Seri Kado Pernikahan - 4


Seri Kado Pernikahan-4 : SEKUFU` DALAM PANDANGAN SYARI`AT ISLAM

Islam memiliki konsep tersendiri dalam kifa’ah (sekufu atau kesepadanan) antara isteri dan suami, tidak semata menyadarkan dalam perkara umur, tingkat pendidikan maupun status sosial. Para fuqaha’ berpendapat bahwa kaum muslimin itu sebagian yang satu menjadi bagian yang lainnya, tidak ada perbedaan antara satu jenis dengan jenis lainnya, maka boleh saja setiap mukmin itu kawin dengan mukminah lainnya. Mereka bersepakat bahwa agama lah yang menjadi unsur utama kifa’ah. Perhatikan misalnya QS 9: 71; dan QS 3: 195. Oleh karenanya Islam dengan tegas melarang seorang mukmin menikahi wanita musyrik sehingga ia beriman, dan begitu pula melarang wanita muslimah mengawini laki-laki musyrik sampai ia beriman       (QS 2: 221).

Rasulullah Shallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Jika seorang laki-laki datang padamu (akan meminang putrimu) sementara kamu telah ridla agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu itu). Sebab jika tidak akan terjadi fitnah besar dimuka bumi dan kerusakan yang besar” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dari nash hadits Nabi SAW diatas, maka Ibnul Qayyim menegaskan, standar agama yang dijadikan unsur utama kifa’ah, maka jelaslah adanya larangan bagi kita untuk menikahkan wanita muslimah dengan seorang laki-laki kafir, larangan menikahkan muslimah yang ‘afifah (pandai memelihara diri dari perbuatan dosa) dengan seorang laki-laki fajir (penduhaka). Hal ini pula menunjukkan haramnya muslimah laki-laki pezina yang bejat moral, dan bukan pada ikatan-ikatan lainnya seperti kaya, nasab, budak, atau merdeka. Sebab, bisa saja bagi hamba menikahi wanita merdeka, kaya, dan baik nasabnya asalkan ia sebagai hamba yang muslim dan afif’ (terpelihara dari perbuatan dosa dan kemaksiatan), dan boleh saja laki-laki Quraisy, dan juga laki-laki fakir menikahi wanita kaya ...” (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, Jilid 5, hlm 159 – 160).

Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam ketika hendak menikahkan putrinya Fatimah Az Zahra, wanita penghuni surga, tidak memperdulikan tawaran para pembesar Quraisy dengan kekayaan mereka. Ia kawinkan si jantung hati itu dengan Ali bin Abi Thalib, seorang Quraisy, saudara sepupu dan sahabat terdekat yang paling miskin pada waktu itu. Ali RA bercerita tentang perkawinannya: “Seorang pembantu perempuannya bertanya kepadaku: “Apakah kau tahu bahwa Fatimah telah dipinang orang?” Saya (Ali RA) menjawab: “Saya tidak tahu”. Lalu dia memberitahukan: “Dia sudah dipinang orang”. Dia terdiam, kemudian bertanya lagi, “Mengapa anda tidak meminangnya? Engkau pergilah kepada Nabi untuk meminangnya. Insya Allah beliau akan menerimanya dan menikahkanmu dengan putrinya”. Saya jawab, “Tapi saya tidak punya apa-apa untuk bekal perkawinan itu”. Lalu ia timpali lagi, “Kalau kau datang kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, Insya Allah beliau akan mengawinkanmu”. Dia terus menerus mendesakku, sehingga aku pun memutuskan untuk menemui Nabi SAW. Dihadapan kekasih Allah yang agung dan penuh wibawa itu aku terdiam. Tak sepatah pun kata-kata yang bisa aku keluarkan, apalagi untuk meminang putri beliau yang memulai pembicaraan. Beliau memandangku, dan dengan lembut menyapaku:

N  : “Ada keperluan apakah sehingga kau datang menemuiku?”
A  : (Aku terdiam)
N  : “Atau, barangkali kau datang untuk melamar Fatimah putriku?”
A  : (Dengan tanpa ragu-ragu aku menjawab) “Ya!”
N  : “Apakah kau mempunyai mahar untuk menikahinya?”
A  : (Aku kembali terdiam, lalu sejenak kemudian aku menjawab) “Tidak Rasulullah, Demi Allah!”
N  : “Mana baju besi yang pernah aku berikan padamu?”
A  :”Ada, bukankah ia hanya sekedar baju saja, yang nilainya tak lebih dari 400 dirham”
N  : “Tak menjadi masalah, dengan itu aku kawinkan engkau dengan putriku. Antarkan baju besimu itu kepadanya, dan perkawinanmu telah halal dengan mas kawin baju besi itu.
(Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, Jilid 3, hlm 346).

Begitulah cara Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam memilihkan calon suami dari putri kesayangannya. Manakala mendengar keputusan tersebut, Fatimah berlinang-linang air matanya. Lalu sang ayah pun bertanya kepadanya: “Mengapa engkau menangis sayangku? Demi Allah ayahmu ini telah menikahkan engkau dengan seorang yang paling banyak ilmunya, paling cerdas otaknya, paling dahulu masuk Islam” (Asadul Ghabah, Ibnu Katsir, 7/ 221)
Begitulah yang dimaksud dengan kifa’ah, keserasian antara suami dan istri, sebagai landasan utama berdirinya lembaga keluarga muslim. Dan ini berpijak kepada QS 49: 13. “Hai umatku, ketahuilah bahwa Rabbmu hanyalah satu, dan bahwa nenek moyangmu juga satu. Camkanlah bahwa tidak ada keutamaan bagi seorang Arab atas bangsa lainnya, dan tidak ada kelebihan bagi yang berkulit hitam atas kulit putih atas kulit hitam, melainkann dengan taqwanya” (Al jami’li ahkammil Qur’an, Al Qurthubi, 16/ 342)

Di kalangan salaf Shalih, kifa’ah semacam ini benar-benar mereka pahami, sehingga mereka tidak akan berani mengawinkan putrinya dengan sembarang orang, sekalipun dengan seorang pemimpin yang kaya raya dan berkedudukan tinggi, tidak artinya bagi mereka jika berani melakukan kebatilan dan kemaksiatan. Adalah kisah seorang putri cantik, bertubuh tinggi semampai, cerdas dan berpengetahuan luas tentang kitab-kitab Allah dan Sunnah Rasul, putri al Musayyab RA, seorang ulama tabi’in terbesar dan terkenal. Putri ini hendak dipinang oleh amirul mukminin Abdul malik bin Marwan untuk putra mahkotanya, al Walid bin Abdul Malik. Namun dengan ketegarannya dan tanpa ragu sedikitpun, Said bin Musayyab menolak pinangan penguasa dari istana itu, sekalipun harus menghadapi resiko penyiksaan dan hukuman 100 kali pecutan. Dikemudian hari, guru yang ‘alim dan waro’ itu kembali ke Madinah. Salah seorang muridnya, Abdullah bin Abi Wada’ah datang menjenguknya untuk mengetahui keadaannya. Beliau tahu isteri muridnya itu sudah wafat. Lalu dengan ramah ia bertanya: “Mengapa kau tidak kawin lagi nak?” ia menjawab: “Semoga Allah akan merahmatimu, syaikh? Siapa yang mau kawin denganku, sementara aku ini orang tak punya, bahkan hartaku tak lebih dari 2 atau 3 dirham”. Syaikh menimpalinya: “Maksudku, aku akan menikahkan engkau dengan putriku”. Ia kaget seraya berkata: “Benarkah ini?” Syaikh menjawab: “Tentu saja benar dan aku serius”. Ternyata benar-benar beliau (syaikh) mengawinkannya dengan putri cantik dengan mas kawin 3 dirham.

Kisah lain menyebutkan: “Pada suatu hari Tamadlar, isteri Abdurahman bin Auf datang kepada Utsman bin Affan menawarkan keponakannya.
Tamadlar  : “Maukah kau kawin dengan anak pamanku, seorang gadis cantik, bertubuh gempal, padat, lesung pipi, dan cerdas pikirannya?”
Utsman        : “Ya, tentu aku mau, siapakah dia?”
Tamadlar     : “Nailah binti Al Farafishah Al Kalbiyah”
Setelah menikah maka Utsman bertanya kepada isterinya, “Nailah, apakah engkau kurang gembira memandang usiaku ini?”. Nailah menjawab: “Saya termasuk seorang wanita yang lebih senang mempunyai suami yang usianya jauh lebih tua dariku”. Utsman: “Tetapi aku ini sudah melampaui masa tuaku”. Nailah tersenyum lembut seraya berkata menghibur suaminya: “Tetapi masa mudamu telah engkau habiskan bersama dengan Rasulullah SAW, dan itu lebih aku sukai dari segala-galanya. Kemudian dari perkawinannya tersebut mereka dikaruniai 2 orang anak yaitu Maryam dan Anbasah. Padahal ketika itu usia Utsman bin Affan telah mencapai 80 tahun, sedangkan Nailah masih belasan tahun. Ketika suaminya diserang oleh gerombolan pemberontak, isteri setia itu merebahkan diri dipangkuan suaminya menangkis serangan lawan, hingga seluruh jari-jarinya terputus oleh tebasan pedang. Dia tersenyum bahagia melihat suaminya selamat, dan tidak menampakkan rasa sakit sedikitpun. Setelah khalifah meninggal dunia, ia pernah dipinang oleh Muawiyah bin Abi Sofyan. Dia tolak pinangan itu seraya berkata: “Tidak mungkin ada seorang pun yang mampu melabuhkan cintanya dan menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku”.



Dan masih banyak hal yang patut menjadi uswah dan qudwah bagi kita kaum muslimin, tentang bagaimana pendahulu kita menempatkan secara benar unsur nasab, kifa’ah dan akhlak dalam ikatan perkawinan.

Wahai wanita shalihah, silahkan masuk surga melalui pintu mana saja
Islam didalam menata kehidupan rumah tangga muslim melengkapinya dengan rambu-rambu kewajiban isteri untuk memelihara mahligai rumah tangga yang harmonis, yakni menetapkan kewajiban-kewajiban isteri kepada suaminya. Dalam hal ini DR Rauf Syalabi menyebutkan beberapa kewajiban isteri kepada suaminya, antara lain:

Pertama : Menghormati perasaan suami
Pernikahan sebagai ikatan yang kokoh (Mistaqan Ghalizhan) yang menggunakan jaminan dan janji Allah, seorang isteri tidak boleh memasukkan ke rumah suaminya orang yang tidak dikehendaki suaminya, dan tidak diinginkan keberadaannya dalam rumah tersebut. Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wanita yang beriman kepada Allah tidak halal memberi izin (orang lain) untuk memasuki rumah suaminya sementara suaminya tidak menyukainya, (ia tidak halal pula) keluar rumah sementara suaminya tidak menyukainya, (atau ia) menaati orang lain, (atau) menghindar dari tempat tidurnya dan merugikannya. Jika sang suami berlaku zalim, hendakknya sang isteri mendatanginya hingga menyenangkannya”  (HR Hakim).

Dalam sabdanya yang lain disebutkan:
“Ada tiga golongan orang yang sejengkal pun shalatnya tidak naik diatas kepalanya, yaitu: (1) seorang laki-laki yang mengimami (shalat) suatu kaum sedangkan ia tidak disukainya, (2) seorang wanita yang meninggalkan tempat tidurnya sedangkan suaminya marah atas hal itu, (3) dua laki-laki bersaudara yang terlibat pertengkaran”
Diantara penghormatan seorang isteri kepada suaminya, adalah sang isteri tidak banyak menceritakan kepada suaminya tetang teman wanitanya (kecantikannya, budinya, dan kelebihannya yang dapat menibulkan daya tarik bagi suaminya dan khayalan atasnya).

Kedua : Berhias diri demi suami
Pergaulan suami isteri berjalan atas dasar mu’asyarah bil ma’ruf, atas keridlaan kedua belah pihak. Konsekuensi logisnya adalah sang isteri harus mampu mempersembahkan kecantikan dandannya demi kepuasan sang suami yang mampu memupuk benih cinta sesamanya. Berandan dan bersolek (tabaujj) ala jahiliyah demi menarik perhatian dan simpati laki-laki liar, hanya akan mendatangkan laknat dan porak porandanya sebuah lembaga keluarga, karena membuat sangkaan-sangkaan buruk dan kemarahan sang suami. Jika hal ini terjadi, maka kenikmatan pun berpindah dari mahligai yang harum dan halal menuju ke tengah jalan, seolah-olah wanita ibarat buah apel busuk dan terpental dari insting yang mulia, sehingga ia pun menjadi santapan yang lezat bagi laki-laki liar.
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam mengeluarkan peringatan keras kepada setiap wanita dengan sabdanya:
“Jika seorang wanita memakai wangi-wangian untuk selain suaminya, sesungguhnya wangi-wangian tersebut adalah api dan aib” (HR Thabrani).
“Apabila seorang wanita memakai wangi-wangian lalu berjalan dimuka majlis (atau memasukinya), dia termasuk pezina” (HR Ahmad).

Ketiga : Menaati Suami dan Tidak Menentangnya
Dalam hal ini suami tidak boleh sewenang-wenang memerintah dan melarang isterinya, kecuali dalam bingkai amar ma’ruf dan nahi ‘anil munkar. Yang dituntut dari suami isteri adalah keikhlasan dan kejujuran dalam pergaulan. Terdapat beberapa ketetapan Islam dalam kehidupan berumah tangga, antar lain:
Seorang isteri tidak meninggalkan tempat tidur suaminya (tanpa alasan syar’i), sebab malaikat akan melaknatnya hingga waktu subuh (HR Bukhari).
Seorang isteri tidak boleh menolak ajakan suaminya, manakala diperlukan. Nabi SAW bersabda: “Apabila suami mengajaknya isterinya ke tempat tidur, lantas tidak mau datang, maka malaikat akan melaknatnya hingga datang waktu subuh” (HR Bukhari dan Ahhmad).
Isteri menjaga harta suaminya. Seorang isteri sebagai pemimpin rumah tangga suaminya ia wajib mengatur uang belanja dan kebutuhan rumah tangga dengan menempatkan pertimbangan-pertimbangan berikut: tidak boleh memberikan madarat kepada orang lain dan tidak boleh saling memberikan madarat, tidak berlebih-lebihan dan tidak boleh membuat kerusakan. Dalam Islam kepemilikan harta isteri adalah haknya sendiri. Terdapat hukum lain yang mengangkat harkat wanita, dari segi kepribadiannya, kepemilikannya, dan kewenangannya dalam membelanjakan dan mengatur sirkulasi keuangan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bbersabda: “Apabila seorang isteri shalat lima waktu, shaum (Ramadhan) satu bulan penuh, memelihara kemaluannya dan menaati suaminya, akan dikatakan kepadanya, masuklah kamu kedalam surga dari segala pintu” (HR Ahmad).

------------------


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------