Seri Kado Pernikahan -9


Pasal Lima.
Pelik-pelik dalam Perkawinan dan Solusi Islaminya.
Lembaga keluarga Islami bukanlah sebuah lembaga yang kebal terhadap setiap persoalan dan kendala, sehingga begitu mudah mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan penuh kasih sayang. Sekalipun kondisi semacam ini merupakan suatu kondisi yang diidam-idamkan oleh setiap pasangan, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala gambarkan lewat firmanNya.
Ikatan perkawinan adalah ikatan antar manusia yang memiliki kecenderungan-kecenderungan pasang dan surut yang saling berpasang-pasangan, dan bukan ikatan dua malaikat yang memang tidak diberi oleh Allah nafsu dan syahwat serta interes-interes lainnya.
Apabila kita buka surat An Nisa’ maka segera kita temukan ayat yang membolehkan seorang laki-laki beristerikan lebih dari  satu dan maksimal empat isteri, dengan disertai pesan khusus dan perintah khusus pula, misalnya saja harus berlaku adil menyangkut kebutuhan fisik dan materi, seperti jadwal bergilir dan pemenuhan kebutuhan fisik yang adil. Namun tidak ada perlakuan adil menyangkut cinta dan bunga-bunganya.
Begitu pula disana kita jumpai ayat berkenaan dengan tuntunan jalan keluar dalam memecahkan persoalan nusyuz, talak, dan perlindungan-perlindungan yang dapat mempertahankan ikatan perkawinan. Ini membuktikan bahwa berkeluarga itu tidak selalu berada pada jalan tol, bebas hambatan, akan tetapi terkadang harus meniti jalan sempit, menanjak dan terjal. Dan itulah pelik-pelik dalam perkawinan.
Ketika mendidik anak, orangtua sering menghadapi kendala yang cukuup serius yang dapat menghambat proses pendewasaan dan keutuhan anak secara Islami. Informasi dan berbagai sarana, perundang-undangan, peraturan pemerintah, sekolah, dan sebagainya turut andil dalam mendidik, mengajar, dan mendidik anak.
Sebut saja yang sering kita jumpai diantara kendala-kendala pendidikan anak yang dapat mempengaruhi perkembangan otak, jiwa dan ruhani mereka, adalah hubungan ayah dan ibu yang tidak harmonis, perceraian, poligami, kehadiran pembantu rumah tangga, dan mungkin adanya intervensi pihak ketiga dari kalangan kerabat dekat. Selain itu juga yang sangat berpengaruh adalah televisi, bacaan yang tak bermoral, penyimpangan seksual, lagu dan musik, obat-obatan terlarang, jenis permainan yang diharamkan oleh agama, dll.
Iman ini berisikan dua perkara pokok dan besar, yaitu syukur dan sabar. Syukur artinya fi’lul ma’mur (mengerjakan yang diperintahkan) dan sabar artinya tarkul mahzhur (meninggalkan yang dilarang).
Dan diantara pesan agung yang berkaitan dengan tanggung jawab pendidikan orang tua, terutama bagi ayah adalah pesan untuk menyelamatkan diri dan anggota keluarganya dari api neraka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu...” (QS At Tahrim: 6).
Rasulullah SAW menjelaskan tentang orang yang istiqomah pada manhaj Allah pada waktu rusaknya ummat adalah seperti orang yang memegang bara api. “Akan datang suatu masa atas manusia, saat orang yang bersabar dalam memegang teguh agamanya seperti orang yang memegang bara api” (HR At Tirmidzi).


Beberapa Problematika Keluarga
dan Pengaruhnya pada Pendidikan Anak
Dalam Islam, kepemilikan seorang isteri adalah haknya sendiri. Apabila seorang isteri bernasab kepada bapaknya, merupakan suatu hal yang dihormati, karena hal itu merupakan suatu bukti identitas dirinya. Seorang isteri boleh membelanjakan harta suaminya dengan syarat tidak berlebih-lebihan, dan dalam hal ini dia mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.
Islam mengangkat derajat wanita meliputi tiga aspek, yaitu aspek kepribadian, kepemilikannya, dan kewenangannya dalam membelanjakan dan mengatur sirkulasi keuangannya.
Dalam konsepsi Islam, wanita memiliki kepribadian yang sempurna, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Apabila seorang isteri shalat lima waktu, shaum Ramadhan satu bulan penuh, memelihara kemaluannya, dan menaati suaminya, akan dikatakan kepadanya, “masuklah kamu kedalam surga dari pintu mana saja yang kamu inginkan” (HR Ahmad).
Disana tampak bagaimana Islam memadukan antara hak dan kewajiban bagi wanita. Seakan-akan Islam merancang jalan kehidupan suami-isteri dalam dua barisan yang sejajar, dari tumbuh-tumbuhan yang semerbak baunya dan bunga-bunga harum nan wangi, demi mewujudkan musim bunga yang abadi dalam pergaulan yang ma’ruf, ihsan, kasih sayang, dan cinta sehingga kehidupan keluarga dapat berjalan dengan tenang dan disertai oleh suasana kelembutan yang terkait oleh keridlaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wahai muslimah, di zaman modern ini ‘masih adakah yang kalian tuntut syariat lain diluar syariat yang telah kalian yakini ini’?
Kesadaran ini sangat penting, sebab hal ini akan membantu pemecahan ketika sebuah keluarga menghadapi problem yang cukup rumit, yang akan berdampak kepada perkembangan dan pendidikan anak-anaknya.
1. Perselisihan diantara Suami-Isteri
Seluruh makhluk Allah dimuka bumi ini dengan bergbagai tingkatan dan kedudukannya, beraneka ragam rezeki dan pendapatannya, tidak pernah terlepas dari kesulitan. Sebagaimana kehidupan secara universal kehidupan suami-isteri juga tidak pernah luput dari kekeruhan ini.
Islam, sebelum sesuatu problem itu terjadi menimpa lembaga keluarga, hubungan antara suami dan isteri, telah Allah pikirkan dan persiapkan perangkat hukum dan solusi terbaiknya.
Perselisihan dalam keluarga, bisa saja muncul dari pihak suami atau dari pihak isteri, atau dari keduanya. Hal itu tidak menjadi masalah, sebab masing-masing kasus memerlukan pemecahan khusus pula. Dan inilah ciri dan kelebihan Islam, yang selalu memberikan jalan keluar bagi setiap problem sesulit apapun, asalkan setiap kita mau kembali kepada manhaj-Nya.
Pihak Isteri Sebagai Penyebab Utama Konflik (Nusyuz)
Ketika perselisihan itu muncul dari pihak isteri, misal saja menyangkut persoalan ‘nusyuz’ (semacam pembangkangan terhadap rambu-rambu ketaatan terhadap suami), maka Al Qur’an memberikan pemecahan secara berjenjang, seperti tersebut dalam firman Allah berikut:
“Isteri-isteri yang kamu khawatirkan akan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah. Jika mereka menaatimu, janganlah (kamu) mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS An Nisa’: 34).
Telah kita maklumi bahwa setiap pengobatan itu diberikan kepada yang sakit, ketika nusyuz itu datangnya dari pihak isteri, maka isterilah yang sakit. Dalam hal ini Islam lebih memfokuskan kepada cara penyembuhannya dan bukan pada penderitanya itu sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SAW merasa perlu membuat rambu-rambu atau kaidah-kaidah dalam kehidupan suami-isteri, agar kita bisa mengembalikan setiap penyimpangan yang terjadi kepada kaidah tersebut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sebaik-baik isteri adalah wanita yang apabila engkau lihat, menyenangkanmu; apabila engkau perintah (yang ma’ruf) dia menaatimu; dan apabila engkau sedang tidak ada dirumah (disampingnya), dia selalu menjaga dirinya dan hartamu” (HR Thabrani).
Ketika disana terjadi pelanggaran terhadap kaidah umum tersebut, misal saja nusyuz dari pihak isteri, maka segera Islam memberikan terapinya yang tepat sebelum masalahnya benar-benar terjadi dan rumit. Terapi berjenjang telah dipersiapkan oleh Islam, seperti tersebut pada surat An Nisa’ ayat 34 diatas, yaitu:
Pertama, nasihat yang baik, untuk memperlunak hatinya dengan mengingatkannya kepada Allah, dan mengingatkannya kepada ikatan janji agung yang telah disepakatinya (akad nikah). Ikatan nikah tidak semata ikatan janji dua insan berlainan jenis, namun juga terdapat ikatan vertikal yaitu dengan Allah. Karena pada hakikatnya kita berasal dari pencipta (Allahu Rabbuna) yang satu dan asal penciptaan yang satu (Adam As), QS An Nisa’ ayat 1.
Kedua, apabila sang isteri menolak peringatan dan tetap berkeras kepala, sang suami boleh berpisah tidur. Pisah tidur tidak harus selalu diartikan pisah ranjang walau dalam satu rumah, apabila jika diartikan pisah tidur berlainan rumah. Mengapa? Sebab didalam keluarga terdapat anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang, mereka sangat bergantung pada kondisi seisi rumahnya, termasuk hubungan ayah ibunya, harmonis atau tidak, bermasalah atau tidak. Sehinggga Sayyid Qutb didalam Tafsir Zhilal-nya (Surat An Nisa’: 34), dia menjelaskan bahwa yang yang benar adalah pisah tidur dalam satu tempat tidur (ranjang dan sejenisnya), namun saling membelakangi dan tidak melakukan hubungan sebadan dalam bentuk apapun. Hanya satu yang boleh dilakukan, yaitu terus berunding, menimbang dan mengingat, dann suami terus berusaha menasehati dan meyakinkan tentang manfaat dan madarat, baik bagi keduanya, maupun bagia anak-anaknya. Tempat tidur adalah tempat terbaik dan terhormat bagi suami dalam menaklukan isterinya, termasuk ketika sewot (nusyuz) sekalipun. Disamping itu jika pisah tidur diartikan dengan pisah ranjang atau apalagi pisah rumah, maka efek psikologis yang harus dipikirkan adalah dampak negatif bagi anak-anak yang menyaksikan kejanggalan ayah-ibunya, mengapa pisah ranjang dan pisah kamar diruang berbeda? Ada apa gerangan? Selain itu, bisa jadi langkah yang salah itu, tidak hanya memacetkan perundingan dan proses penyelesaiannya, namun dikhawatirkan juga tersebarnya informasi dan bisa saja mengurus kepada isu negatif pada pihak ketiga, misal saja orangtua, mertua, atau saudara. Sementara solusi tidak kunjung terselesaikan, bahkan semakin rumit, karena masuknya kepentingan pihak lain atau intervensi dari luar.
Hal yang demikian tidaklah dikendaki oleh Islam. Pengertian ini juga diperkuat oleh penjelasan Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir didalam kitab tafsirnya, ketika menafsirkann ayat 34 surat An Nisa’ tersebut.
Ketiga, apabila kedua langkah upaya perbaikan antar keduanya tidak membuahkan hasil, sang suami boleh memukul isterinya. Pukulan disini adalah pukulan yang mendidik yang tidak menimbulkan luka, tidak mencederai badan, dan tidak meremukkan tulang (Tafsir Ruhul Ma’ani; Al Alusi, 5/ 2; Ibnu Katsir, Sayyid Qutb, dan al Qurtubi).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Pukullah mereka (isteri-isteri) apabila mereka tidak menaati kalian dalam berbuat kebaikan dengan (pukulan yang) tidak mencederai” (Tafsir Ath Thabari, 5: 67).
Di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, dari Jabir RA dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Takutlah kepada Allah tentang wanita (isteri), karena sesungguhnya mereka itu adalah tawanan bagi kamu. Kamu berhak melarang seorang yang kamu benci memasuki rumahmu. Jika mereka melakukannya pukullah (isteri-isteri kamu) dengan pukulan yang tidak menimbulkan luka; dan mereka  (isteri-isteri kamu) berhak mendapatkan rezeki dan pakaian secara baik”  (Jilid I hlm 492).
Langkah-langkah seperti diatas harus dilakukan dalam waktu yang tak terbatas, boleh dengan bertahap dan boleh juga secara paralel, tergantung dari kondisi/ tabiat dari wanita (isteri) yang bersangkutan.
Dalam hal ini DR Rauf Syalabi, dalam bukunya “Ad da’watul Islamiyah, fi Ahdihal Madani; Bab Manhaj bina’ul usrah, dia mengatakan: “Langkah-langkah tersebut bisa diaplikasikan pada tiga kondisi.
Pertama, cukup dengan nasihat yang baik. Bagi tipe wanita yang tidak senang dengan nasihat dan bahasa keras, dan menjadi semakin sombong dengannya, maka akan lebih tepat bila diberikan nasihat dengan baik, lembut, dan dialogis, dengan harapan perasaannya mudah tersentuh melalui kasih sayang, ia merasa terhibur, dan dengan menggunakan kata-kata manis, dia bisa terhindar dari godaan dan tipu daya iblis.
Kedua, untuk wanita tipe lain, memiliki perasaan lembut, yang tidak tahan dengan pemisahan atau dekapan suami di tempat tidur, tentu dia akan sangat gelisah dan tersiksa apabila tidur tidak berada dalam dekapan kasih sayang suaminya. Tipe wanita demikian akan lebih sesuai didekati dengan solusi kedua yaitu pisah tidur.
Ketiga, adapula tipe wanita yang keras kepala dan tak mempermasalahkan tidur sendiri atau bersama suami; tentu saja akan sulit dinasehati atau dipisahkan tidurnya. Sebab tidak akan membawa perubahan baginya. Maka akan lebih tepat jika didekati dengan cara ketiga, yaitu pemukulan. Pemukulan sebagai tindakan penyelesaian dan didikan, sangat dibatasi, yaitu “jangan memukul muka dan jangan pula mencela”.
Apabila kita cermati dengan sungguh-sungguh, maka langkah-langkah penyelesaian yang ditawarkan Islam, sungguh sangat fitriyah, dengan menempatkan kepentingan  dan keutuhan keluarga pada posisi yang paling utama, termasuk menjaga hubungan dengan anak-anaknya. Dan sebenarnya yang ingin dituju oleh Islam dengan solusi bertahap dan berjenjang tersebut tidak lain adalah dalam rangka “memperpanjang waktu bagi suami-isteri untuk tidak segera menjatuhkan vonis dan mengakhiri kemelut itu dengan cerai”. Karena dalam interval waktu penyelesaiannya itu, baik suami maupun isteri memiliki cukup waktu untuk merenung dan terus mempertimbangkan yang terbaik, sebelum sampai kepada keputusan cerai yang diwarnai emosional.
Bahkan diayat lain dalam surat yang sama, Allah Ta’ala mengingatkan kepada setiap keluarga Muslim, terutama suami, apabila menghadapi persoalan dengan isteri sampai ketingkat mutung atau tidak suka terhadap tingkah laku isterinya. Sekali lagi Allah masih mengingatkan bahwa bisa jadi sesuatu itu tidak kamu sukai, namun Allah suka terhadapnya dan dibalik (ketidak sukaann suami atas isterinya) itu terdapat kebaikan yang banyak. QS 4: 19 berbunyi: “Dan pergaulilah mereka (isteri-isterimu) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Dalam mengomentari ayat ini, Sayyid Quthb mengajak kita berpikir bahwa ikatan nikah itu tidak semata dibangun oleh interes biologis, hubungan fisik dan cinta saja, akan tetapi terikat oleh Yang dilangit, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga tugas kita adalah berusaha sungguh-sungguh memelihara keutuhan lembaga keluarga, tidak gegabah dalam menjatuhkan vonis cerai, karena akan berakibat negatif baik bagi keduanya maupun bagi perkembangan dan pendidikan anak-anaknya, terutama yang masih dalam pemeliharaan dan perawatan mereka berdua (Tafsir Zhilal al Qur’an, Surat An Nisa’: 34 – 35).

Jika Penyebab Nusyuz itu Suami atau Keduanya
Jiak ayat 34 surat An Nisa’ memberikan solusi bertahap apabila nusyuz itu datang dari pihak isteri, maka ayat 35 nya adalah apabila nusyuz itu datang dari pihak suami atau keduanya.
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, kirimlah seorang hakam (juru damai) dari pihak laki-laki dan seorang hakam dari pihak wanita. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ibnu Katsir telah menyebutkan, “Al Qur’an telah menyebutkan kondisi ketika nusyuz itu datang dari pihak isteri. Kemudian Al Qur’an menyebutkan kondisi lain, yaitu apabila nusyuz berasal dari kedua belah pihak” (1: 564).
Yang paling penting untuk dipahami adalah tentang penyebutan hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak isteri, dan masing-masing memiliki niat suci untuk membantu menyelesaikan masalah dan memelihara keutuhan lembaga keluarga yang sedang bersengketa. Islam sangat memberi perhatian tentang penting menjaga rahasia, termasuk rahasia pada pihak suami maupun isteri dan seisi rumahnya.
Seorang Hakim tidak boleh bersikap keras kepala terhadap lawannya, tak boleh mempertahankan kesalahan orang yang diwakilinya, dan tidak boleh memihak kepada orang yang memiliki hubungan dengan niat yang tulus dan suci dengan tujuan memperbaiki dan mewujudkan keesempurnaan, serta mengembalikan taman keindahan lembaga keluarga.
Dari Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalhah Radiyallahu ‘anhu mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk mengirimkan seorang laki-laki yang shalih dari pihak suami dan dan dari isteri untuk menyelidiki, siapakah dianttara keduanya yang bersalah. Jika pihak suami yang bersalah, dia terhalang dari isterinya, dan nafkah dikembalikan kepadanya. Jika pihak isteri yang bersalah, dia terhalang dari suaminya, dan suaminya tidak boleh memberikan nafkah kepadanya. Jika kedua belah pihak menghendaki untuk bercerai atau bersatu kembali, kedua jalan itu boleh ditempuh. Jika kedua utusan berpendapat agar pasangan suami isteri tersebut bersatu kembali, namun satu diantaranya rela, sedangkan yang lain tidak menghendakinya, kemudian salah satunya meninggal dunia, maka pihak yang mau bersatu kembali mendapat hak waris dari pihak yang tidak rela, sedangkan pihak yang tidak menghendakinya tidak mendapatkan hak waris dari pihak yang rela” (HR Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir: Tafsir Ibnu Katsir, 1: 493).
Al Alusi mengatakan “Dikhususkannya “keluarga” dalam ayat diatas (QS 4: 35) sebab mereka lebih dituntut untuk menyelesaikan konflik keluarga dan mereka lebih mengetahui kondisi keluarga mereka, sejauh mana cinta dan kebencian yang mereka miliki serta keinginan untuk bersatu atau bercerai” (Tafsir Ruhul Ma’ani 5: 26).
DR Rauf Syalabi didalam kitabnya “Ad Da’watul Islamiyyah Fi Ahdilal Madani; Bab Manhaj bina’ul usrah” menyimpulkan, bahwa dalam penyelesaian Qur’an diatas maka anda dapat menarik kesimpulan dalam empat hal:
Pemeliharaan terhadap rahasia keluarga
Usaha untuk tetap hidup didalam keluarga
Tidak tergesa-gesa untuk bercerai
Terlepas dari apa yang disebut dengan “Rumah keta’atan”
Lebih lanjut Alllah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa dari keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz) maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS 4: 128).
Allah mengingatkan bagwa manusia itu pada tabiatnya kikir, maka berdamai dalam keadaan kikir adalah lebih baik. Ini artinya, bahwa bagaimanapun keadaannya, tetap saja jalan damai dan bersatu kembali dalam lembaga keluarga adalah lebih baik bagi mereka.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------