perlu diperhatikan serius adalah “waktu luang” yang disanggupi wanita (calon isteri). Yang dimaksud dengan “ath tafarruqh”/ waktu luang disini adalah mengingat bahwa aktifitas utama (yang wajib didahulukan dan dipentingkan) bagi seorang isteri adalah mengurusi rumah dan memelihara anak-anaknya (Thadribul Bait Wa Ri’ayatul awlad). Amaliyah utama ini tidak boleh bergeser oleh aktifitas lainnya sepenting apapun, sebab seorang anak utamanya tahun-tahun pertama kelahirannya membutuhkan ibu spesialis yang tidak menyibukkan diri selain daripada memelihara anaknya dan membentuk generasi... (Muhammad Quthb, Manhajut Tarbiyyah Islamiyah, jilid II hlm 108).

Berdasarkan hadits yang berkaitan dengan nizhamul usrah (organisasi keluarga), maka bagi wanita yang lebih mementingkan sibuk mengerjakan yang selain mengurusi rumah dan pemeliharaan anak-anaknya, maka ia bisa dihukumi telah maksiat kepada Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wanita itu pemimpin rumah tangga suaminya dan anak-anaknya...” (Adnan Hasan Shalih Bahrak, hlm 39).

Sebuah lembaga muslim tidak boleh melahirkan anak-anak yatim struktural karena terabaikan hak-haknya oleh kesibukan ayah dan ibunya memburu kebahagiaan semu gemerlapnya dunia, melalaikan kebahagiaan hakiki. Dan juga tidak boleh melahirkan anak-anak kunci seperti di negara-negara sekuler. Anak-anak harus pegang kunci masing-masing agar bisa keluar masuk rumah kapan saja ia kehendaki, karena kesibukan kedua orang tuanya.
WHO sendiri telah mengeluarkan maklumat kepada wanita-wanita karir, yang bunyi pasalnya sebagai berikut: “agar ibu-ibu (wanita karir) minimal menyediakan waktunya penuh selama tiga tahun setiap kelahiran anak-anaknya yang baru” (Ali Qadli, Al Islam wa Tarbiyatul Thifli, Majalah Pendidikan, nomor 38, hlm 67).

[Baca...]




Kado Pernikahan Bagian-2 :
Keterkaitan Antara Pernikahan dan Pendidikan Anak dalam Islam
Diantara tujuan pokok dan esensial diturunkannya Islam dengan seperangkat sistem dan konsepsinya adalah untuk membedakan manhaj Allah dari manhaj manusia, dalam segala aspek yang berkaitan dengannya, baik dari segi manhaj, konsepsi, maupun dari aplikasinya.
Secara substansial pandangan Islam memiliki keistimewaan dibandingkan pandangan Barat terhadap institusi keluarga. Islam memandang bahwa keluarga merupakan unit yang sangat mendasar diantara pembangunan unit-unit di alam semesta. Keluarga juga merupakan infrastruktur bagi masyarakat Islam yang bersaing dengan infrastruktur masyarakat lain (yang jahili) didalam mewujudkan tujuan-tujuan konsep istikhlaf (Isma’il Raji Al Faruqi, Tawhid: its Implication for though and life, Washington, thn 1988, III T, hlm 159: Wanita dan Politik dalam Pandangan Islam, Hibbah Rauf Izzat, Remaja Rosda Karya, Thn 1997; hlm 150).

Dengan bahasa lain, bahwa keluarga dalam konsepsi Islam merupakan “Nawatul Jama’ah” (nuclius dalam institusi jama’ah/ masyarakat khusus), sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Nur Suwaid, didalam bukunya Manhajut Tarbiyyah an Nabawiyyah Lith Thifl.
Apabila ikatan keimanan dapat memadukan antara laki-laki dan wanita pada tataran umat  dalam kerangka istikhlaf, maka keluarga merupakan suatu unit mendasar yang dipadukan pada peringkat kelompok, baik ikatan kekerabatan maupun ikatan perkawinan yang dijalin oleh nilai-nilai kasih sayang dan ketentraman. (Hibbah Rauf Izzat, hlm 150).
Pembangunan fondasi keluarga sangat berkaitan dengan fitrah yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada manusia berupa persaingan antara kedua jenis kelamin, yang sekaligus menjadi satu tradisi sosial.

Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan mengatakan, “Sebelum menjelaskan tentang asas-asas yang telah Islam letakkan dalam pendidikan anak-anak, akan lebih baik jika (secara ringkas) kami bahas perkawinan ini dari tiga aspeknya, yaitu:
Perkawinan sebagai fitrah insani
Perkawinan sebagai kemaslahatan sosial
Perkawinan sebagai hasil seleksi dan pilihan

Perkawinan Sebagai Fitrah Manusia
Syari’at Islam secara tegas memerangi konsep ruhbaniyyah (kependetaan), yaitu menjauhi perkawinan, padahal hal ini menyalahi fitrah kemanusiaannya, kecenderungannya, dan insting-instingnya sebagai manusia yang diberi anugerah nafsu dan syahwat.
Al Baihaqi meriwayatkan dari Sa’id bin Ali Waqqash RA:

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan kita dengan ruhbaniyah yang lurus dan toleran”.
Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam dengan tegas menyatakan, “Barang siapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah, maka ia bukanlah golonganku” (HR Ath Thabarani dan Al Baihaqi).

Bahkan tidak menikah atau menjauhi kecenderungan untuk membangun sebuah keluarga, tidak boleh dijadikan sebagai alasan “mengoptimalkan kuantitas dan kualitas ibadah seseorang”. Misal saja sepanjang hari, siang dan malam, terus melaksanakan shalat (wajib dan nafilah-nafilahnya yang rawatib maupun shalat lail), shaum setiap kesempatan yang ditentukan (yang fardu, yang sunnah shaum senin-kamis, shaum daud, dll). Dan kemudian menjauhi semua wanita.

Perkawinan Membawa Kemaslahatan Sosial
Yang dimaksud dengan kemaslahatan sosial itu antara lain: memilih jenis manusia, memelihara keturunan, keselamatan masyarakat dari dekadensi moral; keselamatan masyarakat dari berbagai penyakit, ketenangan jiwa, saling tolong-menolong antara suami-isteri dalam membina keluarga dan mendidik anak-anak, dan menghaluskan ayah dan ibu.
Sejumlah petunjuk dalil (nash) baik dari Al Qur’an maupun Al Hadits, menunjukkan perkara-perkara diatas.

Allah Ta’ala berfirman:

72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"
 (QS 16: 7).

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak” (QS 4: 1).

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu sudah mampu kawin, maka kamu kawinlah, sebab perkawinan itu akan dapat lebih memelihara pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu untuk kawin, maka ia hendaklah berpuasa. Karena sesungguhnya berpuasa itu dapat mengalahkan hawa nafsu” (HR Jama’ah).
Sabdanya lagi:

“Tidak ada sesuatu yang (besar) diambil faidahnya oleh seorang muslim setelah taqwa kepada Allah yang lebih baik baginya daripada seseorang isteri shalihah yang apabila suami memerintahkannya, ia mematuhinya, apabila suami memandangnya maka ia menyenanginya, dan apabila suami pergi darinya (tak ada disisinya) maka ia memelihara diri dan harta (suaminya)” (HR Ibnu Majah).

Allah Ta’ala berfirman:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasann-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir” (QS 30: 21).

Mengingat begitu penting dan strategisnya masalah perkawinan ini, maka Islam memberikan perhatian khusus dan luar biasa, sehingga pada awal pelaksanaan manhaj bina’ul usrah dan sosialisasinya pada masa kenabian memakan waktu yang paling panjang, jika kita perhatikan lamanya yang dipergunakan Allah dalam menurunkan ayat-ayat termuat dalam surat An Nisa’. Selain tu manhaj bina’ul usrah, juga banyak dimuat dalam surat-surat lain secara terpisah-pisah sesuai kebutuhannya.

Oleh karena itu, syari’at juga memerintahkan bagi setiap calon ayah untuk  memilihkan calon ibu dari bakal anak-anaknya.
Islam tidak terlalu berpihak kepada pilihan-pilihan zhahir dan badani semata, sekalipun itu penting secara fitrah, namun ada pilihan lain yang jeuh lebih penting, yaitu agama, lalu keturunan.

Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk dan badan kamu, akan tetapi Dia menilai hati dan perbuatan-perbuatanmu” (HR Muslim).
(Kutipan ringkas dari Tarbiyatul Awlad fil Islam, Dar as Salam, Cet. Ke-3, thn 1994, jilid I, hlm 33 – 48).

Prakondisi
Menuju Keluarga Sakinah: Kado Pernikahan

Terdapat sejumlah persoalan yang harus dipahami dengan baik oleh setiap pasangan muslim yang hendak membangun lembaga keluarga, antara lain:
1.    Islam menempatkan wanita sebagai sumber berkah
2.    Tanggung jawab pendidikan anak
3.    Pentingnya memahami tujuan-tujuan perkawinan dalam Islam
4.    Mengenali sifat-sifat pendidik sukses
5.    Memahami kedudukan nafkah suami bagi keluarga
6.    Pintu surga yang mana saja bisa dimasuki isteri shalihah

Islam Menempatkan Wanita sebagai Sumber Berkah
Islam mengaitkan sosok wanita dengan keridlaan, cinta dan kasih sayang, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai, bangkitlah rahim seraya berkata, ‘Inikah tempat orang yang berlindung dari terputusnya hubungan kekeluargaan?’. Allah menjawab, ‘Ya, apakah kamu rela kalau aku menyambung (hubungan) orang yang menyambungmu, dan memutuskan (hubungan) orang yang memutuskanmu?’. Rahim menjawab, ‘Tentu saja aku rela’. Allah berfirman, ‘Itulah milikmu’”  (HR Muslim).

Sebelum wanita lahir ke muka bumi, Islam telah memposisikan bersebelahannya dengan tempat orang yang berlindung kepada Allah di tempat kekuasaan dan keagungan, bersebelahan dengan Sang Pemilik Kekuasaan yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pernyataan Allah dalam hadits qudsi ini tentu saja membangkitkan semangat generasi sahabat dan kegembiraan serta kebanggaan apabila mereka dikaruniai anak wanita, tidak seperti masa jahiliyah sebelumnya yang menganggapnya aib dan malu besar dengan kehadiran anak wanitanya. Kaum muslimin sebaliknya, menganggapnya sebagai karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sumber berkah.
“Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang dia kehendaki dan memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis (anak) laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang Dia kehendaki), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia maha mengetahui lagi maha kuasa” (QS 42: 49 – 50).

Sebaliknya sikap jahiliyah ketika menerima kehadiran anak wanita, sebagaimana Allah firmankan: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, hitam (merah padam) lah mukanya, dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (QS 16: 58 – 59).

Kesiapan mental seseorang ketika menghadapi kelahiran anak membangkitkan semangat dalam memikul tanggung jawab pendidikan baginya, karena adanya perasaan kasih sayang dan kehendak untuk melindunginya.
Penguatan-penguatan psikologis ini sangat perlu bagi orang tua, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memposisikan rahim dalam kedudukan yang mulia dan penuh berkah.

“Tidak masuk surga orang yang memutuskan rahim (hubungan kekeluargaan)” (HR Muslim).
“Barang siapa yang merasa senang untuk dilimpahkan rezeki kepadanya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturahmi)…” (HR Muslim).

Islam telah menyiapkan seluruh faktor kejiwaan yang dapat menghilangkan kegoncangan, kebingungan dan rasa hina dari dalam dada orang laki-laki manakala diberitahukan kepadanya tentang kelahiran anak wanita. Tampak pada potret yang digambarkan oleh hadits Nabi SAW, “Rahim itu tergantung pada Arasy, dan berkata, ‘Barang siapa menyambungku, Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang memutuskanku, maka Allah akan memutuskannya’”.
Tidak cukup hanya penegasan posisi rahim, namun Allah dan Rasul-Nya memberikan sejumlah motivasi dan semangat serta janji-janji pahala bagi mereka yang mampu mengurus, memelihara, dan mendidik anak-anak perempuannya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan (nya), kemudian dia berbuat baik kepada mereka, maka dia mendapatkan pemisah (bagi dirinya) dari api neraka” (HR Muslim)

“Barang siapa yang memiliki tiga anak perempuan, kemudian dia mendidik, menyayangi, dan mencukupi nafkah mereka, dia berhak memperoleh surga. Lalu ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika dua anak? Beliau menjawab, ‘Meskipun hanya dua anak (berhak juga surga)’” (HR Ahmad, Al Bazzar dan Thabrani).

Tanggung Jawab Pendidik adalah hak Anak Terhadap Orang Tua
Diantara hak anak atas orang tua, utamanya ayah (calon ayah) adalah mencarikan calon ibu (isteri calon ayahnya) dari kalangan isteri shalihah, yaitu yang selalu memelihara hubungannya dengan Allah melalui ketaatan dan ibadah kepada-Nya, santun dan lembut, penyayang, dapat memelihara dirinya, harta, dan kehormatan suaminya ketika tak ada disisinya. Tentu saja wanita shalihah hanya pantas bagi suami yang shalih, yang pandai menempatkan hak dan kewajibannya, dapat memimpin, memimbing dan mengarahkan isteri dan anak-anaknya ke jalan yang benar. Lembaga keluarga seperti ini dimungkinkan akan selalu bisa menegakkan tiga hal: meluruskan kesalahan, memperbaiki keadaan agar selalu menuju kebaikan, dan membiasakan keduanya dalam setiap saat.

Hak anak lainnya atas orang tuanya, khususnya ayah, adalah memberinya nama yang baik, sebab pada hari kiamat setiap manusia akan dipanggil menurut namanya dan nama bapaknya, oleh karena itu Rasulullah SAW menegaskan, “baguskanlah namamu”. Tentang kriteria nama yang bagus, biasanya tidak terlepas dari filosofis yang mendasarinya, dimana dengan nama tersebut maka anak setidaknya bisa meneladani sifat menonjol dari nama yang ditirunya itu. keluarga muslim sering memberi nama anak-anaknya dengan Asma dan sifat Allah yang didepannya didahului dengan “Abdun”, misal saja Abdurrahman, Abdul Ghafur, Abdul Qadir, Abdul ‘Azhim, dll. Atau sering juga meniru nama-nama Nabi dan Rasul, atau nama-nama sahabat, tabi’in atau tabi’it tabi’in, atau nama orang-orang shalih dari masa ke masa yang banyak berjasa dalam bidang keagamaan dan menyebarkan Islam. Atau bisa juga dengan merekayasa nama sendiri dari kata-kata yang tersusun, dengan tetap memenuhi kriteria indah dan mengandung makna yang baik. Alhasil bahwa nama yang baik itu haruslah bercirikan sebagai berikut: mudah dihafal, mudah diucapkan lisan, mengandung muatan makna yang baik yang bisa mendorong sipemiliknya sadar akan pemberian nama tersebut baginya. Sebab, nama bagi pemiliknya memberikan beban psikologis yang berat. Jika nama anda Muhammad, tentu kehendak orang tuamu itu tertuju kepada akhlak Muhammad Rasulullah SAW, bukan Muhammad-Muhammad lain.

Hak anak lainnya atas ayahnya adalah mendapatkan bimbingan dan didikan yang memadai, dengan tetap memperhatikan kecenderungan bawaan dari mereka yang kodrati. Pada masa pra sekolah anak-anak, maka mereka sangat membutuhkan lingkungan keluarga yang kondusif bagi pertumbuhan intelegensi dan benih-benih agama (kebenaran) yang fitri. Disinilah mengapa orang tua haruslah menjadi bibit unggul bagi terbentuknya generasi shalih di masa depan.
Imam al Ghazali mengibaratkan pendidikan itu sebagai kegiatan petani yang menginginkan hasil tanamnya itu sempurna, baik kuantitas maupun kualitasnya. Maka langkah-langkah yang harus ditempuh oleh petani tersebut adalah: mencari bibit yang unggul, memastikan terdapatnya unsur-unsur tanah yang baik untuk jenis tanaman yang diinginkan., menyirami, memupuk, dan menyingkirkan setiap tanaman liar dan pengganggu yang tumbuh disekitarnya, kemudian secara berkala dan teratur mengawasi dan mengontrol pertumbuhannya. Begitu pula kita dalam mendidik anak-anak kita, maka yang utama sekali haruslah menjadikan ayah-ibu sebagai uswah dan teladan, sebagai pembimbing dan guru yang bijak bagi mereka, dan menampilkan hubungan harmonis dalam keluarga dan membangun hubungan komunikasi yang seimbang, baik antara orang tua dan anak-anak maupun antara suami dan isteri.

Dan yang penting lagi adalah agar ayah benar-benar menunjukkan seorang pemimpin rumah tangga yang baik, benar dan bijak. Sementara ibu harus menunjukkan seorang pemimpin rumah tangga suami yang pandai menempatkan diri dalam mengurusi ruumah tangga, memenej uang belanja, dan memelihara serta mengasuh anak-anaknya. Kerjasama seimbang inilah yang akan mendorong tumbuhnya bibit-bibit generasi shalih yang tanggap akan tantangan dimasa depan. Diharapkan lembaga keluarga merupakan sebuah institusi tarbiyah (lembaga pendidikan) tingkat pertama, sebelum institusi kedua yaitu di sekolah.
Nabi SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang laki-laki (suami) pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan seorang isteri pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan pembantu itu pemimpin dalam harta tuannya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Dan setiap kamu pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya” (Muttafaq ‘alaih).

Dan Nabi SAW juga meletakkan sendi dasar, yang menunjukkan bahwa anak menyerupai pada kedua orang tuanya, seperti sabdanya: “Tidaklah seseorang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi atau nashrani atau majusi ...” (HR Bukhari dan Abu Hurairah RA) kemudian Abu Hurairah RA membacakan ayat 30 dari surat Ar Rum.

Perintah Allah Ta’ala secara tegas kepada kedua orang tua agar mendidik anaknya dengan penuh tanggung jawab, agar mereka terbebeas dari siksa api neraka, dan bukan sekedar memompa otak dengan memandulkan ruhani-hatinya, seperti yahudi, nashrani dan majusi.

“Hai orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ...” (QS At Tahrim: 6).
Maksud dari ayat ini adalah agar suami (ayah) mengajari dirinya dan keluarganya tentang kebajikan (perkataan Ali bin Abi Thalib RA, HR Alhakim di dalam al Mustadraknya, 4/ 494). Sementara Fakhrur Razi mengartikan ayat tersebut dengan maksud agar orang tua (suami khususnya) mencegah dari apa-apa yang dilarang oleh Allah. Dan Muqatil mengatakan, “Agar orang tua (ayah) mendidik dirinya dan keluarganya, sehingga memerintahkan mereka kepada kebajikan dan mencegah mereka dari kejahatan. Dan ia mengatakan jagalah dirimu (wahai suami mukmin) dengan meninggalkan kemaksiatan dan mengerjakan keta’atan-keta’atan” (Manhajut Tarbiyyah an Nabawiyyah Lith Thifl, Muhammad Nur Suwaid, hlm 26 – 27).

Ayah dan ibu tidak saja harus memilihkan sekolah mereka yang bermutu, yang juga harus didukung oleh pengelola dan guru-guru yang shalih, memahami prinsip-prinsip Islam, bagus fikrah dan wawasan keIslamannya serta terpuji akhlak perilakunya. Dalam hal ini keshalihan guru matematika tidak berbeda dengan guru agama, begitu pula guru fusikanya, guru bahasa, aqidah, IPS, IPA, dll. Megapa demikian? Sebab mereka berhimpun membangun sebuah lembaga pendidikan bukan sekedar ada atau hanya untuk mengejar target status disamakan dengan negeri. Sebuah sekolah dibawah naungan Islam hanya mengejar target status disamakan dengan negeri, sangatlah rugi. Sebab kurikulum kita merupakan integrasi dari kurikulum Dikbud dan keislaman (pesantren). Yang dimaksud dengan kurikulum integrasi bukan 100 % Dikbud ditambah 100 % atau X % kurikulum pesantran. Akan tetapi, bisa saja dengan memodifikasi disana sini dari Dikbud, yang dianggap kurang jam ditambah jam, yang dianggap terlalu banyak dikurangi, dan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dan ruh Islam ke dalam masing-masing bidang studi, dari mulai matematika hingga biologi, dari IPS hingga kesenian.

Pokoknya dalam setiap bidang studi harus tersentuh nilai dan ruh keislaman. Dan ini hanya mungkin apabila seluruh instrumental inputnya, terutama pengelola dan pengajarnya berada dalam satu platform, berangkat dari visi dan misi yang sama, menuju satu tujuan yang jelas yaitu untuk kejayaan Islam melalui institusi pendidikan dengan menerapkan manhaj khas, dan wasail khas pula, sejalan dengan Manhaj Tarbiyyah Islamiyah.
------------------

[Baca...]