MUSLIM, MUKMIN, DAN MUHSIN
Dalam Hadits Jibril `alaihissalam
عن عمر رضي الله عنه أيضاً قال : ( بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم ، إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب ، شديد سواد الشعر ، لا يرى عليه أثر السفر ولا يعرفه منا أحد . حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، فأسند ركبتيه إلى ركبتيه ، ووضع كفيه على فخذيه ، وقال : يا محمد أخبرني عن الإسلام . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ، وتقيم الصلاة ، وتؤتي الزكاة ، وتصوم رمضان ، وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلاً “ . قال : صدقت . فعجبنا له يسأله ويصدقه ! قال : فأخبرني عن الإيمان .قال : ” أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره “ . قال : صدقت .قال : فأخبرني عن الإحسان .قال : ” أن تعبد الله كأنك تراه ، فإن لم تكن تراه فإنه يراك “ . قال : فأخبرني عن الساعة .قال : ” ما المسؤول عنها بأعلم من السائل “ .قال : فأخبرني عن أماراتها . قال : ” أن تلد الأمة ربتها ، وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان “ .ثم انطلق ، فلبثت ملياً ، ثم قال : ” يا عمر أتدري من السائل ؟ “ .قلت : الله ورسوله أعلم .قال : ” فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم “ .   
Dari Umar bin Khaththab Ra, ia mengatakan, “Suatu hari ketika kami duduk-duduk di sisi Nabi Saw tiba-tiba datang  seseorang berparas seorang Arab dengan pakaian yang sangat putih bersih, dengan rambut hitam kelam dan tebal, namun tak seorangpun dari mereka mengenalinya, siapa dia itu. Bahkan Nabi Saw pun tidak mengenalinya.
Orang tersebut memberi salam kepada Nabi Saw  dan para shahabat nya yang tengah berkumpul dalam majlis tersebut. Kemudian mendekat kepada Nabi Saw  dengan sangat dekat, dimana dia mendekatkan kedua lututnya dengan lutut Nabi Saw  .
Kemudian orang tersebut mengajukan pertanyaan kepada Nabi Saw  sebagai berikut::
Hai Muhammad, kabarkanlah olehmu kepadaku tentang ISLAM.
Nabi Saw  pun menjawabnya: “Islam itu adalah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq untuk diibadahi kecuali Allah saja, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melakukan shaum di bulan Ramadlan, dan Haji ke Batiul Haram.
Mendengar jawaban Nabi Saw  , orang tersebut mengangguk seraya berkata,
“Anda benar”.
Kemudian orang tersebut mengajukan pertanyaan kepada Nabi Saw sebagai berikut: Hai Muhammad, kabarkanlah olehmu kepadaku tentang IMAN
Nabi Saw  pun menjawabnya: “Iman itu adalah anda beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir, dan (ketentuan) Taqdir-Nya yang baik maupun  yang buruk.
Mendengar jawaban Nabi Saw  , orang tersebut mengangguk seraya berkata, “Anda benar”.
Kemudian orang tersebut mengajukan pertanyaan kepada Nabi Saw sebagai berikut: Hai Muhammad, kabarkanlah olehmu kepadaku tentang IHSAN.
Nabi Saw  pun menjawabnya: “Ihsan itu adalah anda beribadah kepada Allah seakan-akan anda melihta-Nya, dan kalaupun anda tidak bisa melihat-Nya maka ketahuilah bahwa Dia itu selalu melihatmu”.
Mendengar jawaban Nabi Saw  , orang tersebut mengangguk seraya berkata, “Anda benar”.
Lalu kabarkanlah olehmu kepadaku “Sampaikanlah kepadaku tentang KIAMAT Nabi Saw  pun menjawabnya:
‘Orang yang ditanya tentang Kiamat tidak lebih tahu dibanding orang yang bertanya’.
Ia mengatakan, sampaikan kepadaku tentang tanda-tandanya. Beliau pun menjawab,Bila budak  wanita melahirkan tuannya, dan bila kamu melihat mereka yang berjalan di muka bumi tanpa alas kaki, tanpa pakaian,juga fakir, dan penggembala kambing bermegah-megahan dalam bangunan’.
Kemudian laki-laki itu pergi, tapi aku masih tercengang cukup lama. Kemudian Nabi Saw   bertanya kepadaku, ‘ Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya kepadaku tadi ? Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Beliau bersabda, ‘Ia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan tentang agama kalian”  HR Muslim.

FAEDAH-FAEDAH DARI HADITS JIBRIL as

1)          Perilaku pergaulan Nabi Saw dengan para shahabatnya, ini menunjuk kan baiknya akhlak Nabi Saw 
2)          Terdapat isyarat, bahwa bergaul di tengah-tengah ortang banyak merupakan keniscayaan bagi manusia, apalagi sebagai Muslim, dan tidak patut kiranya manusia menghindar atau uzlah dari kerumanan orang banyak.
3)          Bergaul dengan orang lain itu lebih utama  daripada menyendiri (uzlah)
4)          Disunnahkan bagi orang yang jahil bertanya kepada yang `alim, sebab bertanya itu merupakan setengah dari ilmu dan sekaligus sebagai obat kebodohan.
5)          Dalam bertanya ditekankan mengenai lmu yang memberi manfaat (ilmu nafi`) di dunia maupun di akhirat, serta meninggalkan pertanyaan yang tak faedahnya, sebagaimana Jibril as bertanya tentang apa itu Islam, Iman dan Ihsan.
6)          Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, bahwa dalam bertanya hendaklah disertai dengan adab (etika) yang baik terhadap mu`allimnya (gurunya) dan sopan dalam bertanya. Sebagaimana Jibril as mendekatkan kedua pahanya dengan pahala Nabi Saw  di dalam bertanya beberapa hal., sebagai penghormatannya kepada Nabi Saw  .
7)          Disunnahkan adanya hubungan dekat dan merendah bagi yang bertanya (murid) dengan gurunya
8)          Bertanya itu hendaknya disertai dengan etika yang baik, karena ia merupakan sebab diperolehnya ilmu. Ilmu adalah perbendaharaan (ibarat almari penuh barang berharga) dan kuncinya adalah dengan bertanya.
9)          Dari hadits di atas, nampak oleh kita bahwa salah satu sampainya wahyu kepada Nabi Saw  adalah dengan datangnya Jibril as dalam bentuk manusia dan langsung menemui Nabi Saw 
10)       Dalam menuntut  ilmu disyari`atkan untuk menjalani rihlah, sebagaimana halnya Jabir bin Abdullah melalkukan rihlah satu bulan penuh untuk bertanya satu masalah ilmu.. Begitu pula Sa`id bin Musayyab berkata, ‘aku lebnih dari 1 bulan malam dan siang dalam mencari (kejelasan) satu hadits
11)       Ketika lafal Islam diqarinahkan (disebutkan bersama dalam satu kalimat) dengan Iman, maka masing-masing memiliki makna yang berbeda. Dimana islam diartikan sebagai amalan-amalan lahir, berupa ucapan lisan dan amalan anggota badan (fisik), sementara Iman sebagai amalan-amalan batin berupa aqidah dan amalan-amalan hati. Dan hal ini disebutkan dalam QS Al-Hujurat: 14.
12)       Keislaman seseorang tidak sempurna kecuali dengan mendirikan shalat, menunai kan zakat, mengerjakan shaum di bulan Ramadlan dan pergi Haji ke Makkah bagi yang mampu.
13)       Rasulullah menghimpun kedua persaksian (Laa ilaaha illallah dan Muhammad rasulullah) dalam satu rukun, karena setiap ibadah untuk diterima Allah haruslah memenuhi syarat ikhlas dan mutaba`atur rasul, yang keduanya terhimpun dalam rukun pertama.
14)       Allah menamakan Islam, Iman dan Ihsan semuanya sebagai agama, dan ketiganya merupakan tingkat (derajat) agama
15)       Penjelasan bahwa Islam mempunyai lima rukun, sesuai dengan jawaban Nabi Saw  ketika ditanya oleh Jibril as.
16)       Setiap orang harus bersaksi dengan lisannya serta meyakininya dengan hatinya bahwa Laa ilaaha illallah – Muhammad rasulullah.
17)       Iman itu meliputi enam perkara, yaitu: beriman kepadfa Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadla’ dan qadar, yang baik dan yang buruk
18)       Allah telah menentukan apa yang terjadi hingga hari Kiamat 50 000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Apa yang telah ditetapkanNya atas manusiatidak akan luput darinya, dan apa yang tidak ditetapkan tidak akan menimpanya
19)       Penjelasan tentang ihsan yaitu manusia beribadah kepada Allah dengan “raghbah dan thalab” (pengharapan dan pencarian), seolah-olah ia melihat-Nya. Ia ingin sampai kepada-Nya.
20)       Derajat ihsan merupakan derajat tertinggi bagi hamba beriman. Jika tidak sampai pada derajat ini, maka ia jatuh pada derajat bawahnya, yaitu iman. Dan jika tidak sampai pada derajat iman, maka ia jatuh pada derajat Islam. Dengan demikian derajat manusia dalam beragama yang paling tinggi disebut Muhsin, lalu turun menjadi Mukmin, dan turun lagi sebagai Muslim
21)       Wajib bagi kita untuk “Muraqabatullah” (selalu merasakan adanya pengawasan Allah dan kedekatan-Nya dengan kita)
22)       Wajib kita yakin bahwa Nabi saw tidak mengetahui perkara ghaib
23)       Jawaban orang yang bertanya lebih banyak daripada apa yang ditanyakan
24)       Bahwa tak seorangpun termasuk Nabi Saw  yang mengetahui tentang Kiamat
25)       Kiamat itu punya tanda-tanda, sebagaimana disebutkan Nabi Saw  dalam hadits di atas, yaitu jika budak wanita melahirkan tuannya (anak laki yang lahir dari budak wanita dari hubungannya dengan tuannya, maka lahir sebagai tuan. Atau makna lain, bahwa zaman dimana seorang ibu menjadi budak bagi anak-anaknya). Tanda lainnya adalah dimana pada zaman itu orang fakir, miskin, tak berpendidikan dan tanpa alas kaki dan pakaian, namun berlomba-lomba dalam membangun gedung.
26)     Dalam hadits di atas, ditunjukkan adanya dekadensi moral manusia, banyaknya anak yang durhaka kepada orangtua, kemudian rakyat gembel bertingkah aneh bahkan menjadi penguasa dan pemimpin umat, dan memberikan amanat pekerjaan tidak sesuai dengan keahliannya, banyak harta terkelola dengan semena-menadfan secara berlebih-lebihan dan tabdzir

(Maraji` : Muqarrar Tauhid Kelas VII SMPIT Imam Bukhari (Abu ahmi);  dari Syarah Hadits Arba`in, oleh Al Imam an Nawawi, Al Iman Ibnu Daqiq al-`Id, Syaikh Abdurrahman As Sa`di, Syaikh Muhammad al Utsaimin, disusun oleh Sayyid bin Ibrahim al-Huwaithi).


[Baca...]





Antara Shalahuddin dan Al-Ghazali (Kisah Peran Ulama dalam Kebangkitan Umat)
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Pendiri dan Pembina INSISTS)
Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20, menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake up. We are back!”
Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat menduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi. Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid al-Aqsha terjadi genangan darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin merebut kembali Jerusalem, ia membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan aman.
Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (Lihat, David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman Pertengahan terhadap Islam.
Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan Shalahuddin al-Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada pula legenda tentang Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah dibaptis pada akhir hayatnya.
Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al-Ayyubi dipandang sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi nama anaknya “Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-Fatih, dan penguasa-penguasa (umara) Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada banyak generasi Muslim, bahwa jalan kebangkitan umat Islam adalah dengan menunggu dan berusaha menghadirkan seorang pemimpin politik kenegaraan. Bahkan, terkadang, harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam kondisi terpuruk, banyak yang berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia. Pemimpin baru yang tampil tak mampu berbuat banyak, atau bahkan seringkali menunjukkan kualitas jauh lebih rendah dari pada citra yang dimunculkan saat kampanye pemilihan kepemimpinan negara.
Peran Ulama
Kisah kebangkitan umat Islam dalam Perang Salib – setelah terpuruk dan dibantai Pasukan Salib dari Eropa – bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini. Kebangkitan umat Islam ketika itu terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat seperti Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru terjadi melalui kerja keras para ulama – melalui madrasah-madrasah – yang berhasil melahirkan satu generasi yang hebat, yaitu “Generasi Shalahuddin” (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu dipotret dan dianalisis dengan baik oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds. Buku ini memaparkan peran ulama-ulama seperti Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkan generasi Shalahuddin tersebut.
Peran Imam al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan dalam Kitab al-Jihad yang ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib. 1
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib. 2
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al-jihad al-akbar). Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks). 3
Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa, kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang ketika itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu, melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu kaum Muslim mereformasi jiwa mereka.
(The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined by al-Ghazali, in 1096. The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus, emphasized the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) – struggle against evil – over the jihad al-aÎghar (the minor jihad), i.e. the struggle against infidel. His aim was to help the Muslim rediscover his soul. At this time, it was necessary to effect the reform of morals and beliefs and to create ways of combating the various heterodoxies existing in the very bosom of Islam). 4
Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian, di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim mampu melaksanakan jihad efektif. Elisseef mencatat: “The person who would realize the ideal of the jihad which as-Sulami, Ghazali, and the ‘ulama of Damascus had advocated, was Nur ad-Din.” 5
Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah itu, Zengi wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187. 6
Istilah jihad, secara yuridis Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus, dan telah dipahami oleh para sarjana Muslim dalam pengertian “perang” (qital). Dalam makna khusus dalam bidang fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada ketentuan-ketentuan hukum dimana orang yang matin dalam jihad – dengan makna qital – diperlakukan jezanahnya sebagai syahid. Namun, memang terdapat berbagai hadith Nabi saw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam makna yang umum, seperti jihad dengan mengeluarkan kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim. Begitu juga dengan jihad melawan hawa nafsu, dengan lisan, dan harta.
Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik. Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menakankan pentingnya masalah ilmu. Ia membuka Kitabnya itu dengan “Kitabul Ilmi”. Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang dikatakan oleh Ali al-Sulami sebagai tahap “reformasi moral”. Tentu, tahap kebangkitan dan reformasi jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan benar?
Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai masalah: politik, keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan didudukkan secara proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu juga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, dengan makna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan pada aspek niat dan pembagian keilmuan serta penempatannya sesuai dengan proporsinya.
Problema politik umat ketika itu merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi, pronlematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga solusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama ketika itu berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim). Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah.
Banyak kaum Muslimin yang berpikir bahwa jika aspek politik direbut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. Pendapat ini sebagian benar. Tapi kurang sempurna. Kekuasaan politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam. Sebab, ad-daulah adalah penyokong penting perkembangan agama. Bukan hanya Islam.    Tetapi, juga agama-agama lain. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa atas jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan Dekrit ‘Edict of Milan’ (tahun 313) dan Kaisar Theodosius yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi (Edict of Theodosius, tahun 392). Perkembangan agama Budha juga tidak lepas dari peran Raja Asoka. Begitu juga eksistensi dan perkembangan agama-agama lain, sulit dipisahkan dari kekuatan politik. Sama halnya, dengan ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini. Eksistensi dan perkembangan mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik. Komunisme menjadi kehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan Kapitalisme akan diminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat mengalami kebangkrutan sebagaimana Uni Soviet.
Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak peristiwa membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahan Belanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinan ulama. Banyak lagi contoh lain.
Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua aspek itu harus mendapatkan perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harus memiliki pemahaman yang benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justru bisa menjadi perusak Islam yang signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukan tindakan yang keliru. Sebagai contoh, mereka mati-matian merebut kursi kepemimpinan di daerah atau departemen tertentu, sedangkan kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah dianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi karena faktor kursi kekuasaan, tetapi tidak demonstrasi apa-apa ketika ada penyimpangan dalam aqidah Islam, semisal kasus Ahmadiyah, penyebaran paham Pluralisme Agama, atau kezaliman yang sangat mencolok, semisal pembangunan patung yang memakan dana rakyat milyaran rupiah, disaat rakyat sedang dililit kesulitan hidup dan berbagai penyakit yang mematikan.
Jadi, tidaklah benar jika dalam perjuangan mengabaikan salah satu aspek kehidupan. Tetapi, semuanya harus ditempatkan dalam proporsi dan tempatnya. Itulah yang namanya adil. Nabi Muhammad saw memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, Nabi, wahyu, adil, agama, dan sebagainya. Pondasi pemikiran (afkar), pemahaman (mafahim), standar-standar nilai (maqayis), dan ketundukan (qana’at), yang Islamiy ditanamkan secara kokoh oleh Nabi Muhammad saw kepada para sahabat ketika itu. Mereka tampil sebagai sosok-sosok ulama dan cendekiawan serta pejuang yang tangguh dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dilihat, bagaimana hebatnya argumentasi Ja’far bin Abi Thalib ketika berdebat dengan Raja Najasyi dan orang-orang kafir Quraisy Mekkah di Habsyah. Ja’far dan kaum Muslimin yang sedang dalam kondisi terjepit meminta perlindungan kepadsa Najasyi, mampu memberikan argumen-argumen yang canggih seputar masalah Isa a.s. yang menjadi titik sentral kontroversi Islam dengan Kristen.
Ringkasnya, perjuangan Islam dalam menghadapi problematika yang dihadapi umat ini, perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perlu dipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, Perang Salib, dan sebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalam berbagai arena perjuangan.
Rasulullah saw bersabda: “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”. (Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan lisan-lisanmu). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al-Darimi, dengan sanad yang sangat kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih. 7
Melalui hadits tersebut, Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukan jihad secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baik harta, jiwa, maupun lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tiga aspek: harta, jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalah salah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang antara al-haq dan al-bathil.
Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi-Allah ‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. 8
Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untuk menggabungkan seluruh kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun lisan (intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapan kekuatan fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda diperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semua potensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka, perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Jika kaum Muslim mampu menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang. Jika potensi itu terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa kaum Muslimin.
Peran ilmu dan ulama
Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-Quran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam bidang kehidupan. Banyak ulama yang mensyaratkan ‘kemampuan berijtihad’ bagi kepala negara (khalifah).
Adalah ideal jika ulama dan umara sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan cepat berkembang jika ulama dan umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimana salah satu dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama yang baik lebih diperlukan. Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, para ulama Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikuti ulama ketimbang umara. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak. Tetapi, ulama-ulama Islam ketika itu gigih mempertahankan ad-Dinul Islam. Alhamdulillah, meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam, umat Islam lebih mengikuti ulamanya.
Maka, yang perlu diperhatikan dan dicermati, — disamping kerusakan umara – adalah kerusakan ulama. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang cinta dunia, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam. Jika kondisi seperti ini sudah terjadi, maka umat Islam harus bersiap-siap mengalami kebangkrutan. Lebih rusak lagi jika para ulama sudah mencintai dunia, menjual agama dengan harta benda dunia, dan yang merusak ilmu-ilmu agama dengan dalih menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman.
Adalah musibah dan fitnah besar, misalnya, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru lahir orang-orang yang berpaham atheis atau yang gila dunia. Jika ilmu agama sudah dirusak, maka akan lahir ulama yang rusak (ulama as-su’); yakni ulama, yang harusnya menjadi penjaga agama, justru menjadi penghancur agama. Ketika ilmu-ilmu Islam dirusak, maka tidak ada jalan kembali bagi peradaban Islam untuk bangkit lagi. Karena itu sangat diprihatinkan, jika umat Islam membiarkan terjadinya serangan pemikiran yang akan merusak ilmu-ilmu agama.
Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk tulisan Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).
Penutup
Sekelumit kisah kebangkitan umat Islam di era Perang Salib tersebut bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita, betapa pentingnya peran ulama dalam proses kebangkitan umat Islam. Ulama adalah pewaris Nabi. Maknanya, Nabi mewariskan perjuangannya pada kepemimpinan ulama. Jatuh bangunnya umat terletak pada baik atau tidaknya kualitas ulamanya. Jika ulamanya jahat atau jahil maka bencana besar menimpa umat.
Jadi, sepanjang zaman, ulama harus senantiasa ada dalam jumlah yang memadai. Sebab, perjuangan Nabi tidak boleh berhenti. Ulama tidak dilahirkan dan tidak turun dari langit. Tapi, ulama lahir dari proses pendidikan. Ironis, jika di masa penjajahan, lembaga pendidikan Islam bisa melahirkan ulama-ulama hebat, tapi di masa kemerdekaan, justru tidak mampu melahirkan ulama-ulama hebat pewaris Nabi. Semoga musibah itu tidak menimpa lembaga pendidikan kita. Amin.
1 Nikita Elisseef, “The Reaction of the Syrian Muslim after the Foundation of the First Latin Kingdom of Jerusalem”, dalam Maya Shatzmiller (ed), “Crusaders&Muslims in Twelfth-Century Syria”, (Leiden: E.J. Brill, 1993), 163. W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual, 144.
2 Nikita Elisseef, The Reaction, 164; Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, 107.
3 Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, 107.
4 Nikita Elisseef, The Reaction, 164. Dr. Majid Irsan al-Kilani mengemukan dalam bukunya, berbagai penyakit moral yang menggerogoti umat Islam pada waktu itu, yaitu terutama penyakit hubbud dunya (cinta-dunia), penyakit fanatisme kelompok, dan penyakit kekacauan pemikiran Islam. (Lihat, buku Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina).
5 Nikita Elisseef, The Reaction, 165.
6 Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, 112-131.
7 Musa b. Ismail, Sunan Abu Dawud, (Istanbul: Kitab al-Jihad, bab. 17, 1992), 22-23).
8 Muhammad bin Muhammad al-Husayniy al-Zabidiy, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin bi al-Sharh Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), 397, 657.



[Baca...]