PETAKA BESAR
MENIMPA UMMAT :
KARENA TAKLID BUTA DAN
FANATISME SEMPIT
Bagian-04, oleh Abu Fahmi Ahmad
PERKARA TAKLID DALAM HUKUM AMALIYAH
Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam bab ini adalah tentang perbedaan esensi antara
ta’ashshub dan tsabat (menetapi) terhadap suatu kebenaran. Keduanya mempunyai
pengertian yang hampir sama, sehingga banyak juga orang yang tidak bisa
membedakannya.
Kedua
istilah itu berbeda secara hakiki, baik dalam asal mula terjadinya, jalannya
maupun hasil-hasilnya. Masing-msing mempunyai pengertian dan batasannya
sendiri.
Penulis
Kitab Al Muqoddimah berkata,
“Memisahkan pengertian antara ta’ashshub dan tsabat terhadap kebenaran, agaknya
cukup sulit. Keduannya mempunyai makna yang berdekatan, sehingga keduanya
hampir tidak bisa dibedakan, kecuali bagi orang yang mempunyai keinginan untuk
menelitinya secarra mendalam. Maka kita melihat sebagian orang ada yang memuji
ta’ashshub, katanya hal itu sebagai bukti kuatnya iman dan mantabnya aqidah.
Namun ada juga sebagian yang mencela orang yang berpegang teguh kepada
kebenaran dan tsabit terhadapnya, mereka menuduhnya dengan jumud dan
ta’ashshub.”
“Asal mula
timbulnya ta’ashshub adalah lemahnya jiwa dan kejahilan akalnya. Kebenaran yang
dipegang adalah yang lahir dari kepuasan ra’yu
(akal) dan kejelasan dalil.”
“Jalan yang
ditempuh orang yang ta’ashshub adalah melawan (menghalangi) seseorang untuk
mengetahui dalil yang menyalahinya atau menolak untuk mendengarkan
(kebenarannya), atau mempertimbangkannya dalam bentuk apapun.”
“Sementara,
jalan yang ditempu oleh orang yang berpegang teguh pada kebenaran adalah
munaqosyah (diskusi) bebas, dan mendengarkan dalil yang bertentangan dengan
dada terbuka dan wawasan yang luas, serta menolak secara halus tanpa
menjatuhkannya dengan berharrap semoga dia diberi petunjuk.”
“Hasil
ta’ashshub adalah ikhtilaf, terbentuknya firqoh dan saling bembenci, sedangkan
hasil dari menetapi kebenaran adalah persatuan dan kesatuan pada kebenaran,
serta mengoreksi/menegur orang-orang yang menyalhi manhajnya. Lalu cahaya dalam
hati akan memancarkan sinar terang yang akan menunjukinya kepada jalan yang
luurus.”
“Ta’ashshub
dan berpegang teguh pada kebenaran, masing-masing mempunyai tempat dan
batasannya tersendiri.”
“Didalam
ushuluddin, prinsip-prinsipnya yang tsabit dan metawatir, dan apa-apa yang
datang dari Rosulullah saw, tidak ada tempat untuk toleransi. Bahkan, berpegang
teguh kepada kebenarran hingga mencapai titik optimalnya adalah hal yang
dituntut dan terpuji. Adapun dalam masalah-masalah yang dibolehkan untuk
berikhtilaf adalah sepertihalnya dalam masalah-masalah fiqh yang mengandung
berbagai pandangan, sesungguhnya berketetapan (tsabat) terhadap kebenaran,
bukanlah berarti meniadakan tasamuh (toleransi) atau saling menghargai, saling
menghormati ijtihad orang lain.” (lihat Moqoddimah fi Asbab Ikhtilaf ‘l Muslimin wa
Tafaruqihim, hal : 85-86).
Sekalipun pembahasan ini berkaitan
dengan masalah aqidah, namun, mau tidak mau, saya juga harus menyinggungnya
masalah yang berkaitan dengan pasal ini, yaitu masalah taqlid dalam hukum-hukum
fiqh, apakah boleh atau tidak?
Dalam
bahasan ini, saya akan menjesakan dengan bersandar pada perkataan-perkataan
para muhaqqiqin dari ahli ilmu, disamping penyajiannya sendiri saya ringkas
menurut perkara-perkara yang penting saja. Saya bicarakan masalah ini karena:
1. Erat kaitannya
dengan pembahasan pasal ini (taqlid dan ta’ashshub).
2. Perhatian
‘ulama, dulu maupun sekarang, tentang pentingnya perkara ini.
3. Salafush Sholih
tidaklah memisahkan antara yang ushul dan furu’ sebagaimana generasi sekarang,
dimana mereka bersandar pada pembagian-pembagian secara ilmiyyah dalam rangka
memperluas ilmunya lalu mengklasifikasikannya dengan membuatnya
bercabang-cabang.
4. Manhaj Ahlus
Sunnah wa Jama’ah adalahsatu dan bersifat umum dalam perlakuannya terhadap
berbagai jenis ilmu. Sebagaimana mereka mencela taqlid dan fanatik golongan
dalam hal prinsip agama dan aqidah, mereka pun mencela keduanya menakala
menyangkut perkara-perkarra ijtihadiyyah, yang bersifat cabang sekalipun.
Bahsan akan saya urut menurut
point-point berikut ini :
Pertama, Manusia, dalam hal ini ada yang
berlaku ekstrim dan ada yang berlaku adil (di tengah-tengah). (1) Diantara
mereka ada yang mengharamkan total tentang taqlid dan mewajibkan ijtihad. (2) Namun
ada juga yang mengatakan ‘wajibnya’ taqlid tanpa kecuali, sehingga setiap orang
baik ‘ulama maupun orang awam, diharuskan mengikuti secara taqlid kepada salah
seorang ‘alim diantara keempat imam mujtahid yang masyhur (Syafi’i, Malik, Abu
Hanafi, dan Imam Ahmad bin Hambal).
Kedua golongan ini sama-sama ekstrim
dalam memandang suatu perkara, dan ini tercela. Yang benar dan yang diikuti
oleh jumhur ‘ulama, dalam masalah ini perluadanya klasifikasi. Dimana mereka
menjadikan (hukum) bertaqlid itu dibolehkan secara umum, demikian pula
berijtihad. Tentu saja ungkapan ini, menurut mereka disesuaikan dengan
kemampuan dan ketidakmampuannya (dalam berijtihad).
Maka ijtihad adalah boleh saja bagi
yang memiliki kemampuuan untuk melakukannya, dan berlaku taqlid juga boleh saja
bagi yang tidak mampu berijtihad. (lihat
Majmu’ul Fatawa, XX : 203-204)
Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan hukum-hukum syari’at, Asy Syatibi mengelompokan manusia menjadi tiga
kelompok.
Kelompok pertama, yang layak sebagai mujtahid. Maka
baginya dalam menentukan hukum haruslah dengan ijtihadnya. (Al I’tishom, II : 342)
Kelompok kedua, tergolong dalam muqollid murni,
tidak memiliki ilmu yang bisa digunakan untuk memutuskan hukum dalam segala hal. Maka baginya
diperlukan pemandu yang membimbingnya.(Al
I’tishom, II 343)
Kelompok ketiga, yang tergolong memahami dalil dan
kedudukannya, namun tidak mencapai tingkat maujtahidin. Ia juga memiliki
pemahaman dalam mentarjih sumber-sumber yang rojih….. (Al I’tishom, II : 343)
Syatibi menganggap kelompok yang
terakhir ini labil dalam posisinya diantara kedua kelompok yang lain. Bila
tarjihnya dianggap layak, hal ini dihukumi sebagai mujtahid dan bagi yang
tidak, dihukumi sebagi mana orang awam pada umumnya.
Yang ke (3) : adalah yang dinyatakan oleh sebagian ‘ulama
sebagai “Ittiba”. Insya Allah
nanti akan disebutkan perbedaannya dengan taqlid.
Syaikh Abdurahman bin Hasan Ali
Syaikh berkata, “Maka (jelaslah), tidak ada satupun iman yang menguasai seluruh
ilmu. Maka setiap mukallaf, jika sampai kepadanya dalil dari kitab dan sunnah
RosulNya serta memahami pengertian itu, wajib baginya memutuskan untuk
mengikutinya dan beramal dengannya, sekalipun bertentangan dengan orang lain
yang berbeda pendapatnya. Seperti firman Allah Ta’ala,
Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selainNya…(Al A’rof : 3).” (Fathul Majid, Syarah Kitab Tauhid, hal
:345)
Justru yang harus diperhatikan
adalah syarat yang disebutkan oleh syaikhul tersebut, katanya, “Faham yang
menyebutkan tercegahnya seseorang melakukan perbuatan dengan sesuatu yang ia
ketahui dari Kitab dan Sunnah, sampai ia mencapai tingkatan mampu untuk
berijtihad secara mutlak, perkataannya bisa menjadi penghalang bagi kaum
muslimin untuk memperoleh manfaat cahaya Al Qur’an, sampai mereka memenuhi
persyaratan yang dituntut, yang ada dlam keyakinan orang-orang yang mengatakan
demikian. (lihat Adwa’ul Bayan,VII : 434)
Tak diragukan lagi, bahwa
berpalingnya kebanyakan kaum muslimin dari petunjuk Kitab dan Sunnah serta
jauhnya mereka dari penyinaran cahaya wahyu, merupakan sebab terjerumusnya
mereka ke dalam perselisihan pendapat dalam hal-hal sysri’at, yang akan
mengarah pada tafarruq di kalangan kaum muslumin yang menjadikan mereka
berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan.
Kedua,
Taqlid apa yang
diharamkan ? Dan kepada siapa larangan taqlid itu ditunjukan?
Pertanyaan dijawab oleh Ibnul Qoyyim
rohmahullah dalam kitabnya I’lam al Muwaqi’in, jilid II halaman
187, yaitu ketika ia membahas bagian-bagian taqlid yang diharamkan;
1. Berpaling dari
apa yang diturunkan oleh Allah dan tak memperdulikan sama sekali, mencukupkan
diri dengan bertaqlid kepada bapak-bapak dan nenek moyangnya.
2. Bertaqlid
karena tidak mengetahui bahwa (orang yang ditaqlidkannya itu) ahli, sehingga ia
mengambil (begitu saja) perkataannya.
3. Taqlid setelah
ditegakannya hujjah dari jelasnya dalil yang menentang perkataan Muqollad (orang yang ditaqlidkan).
Adapun kepada siapa larangan taqlid
ditujuakan, dapat kita fahami lewat uraian Ibnul Qoyyim tentang pengelompokan
jenis-jenis taqlid yang diharamkan. Maka setiap orang yang terjerumus kedalam
jenis tersebut, tekena celaan yang oleh para Imam ditujuakan kepada para Muqollad.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali
Syaikh mengomentari pernyataan Imam Ahmad yang berkata, “Saya heran kepada satu
golongan yang mendengarkan hadits, mengetahui sanad dan keshohihannya, lalu
meninggalkannya dan kemudian mengikuti pendapat sofyan dan lain-lain.”
Berkata
Syaikh, “Tentang pernyataan imam Ahmad itu menunjukkan kepada pengertian, bahwa
bertaqlid sebelum sampainya hujjah, maka pelakunya tidak dicela. Namun bagi
orang yang telah sampai kepadanya hujjah, lalu menyalahinya dan mengikuti
seseorang imam, itu adalah tertolak
(patut dicela).” (Fathul Majid, syarah Kitab Tauhid, hal ; 345)
Ketiga,
Dalam perkara apa
saja seseorang dibolehkan untuik bertaqlid? Siapa saja yang dibolehkan untuk
berlaku demikian?
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali
Syaikh berkata, “Tidak diperbolehkan taqlid, kecuali dalam perkara-perkara
ijtihad yang tidak ada dalil padanya, dari Kitab dan Sunnah, yang dapat dijadikan
rujukan.”(Fathul Majid, hal 344)
Penulis Kitab Al Muqoddimah berkata,
“Kita wajib mengetahui, bahwa atsar-atsar yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dan
yang lainnya dari kalangan ‘ulama tentang celanya bertaqlid, tidaklah mutlak
(berlaku umum), namun ia lebih kuat kaitannya dengan taqlid yang diharamkan.
Kalau tidak demikian, bagaimana jadinya mencela orang yang bertaqlid di dalam
masalah-masalah yang diperbolehkan dan dibenarkan baginya berlaku taqlid.” (lihat
Al Muqoddimah fi Asbab Iktilafil Muslimin, hal :93)
Syaikh Syangiti menambahkan tentang
perkara-perkara yang menyangkut ijtihad, yang menurutnya ada dua bagian,
“Ijtihad hanya diperbolehkandalam dua hal : perkara yang tidak ada nashnya sama
sekali dan perkara yang terdapat nash-nash yang lahiriyyahnya bertentangan,
maka wajib dilakukan ijtihad dalam rangkan mempertemukan keduanya (nash yang
tampaknya bertentangan itu), atau mentahrijnya.” (lihat Mudzakaroh Ushul Fiqh ‘alaa Raudlotin Nazhir, hal : 314-315)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, “Pada perkara ijtihadi, barang siapa yang beramal berdasarkan pada
perkataan sebagian ‘ulama, tidaklah tercela. Dan barang siapa yang beramal
berdasarkan salah satu dari dua perkataan (pendapat), juga tidak ditolak. Dan
jika masalah itu mempunyai dua pernyataan (ulama), maka seseorang bisa saja
beramal dengan salah satu dari dua pernyataan (ulama) itu bila nampak padanya
sebagian pendapat yang raji. Dan jika tidak demikian, ia boleh bertaqlid pada
sebagian ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menjelaskan mana yang
lebih rajih dari dua pernyataan itu…Allahu A’lam. (lihat Majmu’ul Fatawa, XX : 207)
Adapun orang yang diperbolehkan
melakukan taqlid adalah ; orang yang tak mampu mengetahui hukum syari’ dalam
satu persoalan agama. Maka bagi dia hendaklah bertanya kepada orang yang ‘alim
yang dapat dipercaya dalam agamanya dan ilmunya tentang hukum perkara tersebut.
Syaik Ibnu Taimiyyah berkata,
“Adapun bagi orang yang tidak mengetahui hukum Allah dan RosulNya, dan ia
(hanya mampu) mengikuti orang yang ahli tentang (ilmu) perkara tersebut, dan
juga agamanya, sementara ia belum mengetahu bahwa perkataan (ulama) lainnya itu
lebih rojih dari perkataan (orang yang ditaqlidkannya) itu, maka hal itu adalah
terpuji dan patut diberi pahala, pelakunya tidak dicela ataupun dihukum.” (lihat Majmu’ul
Fatawa, XX :225)