Seri Kado Pernikahan -8


Pasal keempat.
Amaliyah Orangtua Pada Hari Ketujuh Kelahiran Anak.

Yang termasuk amalan sunnah bagi orangtua dalam menghadapi hari ketujuh kelahiran anaknya yaitu: pemberian nama, mencukur rambutnya, mengaqiqahkan dan mengkhitannya.
4.1 Pemberian Nama Anak
Kenyataan kadang menunjukkan sebagian anak bangga sekali dengan nama pemberian orangtuanya, dan terkadang pula ada anak yang malu menyandang nama dari orangtuanya. Benar, secara psikologis bisa saja terjadi.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa memang ada hubungan erat antara nama dengan pemiliknya, dengan kata lain, bahwa nama berpengaruh terhadap kedamaian anaknya.
Pemberian nama yang baik bagi orangtua terhadap anaknya adalah ketika memberikan nama anaknya dengan nama yang baik dan kuniyah (nama panggilan) yang terhormat juga. Demikianlah ketika Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk menggunakan nama-namaNya yang indah (Asma’ul Husna) seperti firman Nya: “Milik Allah lah nama-nama yang indah itu, maka bermohon lah kepada Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkan lah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al A’raf: 180).
Diriwayatkan dari Abu Ya’la didalam musnadnya 1/ 259 dengan sanad shahih dari Muhammad bin al Hanafiyah dari Ali RA, bahwasannya dia meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menggunakan nama beliau dan kuniyahnya apabila ia dikaruniai anak lagi. Lalu dia berkata: Maka Rasulullah SAW membolehkannya dan katanya: Dia itu bernama Muhammad dan kuniyahnya Abul Qasim. Berkata pertahqiqnya Husain Asad: diriwayatkan Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Sa’ad di dalam at Thabaqat, dan al Hakim didalam Mustadrak dan dishahihkannya oleh Adz Dzahabi.
Diriwayatkan juga oleh Abu Daud dari Abu Darda’ RA berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya kalian akan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka dari itu baguskanlah nama-nama kalian”. Hadits ini juga dikeluarkan Ibnu Hibban didalam shahinya dan perawinya tsiqat, hanya saja padanya terdapat perawi terputus.
Dallam kesempatan lain Rasulullah pernah berkata: “Barang siapa memiliki anak, maka baguskanlah nama dan pendidikannya”. Karenanya Rasulullah pernah merubah nama-nama sahabat yang tidak baik menjadi nama-nama yang lebih baik. Ketika Ali bin Abi Thalib menamai anaknya dengan Harb maka beliau menggantinya dengan nama Hasan, Husein, dan Muhsin. Beliau juga mengganti nama Al ‘ash dengan nama Muthi’ dan nama Ghurab dengan nama Muslim. Bahkan Nabi bersabda: Dan semurah bin Jundub, beliau berkata: “Rasulullah SAW melarang kami memberi nama budak kami dengan empat nama: Aflah, Rabah, Yasar, dan Najjih” (HR Muslim).
Tentang kuniyah atau laqob (nama julukan), biasanya ayah dan ibu bisa saja menggunakan nama kuniyah dengan nama anaknya yang pertama. Misal saja, kami dikaruniai anak pertama laki-laki dan kami beri nama Fahmi Fikri, maka kami bisa menggunakan kuniyah dengan  Abu Fahmi, begitu juga ibunya bisa menggunakan nama kuniyah Ummu Fahmi.
Namun terdapat riwayat, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang ayah yang mempunyai nama anak pertama barnama Qasim, untuk menggunakan nama kuniyah baginya dengan Abul Qasim, mengapa? Karena Abul Qasim adalah kuniyah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ada seorang datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia itu dikaruniai seorang anak lalu dia menamakannya dengan nama Muhammad. Kemudian kaumnya berkata kepadanya: “Kami tidak memanggilmu dengan nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam”. Lalu dia menemui Nabi sambil mengendong anaknya, seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah dikaruniai anak dan aku beri nama Muhammad, namun demikian kaumku berkata kepadaku, ‘kami tidak akan memanggilmu (karena) dinamakan dengan nama Muhammad’. Maka Rasulullah berkata: “Berilah nama kalian dengan namaku, namun jangan memakai kuniyah dengan kuniyahku, sebab sesungguhnya akulah pembagi yang membagi diantara kalian”.
Tentang pemakaian nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kuniyahnya, maksudnya Muhammad dan Abul Qasim, terdapat beberapa pendapat antara lain:
Mutlak makruh, berargumentasi dengan hadits diatas
Mutlak mubah, merujuk kepada hadits Abu Daud dari Aisyah RA, ia berkata: “Telah datang seorang wanita kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berkata,: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah dikaruniai seorang anak, lalu aku menamakannya dengan Muhammad dan kusebut ia dengan sebutan Abul Qasim. Kemudian diceritakan kepadaku bahwa engkau tak suka akan hal ini”. Beliau bersabda: ‘Apa yang telah menghalalkan namaku dan apa yang telah mangharamkan sebutan (kuniyah) namaku’. Imam Malik ketika ditanya penggunaan nama seperti itu, ia tidak bisa memberi komentar, karena tak ada larangan yang dikeluarkan tentangnya.
Tidak boleh menyatukan nama dengan kuniyah Nabi, berdasarkan pada riwayat Abu Daud didalam sunan-Nya dari Jabir RA, bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang membuat nama dengan namaku, maka ia tidak boleh mengambil kuniyah dari kuniyahku. Dan siapa yang mengambil kuniyah dari kuniyahku, maka ia tidak boleh membuat nama dengan namaku”. Juga riwayat Ibu Abi Syaibah dari Abdurrahman dari Umarah dari pamannya, ia mengatakan hahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jangan kalian menyatukan namaku dengan kuniyahku sekaligus”.
Larangan pemberian kuniyah dengan kuniyah Nabi itu hanya berlaku ketika beliau masih hidup. Namun ketika beliau telah wafat maka tidaklah mengapa seseorang menggunakan kuniyahnya.
Sedangkan syaithan adalah senang memberikan nama-nama buruk dan nama-nama yang bukan syari’ah. Imam Tarmidzi meriwayatkan dari Samurah bin Jundub RA berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda: “Ketika Hawa ‘alaihisallam hamil, iblis mengitarinya seraya membisikinya agar anaknya diberi nama Abdul Harits, sebab kalau tidak ia akan mati. Maka Hawa memberinya nama tersebut, dan dia pun hidup. Yang demikian ini termasuk wahyu (bisikan) syaithan dan perintahnya”.
Dalam riwayat lain, dari Tarmidzi yang meriwayatkan dari Umar RA yang berkata behwa telah bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya aku melarang kamu memberi nama dengan nama Raafi’, Barakah, dan Yasar”. Hadits ini menurut Abdul Qadir Al Arnauth sanadnya kuat, lihat Jami’ul Ushul, 1/ 271. Adapun Nabi suka mengganti nama-nama buruk menjadi yang lebih bagus, diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Aisyah RA. (lihat Shahihul Jami’i nomor 4994; dan lihat Silsilah al haditsus shahihah, nomor 207).
Bagaimana caranya kita memilihkan nama yang baik buat anak kita? Terdapat tiga kriteria yang menentukan bagusnya sebuah nama:
Hendaknya nama tersebut diambil dari nama Ahli Agama, baik dari kalangan Nabi, Rasul dan hamba-hamba Nya yang shahih (dari masa ke masa, shabat, tabi’in, tbi’it tabi’in, para imam, dan ‘ulama-ulama besar serta mujahid-mujahid ummat ini), tentu saja dengan niat agar anak tersebut lebih bertaqarrub kepada Allah, mensyi’arkan tauhid dan agar anak bisa meneladani sekaligus menghidupkan nama-nama Ahli Agama yang ditiru namanya tersebut.
Hendaknya nama mengandung sedikit huruf, ringan untuk diucapkan dengan lisan, dan mudah dilafadzkan, dan cepat ditangkap pendengaran.
Tentu saja harus mengandung makna yang bagus dan indah.
(Manhajut Tarbiyyyah an Nabawiyyah Lith Thifli, hlm 62 – 63).

4.2 Mencukur Rambut Bayi
Terdapat riwayat yang memberitakan bahwa Fatimah RA menimbang rambut (setelah dicukur) Hasan dan Husein, dan juga Ummu Kultsum melakukan hal yang sama. Lalu ia mensedekahkan denggan (nilai) seberat bobot perak.
Ibnu Ishak menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Fatimah ketika ia melahirkkan Hasan: “Ya Fatimah, cukurlah rambutnya, dan sedekahkanlah (setelah dikurs dengan) harga bobot timbangan perak, lalu ia pun menimbangnya maka ternyata timbangannya seharha satu dirham atau beberapa dirham.
Adapun mengapa harus dengan perak dan bukannya emas, sebagian ‘ulama beranggapan karena emas jauh lebih mahal dari perak, sementara yang melahirkan anak tidak semuanya orang mampu (kaya). Padahal ini termasuk amalan sunnah yang kesempatannya bukan saja untuk kalangan orang mampu. Pertimbangan ini antara lain dikemukakann oleh Syaikh Ad Dahlawi.

4.3 Aqiqah
Yaitu dengan menyembelihkan seekor kambing bagi anak perempuan dan dua ekor kambing bagi anak laki-laki.
Imam Ahmad meriwayatkan juga Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, al Hakim, dan Ibnu Hibban di dalam shahihnya dari Ummu karz al Ka’bain, bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW tentang aqiqah. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “untuk anak laki-laki dua ekor domba dan untuk anak perempuan satu domba, tidak menjadi masalah jantan atau betina”.
Ashabus Sunan meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “setiap anak adalah tergadaikan dengan aqiqah, disembelihkan (kambing) baginya pada hari ketujuh, yang pada hari itu dia diberinya nnama dan dicukur rambut kepalanya” (Shahih Jami’, 4184; juga diriwayatkan Tirmidzi dan al Hakim).
Tersebut juga dalam riwayat lain yang marfu’ dari Thabarani dan Adl Dliya’ dari Buraidah, “Aqiqah itu disembelihkan (domba) untuk (bayi) pada hari ketujuh, atau hari keempat belas atau hari kedua puluh satu” (Hadiits ini shahih, lihat Shahihul Jami’, 4132).
Mengingat pentingnya sunnah ini, maka kalangan salaf lebih mementingkan harinya daripada binatang ternaknya. Artinya bahwa hari yang paling baik (sunnah) adalah hari ketujuh. Namun ketika hari ketujuh itu, belum tersedia seekor kambing pun karena tak tersedia dana, maka ‘ulama salaf tidak menanti hari keempat belas atau kedua puluh satu (yang belum tentu juga ada kambing yang bisa diharapkan) apabila pada hari ketujuh itu hanya tersedia seekor unggas (di negeri kita bisa saja berbentuk seekor ayam, itik, dan  sejenisnya), maka mereka tetap melaksanakan aqiqah walaupun hanya dengan memotong seekor unggas asalkan pada pada hari ketujuh. Pertimbangan logisnya, karena hari tidak perlu dibeli, sedangkan binatang harus dibeli.
Keterangan ini setidaknya disebutkan oleh Imam Malik didalam al Muwatha’ nya dengan sanad dari Muhammad bin Ibrahim bin al Harits at Taimi yang mengatakan: “Saya telah mendengar dari ayahku bahwa dibolehkan (termasuk sunnah juga) aqiqah sekalipun dengan seekor unggas” (Al Muwaththa’- Kitab Aqiqah).
Syaihk al Kandahlawi menyukai kambing jantan daripada betina, untuk lebih mewujudkan syukur dan niat seseorang.
Sebenarnya bangsa Arab Jahiliyah telah mentradisikan potong hewan ini dalam upacara kelahiran anak mereka, hanya saja disana terdapat praktek-praktek jahiliyah, seperti mengoleskan darah hewan kekepala anaknya.
Buraidah meriwayatkan, “Kami pada masa Jhiliyah, apabila lahir bagi kami seorang anak maka kami menyembelihkan untuknya seekor kambing, dan kami mengolesi kepala anak tersebut dengan darahnya. Namun ketika Islam datang, praktek itu kami teruskan (dalam hal menyembelih hewan) hanya saja tanpa harus mengoleskan kepala anak kami dengan darahnya, dan kami menggantinya dengan mengolesinya ke kepala anak kami dengan parfum wangi super (za’faran)” (HR al hakim didalam al Mustadrak-nya, 4: 238; dan dia mengatakan shahihnya hadits ini menurut syarat Bukhari Muslim, Adz Dzahabi menguatkannya).
Ketika hendak menyembelih hewan aqiqah, disunnahkan untuk membaca: “Dengan nama Allah, ini aqiqah si fulan (sebutkan nama anaknya), untuk-Mu dan diserahkan kepada-Mu”.
Tulang-tulang aqiqah tidak boleh dipotong-potong (seperti kesalahan lazim lingkungan kita, menghancurkan tulang sampai kecil-kecil, bahkan yang sesatnya lagi adalah, sebagian daging pilihannya telah habis oleh keluarga dan kerabatnya, biasanya bagian yang cocok untuk disate), seharusnya cukup dilolosi saja dari sendi-sendinya dan jangan sampai terpotong-potong.
Namun ada sebagian ‘ulama yang tidak membatasi pada hari ketujuh, keempat belas, kedua puluh satu, dan tentu bisa dilakukan kapan saja, jika hewan aqiqah menjadi titik perhatiannya.
Sekilas tentang disyari’atkannya Aqiqah:
Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan, dalam bukunya “Tarbiyyatul Awlad Fil Islam” mengatakan:
“Adapun tentang disyari’atkannya aqiqah, maka menurut para ahli fiqih dan imam mujtahid padanya terdapat tiga pendapat:
Pertama: Mereka yang berpendapat disunatkan dan dianjurkan, yaitu Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan sebagian besar ahli fiqih, ilmu ijtihad. Mereka berargumentasi dengan hadits-hadits yang telah dipahami bersama. Mereka juga menolak pendapat orang-orang yang berpendapat bahwa aqiqah itu wajib dengan ungkapan sebagai berikut:
Jika aqiqah itu wajib, tentu kewajibannya akan diketahui didalam ad-din. Dan tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjelaskan wajibnya kepada umat dengan suatu keterangan yang diperkuat dengan Hujjah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menggaris bawahi persoalan aqiqah ini dengan kesukaan orang yang melakukannya. Beliau bersabda: “Barang siapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia menyukai untuk membuktikannya (mengaqiqahkannya), maka hendaklah ia melakukannya”.
Perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam didalam persoalan aqiqah ini tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi menunjukkan suatu anjuran.
Kedua: Pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah itu diwajibkan. Mereka itu adalah Imam Al-Hasan Al-Bashri, Al-Laist Ibnu Sa’ad dan  lain-lain. Mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muraidah dan Ishaq bin Ruhaiwah: “Sesungguhnya manusia pada hari kiamat nanti akan dimintakan pertanggung jawabannya atas aqiqah, sebagaimana akan dimintai pertanggung jawabannya atas shalat-shalat lima waktu”.
Pengambilan dalilnya adalah, bahwa anak itu tidak akan dapat memberikan syafa’at kepada kedua orangtuanya sebelum diaqiqahi. Inilah yang menguatkan kewajibannya.
Ketiga: Pendapat yang menolak bahwa aqiiqah itu disyari’atkan. Mereka adalah para ahli fiqih Hanafiyyah. Argumentasi yang dikemukakan adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abi Rafi’ RA, bahwa  ketika ibu Al Hasan bin Ali, Fatimah RA ingin mengaqiqahinya dengan dua ekor domba, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah engkau mengaqiqahkannya, etapi cukurlah rambut kepalanya dan bersedekahlah dengan perak sebanyak berat timbangan rambutnya itu. Kemudian dilahirkanlah Husain dan ia melakukan seperti itu”.
Hukum Umum yang Berkenaan dengan Aqiqah
Masih menurut  Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan, yang mana dia mengatakan, bahwa dalam aqiqah ini terdapat hukum umum yang berkenaan dengan aqiqah yang perlu diperhatikan, yaitu:
Para ‘ulama ittifaq (bersepakat) tentang adanya kesamaan dalam beberapa hal yang berkenaan dengan didalam aqiqah yang dibolehkan sebagaimana halnya dalam ibadah qurban, yaitu seperti sembelihan itu tidak cacat.
Tidak boleh kooperatif, tidak seperti dalam qurban, seekor sapi untuk tujuh orang misalnya, akan tatapi didalam aqiqah itu satu domba untuk seorang anak perempuan dan dua ekor domba untuk seorang anak laki-laki.
Boleh saja mengganti domba dengan sapi, unta, atau bahkan seekor unggas (seperti menurut Imam Malik didalam al Muwaththa’). Namun tetap menghidupkan sunnah dari ketujuh-nya, tidak menunda-nunda, apapun rezeki ketika itu.
Hikmah Disyariatkannya Aqiqah
Aqiqah itu suatu pengorbanan yang akan mendekatkan anak kepada Allah pada awal menghirup udara kehidupan.
Aqiqah itu sebagai pengorbanan bagi anak dari berbagai musibah dan kehancuran, sebagaimana Allah telah mengurbankan Ismail ‘alaihisallam dengan penyembelihan yang besar.
Aqiqah itu merupakan bayaran hutang anak untuk memberikan syafa’at kepada kedua orangtuanya.
Aqiqah itu menampakan rasa gembira dengan tegaknya syariat Islam dan lahirnya warga baru mukmin yang akan memperbanyak ummat Muhammad SAW pada hari kiamat.
Aqiqah itu akan memperkuat tali ikatan cinta diantara anggota masyarakat.
Aqiqah itu merupakan sumber sosial baru yang menerapkan dasar-dasar keadilah sosial dan menghapus gejala kemiskinan di masyarakat.
Dan masih banyak lagi tentu hikmah dari pelaksanaan ibadah aqiqah anak ini.
(Tarbiyyatul Awlad Islam, jilid I halaman 59 – 107, diringkas)


4.4 Mengkhitankan Anak
Khitan menurut bahasa dan syariat
Untuk mengetahuai batasan pengertian tentang khitan, sebaiknya kita simak lebih dahulu beberapa riwayat yang berkenaan dengannya, antara lain:
Imam Ahmad At Tarmidzi, An Nasa’I meriwayatkan dari nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Jika dua khitan (kemaluan laki-laki dan wanita telah bertemu, maka wajiblah mandi”.
Kemudian Imam Ath Thabrani meriwayatkan: “Jika dua khitan telah bertemu dan hasafat telah hilang (dalam vagina wanita) maka wajiblah mandi, baik keluar air mani ataupun tidak atau belum”.
Tentang persyaratan khitan antaralain ditunjukkan oleh riwayat dibawah ini: Imam Ahmad meriwayatkan didalam musnadnya, dari ‘Amar bin Yasir, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diantara fitrah adalah terdapat didalam lima perkara: yaitu berkumur, menghirup air dengan hidung, mencukur kumis, membersihkan gigi, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu (rambut) yang tumbuh disekitar kemaluan”.
Di dalam shahih Bukhari Muslim dari Abu Hurairah RA, ia berkata: “Fitrah ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu (rambut) disekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak”.
Adnan Hasan Shalih Baharats dalam bukunya “Mas’uliyyatul Abil Muslim...” mengatakan: “Khitan adalah menghilangkan kulit yang terdapat dikepala zakar. Khitan hukumya sunnah, khitan bermanfaat bagi kesehatan. Diantara manfaatnya adalah mencegah kanker, ngompol, dan menghindarkan anak dari mempermainkan alat kelamin. Apabila kulup itu tidak dipotong dapat mempengaruhi syaraf-syaraf kelamin, yang mendorong anak untuk mempermainkannya. Tidak perlu dikhitan bagi anak yang terlahir dalam keadaan sudah dikhitan. Dan merupakan sunnah mengadakan hajatan atau pesta pada waktu khitan”.
Selanjutnya ia mengatakan, ‘mengenai waktu pelaksanaan khitan terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Sebagian berpendapat bahwa makruh hukumnya melaksanakan khitan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi. Menurut mazhab Maliki, khitan dilaksanakan pada saat anak mulai disuruh shalat yaitu pada usia 7 – 9 tahun. Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa lebih baik mengkhitan anak pada saat menjelang baligh. Masalah waktu khitan tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur waktu pelaksanaannya. Oleh karena itu seorang ayah dapat melakukan khitan pada hari ketujuh atau sesudahnya bahkan boleh juga sebelum baligh. Yang harus menjadi pedoman bagi ayah, bahwa ketika anak baligh, ia harus sudah dikhitan. Sebagian ulama memperbolehkan mengkhitan pada hari-hari pertama anak dilahirkan. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan.
Adapun menyangkut hukum khitan, maka terdapat perbedaan diantara kalangan fuqaha, antara yang mewajibkan dan yang menganashri, Imam Abu Hanifah, dan sebagian pengikut  mazhab Hambali.
Alasan mereka adalah hadits riwayat Imam Ahmad Rahimahullah dari Syidad bin Aus dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Khitann itu disunatkan bagi kaum laki-laki dan dimuliakan bagi kaum wanita”.
Mereka juga menghubungkan dengan riwayat lain, dari Al Hasan Al Bashri, yang mengatakan bahwa, “Orang-orang telah masuk Islam bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu orang hitam, orang putih, orang Romawi, orang Persia dan Habasyah. Namun beliau tidak memeriksa seorangpun diantara mereka (sudah dikhitan atau belum)”.
Jika khitan itu wajib hukumnya, maka tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menerima Islam mereka, sebelum mereka dikhitan.
Sementara bagi kalangan fuqoha yang menganggap wajib hukum khitan itu, maka mereka berhujjah dengan riwayat Imam Malik yang sungguh menekankan sehingga ia mengatakan, “Barang siapa yang belum dikhitan, maka tidak boleh menjadi imam (shalat) tidak diterima kesaksiannya”. Diantara mereka yang mewajibkan khitan adalah: AsySyabid’ah, Rabi’ah, Al Auza’I Yahya bin Said Al Anshori, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad.
Imam-imam diatas mengajukan dalil wajibnya khitan itu sebagai berikut:
Imam Ahmad dan Abu Dawud eriwayatkan dari “Utsmain bin Kalib” dari bapaknya dari kakeknya bahwa ia telah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Cukurlah rambut kekufuranmu (yang menutupi sekitar kemaluan) dan khitanlah”.
Harb meriwayatkan didalam Mas’ilnya dari Az Zuhri ia mengatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barang siapa yang masuk Islam, maka wajiblah ia berkhitan, sekalipun ia sudah dewasa”.
Al Baihaqi meriwayatkan dari Musa bin Ismail dari Ali RA, bahwa ia berkata “Kami mendapatkan tulisan pada ulu pedang Rasulullah SAW, pada lembaran (yang berbunyi) sesungguhnya orang yang tidak dikhitan itu tidak akan dibiarkan masuk Islam sebelum ia dikhitan:.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim seorang hanif”. Termasuk didalamya khitan. Dan ini didukung oleh Bukhari Muslim yang menyatakan bahwa Ibrahim ‘alaihisallam telah dikhitan ketika ia berumur 80 tahun. Dan dalam riwayat lain dikatakan, bahwa Nabi Ibrahim adalah orang pertama yang menjamu tamu, orang pertama yang memakai celana dan yang pertama dikhitan. Setelah Ibrahim khitan ini, terus berlaku bagi setiap Rasul dan pengikutnya, hingga Rasulullah Muhammad diutus.
At Tirmidzi dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Ayyub, ia mengatakan bahwa: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Ada empat perkara yang termasuk dalam sunnah-sunnah para Rasul, yaitu khitan, memakai wangi-wangian, bersiwak, dan menikah”.
Namun dari sekian perbedaan diantara ulama dan fuqoha ini maka dapatlah disimpilkan bahwa “Hukum khitan itu wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi wanita”. Dan khitan bagi laki-laki berbeda dengan khitan kaum wanita, baik dalam bentuk, hukum, dan faidahnya (Tarbiyatul Walad fil Islam, DR. Abdullah Nasih Ulwan, jilid I hlm 95 – 107).
Hikmah Khitan
Khitan merupakan pokok fitrah, syiar Islam dan syariat
Khitan merupakan salah satu masalah yang membawa kesempurnaan ad-din yang disyariatkan Allah melalui lisan Ibrahim ‘’alaihisallam
Khitan itu membedakan antara kaum muslimin dengan non muslim
Khitan merupakan pernyataan ubudiyah terhadap Allah, ketaatan melaksanakan perintah, hukum dan kekuasaannya

Adapun mengenai dampak kesehatannya adalah sebagai berikut:
Khitan itu membawa kebersihan, keindahan dan meluruskan syahwat
Khitan merupakan cara sehat yang memelihara seseorang dari berbagai penyakit
Dengan terkelupasnya kuluf (kulit ujung dzakar) berarti seseorang akan selamat dari peluh berminyak dan sisa kencing yang mengandung lemak dan kotoran
Khitan dapat mengurangi kemungkinan berjangkitnya kanker
Jika kita bergegas mengkhitan anak, artinya memungkinkan kita dapat menghindarkan anak dari mengompol
Khitan dapat meringankan banyaknya pemakaian kebiasaan yang bersifat rahasia bagi orang baligh. (Tarbiyatul Walad fil Islam).
4.5 Menyusui Anaknya
Adnan Hasan Shalih Baharats mengatakan: “Allah memerintahkan kepada para Ibu uuntuk menyusui anaknya hingga berusia dua tahun”.
Allah berfirman:
“Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS 2: 233).
Allah menganjurkan kepada para Ibu untuk memberikan makanan kepada bayinya berupa ASI (air susu ibu) yang telah diberikan Allah kepadanya. Allah menentukan waktu penyusuan selama dua tahun, tetapi boleh juga menyapih sebelum berumur dua tahun. Yang paling utama adalah menyusui selama dua tahun penuh. Jika mengandalkan susu kaleng biasanya anak akan mudah terkena penyakit dibanding dengan anak yang diberi ASI. Jalinusy mengatakan bahwa memberi ASI jauh lebih baik, karena pada saat Ibu memberikan ASI pada anak akan timbul komunikasi psikologis antara anak dan ibu. Pada masa inilah seorang Ibu dapat mencurahkan kasih sayang dan kelembutannya kepada anaknya. Yang jelas kasih sayang yang merupakan makanan psokologis tidak kalah pentingnya dengan makanan tubuh. Apabila ternyata susu Ibu kurang baik atau kering, maka ayah harus menyediakan susu tambahan atau menyusukan kepada orang lain sebagai perwujudan tanggung jawabnya terhadap anak.. dalam kaitannya dengan menyusukan anak kepada orang lain, ayah harus memilih orang yang bertaqwa dan wara’.
Ali Muhamad Adib dalam kitab Manhajut Tarbiyah ‘Indal Imam’, Ali menulis bahwa Ali bin Abi Thalib RA berpesan bahwa tidak boleh menyusukan anak-anak kkepada ppelacur dan orang gila, karena air susu dapat mempengaruhi anak. Selanjutnya Imam Ghazali menguatkan dalam kitab ‘Ihya Ulimuddin’ bahwa orang yang menyesui harus dipilih orang yang shaleh. Alasannya karena air susu yang berasal dari makanan yang haram tidak mengandung berkah. Air susu ikut andil dalam pertumbuhan kepribadian anak. Apabila air susu berasal dari makanan yang haram maka akan berpengaruh buruk terhadap perilaku anak.
Sebaiknya suami tidak bersenggama dengan isteri yang sedang menyusui, karena itu akan merugikan anak apalagi ketika isteri sedang mengandung, maka kadar susunya akan menyusut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semula melarang suami berhubungan dengan isteri yang sedang menyusui (Ghailah), tetapi kemudian memperbolehkannya. Sebenarnya larangan Rasulullah untuk bersenggema dengan isteri yang sedang menyusui bersifat membimbing ke arah yang lebih utama dan lebih baik.
Proses penyapiihan sebaiknya dilakukan secara berangsur-angsur. Hal ini dilakukan untuk menghindari bahaya psikologis terhadap anak. Sebaiknya penyapihan dilakukan pada saat cuaca tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Biasanya pada saat awal-awal penyapihan anak menangis terus menerus. Bila melihat kondisi seperti ini sebaiknya ayah tidak perlu risau. Tangisan yang berulang-ulang karena minta air susu itu bermanfaat untuk menguatkan utar (?) dan melonggarkan aliran nafas. Penyapihan harus terus dilakukan dengan cara berangsur-angsur dengan memperhatikan jiwanya serta mulai dilatih dengan makanan yang lainnya.

Pasal Lima
Pelik-pelik dalam Perkawinan dan Solusi Islaminya
Lembaga keluarga Islami bukanlah sebuah lembaga yang kebal terhadap setiap persoalan dan kendala, sehingga begitu mudah mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan penuh kasih sayang. Sekalipun kondisi semacam ini merupakan suatu kondisi yang diidam-idamkan oleh setiap pasangan, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala gambarkan lewat firmanNya.
Ikatan perkawinan adalah ikatan antar manusia yang memiliki kecenderungan-kecenderungan pasang dan surut yang saling berpasang-pasangan, dan bukan ikatan dua malaikat yang memang tidak diberi oleh Allah nafsu dan syahwat serta interes-interes lainnya.
Apabila kita buka surat An Nisa’ maka segera kita temukan ayat yang membolehkan seorang laki-laki beristerikan lebih dari  satu dan maksimal empat isteri, dengan disertai pesan khusus dan perintah khusus pula, misalnya saja harus berlaku adil menyangkut kebutuhan fisik dan materi, seperti jadwal bergilir dan pemenuhan kebutuhan fisik yang adil. Namun tidak ada perlakuan adil menyangkut cinta dan bunga-bunganya.
Begitu pula disana kita jumpai ayat berkenaan dengan tuntunan jalan keluar dalam memecahkan persoalan nusyuz, talak, dan perlindungan-perlindungan yang dapat mempertahankan ikatan perkawinan. Ini membuktikan bahwa berkeluarga itu tidak selalu berada pada jalan tol, bebas hambatan, akan tetapi terkadang harus meniti jalan sempit, menanjak dan terjal. Dan itulah pelik-pelik dalam perkawinan.
Ketika mendidik anak, orangtua sering menghadapi kendala yang cukuup serius yang dapat menghambat proses pendewasaan dan keutuhan anak secara Islami. Informasi dan berbagai sarana, perundang-undangan, peraturan pemerintah, sekolah, dan sebagainya turut andil dalam mendidik, mengajar, dan mendidik anak.
Sebut saja yang sering kita jumpai diantara kendala-kendala pendidikan anak yang dapat mempengaruhi perkembangan otak, jiwa dan ruhani mereka, adalah hubungan ayah dan ibu yang tidak harmonis, perceraian, poligami, kehadiran pembantu rumah tangga, dan mungkin adanya intervensi pihak ketiga dari kalangan kerabat dekat. Selain itu juga yang sangat berpengaruh adalah televisi, bacaan yang tak bermoral, penyimpangan seksual, lagu dan musik, obat-obatan terlarang, jenis permainan yang diharamkan oleh agama, dll.
Iman ini berisikan dua perkara pokok dan besar, yaitu syukur dan sabar. Syukur artinya fi’lul ma’mur (mengerjakan yang diperintahkan) dan sabar artinya tarkul mahzhur (meninggalkan yang dilarang).
Dan diantara pesan agung yang berkaitan dengan tanggung jawab pendidikan orang tua, terutama bagi ayah adalah pesan untuk menyelamatkan diri dan anggota keluarganya dari api neraka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu...” (QS At Tahrim: 6).
Rasulullah SAW menjelaskan tentang orang yang istiqomah pada manhaj Allah pada waktu rusaknya ummat adalah seperti orang yang memegang bara api. “Akan datang suatu masa atas manusia, saat orang yang bersabar dalam memegang teguh agamanya seperti orang yang memegang bara api” (HR At Tirmidzi).


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------