PETAKA BESAR
MENIMPA UMMAT :
KARENA TAKLID BUTA DAN
FANATISME SEMPIT
Bagian-05, selesai, oleh Abu Fahmi Ahmad
(Lanjutan)
Keempat,
Wajib membedakan antara ittiba’ dan taqlid.
Syaikh Syanqithi berkata,
“Ketahuilah, bahwa diantara yang harus dipahami adalah mengetahui perbedaan
antara ittiba’ dan taqlid. Seseorang dapat saja melakukan ittiba’ dalam satu
hal, namun tidak diperbolehkan baginya bertaqlid dalam hal tersebut.”
“Jelasnya demikian; Bahwa setiap
hukum yang sudah jelas dalilnya dari Kitabullah atau Sunnah RosululNya ataupun
ijma’ kaum muslimin, maka tidak diperbolehkan untuk bertaqlid dalam masalah
ini. Sebab, setiap ijtihad yang menyalahi nash maka ijtihadnya batil, dan tidak
boleh bertaqlid kecuali dalam masalah-masalah ijtihadi. Sebab nash-nash Kitab
dan Sunnah merupakan penentu (perkara hukum) bagi setiap orang yang melakukan
ijtihad. Maka tidaklah dibenarkan bagi siapapun yang menentangnya. Dan tidak
boleh taqlid dalam hal yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah ataupun ijma’,
sebabtidak ada uswah dalam hal kebatilan.”
“Maka didalam perkara yang
ditunjukan oleh dalil nash-nash, tidak ada jalan lain kecuali ittiba’ saja. Dan
tak ada ijtihad ataupun taqlid di dalam perkara-perkara yang sudah ditunjukan
oleh dalil-dalil nash, dari Kitab dan Sunnah, yang selamat dari pertentangan.”
“Membedakan antara taqlid dan
ittiba’ merupakan perkara yang sudah biasa menurut ahli ilmu, nyaris tak
terbantah tentang kebenaran maknanya oleh seorangpun dari mereka.” (lihat
Adlwa’ul Bayan, VII : 547-548)
Kemudian Syaikhul Islam rohimahullah
menerangkan sebab-sebab mengapa beramal mengikuti wahyu itu disebut ittiba’,
bukannya taqlid. Sebab ayat Al Qur’an sendiri menujkan tentang penamaan dalam
masalah ini dengan ittiba’ disebutkan dalam firman Allah,
Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selainNya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari
padanya). (Al A’rof : 3)
Lalu firmanNya lagi,
Dan
ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Robbmu.
(Az
Zumar : 55)
Katakanlah
: Sesungguhnya akau hanya mengikuti apa yang diwahyukan dari Robbku. (Al
A’raf : 203)
Dalam pembahasan ini ada perkataan
para Imam, diantaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dari
Ibnu Khuwaiz Mindad Al Maliky, ia berkata, “Taqlid dalam syari’at, yaitu
merujuk kepada perkataan yang tak disertai hujjah oleh yang mengatakannya,
adalah terlarang untuk dilakukan. Sedangkan ittiba’ adalah mengikuti perkara
hukum yang disertai hujjah diatasnya.”
(Bayaanul ‘Ilmi wa Fadlihi, II : 117)
Dikutip juga beliau, “Siapa saja
yang kamu ikuti perkataannya tanpa dalil yang mewajibkan kamu untuk mengikti
perkataannya itu, berarti kamu telah bertaqlid kepadanya. Dan taqlid dalam
Dienulloh tidak dibenarkan. Siapa saja yang mewajibkan kamu untuk mengikuti
perkataannya karena suatu dalil, maka kamu berittiba’ kepadanya. Dan ittiba’
dalam dienullah adalah dibolehkan, sedangkan taqlid itu dilarang.” (lihat Jaami’
Bayaanul ‘Ilmi wa Fadlihi, II : 117)
Kelima,
Kaidah-kaidah umum
dalam perkara taqlid :
1. Bagi muqollid,
hendaklah dia tidak mengikuti orang yang bertaqlidkannya kecuali terhadap
sesuatu yang ia (orang yang ditawlidkannya) memang ‘alim terhadap ilmu yang
dibutuhkan oleh si muqollid. Hal itu juga merupakan jalan yang ditempuhnya
untuk mendapatkan faedah dari limu tersebut. Jika diketahui atau diduga kuat
bahwa ia (yang ditaqlidinya) itu salah, hendaklah tidak meneruskan taqlidnya,
kecuali perkara itu jelas. Karena kesalahan dan ketergelinciran adalah hal yang
mungkin saja terjadi bagi setiap manusia. (Al I’tishom, II : 344)
2. Agar tidak
membabi buta dalam melakukan taqlid, terhadap orang yang jelas-jelas memiliki
kesalahan secara syari’ dalam taqlidnya. (Al I’tishom, II : 345; Majmu’ul Fatawa, XX :
214)
3. Orang awwam
tidak boleh meminta fatwa, kecuali terhadap orang yang diduga kuat, bahwa dia
itu seorrang ahli fatwa. Jika di dalam suatu negeri ada beberapa orang
mujtahid, maka boleh bertanya kepada siapa saja yang dikehendaki dari mereka. (lihat
Mudzakaroh Ushul Fiqh, oleh Syanqthi, hal 315)
4. Tidak benar
untuk beriiltzam kepada satu mahjab tertentu. Pada hakekatnya itu merupakan
bentuk taqlidnya seseorang kepada orang ‘alim pada setiap permasalahan yang
diperintahkan dan yang dilarangnya, dan ini adalah prinsip.Dalam menetapkan
prinsip tersebut , syaikhul Islam berkata, “Dan tidaklah wajib bagi seseorang
dari kaum muslimin untuk bertaqlid kepada seseorang ulama manapun, dalam setiap
hal yang dikatakannya.” (Majmu’ul Fatawa, XX : 209)
5. Pengucalian
dalam prinsip tersebut adalah : dibolehkan ittiba’ kepada mahjab tertentu bagi
seseorang yang tidak mampu mengetahui syari’at kecuali dengan cara tersebut. Syaikhul Islam berkata, “Ittiba’nya
seseorang kepada mahzabnya sendiri, adalah jalan yang dibolehkan bagi orang
yang tidak mampu mengetahui syari’at tanpa cara tersebut. Namun bagi orang yang
memungkinkan untuk menempuh jalan lai dalam mengetahui syari’at, itu tidak
boleh. Bahkan setiap orang hendaknya
benar-benar bertaqwa (takut) kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. (Majmu’ul
Fatawa, XX : 209).
Dibagian
lain, Syaikhul Islam mengatakan, bahwa dengan prinsip ini berarti ditolaknya
menisbatkan pada syaikh tertentu. Namun jika orang itu memungkinkan tidak bisa
beribadah kepada Allah, dengan apa-apa yang diperintahkanNya, kecuali dengan
jalan itu (menisbatkan diri pada madzhab tertentu), sebagaimana kondisi di
suatu tempat, dimana petunjuk, ilmu dan iman lemah ditempat tersebut, atau
dengan menisbatkannya ia pada syaikh, lalu akan
menambahkannya (pengetahuan) diennya dan ilmunya, maka dalam hal ini sesungguhnya
ia telah melakukan kebaikan bagi agamanya. Kemudian syaikh menerangkan bahwa
yang demikian itu biasanya tidaklah terjadi kecuali disebabkan kelengahannya
dalam mencari petunjuk, jika memang ada. (lihat
Majmu’ul Fatawa, XI : 514)
6. Tidak boleh
bagi orang yang menisbatkan pada seseorang ulama tertentu, untuk menampakan
muwalah dan mu’adahnya di atas asas penisbatan tersebut. Bagi siapa yang
melakukan hal demikian, berati ia termasuk ahli bid’ah. Syaikhul Islam berkata,
“Maka barang siapa yang lebih condong untuk bertaqlid kepada Syafi’I daripada
yang lainnya, sepatutnya tidak mengingkari orang yang lebih condong untuk
bertaqlid kepada Malik ketimbang pada yang lainnya. Dan barang siapa yang lebih
mengutamakan betaqlid kepada Imam Ahmad ketimbang pada yang lainnya, hendaklah
ia tidak mengingkari orang yang lebih mengutamakan bertaqlid kepada Syafi’I,
dan seterusnya…..(Majmu’ul Fatawa, XX : 292).
Dibagian
lain beliau berkata, “Barang siapa yang menisbatkan diri kepada seseorang,
sehingga ia bermuawalah dan bermu’adah terhadap apa-apa yang disepakatinya
dalam hal apapun dan kondisi manapun, baik dalam perkataan maupun perbuatan,
maka orang itu termasuk dalam apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
Termasuk orang-orang yang memecah
belah agama mereka, dan mereka dalam keadaan berkelompok-kelompok.” (Majmu’ul Fatawa, XX : 908).
Juga
dibagian yang lain beliau berkata lagi, “Adapun penisbatan-penisbatan yang
menyebabkan terpecahnya kaum muslimin, dalam hal ini keluar dari jama’ah dan
berikhtilaf, menuju firqoh dan menempuh jalan ibtida’ (bid’ah), maka yang
demikian adalah terlarang baginya, berdosa bagi pelakunya, dan berarti juga
keluar dari ketaatan kepada Allah dan RosulNya.” (Majmu’ul Fatawa, XI : 514)
7. Dipebolehkan
bagi muqollid untuk beralih madzhab kepada madzhab yang lain dalam perkara
dien, dan bukan untuk mencari kemudahan atau serupa dengan itu, yang bukan
dengan alasan perkara dien.
Contoh
dari kaidah ini adalah ; “seseorang muqollid berpindah kemadzhab lain dalam
suatu perkara yang dibangun di atas hujjah yang kuat dan dalil yang jelas, maka
yang demikian ini adalah perbuatan terpuji dan berpahala bagi pelakunya. Bahkan
hal ini wajib bagi setiap orang bila telah jelas baginya hhukum Allah dan
RosulNya, dalam urusan yang tidak menyimpang darinya.” (Majmu’ul Fatawa, XX : 223)
Jika
kaum muslimin benar-benar memperhatikan kaidah kaidah ini serta kaidah lainnya
yang telah dijadikan prinsip oleh ulama-ulama Islam, tentulah mereka tidak
terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan syari’ seprti ta’ashshub yang
menyebabkanya berfirqoh-firqoh dan bergolong-golongan.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------