Tafsir Tematik QS An Nisa’ : 77
Tafsir Tematik Mengikuti Manhaj Ahlus Sunnah
Berjihad Melalui Pendidikan & Pengajaran
Oleh : Abu Fahmi Ahmad
Bagian ke-01:
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah SWT berfirman:
"Tidakkah kamu perhatikan
orang-orang yang dikatakan kepada mereka[a]: "Tahanlah tanganmu (dari
berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah
diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan
munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan
lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa
Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?"
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya
sedikitpun[b]. QS 4: 77.
[a] Orang-orang yang Menampakkan
dirinya beriman dan minta izin berperang sebelum ada perintah berperang.
[b] Artinya pahala turut berperang
tidak akan dikurangi sedikitpun.
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Kitab Tafsirnya mengatakan: “Orang-orang mukmin
pada awal Islam, ketika itu di Makkah, mereka diperintahkan untuk
shalat dan zakat, walau
tanpa batasan tertentu. Mereka diperintahkan
untuk melindungi orang-orang fakir, diperintahkan untuk toleransi dan memaafkan
kaum musyrikin, dan sabar hingga batas waktu yang ditentukan. Padahal mereka
amat membara dan amat senang seandainya mereka diperintahkan berperang melawan
musuh-musuh mereka. Akan tetapi, kondisi saat itu tidak memungkinkan
dikarenakan banyak sebab. (Jilid I: 538).
Selanjutnya beliau
mengatakan, alasan utama mengapa Allah belum memerintahkan jihad (qital)
melawan musuh-kaum musyrikin-kafirun ketika kaum mukmin masih berada di Makkah
(fase-fase awal dakwah Nabi Saw), dan baru perintah itu Allah sampaikan ketika
mereka telah berhijrah ke Madinah, antara lain adalah:
1.
Sedikitnya
jumlah kaum mukmin dibandingkan jumlah & kekuatan musuh
2.
Mereka
masih berada di wilayah tanah haram, di kota sendiri, tempat yang paling
mulia..
3.
Belum
memiliki kekuatan, benteng dan pendukung yang memadahi.
Oleh karenanya,
mereka tidak diperintahkan jihad kecuali setelah di Madinah, ketika mereka
telah memiliki negeri, benteng dan dukungan.
Ayat di atas juga
menjelaskan, ternyata ketika di Madinah, dimana Allah memerintahkan jihad,
justru sebagian mereka berbalik fikiran menjadi
“enggan”(dan bahkan menolak dengan berbagai alas an yang tidak logis,
pent) menerima perintah jihad, bahkan minta ditunda. (Pent. Padahal
ketika awal Islam di Makkah, dimana mereka
(masih) dalam kondisi lemah, mereka itu yang paling ngotot meminta
disyaria`atkan Jihad berperang melawan musuh dengan segera) Mereka
beralasan khawatir terjadinya pertumpahan darah, anak-anak menjadi yatim dan
isteri-isteri menjadi janda. (Hal. 538-539). Bagaimana dengan model kaum muslimin seperti
kita ini ? Yang telah terjangkit parah
penyakit “al wahn” ? Cinta dunia dan takut mati ?.Dan mayoritas umat ini
tak terdidik dengan didikan Islam yang baik. Mesin uang mengatur perjalanan
para da`i, dan bahkan mesin manajemen dakwah di atur oleh kemauan pemilik
modal, walau dengan alasan bahwa ekonomi itu teramat penting dalam dakwah dan
pendidikan …. Bagaimana mungkin menjadi
seorang “muharrik” padahal mereka belum merasakan lezatnya ujian iman,
pengorbanan dan Itsar ?
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi
rahimahullah mengatakan : “mereka itu
menginginkan penundaan perintah perang, (bila perlu) sampai mereka menemui
kematian tanpa menghadapi musuh dan bertempur melawannya. Sehingga kemudian
Allah memerintahkan Rasul-Nya agar berkata kepada mereka, “Kesenangan dunia
ini hanyalah sementara, dan akhirat bagi orang bertaqwa jauh lebih baik
daripada kehidupan dunia” (Aisarut Tafasir li Kalaamil `Aliyyil Kabiir,
Jilid I : 511).
Menurut
Syaikh Abdurrahman As Sa`di rahimahullah dalam mengomentari ayat ini,
dia berkata: “Ada beberapa faedah adanya perintah di atas ketika kaum
mukmin masih di Makkah (kondisi lemah dan sedikit):
1.
Ini
merupakan hikmah dari Allah ta`ala yang mensyariatkan untuk hamba-hamba
Nya dengan tidak memberatkan, dan memulainya dari yang paling penting diantara
yang penting penting, dari yang paling mudah di antara yang mudah-mudah.
2.
Andaikan
Allah perintahkan (wajibkan) mereka, tatkala masih lemah dan sedikit jumlah
mereka, di tengah musuh yang jauh lebih kuat dan lebih banyak, akan membawa
mafsadat bagi mereka dan perkembangan Islam itu sendiri. (Taisirul Kariimir
Rahman fi Tafsir Kalamil Mannaan, hal. 187-188)
Ibnul
Qayyim al jauziyah rahimahullah
mengomentari ayat 4 : 77 ini sbb:
“Alasan
Allah ta`ala melarang kaum mukmin di Makkah (fase Makkah), dari penggunaan
tangan (kekuatan) dalam membela Islam, dan bahkan memerintahkan mereka untuk
memaafkan kaum musyrik dan berlapang dada atas prilaku tak bersahabat dari
mereka, tidak lain agar bisa menutupi celah-celah ke arah timbulnya mafsadat
yang lebih besar, untuk dapat membuka kemaslahatan dalam memelihara
jiwa mereka, dien mereka, keturunan mereka. Dan ini jauh
lebih penting” (I`lamul Muwaqqi`iin, II: 150).
Faedah
Dari Tafsir Ayat ini:
1.
Bahwa
perintah jihad dikaitkan dengan kondisi kesiapan kaum muslimin itu
sendiri, bukan karena keinginan atau
tuntutan sesaat sebelum waktunya.
2.
Ketika
kaum muslimin masih lemah, mereka diperintahkan untuk menegakkan
shalat, zakat, menyantuni fuqoro’-masakin, memaafkan dan lapang dada menghadapi
perlakuan musuh.
3.
Bagaimana
mungkin kita berjihad sementara kita rapuh dalam tauhid dan akhlak
4.
Bagaimana
mungkin kita berjihad padahal kita belum merasakan lezatnya santapan
kesabaran dan ukhuwwah.
5.
Bagaimana
mungkin kita berjihad, sementara kita belum mengenal apa itu pengorbanan dan
sikap lebih mengutamakan orang lain.
6.
Bagaimana
kita berjihad, sementara kita belum merasakan lezat dan nikmatnya taat
kepada Allah dan kepatuhan kepada-Nya.
Perhatikan QS Muhammad: 31).
7.
Dalam
fase seperti ini, maka berdakwah kepada tauhid adalah prioritas
yang harus didahuklukan, lalu disusul dengan pembinaan ibadah yang disertai
dengan pembinaan akhlak, adalah sebuah keniscayaan dan Manhajiyah,
dan bukan sebagai strategi atau tuntutan
sesaat.
8.
Yang
harus kita lakukan dalam kondisi kaum muslimin seperti ini, adalah: Tarbiyatul
Fardi wa Wihdatush shaff (mendidik pribadi/umat dan menyatukan shaff); dan
jangan banyak bicara tentang musuh dan apalagi penegakan syariat Islam (tanpa
thariqah yang jelas dan manhajiyah).
Artinya:
Tuntutan menegakkan nizham (system perundangan) Islam dan bertahkim dengan
syari`at Islam BUKANLAH merupakan “Langkah Pertama”, akan tetapi yang
menjadi “Langkah Pertama” (dalam Dakwah dan Tarbiyah, pent.) adalah :
(Upaya) mentranformasi masyarakat (muslim) itu sendiri – baik darikalangan
pengambil kebijakan (para pemimpin) maupun yang dipimpin (rakyat-kaum
muslimin), dari jalan lama yang mereka tempuh (yang tak sesuai manhaj,
pent.) kepada pemahaman-pemahaman Islam yang shahih. (Perkataan Sayyid Quthb,
dalam bukunya “Limadza A`dumuuni ?, hal. 44, dan Tafsir Fi Zhilal al
Qur’an, Jilid 2 hal. 712)…. (ini termasuk muhasabah Sayyid Qutbh – otokritik
terhadap perjalanan dakwah IM – dalam pledoi-nya, saat akan dihukum gantung)
31.
Dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan
(baik buruknya) hal ihwalmu. QS Muhammad: 31
أن التربية لا تتحقق بالخطب . ولا بحضور
دروس العلم , ولا بحفظ متون الكتب. وإنما التربية : ممارسة عملية , وترجمة حقيقية
, لكل ما نتلقّى ونتعلّم على ساحة الواقع. وبِـعبارة أُ خْرى: هي العمل الصادق بالعلم الصحيح , أو
تزكية النفس على ما يحبه الله ورسوله صلى الله عليه وسلم.
Pendidikan
itu tidak terwujud hanya melalui retorika (lewat khotbah-khotbah), juga bukan
sekedar menghadirkan sejumlah pelajaran, dan bukan pula dengan menghafal
sejumlah kitab (walau itu semua penting). Akan tetapi Tarbiyah itu adalah
sebuah kesungguhan amal dan eksistensi dari sebuah hakikat, terhadap setiap
yang kita terima dan kita pelajari di lapangan kehidupan nyata.
Dengan
kata lain, bahwa tarbiyah adalah: suatu amal perbuatan yang konkrit dan nyata
yang disertai dengan ilmu yang shahih, atau ia merupakan penyucian jiwa
terhadap apa-apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya