HAKIKAT TAQWA,
التقوى الدرّة المفقودة والغاية المنشودة، للشيخ أ.د. أحمد فريد
Prof. Dr. Ahmad Farid; penterjemah:
Abu Fahmi Ahmad
-----------------------------------------------------------------------
CARA MENCAPAI
TAQWA (06-07)
MENGENALI
AKIBAT PERBUATAN HARAM
Di dunia ini, tidak ada yang namanya kejahatan dan
bencana besar, kecuali penyebabnya adalah perbuatan – perbuatan dosa dan
maksiat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Tidaklah Adam dan
Hawa keluar dari surga --tempat tinggal yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan
dan kebahagiaan—menuju ke tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan dan
musibah, kecuali disebabkan perbuatan maksiat.”
Begitu pula dengan iblis, karena perbuatan maksiatnya,
dia terusir dari malakut sama’, bentuk lahir maupun batinnya diubah
menjadi yang terburuk dan paling menjijikkkan, kedekatan posisi terhadap-Nya
diganti dengan jauhnya posisi dari-Nya, kasih sayang Rabb-Nya berubah menjadi
kutukan, dari surga menjadi neraka yang penuh penderitaan, sehingga ia menjadi
teramat hina di mata Allah subhanahu wa Ta’ala, dan jatuh tersungkur pada
pandangan Allah. Maka pantaslah bila ia menjadi ikutan bagi orang yang senang
berbuat kerusakan dan dosa lagi durhaka.
Allahumma, ya Allah, kepada-Mu lah kami berlindung dari
menyimpangkan perintah-Mu dan dari melanggar larangan-Mu.
Apakah yang menyebabkan permukaan air laut meluap
melebihi ketinggian gunung sehingga menenggelamkan semua penduduk bumi? Apa
yang menyebabkan bertiupnya angin dahsyat yang memusnahkan kaum ‘Aad –sehingga
bangkai-bangkainya bergelimpangan di atas bumi seakan-akan tunggul pohon kurma
yang lapuk--, menghancurluluhkan rumah-rumah dan ladang-ladang mereka ?
Siapakah yang mengirimkan suara menggelegar sehingga merontokkan hati, dan
akhirnya mereka mati karenanya ? Apa yang menyebabkan tercabutnya perkampungan kaum
Luth, tatkala malaikay mendengar gonggongan anjing – anjing mereka, lalu Allah
membalik bumi, sehingga tanah bagian atas menjadi bagian bawahnya, lalu mereka
dihujani batu – batu ? Apa yang menyebabkan dikirimnya awan hitam bergulung –
gulung kepada kaum Syu’aib, yang menurunkan hujan air panas dengan derasnya ?
Apa yang menyebabkan ditenggelamkannya jasad Fir’aun dan
kaumnya di tengah samudera, sementara ruh mereka dipindahkan ke jahannam untuk
dibakar ? Dan apa pula yang menyebabkan dimusnahkannya generasi setelah Nabi
Nuh ‘alaihi wa sallam dan dihancurluluhkan sehancur – hancurnya ? (Al
Jawabul Kafi, 42 -43, Daar Umar bin Khaththab)
Kemudian, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa at
taqwa mengandung faedah sangat besar dalam mencegah maksiat kepada Allah.
Patutlah kita berlindung kepada Allah agar kita selamat dari perbuatan
terlarang, kerugian dan penyesalan di kemudia hari. Selayaknyalah bagi setiap
orang yang berakal sehat, agar tidak melangkah menempuh satu jalan, sebelum dia
benar – benar mengetahui bahwa jalan itu selamat. Dia tidak ragu sedikitpun,
bahwa jalan kemaksiatan dapat membuahkan adzab di dunia dan di akhirat, membuat
dada menjadi sesak, rizki sempit, dibenci manusia dan keberkahan tercabut,
bagaikan makanan lezat namun beracun, yang memberikan kelezatan namun hanya
sekejap, lalu meninggalkan penderitaan dan penykit yang tak berkesudahan, di
dunia maupun (juga) setelah mati, sebagaimana dituturkan dalam sebuah syair :
Hilanglah kelezatan bagi orang
yang mencapainya melalui jalan haram,
sementara masih ada noda dan dosa.
Tinggallah akibat buruknya,
dan tidak ada artinya suatu kelezatan,
bila dibalik itu neraka menantinya.
TANASUH FILLAH (Saling
Menasihati Karena Allah):
CARA MENCAPAI
TAQWA (07)
MENUNDUKKAN HAWA NAFSU
Menundukkan Hawa Nafsu
Syaikh Mustafa As Siba’i
rahimahullah berkata :
”Jika nafsumu berhasrat ingin
melakukan maksiat, maka ingatkanlah dengan (menyebut Asma) Allah. Jika hal itu
tidak mengurungkan niatmu, maka ingatkanlah dengan (menyebutkan) akhlaq
seseorang. Jika belum urung pula niatmu, maka ingatkanlah dengan (menyebut)
cela dan noda perbuatan maksiat bila diketahui oleh orang lain. Jika tidak
(juga) urung niatmu itu, maka Anda ketika itu telah berubah menjadi (watak)
binatang.” (‘Allamtanil Hayah, 32, dinukil dari catatan Risalatul
Mustarsyidin oleh Al Muhasibi, 160)
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata :
“Sendi – sendi kekuatan setiap
perkara adalah cinta kepada Allah, mengharapkan ridla-Nya, taqarrub kepada-Nya
dengan berbagai cara, dan adanya kerinduan untuk bertemu dengan-Nya. Jika pada
diri hamba tidak terdapat himmah (kemauan keras) untuk melakukan semua itu,
maka bangkitkanlah motivasinya dengan surga beserta semua kenikmatannya, dan
apa – apa yang dipersiapkan Allah bagi para wali - wali-Nya. Jika hal ini belum
bisa membangkitkan semangat untuk memperolehnya, hendaklah ditakut – takuti
dengan siksa neraka dan apa – apa yang telah dipersiapkan Allah bagi orang –
orang yang maksiat kepada-Nya.
Dan apabila jiwanya tidak tergerak
sedikitpun untuk melakukannya, maka ketahuilah, bahwasanya dia diciptakan oleh
Allah untuk menjadi (penghuni) neraka jahim dan bukan (sebagai penghuni) surga
kenikmatan. Dan dia tidak mencapai keadaan tersebut, melainkan dengan
memperturutkan hawa nafsunya, setelah ditakdirkan dan diberi taufik oleh
Allah.”
Maka tidaklah Allah menjadikan
jalan menuju surga melainkan ditentangnya, dantidak pula Allah menjadikan jalan
menuju neraka melainkan diikutinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirnan :
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan
dunia. Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan Adapun orang-orang
yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsunya, Maka Sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (An Nazi’at 37-41)
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya
ada dua surga.” (Ar Rahmaan : 46)
Maksudnya, tatkala seorang hamba
hendak menurutkan hawa nafsunya untuk melakukan kemaksiatan, lalu dia mengingat
kebesaran Allah atasnya di dunia ini dan kedudukan dirinya di hadapan Allah di
akhirat kelak, maka dia pun segera meninggalkan kemaksiatan tersebut.
Allah telah memberitakan, bahwa
menurutkan hawa nafsu dapat menyesatkan dirinya dari jalan Allah, seperti
firman-Nya :
“Hai Dawud, Sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(Shaad : 26)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menghukumi zhalim bagi orang yang menurutkan hawa nafsunya tanpa mengikuti
petunjuk Allah, seperti firman-Nya :
“Maka jika mereka tidak menjawab
(tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa
nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.
sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al
Qashash : 50)
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan dua golongan pengikut, yaitu :
Golongan yang mengikuti apa – apa
yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan yang mengikuti hawa
nafsunya.
Tidak ada alternatif yang ketiga,
dan pasti seseorang akan mengikuti salah satu dari keduanya, bila tidak
mengikuti yang pertama berarti dia mengikuti yang kedua. (Raudhatul
Muhibbin, halaman 401-402, secara ringkas)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata :
“Waspadalah dengan
sebenar-benarnya terhadap kemaksiatan, sebab ia akan mendatangkan hukuman yag
pedih. Waspadalah dari perbuatan dosa, terlebih-lebih dosa khalwat (berduaan
dengan wanita bukan mahrom), sebab melawan larangan Allah akan mengakibatkan
penglihatan Allah berpaling darinya. Tidak ada yang memperoleh lezatnya maksiat
kecuali orang yang selalu lalai. Adapun orang mukmin yang sadar, dia tidak
merasa lezat dari (berbuat maksiat), sebab ketika merasakan kelezatannya, dia
sadar bahwa hal itu haram, dan dia ingat pula akan hukuman Allah. Maka, pengetahuannya
yang luas tentang (halal dan haram), menjadikan dia dekat dengan Yang Melarang
(yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala). Jika ia dikalahkan oleh gejolak nafsunya,
hatinya merasa gelisah karena meyakini pengawasan (Allah). Dan jika ia sempat
tenggelam dalam nafsunya, itupun hanya sekejap, lalu timbullah penyesalan yang
mendalam sepanjang zaman, akibat perbuatannya itu. Sampai, sekalipun dia yakin
akan adanya ampunan, dia masih dihantui oleh perasaan tercela. Maka dari itu,
bencilah Kepada dosa-dosa itu, alangkah buruk pengaruhnya, dan sangat jelek
beritanya. Syahwat itu tidak akan muncul, kecuali dalam keadaan kuatnya
kelalaian.” (Saidul Khatir, hal 129)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
:
“Ketahuilah olehmu, bahwa sabar
dari menuruti syahwat, lebih ringan dibandingkan sabar menghadapi dampak –
dampak syahwat. Syahwat itu, kalaulah tidak mendatangkan penderitaan dan
siksaan, sudah pasti akan menghilangkan kelezatan yang sempurna. Membuang-buang
waktu untuk menuruti syahwat, akan mendatangkan kerugian, penyesalan, merusak
kehormatan, memboroskan sejumlah harta dan menelantarkan potensi. Menjaga
kehormatan, menghemat harta dan menyalurkan potensi, jauh lebih bermanfaat
daripada sebaliknya. Tetap bertahan tidak melakukan kemaksiatan akan lebih
lezat dan lebih baik daripada melaksnakan (menurutkan) hawa (syahwat)nya.” (Al
Fawa’id, 182 – 83, Darud Da’wah)
Ringkasnya, manusia dalam
meninggalkan dan menjauhi kemaksiatan bisa melakukan berbagai upaya pencegahan.
Di antara manusia ada yang
mencegah kemaksiatan dengan cara mahabbatullah ‘Azza wa Jalla,
mengagungkan-Nya, dan takut menentanga-Nya. Inilah tingkatan tertinggi dari
cara mempertahankan ketaqwaan yang paling tepat.
Di antara manusia ada yang
mencegah kemaksiatan dengan cara membangkitkan motivasi untuk meraih tempat
kembali (surga) berikut
kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya, yang disediakan bagi orang –
orang yang bertaqwa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Barangsiapa meminum khamr di
dunia, maka dia tidak akan meminumnya di akhirat kelak, kecuali bagi yang
bertaubat.” (HR Muslim, XIII : 173; Bukhari, X:30; Malik dalam Al
Muwaththa’, II:846; Abu Dawud, no 3662; Tirmidzi, VIII:48; An Nasa’i,
VIII:318; semuanya dalam bab Minuman)
Bersenang – senang dengan barang
haram di dunia, menjadi sebab tercegahnya memperoleh kenikmatan di akhirat.
Maka sekali-kali tidaklah Allah
menyamakan antara orang-orang yang bersenang-senang dalam kehidupan dunia
dengan orang yang menahan hawa nafsunya dari kesenangan dunia, ketika menjumpai
Allah ‘Azza wa Jalla kelak.
Al Khaththabi berkata : “Makna
hadits tersebut adalah : Tidaklah masuk surga (bagi peminum khamr), sebab khamr
adalah minuman penduduk surga.” (Jami’ul Ushul, V/99)
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
“Maknanya, bahwasanya diharamkan
meminum khamr bagi hamba di surga sekalipun dia itu masuk surga, sebab minuman
khamr termasuk minuman kebanggaan surga. Pelaku maksiat tersebut terhalang
untuk meminum khamr (di surga) karena telah meminumnya di dunia fana. Dia lupa
terhadap syahwatnya sendiri, padahal di dalam surga itu terdapat segala yang
diinginkan. Dia tidak menginginkan khamr sekalipun dia mengingatnya. Jadilah
hal tersebut mengurangi kenikmatan yang menjadi haknya.
Berbeda halnya dengan orang yang
meniggalkan meminum khamr ketika di dunia.” (Syarah Muslim, Imam Nawawi, XIII/173)
Di antara manusia ada yang
meninggalka maksiat karena takut api neraka dan menemui kemurkaan Allah Yang
Maha Keras siksa-Nya, seperti yang dikatakan dalam syair :
Tidak ada kebaikan pada orang,
Yang tidak takut kepada Allah,
Ketika hawa nafsunya bergejolak.
Taqwalah yang menghalangi
jalan-jalan hawa nafsu,
Orang yang bertaqwa akan merasa
takut,
Bila datang ke akhirat dalam
keadaan hina.
Sebagian mereka meninggalkan
maksiat karena takut tercela dan mendapat aib paling jelek, yang membuatnya
malu karenanya, sebagaimana dituturkan dalam sebuah syair :
Tatkala hawa nafsu menyeretku pada
kekejian,
Malu dan kemuliaanlah yang
mencegahku.
Bukan pada perbuatan keji itu,
tanganku aku ulurkan,
Dan aku tidak berejalan
melangkahkan kaki untuk keragu-raguan,
Dia antara mereka ada yang
meninggalkan kemaksiatan karena mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkannya,
yaitu berupa tindak kejahatan, musibah (malapetaka) serta penderitaan – penderitaan,
sebagaimana dituturkan oleh sebuah syair :
Berapa banyak dari kemaksiatan itu
Mendatangkan kelezatan bagi
pelakunya,
Ia pun mati,
Terlepaslah kelezatan itu,
Tinggallah bencana yang harus ia
rasakan.
Habis sudah kelezatan maksiat,
Tinggallah akibat-akibatnya.
Wahai perbuatan maksiat.
Allah melihat dan mendengar hamba
yang berbuat maksiat.
Di antara mereka ada yang
meninggalkan kemaksiatan karena karena merasakan lezatnya meninggalkan
perbuatan jelek, dan merasa nikmat dapat mengalahkan hawa nafsu, sebab yang
demikian itu merupakan manisnya hati, yang tak diketahui oleh siapapun kecuali
bagi yang merasakannya.
Di antara mereka ada yang
meninggalkan kemaksiatan karena khawatir dapat mengurangi keberanian dan
kesatriaan. Seperti ‘Antarah, seorang penyair di masa jahiliyah, yang belum
pernah mendengar kalamullah (yang maknanya) : “Katakanlah, hai Muhammad, kepada
orang – orang mukmin laki-laki; hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An
Nuur:30), dia berkata : “Dan aku menahan mataku (pandanganku) ketika tetanggaku
menampakkan diri, sampai tetanggaku itu menutup lagi tempat tinggalnya.
Dan diantara mereka ada yang
meninggalkan kemaksiatan karena merasa malu kepada manusia, dan bukan takut
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini merupakan tingkatan (pencegahan
maksiat) yang paling rendah. Berkata sebagian mereka :
“Yang membuatku tidak berbuat
maksiat, bukan karena inggin menjauhkan diri dari hal – hal yang tidak baik,
namun aku takut (namaku) cacat di mata manusia, sehingga aku menjadi malu
melakukannya.”
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------