Banci  Dan Persoalan Fikih Shalatnya
6 March 2015,

Banci, atau dalam bahasa arab disebut khuntsa (الخنثى) terbagi menjadi dua:
Khuntsa ghayru musykil,   الخنثى غير مشكل     yaitu yang diketahui tanda-tanda kelaminnya apakah ia laki-laki atau wanita. Maka hukum-hukum fikih yang berlaku padanya sesuai dengan tanda-tanda kelamin yang nampak padanya. Jika tanda-tanda kelaminnya menampakkan ia laki-laki, maka berlaku hukum sebagaimana laki-laki. Demikian juga jika tanda-tanda kelaminnya wanita, maka berlaku hukum wanita.

Khuntsa musykil,الخنثى مشكل yaitu tidak diketahui atau tidak jelas tanda-tanda kelaminnya. Atau tidak diketahui secara pasti ia laki-laki atau wanita, atau tanda-tanda yang ada saling bertentangan sehingga menimbulkan keraguan.
Maka untuk khuntsa musykil ini ada beberapa hukum fikih yang perlu diketahui:

1. Banci (khuntsa musykil) tidak wajib shalat jama’ah di masjid
Ia tidak diwajibkan shalat berjamaah di masjid, dan hendaknya ia shalat di rumah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
الخُنثى هو : الذي لا يُعلم أذكرٌ هو أم أُنثى ، فلا تجب عليهم الجماعةُ ؛ وذلك لأن الشرط فيه غير متيقَّن ، والأصلُ براءةُ الذِّمَّةِ وعدمُ شغلِها
“khuntsa adalah orang yang tidak diketahui ia laki-laki atau wanita. Ia tidak wajib shalat berjama’ah, karena syarat diwajibkannya shalat jama’ah (yaitu laki-laki) tidak bisa dipastikan ada pada dirinya. Dan hukum asalnya adalah bara’atu dzimmah (tidak ada kewajiban) dan tidak adanya tuntutan untuk melakukannya” (Asy Syarhul Mumthi’, 1/140).

2. Banci (khuntsa musykil) boleh shalat di masjid namun ditempatkan pada shaf khusus
Walaupun tidak diwajibkan shalat di masjid, banci tetap boleh shalat di sana dan shalatnya sah. Namun sebaiknya ditempatkan pada shaf khusus.
لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ رِجَالٌ ، وَصِبْيَانٌ ، وَخَنَاثَى ، وَنِسَاءٌ ، فِي صَلاَةِ الْجَمَاعَةِ ، تَقَدَّمَ الرِّجَال ، ثُمَّ الصِّبْيَانُ ، ثُمَّ الْخَنَاثَى ، ثُمَّ النِّسَاءُ ، وَلَوْ كَانَ مَعَ الإْمَامِ خُنْثَى وَحْدَهُ ، فَصَرَّحَ الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّ الإْمَامَ يَقِفُهُ عَنْ يَمِينِهِ ، لأِنَّهُ إِنْ كَانَ رَجُلاً ، فَقَدْ وَقَفَ فِي مَوْقِفِهِ ، وَإِنْ كَانَ امْرَأَةً لَمْ تَبْطُل صَلاَتُهَا بِوُقُوفِهَا مَعَ الإْمَامِ ، كَمَا لاَ تَبْطُل بِوُقُوفِهَا مَعَ الرِّجَال .
وَالْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ مُحَاذَاتَهُ لِلرَّجُل مُفْسِدَةٌ لِلصَّلاَةِ ” انتهى .
“tidak ada khilaf di antara pada fuqaha bahwa jika dalam shalat jama’ah ada laki-laki, anak kecil, banci, dan wanita, maka urutannya dari yang terdepan adalah laki-laki, lalu anak kecil, lalu banci, lalu wanita. Jika yang menjadi makmum hanya ada 1 orang banci, ulama Hanabilah menegaskan bahwa banci tetap berdiri di sebelah kanan imam. Karena jika hakikatnya dia itu laki-laki, maka sudah benar tempatnya. Dan jika hakikatnya dia wanita, maka shalat tidak menjadi batal jika ada wanita berdiri di sebelah imam, sebagaimana juga tidak batal shalat seorang wanita jika ia berdiri di sebelah laki-laki. Dan yang masyhur di kalangan ulama Hanafiyah, banci yang berdiri sejajar dengan imam menyebabkan batalnya shalat” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 25/20).

3. Banci (khuntsa musykil) shalat dengan menutup aurat sebagaimana aurat wanita
Sebagian ulama berpendapat banci wajib shalat dengan menggunakan penutup aurat yang menutupi bagian tubuh yang termasuk aurat wanita. Dikarenakan adanya kemungkinan bahwa ia adalah wanita, dan ini merupakan pendapat yang lebih hati-hati.
يَرَى الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ أَنَّ عَوْرَةَ الْخُنْثَى كَعَوْرَةِ الْمَرْأَةِ حَتَّى شَعْرُهَا النَّازِل عَنِ الرَّأْسِ خَلاَ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ ، …… وَصَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّهُ يَسْتَتِرُ سَتْرَ النِّسَاءِ فِي الصَّلاَةِ وَالْحَجِّ بِالأْحْوَطِ ، فَيَلْبَسُ مَا تَلْبَسُ الْمَرْأَةُ . وَأَمَّا الْحَنَابِلَةُ فَالْخُنْثَى عِنْدَهُمْ كَالرَّجُل فِي ذَلِكَ ؛ لأِنَّ سَتْرَ مَا زَادَ عَلَى عَوْرَةِ الرَّجُل مُحْتَمَلٌ ، فَلاَ يُوجَبُ عَلَيْهِ أَمْرٌ مُحْتَمَلٌ وَمُتَرَدِّدٌ ” انتهى .
“Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa aurat banci itu sebagaimana aurat wanita. Bahkan termasuk juga rambut yang ada di wajahnya, selain wajah dan telapak tangan. Dan Malikiyyah menegaskan bahwa wajib bagi banci untuk menutup aurat sebagaimana aurat wanita dalam shalat, dalam rangka kehati-hatian. Maka, banci memakai busana yang biasa dipakai wanita (dalam shalat). Adapun Ulama Hanabilah, berpendapat bahwa aurat banci itu seperti aurat laki-laki. Karena adanay tambahan kewajiban menutup aurat lebih dari aurat laki-laki itu masih muhtamal (belum pasti). Maka perkara yang muhtamal dan mutaraddid (simpang-siur) tidak bisa memberikan beban wajib kepadanya” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 20/23).

Al Bahuti juga mengatakan:
قَالَ الْمَجْدُ : وَالِاحْتِيَاطُ لِلْخُنْثَى الْمُشْكِلِ : أَنْ يَسْتُرَ كَالْمَرْأَةِ
“Al Majd berkata: pendapat yang lebih hati-hati untuk khuntsa musykil adalah wajib menutup aurat sebagaimana aurat wanita” (Syarah Al Muntaha, 1/150).

Abul Fadhl Al Hanafi juga mengatakan:
 وَيُصَلِّي بِقِنَاعٍ  لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ امْرَأَةٌ
“banci hendaknya shalat menggunakan penutup wajah karena adanya kemungkinan bahwa ia wanita” (Al Ikhtiyar, 3/39).

4. Banci (khuntsa musykil) tidak boleh mengimami laki-laki atau banci
Banci tidak boleh mengimami laki-laki dan banci, namun boleh mengimami wanita.
وَلاَ تَصِحُّ إِمَامَةُ الْخُنْثَى لِلرِّجَال وَلاَ لِمِثْلِهَا بِلاَ خِلاَفٍ ؛ لاِحْتِمَال أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً وَالْمُقْتَدِي رَجُلاً ، وَتَصِحُّ إِمَامَتُهَا لِلنِّسَاءِ مَعَ الْكَرَاهَةِ أَوْ بِدُونِهَا عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ
“tidak sah status imam seorang banci jika makmumnya laki-laki dan juga jika makmumnya banci semisal dia, tanpa adanya khilaf dalam masalah ini. Karena adanya kemungkinan bahwa ia wanita, sedangkan yang diimami laki-laki. Namun sah status imamnya, jika makmumnya wanita, namun makruh (menurut sebagian ulama) atau tidak makruh menurut jumhur ulama” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 6/204).
5. Posisi banci (khuntsa musykil) ketika mengimami wanita
Para ulama khilaf mengenai posisi banci ketika mengimami wanita.
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ مَا عَدَا ابْنَ عَقِيلٍ إِلَى أَنَّ الْخُنْثَى إِذَا أَمَّ النِّسَاءَ قَامَ أَمَامَهُنَّ لاَ وَسَطَهُنَّ ؛ لاِحْتِمَال كَوْنِهِ رَجُلاً ، فَيُؤَدِّي وُقُوفُهُ وَسَطَهُنَّ إِلَى مُحَاذَاةِ الرَّجُل لِلْمَرْأَةِ .
ويَرَى الشَّافِعِيَّةُ أَنَّ التَّقَدُّمَ عَلَيْهِنَّ مُسْتَحَبٌّ ، وَمُخَالَفَتُهُ لاَ تُبْطِل الصَّلاَةَ . وَقَال ابْنُ عَقِيلٍ : يَقُومُ وَسَطَهُنَّ وَلاَ يَتَقَدَّمُهُنَّ
“Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah selain Ibnu Aqil berpendapat bahwa jika banci mengimami wanita maka ia berdiri di depan, bukan di tengah shaf. Karena adanya kemungkinan bahwa ia laki-laki, sehingga jika ia ditempatkan pada tengah shaf maka ini artinya ada kesejajaran antara shaf wanita dan laki-laki (dan ini terlarang, pent). Namun Syafi’iyyah berpendapat hal itu mustahab (sunnah), sehingga jika dilanggar tidak menyebabkan batalnya shalat. Adapun Ibnu Aqil, ia berpendapat: banci berdiri di tengah shaf bukan di depan” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 25/20).

6. Banci (khuntsa musykil) tidak boleh menjadi makmum dari imam wanita
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
لا يصحُّ أن تكون المرأةُ إماماً للخُنثى ؛ لاحتمالِ أن يكون ذَكَراً
“tidak sah jika wanita menjadi imam bagi banci, karena adanya kemungkinan bahwa ia laki-laki” (Asy Syarhu Al Mumthi’, 4/223).
Wallahu a’lam.
***

[Diringkas dari fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid di http://islamqa.info/ar/221919]
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id


[Baca...]





Pesan Imam Ali Untuk Syiah Dan Khawarij
7 March 2015

Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
يَهلكُ فيَّ رجلان مُحبٌّ مُفرِط ومُبغِض مفتَر
“Ada dua orang yang binasa karena sikap mereka terhadapku:
orang yang berlebihan dalam mencintaiku
dan orang yang membenciku lagi berdusta (atas namaku)”
(As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad: 1240).

Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Orang-orang yang berlebihan dalam mencintai Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu adalah Syi’ah Rafidhah. Mereka mengangkat derajad Ali radhiallahu’anhu melebihi derajat kenabian. Tidak hanya itu, diantara mereka ada yang lancang mengatakan bahwa Ali adalah tuhan.
Adapun orang-orang yang membenci dan mengkafirkan Imam Ali mereka adalah kelompok khawarij dan naashibi (kaum yang membenci Ahlul Bait Nabi).

Sementara Ahlus Sunnah Wal Jamaah mereka berlepas diri dari sikap Syi’ah Rafidhah yang berlebihan dalam memuliakan Ali dan Ahlul Bait lainnya, hingga mengklaim bahwa ahlul bait adalah orang-orang yang ma’shum. Ahlus Sunnah juga berlepas diri dari sikap An-Nawashib yang menampakkan permusuhan dan mencela Ahlul Bait yang istiqamah. Mereka juga berlepas diri dari perilaku Ahlul Bid’ah dan Khurafat yang bertawassul dengan Ahlul Bait dan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan yang diibadahi selain Allah” (Syaikh Shalih Al Fauzan dalam Kitabut Tauhid, hal. 92).

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ahlussunnah mencintai semua sahabat yang lebih dahulu masuk Islam, mengerti kedudukan, keutamaan dan keistimewaan para shahabat, serta selalu memperhatikan hak-hak Ahlul Bait yang disyariatkan oleh Allah kepada mereka…” (Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah, 2/71)
Wallahu a’lam.
Penulis: Aan Chandra Thalib, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id






Sejarah Kemunculan Syi’ah

Secara fisik, sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti lebih dalam terutama dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga tidak mungkin disatukan..
Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)

Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu Hazm)

Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun berpecah-belah.
Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya.

Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.
1). Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda:
من بدل دينه فاقتلوه
Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia

2). Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri

3). Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,
خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر
Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.

Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya.
Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.

Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
Kalian tinggalkan aku?
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).

Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan.
Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan mereka).

Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri.

Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi. (Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil ‘Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)

Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling ringan kesalahannya.
[Disusun dari dari berbagai sumber, di antaranya kitab Al-Furqon Bainal Haq Wal Batil tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, judul bahasa indonesia “Membedah Firqoh Sesat” penerbit Al-Qowam]
Penyusun: Satria Buana
Artikel Muslim.Or.Id


[Baca...]





Hukum Menjual Produk Imitasi

Feb 21, 2015

Apakah boleh menjual barang imitasi / KW?
Perlu diperhatikan bahwa ada tiga prinsip penting yang mesti diperhatikan dalam jual beli:
1.   Tidak boleh mengambil hak orang lain tanpa seizinnya;
2.   Tidak boleh membohongi dan menipu publik;
3.   Tidak boleh menyelisihi aturan pemerintah yang wajib ditaati, selama itu bukan maksiat.

Tidak Boleh Mengambil Hak Orang Lain Tanpa Izin;
Kita tidak boleh melanggar hak orang lain tanpa izin termasuk dalam masalah merek. Dalam kaedah fikih disebutkan,
لاَ يَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بِلاَ إِذْنٍ
Tidak boleh seseorang memanfaatkan kepemilikian orang lain tanpa izinnya.” (Lihat Ad Durul Mukhtaar fii Syarh Tanwirul Abshor pada Kitab Ghoshob, oleh ‘Alaud-din Al Hashkafiy)

Di antara dalil kaedah tersebut adalah hadits berikut, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridha pemiliknya.” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi)

Larangan Membohongi Konsumen (Publik):
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).

Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.

Tidak Boleh Menyelisihi Aturan Pemerintah:
Jika ada aturan pemerintah, atau undang-undang yang dibuat dan sifatnya mubah, tidak menyelisihi ketentuan Allah, aturan tersebut harus dijalankan.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839).

Undang-Undang Mengenai Merek:
Mengenai perdagangan produk atau barang palsu atau yang juga dikenal dengan barang “KW”, dalam Pasal 90 – Pasal 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”) diatur mengenai tindak pidana terkait merek:

# Pasal 90
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

# Pasal 91
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

# Pasal 92
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

# Pasal 93
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

# Pasal 94
(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran Dan secara tegas pula, dalam Pasal 95, UU Merek menggolongkan seluruh tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut sebagai delik aduan, bukan delik biasa. Dalam keilmuan hukum, hal ini berarti bahwa pasal-pasal pidana dalam UU Merek diberlakukan setelah adanya laporan dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain sehingga terkait delik aduan pun penyidikan kepolisian dapat dihentikan hanya dengan adanya penarikan laporan polisi tersebut oleh si pelapor sepanjang belum diperiksa di pengadilan.
Tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, hanya dapat ditindak jika ada aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari perumusan Pasal 95 UU Merek:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan.”
Ini berarti bahwa penjualan produk atau barang palsu hanya bisa ditindak oleh pihak yang berwenang jika ada aduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh hal tersebut, dalam hal ini si pemilik merek itu sendiri atau pemegang lisensi (Pasal 76 dan Pasal 77 UU Merek). (Sumber: HukumOnline.Com)

Penjelasan Ulama
Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus berkata,
“Berdasarkan uraian di atas, siapa saja yang menjual produk imitasi dengan kesan seakan-akan (barang tersebut) asli maka dia bukanlah orang yang bisa dipercaya dan bukanlah seorang yang menghendaki kebaikan untuk konsumen. …
Penjual produk imitasi itu berdosa. Namun, mengingat bahwa keuntungan yang didapat tidaklah haram karena zatnya, maka penjual boleh memanfaatkannya.
Adapun terkait dengan produk imitasi yang masih tersisa, maka itu boleh dijual. Dengan syarat, calon pembeli diberitahu bahwa produk tersebut tidaklah asli. Jika setelah mengetahui kondisi barang yang sebenarnya, dia tetap mau membelinya, maka tidak masalah. Akan tetapi, jika produk imitasi sudah habis terjual, penjual hendaknya menolak untuk membantu produsen imitasi untuk menjualkan produknya.

Setiap muslim wajib bertakwa kepada Allah dan menempuh jalan rezeki yang halal, karena bertakwa kepada Allah dan membuat Allah ridha adalah sebab untuk mendapatkan kemudahan dari Allah.” (PengusahaMuslim.Com)

Kesimpulan
1-   Siapa yang menjual barang KW (imitasi) dengan membuat kesan bahwa seakan-akan barang itu asli seperti dengan menggunakan merek terdaftar, tidaklah boleh. Penjual yang melakukan seperti itu berdosa karena melakukan penipuan.
2-   Jika sudah ada keterusterangan bahwa yang dijual adalah barang KW (imitasi) dan digunakan merek yang berbeda dengan merek terdaftar, maka tidaklah termasuk pelanggaran, juga tidak melanggar aturan undang-undang.
3-   Adapun jika yang dijual adalah dengan merek terdaftar dan penjual terus terang bahwa barang tersebut KW, maka ia melakukan pelanggaran: (1) melanggar hak orang lain berupa merek, (2) bagi produsen, menyelisihi peraturan pemerintah.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Sabtu pagi, 2 Jumadal Ula 1436 H
Artikel Rumaysho.Com


[Baca...]