MAKNA BIJAK (BIL-HIKMAH) MENURUT AL QUR’AN, AS SUNNAH
DAN PARA `ULAMA.
Dr. Nashir bin Sulaiman al `Umar, dan Dr. Sa`id bin Ali bin Wahf al Qahthani
Penerjemah: Abu Fahmi Ahmad, Ma`had Imam Bukhari Jatinangor.

1.2 Makna Al -Hikmah
1.2.1 Makna Menurut Bahasa

Ar – Raghib Al-Ashfahani, di dalam Al-Mufradat fi Gharibi -Quran, mengatakan :
“Al-Hikmah adalah mencapai kebenaran dengan ilmu dan akal. “ (Halaman 127 )

Imam Al- Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, mengatakan :
Al-Hakim artinya yang mencegah dari kerusakan. Oleh karenanya, ada istilah hakamatul-lijam, mengekang kuda agar tidak lari atau pergi tanpa tujuan. Surat ( ayat) Al-Muhkamah artinya terlarang untuk diubah dan ( dijaga ) dari setiap penggantian. Dengan demikian, kata al-hikmah dari sisi ini berarti, dapat mencegah pemiliknya dari kejahilan. Dikatakan, seseorang ahkam terhadap sesuatu, yaitu apabila seseorang mendalami sesuatu dengan baik sehingga dapat mencegahnya dari penyimpangan terhadap segala yang diinginkannya.” ( Al-Jami “ li Ahkamil-Qur’an, 1: 288 )

Al-‘Allamah Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, di dalam karya tulisannya mengatakan :
Dalam kata al-hikmah terdapat makna pencegahan, dan ini meliputi beberapa makna, yaitu:
Adil : Mencegah pelakunya dari terjerumus kedalam kezhaliman.
Hilm : Mencegah pelakunya dari terjerumus kedalam kemarahan.
Ilmu: Mencegah pelakunya dari terjerumus kedalam kejahilan.
Nubuwwah, Qur’an, Injil : Nabi tidak lain diutus untuk mencegah manusia dari menyembah selain Allah, dan dari terjerumus kedalam kemaksiatan serta perbuatan dosa. Al-Qur’an dan seluruh kitab samawiyyah diturunkan oleh Allah agar manusia terhindar dari syirik, mungkar, dan perbuatan buruk. ( Al-Hikmah fidDa’wah ilallah Ta’ala, 23-25)

1.2.2 Makna Menurut Al-Qur’an

Dr. Nashir bin Sulaiman Al-‘Umar menyebutkan dalam bukunya Al-Hikmah tentang makna al-hikmah menurut ahli tafsir, yaitu sebagai berikut :

“Lafash al-hikmah tersebut dalam Al-Qur’an sebanyak duapuluh kali, dalam 19 ayat dan 12 surat. Di antara ahli tafsir terdapat perbedaan dalam mengartikan kata al-hikmah yang terdapat dalam ayat-ayat Allah tersebut.
Ar-Razi mengatakan, bahwa kata al-hikmah di dalam Al-Qur’an ditafsirkan ke dalam 4 aspek :
Pertama, bermakna pengajaran Al-Qur’an, seperti tersebut dalam surat Al-Baqarah: 231
“Dan apa yang telah diurunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab ( Al-Qur’an ) dan al-hikmah, Allah memberikan pengajaran ( mau’izhah ) kepadamu dengan apa yang diturunkannya itu “
Kedua, bermakna pemahaman dan ilmu, seperti tersebut dalam firman_Nya :
“Kami berikan kepadanya al-hikmah selagi dia masih kanak-kanak.” ( Maryam:12 )
“Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqman.” ( Luqman :12 )
Makna al-hikmah dalam kedua ayat di atas adalah pemahaman dan ilmu.
Dalam ayat yang lain disebutkan :
“Mereka itulah orang-orang yang telah kami berikan kepada mereka kitab, hikmah, dan nubuwwah.” ( Al-An’am : 89 )
Maksud kata hikmah di sini adalah pemahaman dan ilmu agama.

Ketiga, al-hikmah bermakna An-Nubuwwah.
Firman Allah :

“Sesungguhnya Kami telah berikan Al-Kitab dan hikmah ( Nubuwwah ) kepada keluarga Ibrahim. “ ( An-Nisa :54 )
“Dan kami berikan kepadanya hikmah (nubuwwah ) dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.” (Shad:20)

Keempat, al-hikmah bermakna Al-Qur’an yang mengandung keajaiban-keajaiban dan penuh rahasia, seperti tersebut dalam firman-Nya:
“Barangsiapa yang dikaruniai hikmah, ia benar-benar telah dikaruniai kebajikan yang banyak.” ( Al-Baqarah:269;, dan lihat Al-Hikah, halama 14 )
         
Dan Fairuz Abadi berkata, bahwa makna al-hikmah dalam Al-Qur’an meliputi empat aspek, yaitu :
Pertama, nubuwwah dan risalah.
Allah berfirman :
“Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al-Kitab, hikmah, Taurat sera Injil…” (Ali’Imran:4 )
Al-hikmah pada ayat di atas bermakna nubuwwah dan risalah.
“Keudian Allah memberikan kepadanya ( Dawud ) pemerintahan dan hikmah ( nubuwwah ).”
( Al-Baqarah :251)
Kedua, al-hikmah bermakna Al_Qur’an, tafsirnya, dan ta’wilnya.
Firman Allah SWT:
“Allah member karunia al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki.. “ ( Al-BAqarah :269 )
Ketiga, bermakna pemahaman yang mendalam dan faqih dalam perkara agama.
Firman Allah SWT :
“ Kami berikan kepadanya al-hikmah selagi ia masih kanak-kanak.” ( Maryam:12 )
Keempat, pengajaran dan peringatan.
Allah berfirman:
“ Mereka itulah orang-orang yang Kami berikan kepada mereka Kitab, hikmah dan kenabian.” ( Al-An’ am : 89 )
Lihat kembali surat An-Nisa ayat 54
Kelima, hikmah bermakna ayat-ayat Al-Qur’an, perintah-perintah Nya dan larangan-larangan Nya.
Firman Allah :
“Serulah ( manusia ) kepada jalan Rabbmu dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” ( An-Nahl :;125 )
Keenam, bermakna hujjah akal yang sesuai dengan hukum-hukum syar’I, lihat surat Luqman ayat 12.
         
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “ Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata, bahwa al-hikmah berarti pengetahuan tentang Al-Qur’an, nasikh dan mansukhnya, yang muhkamah dan yang mutasyabihah, mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan, mana yang halah dan mana yang haram, serta yang semisal dengannya.” ( Tafsir Al_Qur’anil Azhim, I:322 )

Ibnu Katsir juga berkata, ‘Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma dengan sanad marfu’, bahwa al-hikmah berarti Al-Qur’an, maksudnya adalah tafsirnya.
         
Laits bin Abi Salim dari Mujahid berkata bahwa :   Yu’thil-hikmata man yasya’ ( Al-BAqarah :269 ) maknanya bukanlah nubuwwah, akan tetapi lebih dapat di artikan sebagai ilmu,pemahaman, dan Al-Qur’an.
         
Ibrahim An-Nahha’i berkata, bahwa al-hikmah berarti pemahaman.

Abu Malik bekata, bahwa al-hikmah adalah As-Sunnah. Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa al-hikmah adalah akal.

Malik berkata, bahwa menurut perkiraannya, yang di maksud al-hikmah adalah pemahaman terhadap ad-din ( agama Allah ) dan perkara yang Allah masukkan kedalam hati, yaitu berupa rahmat dan karunia Nya.

As-Suddi berkata, bahwa al-hikmah adalah nubuwwah. Setelah menyabutkan pendapat-pendapat sebagaimana tersebut di atas, Ibnu Katsir berkomentar, yang benar- menurut jumhur-, kata al-hikmah tidak hanya bermakna nubuwwah, namun lebih umum dari itu. Yang paling tinggi (maknanya ) adalah nubuwwah, adapun arti yang lebih khusus adalah risalah, ( sebab setiap Rasul itu Nabi dan bukan sebaliknya ). Dan mengikuti para Nabi merupakan kebaikan, sebagaimana diterangkan pada sebagian hadits.’
( Tafsir Ibnu Katsir, I:322 )

Ketika menafsirkan kata al-hikmah, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Al-hikmah adalah ilmu-ilmu yang bermanfaat dan pengetahuan-pengetahuan yang benar, akal yang lurus, kecerdasan yang murni, tepat dan benar dalam hal perkataan maupun perbuatan.”

Kemudian dia berkata, “seluruh perkara tidak akan baik kecuali dengan al-hikmah, yang tidak lain adalah menempatkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya; mendudukkan perkara pada tempatnya, mengundurkan ( waktu ) jika memang sesuai dengan kondisinya, dan memajukan ( waktu ) jika memang sesuai dengan yang dikehendaki.” (Lihat : Taisirul-Karimir-Rahman fi Tafsiri Kalamil-Mannan, Abdurrahman As-Sa’di, I:322 )

Al-Qasimi berkata, “sebagian besar ulama mengatakan bahwa al-hikmah adalah memahami secara mendalam tentang ilmu dan amal. Dengan ungkapan lain, mengetahui kebenaran dan megamalkannya. “ ( Lihat Tafsir Al-Qasimi, II:245)

Sedang Ar-Razi berkata, “yang dimaksud dengan al-hikmah adalah ilmu atau perbuatan yang tepat dan benar.” ( Tafsir Ar-Razi, VII:767 )

Rasyid Ridla menafsirkan kata al-hikmah sebagai berikut, “ Al-hikmah adalah yang membedakan antara ilham ilahiyahdan bisikan syaithan yang terjadi pada diri manusia.” ( Tafsir Al-Manar, III:75 )
         
Al-Alusi berkata, “Al-hikmah adalah akar kata dari Aliihkam yaitu memahami perkara secara baik dalam hal ilmu, atau amalan, atau perkataan, atau ketiiga-tiganya.” ( Lihat Ruhul-Ma’ani, II:41 )

Adapun Ibnu Asyur berkata, “Al-hikmah adalah mengetahui tentang hakikat sesuatu  sesuai dengan upaya yang dikerahkan, atau tidak memandang rancu terhadap hakikat-haikat yang mutasyabihat, dan tidak salah dalam memberikan alasan dan sebab-sebabnya.” ( Ath-Tahrir wat Anwir III: 61 )

Sebagai penutup dari berbagai perkataan mufssirin tentang lafazh al-hikmah, maka kami kutipkan perkara Sayyid Quthb rahimahulah. Beliau mengatakan, “Al-hikmah adalah keseimbangan; mengetahui alasan dan tujuan; bashirah yang membimbing seseorang kearah tingkah laku dan perbuatan yang baik dan benar. “ ( Fi Zhilalil- Qur’an, I: 312 )

Perkataan para mufasir ( ahli tafsir ) ketika menafsirkan makna al-hikmah yang terdapat dalam Kitabullah, dapatlah kami ringkas dalam dua penafsiran, yaitu :
An-nubuwwah.

Ilmu dan pemahaman yang mendalam, taufiq, bashirah, dan menempatkan sesuatu pada tempatnya, semuanya memiliki makna yang berdekatan.

As-Sunnah adalah penafsir Al-Qur’an, yaitu sebagai sumber hukum kedua. Oleh karena itu, saya ingin menampilkan sebagai hadits yang menerangkan tentang al-hikmah.

Dalam hal ini terdapat sejumlah hadits shahih, namun lebih banyak yang lemah. Tentu, saya hanya menyampaikan beberapa hadits shahih secara ringkas dalam bab ini, di samping menyebutkan sedikit hadits yang lemah, khususnya yang telah masyhur di kalangan kaum muslimin.

1.2.3.1 Menurut Hadits Shahih
a. Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, ia berkata, “ Rasulullah saw memelukku seraya berkata :
“Ya Allah, ajarkanlah kepadanya al-hikmah.” ( HR. Bukhari )

Imam Bukhari berkata, “ Al-hikmah artinya tepat dan benar, selain bermakna nubuwwah.”
Ibnu Hajar ( Pensyarah Hadits Bukhari ) berkata, “ berkenaan dengan hadits di atas, terdapat perbedaan pendapat tentang makna al- hikmah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah tepat dan benar dalam perkataan; kebenaran yang dibuktikan oleh akal; cahaya yang membedakan antara ilham dan bisikan; cepat menjawab secara benar; dan di antara mereka juga ada yang mengatakan bahwa hikmah, dalam hadits di atas berarti Al-Qur’an. ( Lihat Fat-hul-Bari, VII: 100, dan Al-Hikmah fid-Da’wah ilallah, hal. 23 )

b. Dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu, ia berkata, “ Abu Dzar bercerita, bahwa Rasulullah saw bersabda :
“ Tiba-tiba atap rumahku terbuka, dan saya berada di Makkah. Lalu turunlah Jibril dan membelah dadaku, kemudian dia mencucinya dengan zam-zam. Lalu dia membawa sebuah baskom dari emas yang penuh dengan hikmah dan iman. Lalu dituangkannya ke dalam dadaku, lalu menutupnya kembali.”

c. Dari Abdullah r.u ia berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda :
“ tidak ada hasad kecuali dalam dua hal, yaitu : seseorang yang dikaruniai harta yang banyak oleh Allah lalu dia menghabiskannya untuk kepentingan al-haq, dan satu lagi seseorang yang diberi al-hikmah oleh Allah lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya.” ( H.R Bukhari, 73; Muslim, 816)
Al-hikmah di sini di artikan dengan Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam hadits lain. ( Lihat Fat-hul Bari, I: 167 ).

d. Dari Ubai bin Ka’b radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasululla saw bersabda :
“Sesungguhnya hikmah itu merupakan bagian dari ilmu.” ( Lihat Fat-hul Bari, X: 540; Al-Hikmah fid-Da’wahilallah, 24 )

Ibnu Hajar berkata, “ Maksud hadits di atas adalah, perkataan yang benar dan bersesuaian dengan al-haq.”

Juga dikatakan, bahwa asal kata dari hikmah adalah mencegah, maka makna Hadits di atas : “Sesungguhnya merupakan bagian dari ilmu itu adalah perkataan yang bermanfaat yang mencegah dari kedunguan.” ( H.R Bukhari, 6145 )

e. Dari Abu Hurairah r.u, ia berkata, “ Saya mendengar Rasuullah bersabda :

“Anda akan didatangi penduduk Yaman, mereka itu mempunyai perasaan dan hati yang lembut, iman itu Yaman, dan hikmah itu sudah menjadi sifat bangsa Yaman.” ( H.R. Bukhari, 4388; Muslim, 52 )

Ibnu Shalah berkata, “ Sesungguhnya yang dimaksud Al-Hikmah adalah ilmu yang meliputi ma’rifatullah.” (Fat-hul Bari, VI:532, dan Al-Hikmah fid Da’wah ilallah, halaman 24 )

Makna al-hikmah yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut tidak jauh dari pengertian yang saya sebutkan ketika menjelaskan al-hikmah menurut Al-Qur’an.

1.2.3.2 Menurut Hadits Dla’if
Adapun al-hikmah yang disebutkan dalam hadits dla’if namun maknanya bagus dan tidak dinafikan sebagai hikmah bila benar datang dari Rasulullah, adalah :
“ Hikmah adalah barang berharga orang mu’min yang hilang, barangsiapa yang menemukannya kembali, maka dialah yang lebih berhak atasnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallahu’ anhu dan Ali radliyallahu, dengan sanad yang lemah sekali. ( Lihat Dla’iful-Jami ish-Shaghir, oleh Syaikh Nashiruddin Al-Al-bani, 4302)

“Barangsiapa yang ikhlas karena Allah selama 40 hari, maka akan memancar sumber-sumber hikmah dari hatinya dan lisannya.” Diriwayatkan dari Ayyub, dla’if ( idem, halaman 5369 )
“Tamak ( rakus ) itu menghilangkan hikmah dari hati ulama’.”
Diriwayatkan dari Anas, hadits maudlu’ ( Idem, halaman 3659 )
f.
“Hati yang tiada terdapat hikmah ibarat sebuah rumah yang runtuh.” Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.u, dla’if. ( Idem, halaman 4107 )
g.
“Puncak al-hikmah adalah takut kepada Allah.” Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dla’if. ( Idem, halaman 3066)
h.
“Lemah lembut itu merupakan inti hikmah. “ Diriwayatkan dari Jarir, hadits dha’if. ( Idem,halaman 3159)
“ Hikmah itu memiliki sepuluh bagian, Sembilan di antaranya ada di dalam sikap mengasingkan diri, sedang satu lagi bersama diamnya.” Riwayat Abu Hurairah r.u, sangat dla’if. ( Idem, halaman 3787 )
i.
“Saya adalah rumah hikmah, sedamg Ali adalah pintunya.” Diriwayatkan dari Ali r.u, hadits maudlu ( Idem, hal. 1313 )

1.2.4   Makna Menurut Ulama’
Sebenarnya, makna al-hikmah yang disampaikan ulama’ tidak jauh dari pengertian sebelumnya, namun di sini, saya bermaksud untuk lebih memperjelas.

Di antara ulama’ terdapat perbedaan dalam mengartikan al-hikmah, antara lain :
Ada yang mengatakan, bahwa al-hikmah adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Ibnul-Qayyim r.u berkata, “ Tafsir al-hikmah yang terbaik menurut saya adalah sebagaimana yang dikatakan Mujahid dan Malik, yaitu : ma’rifatul-haq ( mengetahui dan memahami kebenaran ) lalu mengamalkannya secara tepat dan benar dalam perkataan maupun amalnya. Hal ini tidak akan terjadi kecuali dengan memahami Al-Qur’an, memahami secara baik syari’ at Islam, serta mengetahui hakikat keimanan.” ( Lihat At-Tafsirul _Qayyim, halaman 226 )

Syaikh Rasyid Ridla mengatakan, “ Al-hikmah adalah ilmu yang shahih (lurus dan benar) yang membangkitkan iradah ( kemauan berbuat ) ke arah perbuatan yang bermanfaat, yaitu kebaikan ( Lihat Tafsir Al-Manar, III :77 )
Ar-razi berkata, “ Keputusan yang didasari oleh hikmah dan akal ( sehat ) adalah keputusan yang benar, dan dapat mencegah penyimpangan atau cacat. Sedangkan keputusan yang didasari oleh syahwat, dan nafsu dapat menjerumuskan ke dalam malapetaka dan ujian.” (Tafsir Ar-Razi, VII:67 )

1.2.5 Kesimpulan
Berdasarkan berbagai pendapat ulama’, tafsir-tafsir Al-Qur’anul-Karim maupun dari As-Sunnah, maka secara ringkas dapat kita ikuti uraian dari Sa’id bin Salim Al-Wahfi Al-Qahthani dalam bukuya Al-Hikmah fid –Da’wah ilallah.

Pengertian hikmah ( dalam berda’wah kepada Allah ) tidak terbatas pada makna: perkataan yang lemah lembut, pemberian motivasi, hilm ( tidak cepat emosi dan tidak bersikap masa bodoh) , halus ataupun pemaaf. Namun, pengertian hikmah juga mencakup pemahaman yang mendalam tentang berbagai perkara berikut hukum-hukumnya, sehingga dapat menempatkan seluruh perkara tersebut pada tempatnya, yaitu dia dapat menempatkan perkataan yang bijak, pengajaran, serta pendidikan sesuai dengan tempatnya. Tidak hanya itu, ia juga dapat memberi nasihat pada tempatnya, menempatan mujadalah yang baik pada tempatnya, bermujadalah dengan orang zhalim yang menentang pada tempatnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ankabut : 46.
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zhalim di antara mereka..”

Hikmah juga mencakup makna penempatan sikap keras, penggunaan kekuatan dan pedang pada tempatnya ( kapan, di mana serta untuk siapa ).
“Hai Nabi. Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap-keraslah terhadap mereka; tempat mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali seburuk-buruknya.” ( At-Taubah :73 )

Keharusan bersikap keras terhadap orang kafir dan munafik, harus dipahami secara benar dan mendalam, serta memperhatikan benar-benar kondisi orang yang diseur, memilih waktu dan tempat yang sesuai, juga mempertimbangkan perbedaan zaman dan tempat ( yakni perbedaan negara yang didiami ), serta dengan niat dan motivasi semata-mata ikhlas karna Allah. ( Lihat Majmu’ul Fatawa, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, XIX : 164; Miftah Daris-Sa’adah, oleh Ibnul-Qayyim, I: 193; Tafsir Ibnu Katsir, III: 416; Tafsir Al-Qayyim, halaman 34; Zadud-Daiyah ilallah, Syaikh Utsaimin, halaman 15; Al-Hikmah fid-Da’wah ilallah, halaman 30 )

Sa’id Al-Qahthani juga mengatakan, bahwa al-hikmah merupakan perkara yang paling agung dan bersifat asasi di dalam manhaj da’wah untuk menyeru manusia ke jalan Allah. Ini terbukti dengan dipenuhinya dada Rasulullah saw sebagai pelaku da’wah, oleh iman dan al-hikmah ( lihat hadits shahih terdahulu). Al-hikmah juga merupakan thariqatud-da’wah, dan lazim dilakukan Rasulullah saw dalam menghadapi segala perkara, khususnya dalam berda’’wah menyeru ke jalan Allah ( Lihat: Al-Hikmah fid –Da’wah ilallah, halaman 8-9 )

Jadi secara ringkas, berdasarkan pengambilan makna dari Al- Qur’an, As-Sunnah, dan pandangan ulama’, al-hikmah diartikan sebagai :

“ Berkata dan berbuat secara tepat dan benar, serta menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.” ( Lihat: Al-Hikmah fid-Da’wah ilallah, halaman 27 )

Orang yang menegakkan prinsip al-hikmah haruslah berilmu, guna mencegah dari kebodohan, harus berlaku hilm guna menghindari emosi yang tidak terkendali, dan harus berlaku adil guna menghindari berlaku zhalim.

Dr. Nashir bin Sulaiman Al’Umar menegaskan :
“ Berkata dan berbuat secara tepat dan benar” termasuk sikap bil-hikmah -hikmahilmiyyah an-Nazhariyyah- yaitu hikmah yang berdasarkan keilmuan dan pengetahuan, yang bersumber dari Al-Qur’an, As-sunnah, serta sirah Salafus Shalih dari generasi terbaik ummat ini berikut para pengikutnya yang memiliki komitmen.

“ Menempatkan sesuatu pada tempatnya” termasuk al-hikmah ‘amaliyyah, yang meliputi tiga hal, yaitu :
Memberikan hak setiap sesuatu, tidak berkurang dan tidak berlebih, tidak lebih cepat ataupun lebih lambat dari waktu yang dibutuhkannya.
Membenarkan janji-janji Allah, dan mengenali keadilan Nya dalam menetapkan hukum-hukum Nya.

Hendaknya, anda menyampaikan dalil-dalil dengan bashirah, yakni ilmu yang memadai dalam memberikan petunjuk dan bimbingan.(Al-Hikmah,halaman 25-26 )




[Baca...]



Hakikat Taqwa, Bag-10 : Cara Mencapai Taqwa (5) Mengenali Tipu Daya Syaithan
Prof. Dr. Ahmad Farid. Penerj. : Abu Fahmi Ahmad.
1.5  Mengetahui Tipu Daya Syaithan.
Ibnu Muflih Al Maqdisi rahimahullah berkata :
Ketahuilah, bahwa syaithan menghalangi orang – orang mu’min dengan tujuh penghalang.Yang pertama adalah kufur. Jika seseorang selamat dari kekufuran, syaithan memberikan rintangan yang lain berupa bid’ah. Jika selamat dari perbuatan bid’ah, maka syaithan merintangi dengan cara yang lain yaitu : melakukan perbuatan dosa - dosa besar. Jika selamat dari dosa - dosa besar, syaithan beralih kepada membujuk manusia untuk melakukan perbuatan dosa-dosa kecil.  Jika selamat dari dosa - dosa kecil, syaithan beralih kepada membujuk manusia berbuat hal-hal yang mubah, sehingga manusia menyibukkan diri dalam perkara ini. Jika tidak bisa ditaklukkan, maka syaithan membujuknya untuk melakukan amalan - amalan fadlail ( yang mengandung keutamaan - keutamaan ). Jika tidak tergoda juga oleh amalan ini, maka syaithan menguasakan musuh-musuh yang durhaka untuk menimbulkan berbagai macam gangguan dan cobaan secara silih berganti. ( Masha’ibul Insan min Maka’idisy Syaithan, hal 69, secara ringkas. Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan tujuh rintangan ini dalam menafsirkan mu’awwidzatain (surat An Nas dan Al Falaq ) lebih panjang dari uraian di atas, lihat hal : 73 - 76
Maka tidak diragukan lagi, bahwa mengetahui rintangan - rintangan yang dibuat oleh syaithan, dan mengetahui tempat - tempat masuknya ke hati Ibnu Adam merupakan perkara yang membantu kewaspadaan dari bujuk rayu ( tipu muslihat ) syaithan. Dan yang paling penting untuk disebutkan, hendaknya anda mengetahui bahwa syaithan itu musuh bagi Bani Adam, maka tidak mungkin syaihan memerintahkan suatu kebaikan dan mencegah dari kejahatan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إن الشيطان لكم عدو فاتخذوه عدوا  إنما يدعو حزبه ليكونوا من أصحاب السعير
 “Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala -  nyala.” ( Fathir : 6 )
ياأيها الذين آمنوا لا تتبعوا الشيطان ومن يتبع خطوات الشيطان فإنه يأمر با لفحشاء والمنكر
 “Hai orang - orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah - langkah syaithan. Barang siapa yang mengikuti langkah -  langkah syaithan, maka sesungguhnya syaithan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar.”(An Nur : 21 )
Abul Farj Ibnul Jauzi rahimahullah berkata :
“Iblis masuk ke jiwa manusia melalui segala cara yang mungkin ia lakukan. Dia ( syaithan ) bisa menambah kekuatan atau menguranginya tergantung dari kesadaran, kelalaian, kejahilan, serta ilmu mereka. Dan ketahuilah olehmu, bahwa hati itu bagaikan benteng yang kokoh, dikelilingi oleh pagar dinding, yang memiliki pintu - pintu, dan padanya terdapat bagian yang retak.Penghuninya adalah akal. Malaikat mondar - mandir menuju benteng. Di bagian lain, terdapat pula tempat - tempat perlindungan yang di diami hawa nafsu, dan syaithan - syaithan bebas mendatangi tempat - tempat tersebut tanpa ada hambatan.
Sementara penjaga berdiri tegak di antara penghuni benteng dan tempat hawa nafsu, syaithan tak bosan - bosannya mengelilingi benteng, menanti lalainya penjaga, kemudian syaithan menyeberangi benteng melalui sela - sela tembok yang retak. Maka dalam hal ini penjaga benteng dituntut agar mengetahui keadaan pintu benteng yang telah diserahkan penjagaannya kepadanya, dan ( mengetahui keadaan ) seluruh dinding yang retak. Hendaklah dia tidak menghentikan pengawasan sekejap pun, sebab musuh tidak pernah lengah. Seseorang bertanya kepada Hasan Al Bashri : Apakah Iblis itu tidur ? Dia menjawab: ’Andaikan Iblis tidur, pasti kita mempunyai waktu untuk istirahat.’ Benteng tersebut diterangi oleh dzikir dan disinari oleh iman, di sana terdapat cermin mengkilat, sehingga dapat tampak semua yang lewat. Yang pertama kali dikerjakan oleh syaithan adalah memperbanyak asap sehingga dinding benteng menjadi hitam, dan cermin menjadi gelap. Hanya kesempurnaan berpikir yang dapat menghalau asap, dan hanya cahaya dzikir yang dapat membuat cermin mengkilat lagi. Syaithan mempunyai banyak peluang untuk menyerang. Terkadang masuk ke benteng dan menyerang, namun berhasil diusir oleh penjaganya. Terkadang masuk ke dalam benteng lalu merusaknya. Terkadang berhasil mendudukinya karena kelalaian penjaga. Terkadang, angin yang menghalau asap yang berhenti, sehingga menghitamkan dinding benteng dan cermin, maka berjalanlah syaithan tanpa diketahui oleh penjaga, dan ketika itu pula, syaithan dapat menyerang penjaga hingga terluka, bahkan tertawan dan diperbudak, karena kelalaiannya.” ( Talbis Iblis, 37 - 38, ringkasan)
          Ketahuilah, bahwa langkah pertama yang dilakukan syaithan untuk menyesatkan Ibnu Adam adalah membisikkan kejahatan kepada manusia, sebagaimana firman Allah yang memerintahkan kita untuk berlindung kepada-Nya dari bisikan syaithan.
“Katakanlah:”Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia, sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) kedalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.”(An Naas: 1-6)
          Ketika hati hamba lalai dari mengingati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon perlindungan-Nya, syaithan pun menjadi tertahan. Manakala ia menolak bisikan syaithan, maka hal itu merupakan bukti keimanan hamba.
          Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata:
“Sekelompok sahabat mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata: Sungguh kami mendapati pada diri kami, apa-apa yang menjadikan salah seorang dari kami berat untuk mengatakannya: Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam berkata: “Benarkah kamu semua mendapatinya? Mereka menjawab: Ya benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Yang demikian itu menunjukkan benarnya iman kalian.”(HR. Muslim, 1: 153)
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata:
“Bisikan syaithan merupakan pemicu munculnya iradah (kemauan).
Pada mulanya, hati itu bersih dari kejahatan dan kemaksiatan, lalu syaithan membisikkan dosa dan mengingatkannya, dan timbullah hasrat sehingga menjadi syahwat, yang membuatnya merasa indah, timbul hayalan yang membuat dirinya cenderung untuk melakukannya, lalu bangkitlah kemauannya. Hal seperti ini terus berlangsung, menghayal, melamun, berangan-angan dan lupa akan bahaya, menganggap remeh akibat buruk yang di timbulkannya, sehingga tidak ada lagi yang bisa dilihatnya kecuali kemaksiatan dan kenikmatan sementara. Ia lupa akibat yang akan terjadi di balik itu, maka timbullah hasrat yang kuat untuk segera bertindak, jadilah hasrat kuat itu timbul dari hati, yang menimbulkan semangat perwira untuk berbuat, lalu syaithan bangkit bersama mereka, untuk membantu.  Maka, jika mereka diam, syaithanlah yang menggerakkan mereka, dan jika mereka bermalas-malas melakukannya, maka syaithanlah yang mengusir kemalasan mereka.”Sebagaimana firman Allah:
“Tidakkah kamu lihat, bahwasanya kami telah mengirim syaithan-syaithan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ?.(Maryam: 83)
          Maksudnya, syaithan itulah yang membuat seseorang bersungguh-sungguh mengusir kemalasannya untuk berbuat maksiat,  manakala mereka tampak mulai lelah atau bermalas-malasan, maka syaithan-syaithan pun bangkit memberi semangat kesungguhan. Seorang hamba tidak henti-hentinya digiring kepada perbuatan dosa dengan tipu muslihat yang halus dan tipu daya yang benar-benar sempurna.
Jelas sudah, pangkal kemaksiatan dan malapetaka, tidak lain adalah bisikan syaithan.(TafsirAl Mu’awwidzatain,)
          Tidak ada jalan lain, bagi seorang hamba, kecuali ia harus menyibukkan diri dengan berbagai bentuk ketaatan dan senantiasa mengingat Allah subhanahu wa Ta’ala.
Hanya dengan cara inilah, syaithan-syaithan tidak akan memiliki kesempatan untuk membisikkan tipu muslihatnya. Manakala seorang hamba lalai dari mengingat Allah dan ketaatan, ketika itu pula syaitan membisikkan tipu muslihatnya, sebagaimana dikatakan Ibnu Qayyim rahimahullah: ”Jika hati seorang hamba lalai sesaat saja dari berdzikir kepada Allah, maka bercokollah syaithan sambil memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan.”
          Pasal ini kami tutup dengan menyebutkan 9 perkara yang dapat menolong hamba Allah untuk taat kepada-Nya, sehingga ia terjaga dari bisikan-bisikan syaithan.
Kesembilan perkara tersebut adalah:
1.    Memohon perlindungan kepada Allah, seperti firman-Nya:
“Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushilat: 36)
Sulaiman bin Shuradin berkata: Ketika saya duduk bersama Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan dua orang lagi yang saling berjauhan, lalu salah satu diantara keduanya merah wajahnya dan naik darah, lalu Nabi shallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya akan aku ajarkan satu kalimat, seandainya kalimat tersebut dibacanya niscaya sirnalah (kemarahan) yang dia dapati. Seandainya mengucapkan A’udzubillahi minasy-Syaithanir Rajim, sirnalah (kemarahan) yang dia dapati.”(H.R. Bukhari, X:518-519, bab Adab; Muslim, XVI:163,bab Al Birr wash-Shilah; Abu Dawud, no.4759, tentang adab)
2. Membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq, dan An Nas, sebab Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda : “Tidak ada perlindungan yang terbaik bagi manusia selain dengan (membaca)nya (yaitu surat Al Ikhlash, Al Falaq, dan An Nas).” ( H.R. An Nasa’i, VIII:251, Isti’adzah ; Ahmad, III:417, shahih menurut Al Albani)
3. Membaca ayat kursi menjelang tidur, seperti terdapat dalam hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam dari Abu Hurairah radliyallahu‘anhu: “Maka barang siapa yang menjelang tidurnya membaca ayat tersebut (ayat kursi), baginya tak terlepas dari penjagaan Allah Subhanahu wata’ala dan syaithan tak kuasa mendekatinya.”
4. Membaca surat Al Baqarah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam:
“Sesungguhnya rumah, yang di dalamnya anda membaca surat Al Baqarah, tidak masuk syaithan ke dalamnya.”(H.R. Muslim, VI:86; Tirmidzi, XI:10, tentang Pahala Membaca Al Qur’an, menurut lafazhnya)
5. Membaca ayat-ayat terakhir dari surat Al Baqarah, seperti hadits dari Ibnu Mas’ud Al Anshari, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah di malam hari, akan terhindar (dari gangguan syaithan).”(H.R. Bukhari, IX:50, Fadlilah Al Qur’an; Muslim,VI:91-92, Shalat Musafirin; Tirmidzi, X:12, Pahala Al Qur’an; Abu Dawud, no. 1384, bab shalat)
6.Membaca kalimat: La Ilaha Illallahu Wahdahu la Syarikalahu  lahul Mulku wa lahul Hamdu wa Huwa ‘ala Kulli Syai’in Qadir: sebanyak 100 kali. Barang siapa yang membacanya pada suatu hari, maka baginya terlindung dari syaithan pada hari itu hingga sorenya.
7. Banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebab seorang hamba melindungi              dirinya dari syaithan dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini.
8. Berwudlu dan mengerjakan shalat, Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: Perkara ini telah teruji kebenarannya, tanpa memerlukan pengujian dalil lagi.
9. Memelihara berlebih-lebihan dalam pandangan, pembicaraan, makanan, dan pergaulan sesama manusia, sebab syaithan hanya dapat menguasai cucu Adam dan dapat memperoleh apa yang diinginkannya melalui empat pintu masuk tersebut. (Ibnu Qayyim, Tafsir Al Mu’awwidzattain, hal. 82-87, secara ringkas)



[Baca...]



1.1  Mengenali Akibat Perbuatan Haram.
Di dunia ini, tidak ada yang namanya kejahatan dan bencana besar, kecuali penyebabnya adalah perbuatan – perbuatan dosa dan maksiat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Tidaklah Adam dan Hawa keluar dari surga --tempat tinggal yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan dan kebahagiaan—menuju ke tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan dan musibah, kecuali disebabkan perbuatan maksiat.”
Begitu pula dengan iblis, karena perbuatan maksiatnya, dia terusir dari malakut sama’, bentuk lahir maupun batinnya diubah menjadi yang terburuk dan paling menjijikkkan, kedekatan posisi terhadap-Nya diganti dengan jauhnya posisi dari-Nya, kasih sayang Rabb-Nya berubah menjadi kutukan, dari surga menjadi neraka yang penuh penderitaan, sehingga ia menjadi teramat hina di mata Allah subhanahu wa Ta’ala, dan jatuh tersungkur pada pandangan Allah. Maka pantaslah bila ia menjadi ikutan bagi orang yang senang berbuat kerusakan dan dosa lagi durhaka.
Allahumma, ya Allah, kepada-Mu lah kami berlindung dari menyimpangkan perintah-Mu dan dari melanggar larangan-Mu.
Apakah yang menyebabkan permukaan air laut meluap melebihi ketinggian gunung sehingga menenggelamkan semua penduduk bumi? Apa yang menyebabkan bertiupnya angin dahsyat yang memusnahkan kaum ‘Aad –sehingga bangkai-bangkainya bergelimpangan di atas bumi seakan-akan tunggul pohon kurma yang lapuk--, menghancurluluhkan rumah-rumah dan ladang-ladang mereka ? Siapakah yang mengirimkan suara menggelegar sehingga merontokkan hati, dan akhirnya mereka mati karenanya ? Apa yang menyebabkan tercabutnya perkampungan kaum Luth, tatkala malaikay mendengar gonggongan anjing – anjing mereka, lalu Allah membalik bumi, sehingga tanah bagian atas menjadi bagian bawahnya, lalu mereka dihujani batu – batu ? Apa yang menyebabkan dikirimnya awan hitam bergulung – gulung kepada kaum Syu’aib, yang menurunkan hujan air panas dengan derasnya ? Apa yang menyebabkan ditenggelamkannya jasad Fir’aun dan kaumnya di tengah samudera, sementara ruh mereka dipindahkan ke jahannam untuk dibakar ? Dan apa pula yang menyebabkan dimusnahkannya generasi setelah Nabi Nuh ‘alaihi wa sallam dan dihancurluluhkan sehancur – hancurnya ? (Al Jawabul Kafi, 42 -43, Daar Umar bin Khaththab)
Kemudian, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa at taqwa mengandung faedah sangat besar dalam mencegah maksiat kepada Allah. Patutlah kita berlindung kepada Allah agar kita selamat dari perbuatan terlarang, kerugian dan penyesalan di kemudia hari. Selayaknyalah bagi setiap orang yang berakal sehat, agar tidak melangkah menempuh satu jalan, sebelum dia benar – benar mengetahui bahwa jalan itu selamat. Dia tidak ragu sedikitpun, bahwa jalan kemaksiatan dapat membuahkan adzab di dunia dan di akhirat, membuat dada menjadi sesak, rizki sempit, dibenci manusia dan keberkahan tercabut, bagaikan makanan lezat namun beracun, yang memberikan kelezatan namun hanya sekejap, lalu meninggalkan penderitaan dan penykit yang tak berkesudahan, di dunia maupun (juga) setelah mati, sebagaimana dituturkan dalam sebuah syair :
Hilanglah kelezatan bagi orang
yang mencapainya melalui jalan haram,
sementara masih ada noda dan dosa.
Tinggallah akibat buruknya,
dan tidak ada artinya suatu kelezatan,
bila dibalik itu neraka menantinya.

1.2  Menundukkan Hawa Nafsu
Syaikh Mustafa As Siba’i rahimahullah berkata :
”Jika nafsumu berhasrat ingin melakukan maksiat, maka ingatkanlah dengan (menyebut Asma) Allah. Jika hal itu tidak mengurungkan niatmu, maka ingatkanlah dengan (menyebutkan) akhlaq seseorang. Jika belum urung pula niatmu, maka ingatkanlah dengan (menyebut) cela dan noda perbuatan maksiat bila diketahui oleh orang lain. Jika tidak (juga) urung niatmu itu, maka Anda ketika itu telah berubah menjadi (watak) binatang.” (‘Allamtanil Hayah, 32, dinukil dari catatan Risalatul Mustarsyidin oleh Al Muhasibi, 160)
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Sendi – sendi kekuatan setiap perkara adalah cinta kepada Allah, mengharapkan ridla-Nya, taqarrub kepada-Nya dengan berbagai cara, dan adanya kerinduan untuk bertemu dengan-Nya. Jika pada diri hamba tidak terdapat himmah (kemauan keras) untuk melakukan semua itu, maka bangkitkanlah motivasinya dengan surga beserta semua kenikmatannya, dan apa – apa yang dipersiapkan Allah bagi para wali - wali-Nya. Jika hal ini belum bisa membangkitkan semangat untuk memperolehnya, hendaklah ditakut – takuti dengan siksa neraka dan apa – apa yang telah dipersiapkan Allah bagi orang – orang yang maksiat kepada-Nya.
Dan apabila jiwanya tidak tergerak sedikitpun untuk melakukannya, maka ketahuilah, bahwasanya dia diciptakan oleh Allah untuk menjadi (penghuni) neraka jahim dan bukan (sebagai penghuni) surga kenikmatan. Dan dia tidak mencapai keadaan tersebut, melainkan dengan memperturutkan hawa nafsunya, setelah ditakdirkan dan diberi taufik oleh Allah.”
Maka tidaklah Allah menjadikan jalan menuju surga melainkan ditentangnya, dantidak pula Allah menjadikan jalan menuju neraka melainkan diikutinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirnan :
فأما من طغى وآثر الحياة الدنيا فإن الجحيم هي المأوى وأما من خاف مقام ربه ونهى التفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى   
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (An Nazi’at 37-41)
ولمن خاف مقام ربه جنتان
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga.” (Ar Rahmaan : 46)
          Maksudnya, tatkala seorang hamba hendak menurutkan hawa nafsunya untuk melakukan kemaksiatan, lalu dia mengingat kebesaran Allah atasnya di dunia ini dan kedudukan dirinya di hadapan Allah di akhirat kelak, maka dia pun segera meninggalkan kemaksiatan tersebut.
          Allah telah memberitakan, bahwa menurutkan hawa nafsu dapat menyesatkan dirinya dari jalan Allah, seperti firman-Nya :
“Hai Dawud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(Shaad : 26)
          Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghukumi zhalim bagi orang yang menurutkan hawa nafsunya tanpa mengikuti petunjuk Allah, seperti firman-Nya :
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al Qashash : 50)
          Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan dua golongan pengikut, yaitu :
1.    Golongan yang mengikuti apa – apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2.    Golongan yang mengikuti hawa nafsunya.
Tidak ada alternatif yang ketiga, dan pasti seseorang akan mengikuti salah satu dari keduanya, bila tidak mengikuti yang pertama berarti dia mengikuti yang kedua. (Raudhatul Muhibbin, halaman 401-402, secara ringkas)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata :
          “Waspadalah dengan sebenar-benarnya terhadap kemaksiatan, sebab ia akan mendatangkan hukuman yag pedih. Waspadalah dari perbuatan dosa, terlebih-lebih dosa khalwat (berduaan dengan wanita bukan mahrom), sebab melawan larangan Allah akan mengakibatkan penglihatan Allah berpaling darinya. Tidak ada yang memperoleh lezatnya maksiat kecuali orang yang selalu lalai. Adapun orang mukmin yang sadar, dia tidak merasa lezat dari (berbuat maksiat), sebab ketika merasakan kelezatannya, dia sadar bahwa hal itu haram, dan dia ingat pula akan hukuman Allah. Maka, pengetahuannya yang luas tentang (halal dan haram), menjadikan dia dekat dengan Yang Melarang (yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala). Jika ia dikalahkan oleh gejolak nafsunya, hatinya merasa gelisah karena meyakini pengawasan (Allah). Dan jika ia sempat tenggelam dalam nafsunya, itupun hanya sekejap, lalu timbullah penyesalan yang mendalam sepanjang zaman, akibat perbuatannya itu. Sampai, sekalipun dia yakin akan adanya ampunan, dia masih dihantui oleh perasaan tercela. Maka dari itu, bencilah
Kepada dosa-dosa itu, alangkah buruk pengaruhnya, dan sangat jelek beritanya. Syahwat itu tidak akan muncul, kecuali dalam keadaan kuatnya kelalaian.” (Saidul Khatir, hal 129)
          Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
          “Ketahuilah olehmu, bahwa sabar dari menuruti syahwat, lebih ringan dibandingkan sabar menghadapi dampak – dampak syahwat. Syahwat itu, kalaulah tidak mendatangkan penderitaan dan siksaan, sudah pasti akan menghilangkan kelezatan yang sempurna. Membuang-buang waktu untuk menuruti syahwat, akan mendatangkan kerugian, penyesalan, merusak kehormatan, memboroskan sejumlah harta dan menelantarkan potensi. Menjaga kehormatan, menghemat harta dan menyalurkan potensi, jauh lebih bermanfaat daripada sebaliknya. Tetap bertahan tidak melakukan kemaksiatan akan lebih lezat dan lebih baik daripada melaksnakan (menurutkan) hawa (syahwat)nya.” (Al Fawa’id, 182 – 83, Darud Da’wah)
          Ringkasnya, manusia dalam meninggalkan dan menjauhi kemaksiatan bisa melakukan berbagai upaya pencegahan.
          Di antara manusia ada yang mencegah kemaksiatan dengan cara mahabbatullah ‘Azza wa Jalla, mengagungkan-Nya, dan takut menentanga-Nya. Inilah tingkatan tertinggi dari cara mempertahankan ketaqwaan yang paling tepat.
          Di antara manusia ada yang mencegah kemaksiatan dengan cara membangkitkan motivasi untuk meraih tempat kembali (surga) berikut  kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya, yang disediakan bagi orang – orang yang bertaqwa.
          Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من شرب الخمر في الدنيا لم يشربْها في الآخرة إلا أن يتُوْب
Barangsiapa meminum khamr di dunia, maka dia tidak akan meminumnya di akhirat kelak, kecuali bagi yang bertaubat.” (HR Muslim, XIII : 173; Bukhari, X:30; Malik dalam Al Muwaththa’, II:846; Abu Dawud, no 3662; Tirmidzi, VIII:48; An Nasa’i, VIII:318; semuanya dalam bab Minuman)  
Bersenang – senang dengan barang haram di dunia, menjadi sebab tercegahnya memperoleh kenikmatan di akhirat. Maka sekali-kali  tidaklah Allah menyamakan antara orang-orang yang bersenang-senang dalam kehidupan dunia dengan orang yang menahan hawa nafsunya dari kesenangan dunia, ketika menjumpai Allah ‘Azza wa Jalla kelak.
Al Khaththabi berkata : “Makna hadits tersebut adalah : Tidaklah masuk surga (bagi peminum khamr), sebab khamr adalah minuman penduduk surga.” (Jami’ul Ushul, V/99)
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
“Maknanya, bahwasanya diharamkan meminum khamr bagi hamba di surga sekalipun dia itu masuk surga, sebab minuman khamr termasuk minuman kebanggaan surga. Pelaku maksiat tersebut terhalang untuk meminum khamr (di surga) karena telah meminumnya di dunia fana. Dia lupa terhadap syahwatnya sendiri, padahal di dalam surga itu terdapat segala yang diinginkan. Dia tidak menginginkan khamr sekalipun dia mengingatnya. Jadilah hal tersebut mengurangi kenikmatan yang menjadi haknya. Berbeda halnya dengan orang yang meniggalkan meminum khamr ketika di dunia.” (Syarah Muslim, Imam Nawawi, XIII/173)
Di antara manusia ada yang meninggalka maksiat karena takut api neraka dan menemui kemurkaan Allah Yang Maha Keras siksa-Nya, seperti yang dikatakan dalam syair :
           Tidak ada kebaikan pada orang,
           Yang tidak takut kepada Allah,
           Ketika hawa nafsunya bergejolak.
           Taqwalah yang menghalangi jalan-jalan hawa nafsu,
           Orang yang bertaqwa akan merasa takut,
           Bila datang ke akhirat dalam keadaan hina.
Sebagian mereka meninggalkan maksiat karena takut tercela dan mendapat aib paling jelek, yang membuatnya malu karenanya, sebagaimana dituturkan dalam sebuah syair :
           Tatkala hawa nafsu menyeretku pada kekejian,
           Malu dan kemuliaanlah yang mencegahku.
           Bukan pada perbuatan keji itu, tanganku aku ulurkan,
Dan aku tidak berejalan melangkahkan kaki untuk keragu-raguan,
Dia antara mereka ada yang meninggalkan kemaksiatan karena mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkannya, yaitu berupa tindak kejahatan, musibah (malapetaka) serta penderitaan – penderitaan, sebagaimana dituturkan oleh sebuah syair :
             Berapa banyak dari kemaksiatan itu
             Mendatangkan kelezatan bagi pelakunya,
Ia pun mati,
Terlepaslah kelezatan itu,
Tinggallah bencana yang harus ia rasakan.
Habis sudah kelezatan maksiat,
Tinggallah akibat-akibatnya.
Wahai perbuatan maksiat.
Allah melihat dan mendengar hamba yang berbuat maksiat.
Di antara mereka ada yang meninggalkan kemaksiatan karena karena merasakan lezatnya meninggalkan perbuatan jelek, dan merasa nikmat dapat mengalahkan hawa nafsu, sebab yang demikian itu merupakan manisnya hati, yang tak diketahui oleh siapapun kecuali bagi yang merasakannya.
Di antara mereka ada yang meninggalkan kemaksiatan karena khawatir dapat mengurangi keberanian dan kesatriaan. Seperti ‘Antarah, seorang penyair di masa jahiliyah, yang belum pernah mendengar kalamullah (yang maknanya) : “Katakanlah, hai Muhammad, kepada orang – orang mukmin laki-laki; hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An Nuur:30), dia berkata : “Dan aku menahan mataku (pandanganku) ketika tetanggaku menampakkan diri, sampai tetanggaku itu menutup lagi tempat tinggalnya.
Dan diantara mereka ada yang meninggalkan kemaksiatan karena merasa malu kepada manusia, dan bukan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini merupakan tingkatan (pencegahan maksiat) yang paling rendah. Berkata sebagian mereka :
“Yang membuatku tidak berbuat maksiat, bukan karena inggin menjauhkan diri dari hal – hal yang tidak baik, namun aku takut (namaku) cacat di mata manusia, sehingga aku menjadi malu melakukannya.”


[Baca...]



1.1  Merasakan Adanya Pengawasan Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وهو معكم أينما كنتم والله بما تعملون بصير    
“Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah melihat apa-apa yang akmu kerjakan. “ (Al Hadid : 4)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
“Makna ayat ini bahwa Allah mengawasi dan menyaksikan perbuatanmu kapan saja dan di mana saja kamu berada. Di darat ataupun di laut, pada waktu malam maupun siang, di rumah kediamanmu maupun di ruang terbuka. Segala sesuatu berada di dalam ilmu-Nya, di bawah penglihatan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar perkataanmu, melihat tempat tinggalmu di mana saja berada, dan Dia Mengetahui apa saja yang kamu sembunyikan serta kamu lahirkan.” (Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, IV/304)
Allah berfirman :
ألا إنهم يثنون صدورهم ليستخفوا منه ألا حين يستغشون ثيابهم يعلم ما يسرون وما يعلمنو إنه عليم بذات الصدور
“Ingatlah, Sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk Menyembunyi kan diri daripadanya (Muhammad)[708]. Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala isi hati.” (Huud : 5)
Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah berkata :
“Allah Ta’ala menjelaskan di dalam ayat tersebut, bahwa yang dirahasiakan manusia, bagi-Nya tampak jelas, sebab Dia Mengetahui segala yang ada di lubuk hati (hamba-Nya), yang jelas atampak maupun yang tersembunyi dari makhluk-Nya. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini banyak sekali, seperti misalnya firman Allah :
ولقد خلقنا الإنسان ونعلم ما يوسوس به نفسه ونحن أقرب إليه من حبل الوريد
 “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf : 16)
واعلموا أن الله يعلم ما في أنفسكم فاحذروه
 “Dan ketahuilah bahwasanya Allah Mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, .......” (Al Baqarah : 235)
“Maka Sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al A’raaf : 7)
“Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. “ (Yunus : 61)
          Dan bila Anda membolak balik halaman Al Quran yang mulia ini, niscaya akan Anda dapati padanya ayat-ayat yang bermakna seperti ini.
          Kemudian dia berkata di bawah judul “Tanbihul Ham” : “Ketahuilah, bahwasanya Allah Ta’ala tidak menurunkan penasihat dari langit ke bumi yang lebihh hebat daripada apa yang dikandung oleh ayat-ayat Al Quran. Allah Ta’ala Maha Mengetahui setiap hal yang dilakukan oleh makhluk-Nya, Maha Mengawasi mereka, dan tidak tertutup bagi-Nya apa yang mereka lakukan.”
          Tentang penasihat yang hebat ini, para ulama memberikan suatu perumpamaan agar bisa dirasakan, mereka berkata :
“Andaikan ada seorang raja yang sadis, senang menumpahkan darah, bengis dan kejam, algojonya selalu siap siaga, kemudian alat penampung darah dihamparkan dan pedang meneteskan darah, sementara di sekelilingnya ada budak-budak perempuannya, istri-istrinya dan anak gadisnya. Apakah anda kira seorang diantara yang hadir itu berani melirik-lirik istri-istri dan anak-anak raja tersebut, sementara sang raja melihatnya dan mengawasinya ? Sekali kali tidak !! Bahkan seluruh hadirin menjadi ketakutan, hatinya takut, matanya tertunduk, badannya tak bergerak karena takutnya terhadap siksaan raja tersebut.
          Tidak diragukan lagi, bahwa Allah memiliki sifat Yang Maha Tinggi. Sesungguhnya Penguasa langit dan bumi lebiih hebat pengetahuan, pengawasan dan siksaan-Nya daripada raja tersebut. Apabila seorang yang lemah memperhatikan bahwa Rabbnya sangat dekat dari dirinya, dan Dia mengetahui apa yang diniatkan, dikatakan dan dilakukannya, tentu hatinya akan luluh, takut kepada Allah, lalu memperbagus amalannya karena Allah.” (Adhwaul Bayan, III:9-10)
          Beberapa hadis yang semakna dengan ayat – ayat tersebut di atas, menunjukkan wajibnya merasa ada pengawasan Allah Ta’ala terhadapnya, dan malu kepadanya dengan sebenar – benarnya.
Dari Ibnu Mas’ud radiyallhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
استحيوا من الله حق الحياء، من استحيا من الله حق الحياء فليحفك الرأس وما وعى ، وليحفظ البطن وما وحوى، وليذكر الموت والبِلا ، ومن أراد الآخرة ترك زينة الحياة الدنيا ، فمن فعل ذلك فقد استحيا من الله حق الحياء .
“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, hendaklah menjaga kepalanya dan apa yang ada padanya, menjaga perut dan apa yang terkandung padanya, serta ingat akan kematian dan kebusukan. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka ia meninggalkan kesenangan dunia. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka ia benar-benar telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR Tirmidzi,IX:281, Kiamat;Hakim, IV:323, Kasih Sayang; dia katakan sanadnya shahih dan disepakati oleh Adz Dzahabi dan hasan menurut Al Albani)
Di dalam Al Faidl, Al Munawi berkata :
“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dengan cara meninggalkan nafsu dan syahwat, menahan diri dari hal-hal yang tidak disukai, sampai jiwa menjadi lembut dan bersih dari noda. Ketika itulah akhlaqnya menjadi mulia, cahaya langit memancar dalam dada hamba tersebut dan ilmunya tentang Allah menghnujam, sehingga selama hidupnya, ia merasa cukup dengan Allah, tidak butuh pada yang lain.”
Al Baidlawi berkata : “Malu kepada Allah tidak seperti apa yang kamu duga, namun hendaknya kamu menjaga diri dengan seluruh anggota badanmu dari ahl-hal yang tidak diridhai-Nya, baik perkataan maupun perbuatan.”
Sufyan bin Uyainah berkata : “Malu itu lebih ringan daripada taqwa. Seorang hamba tidak akan merasa takut sebelum merasa malu. Apakah ahlut taqwa itu bisa masuk ke tingkat taqwa jika tidak dimulai dari rasa malu ? Barangsiapa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, hendaklah menjaga kepalanya dan apa yang ada padanya, yakni indera yang lahir maupun yang bathin, sehingga tidak menggunakannya kecuali untuk hal-hal yang dihalalkan. Hendaklah memelihara perut serta apa yang terkandung dan berhubungan dengannya, sepeti : hati, kemaluan, tangan dan kaki. Janganlah mempergunakan anggota badan untuk maksiat kepada Allah, sebab Allah melihat semua perbuatan hamba dan tidak ada sesuatupun yang bisa menutupi-Nya.” (Faidlul Qadir, I/488)
Dari Usamah bin Syarik radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ماكَرِهْتَ أن يراه الناسُ منك فلا تفعلْه بنفسِك إذا خَلَوْتَ 
“Apa-apa yang tidak kamu sukai bila manusia melihat perbuatanmu, maka janganlah kamu melakukannya ketika kamu sendirian.” (HR Ibnu Hibban dalam Raudhatul ‘Uqala, 12-13, Adh Dhiya dalam Al Mukhtar, I:449, Al Albani berkata sanadnya dhaif, kemudian aku dapati suatu syahid yang mursal untuk hadits ini di dalam Jami’ Ibnu Wahbin, hal 65, dengan demikian hadits ini menjadi hasan, insya Allah, Ash Shahih,1065)
Tsauban radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لأُعْلِمَنَّ أقواما من أمتي يوم القيامة بحسنات أمثالِ جبالِ تهامةٍ ياضاءَ فيجعلَهَا الله هباء منثورا، أما إنهم إخوانكم ، ومن جلدتكم ، ويأخذون من الليل كما تأخذون ، ولكنهم قوم إذا خلَوْا بمحارم الله انتهَكوا.
“Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari ummatku, datang pada hari kiamat membawa kebaikan seperti gunung Tihamah yang putih. Lalu Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan. Mereka itu adalah saudara – saudara kalian, dari kaum kalian, beribadah pada malam hari seperti yang kalian lakukan, akan tetapi mereka adalah suatu kaum yang apabila menyendiri melanggar larangan-larangan Allah.” (HR Ibnu Majah:4245, bab Zuhud;Shahih menurut Al Albani di dalam Shahih nya nomor 505)
Anas radliyallhu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثلاث مهلكات وثلاث مُنجِيات ، فقال: ثلاث مهلكات : شُحٌّ مُطاعٌ ، وهوًى مُتَّبَعٌ ، وإعجابُ المرءِ بنفسه. وثلاث منجيات : خشية الله في السر والعلانية ، والقصد في الفقر والغِنَى ، والعدل في الغضب والرضا.
“ Tiga yang mencelakakan dan tiga yang menyelamatkan. Tiga yang mencelakakan adalah kikir yang diperturutkan, hawa nafsu yang diikuti, dan bangga diri. Tiga yang menyelamatkan adalah takut kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, seimbang ketika miskin dan kaya, serta adil dalam keadaan marah dan senang.” (HR Bazzar no. 80; Al ‘Uqaili, hal 352; Abu Bakr Ad Dainuri dalam Al Mujalasah dan  Jawahirul ‘Ilmi,:343; mempunyai beberapa jalan dan hasan. Diringkas dari Ash Shahihah, 1802)
Munawi berkata : “(Takut kepada Allah) dalam keadaan tersembunyi didahulukan (dari keadaan terang-terangan), sebab taqwa kepada Allah dalam keadaan tersembunyi lebih tinggi derajatnya daripada dalam keadaan terang-terangan. Ini adalah derajat muraqabah. Rasa takutnya dalam keadaan tersembunyi dan terang-terangan tersebut mencegah dari mengerjakan setiap larangan,  dan mendorongnya melakukan setiap yang diperintahkan. Jika hamba tersebut lalai dari memperhatikan rasa takut dan ketaqwaarn, kemudian berbuat kesalahan, dia segera bertaubat kemudian terus menerus takut.”  (Faidlul Qadir, III/307)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya  tentang ihsan dalam hadits yang diberi nama Ummus Sunnah, beliau menjawab :
أن تعبد الله كأنك تراه  فإن لم تكن تراه فإنه يراك
“Engkau beribadah kepada Allah, seolah-olah engkau melihatnya, dan jika engkau tidak bisa melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Bukhari, I:114; Muslim, I:157-158; Tirmidzi, X:77-78; Abu Dawud, 4670; Nasa’i, VIII:97, semuanya dalam bab Iman kecuali Abu Dawud dalam bab Sunnah)
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
“Hadits ini termasuk jawami’ul kalim (perkataan simpel yang bermakna luas, ed) yang diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena seandainya seseorang beribadah dalam keadaan dapat melihat Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala, pasti dia tidak akan membuang buang kesempatan. Setiap bentuk ibadah seperti tunduk, khusyu’, berperilaku baik, terpadu lahir dan batin untuk memperhatikan kesempurnaan ibadah, pasti akan dia lakukan dengan sebaik-baiknya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Beribadahlah kepada Allah dalam seluruh keadaanmu seperti halnya kamu beribadah dalam keadaan melihat-(Nya).” Hal ini hanya bisa terwujud dengan adanya pengetahuan hamba tentang pengawasan Allah Ta’ala kepadanya, sehingga seorang hamba tidak bermalas-malas dalam beribadah. Makna ini tetap ada sekalipun hamba tersebut tidak mampu melihat-Nya. Oleh karena itu, sepatutnya seorang hamba beramal sesuai dengan tuuntutan-Nya. Karena maksud ucapan Nabi tersebut adalah menganjurkan ikhlas dalam beribadah dan merasa adanya pengawasan Allah kepada hamba-Nya dalam kekhusyu’an dan ketundukannya. Ahli kebenaran telah menganjurkan agar manusia bergaul dengan orang-orang yang shalih, sehingga dapat mencegah dirinya dari kekurangan, lantaran hormat dan malu kepada mereka. Dan bagaimana dengan orang-orang yang senantiasa diawasi oleh Allah, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan?.” (Syarah Shahih Muslim, Nawawi, I/157-158)
Ibnu Rajab berkata :
Ini (hadits Nabi diatas) menunjukkan bahwa seorang hamba beribadah kepada Allah ta’ala dengan cara menghadirkan rasa dekat dengan-Nya, dan dia seolah-olah melihat Allah berada di hadapannya. Keadaan ini mengharuskan seorang hamba takut kepada-Nya, sebagaimana terdapat dalam riwayat Abu Hurairah : “Hendaklah kamu takut kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya.” Keadaan ini juga mengharuskan ikhlas dalam beribadah, dan berupaya memperbagus dan menyempurnakannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada sekelompok sahabat, melalui sabdanya, “Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Kalimat ini merupakan penjelas. Sebab, seorang hamba bila diperintah untuk muraqabah kepada Allah Ta’ala dengan menghadirkan rasa dekat kepada-Nya, sampai seolah olah dia melihat Allah, terkadang amat sulit melakukanya. Maka, hendaklah dia beribadah dengan keyakinan bahwa Allah melihatnya, mengawasi rahasianya, dan yang dinyatakannya, lahirnya maupun batinnya, dan tidak ada satu perkarapun yang tersembunyi bagi Allah. Apabila tingkatan itu telah tercapai, maka mudah bagi dia untuk beralih ke tingkat berikutnya, yaitu ke bashirahnya merasa dekat dengan Allah, dan merasakan Allah bersamanya, sampai seolah-olah dia melihat-Nya.
Sabda Nabi ini juga merupakan isyarat, bahwa barang siapa merasa sulit untuk beribadah kepada Allah seolah-olah dia melihat Allah, hendaklah beribadah kepada Allah atas dasar bahwa Allah melihatnya dan mengawasinya, dan hendaklah malu atas pengawasan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang – orang yang arif : “Bertaqwalah kepada Allah, karena Ia adalah Pelihat yang paling mudah melihatmu.”
Sebagian orang arif berkata : “Takutlah kepada Allah sebanding dengan kekuasaan Allah kepadamu dan malulah kepada Allah sebesar kedekatan Allah kepadamu.” (Jami’ul ‘Ulum, 33-34, secara ringkas)
Kesimpulannya : di antara hal –hal yang dapat membantu seorang bertaqwa, adalah melatih diri untuk muraqabah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjadikan hati selalu dekat dan berada dalam pengawasan-Nya. Dengan demikian, ia malu berbuat maksiat dan berupaya melaksanakan ketaatan dengan sebaik-baiknya.
Ada beberapa atsar yang memperkuat makna-makna ini :
Disebutkan dari seorang Arab, dia berkata : “Pada suatu malam yang gelap gulita saya keluar, tiba –tiba ada seorang gadis dan saya pun tergiur kepadanya, lantas dia berkata : “Celakalah kamu !, tidakah kamu memliki pencegah dari akalmu jika kamu tidak memiliki pencegah dari agama?” Saya jawab, “Sesungguhnya tidak ada yang melihat kita selain bintang – bintang.” “Lantas dimana penciptanya?” sahutnya.
Al Junaid ditanya : ”Apakah yang bisa membantu menundukkan pandangan?” Dia menjawab : “Pengetahuanmu bahwa pandangan Allah kepadamu mendahului pandanganmu kepada-Nya.”
Al Harits Al Muhasbi berkata : “Muraqabah adalah kedekatan hati tentang kedekatan Rabb.”
Dan Imam Ahmad berkata : “Apabila pada suatu hari Anda bersendirian, janganlah Anda berkata, “Saya bersendirian.” Akan tetapi katakanlah, “Di atas saya ada Pengawas.”
Janganlah Anda mengira bahwa Allah lalai walaupun sekejap, dan jangan pula menyangka bahwa apa – apa yang tersembunyi bagi-Nya adalah ghaib.

1.2  Mengenali Akibat Perbuatan Haram

[Baca...]