CARA MENCAPAI TAQWA (03),

MERASAKAN ADANYA PENGAWASAN ALLAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah melihat apa-apa yang akmu kerjakan. “ (Al Hadid : 4)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
“Makna ayat inim bahwa Allah mengawasi dan menyaksikan perbuatanmu kapan saja dan di mana saja kamu berada. Di darat ataupun di laut, pada waktu malam maupun siang, di rumah kediamanmu maupun di ruang terbuka. Segala sesuatu berada di dalam ilmu-Nya, di bawah penglihatan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar perkataanmu, melihat tempat tinggalmu di mana saja berada, dan Dia Mengetahui apa saja yang kamu sembunyikan serta kamu lahirkan.” (Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, IV/304)

Allah berfirman :
“Ingatlah, Sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk Menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad)[708]. Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala isi hati.” (Huud : 5)

Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah berkata :
“Allah Ta’ala menjelaskan di dalam ayat tersebut, bahwa yang dirahasiakan manusia, bagi-Nya tampak jelas, sebab Dia Mengetahui segala yang ada di lubuk hati (hamba-Nya), yang jelas atampak maupun yang tersembunyi dari makhluk-Nya. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini banyak sekali, seperti misalnya firman Allah :

“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf : 16)

“Dan ketahuilah bahwasanya Allah Mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Baqarah : 235)

“Maka Sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al A’raaf : 7)

“Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. “ (Yunus : 61)

Dan bila Anda membolak balik halaman Al Quran yang mulia ini, niscaya akan Anda dapati padanya ayat-ayat yang bermakna seperti ini.

Kemudian dia berkata di bawah judul “Tanbihul Ham” : “Ketahuilah, bahwasanya Allah Ta’ala tidak menurunkan penasihat dari langit ke bumi yang lebihh hebat daripada apa yang dikandung oleh ayat-ayat Al Quran. Allah Ta’ala Maha Mengetahui setiap hal yang dilakukan oleh makhluk-Nya, Maha Mengawasi mereka, dan tidak tertutup bagi-Nya apa yang mereka lakukan.”

Tentang penasihat yang hebat ini, para ulama memberikan suatu perumpamaan agar bisa dirasakan, mereka berkata :

“Andaikan ada seorang raja yang sadis, senang menumpahkan darah, bengis dan kejam, algojonya selalu siap siaga, kemudian alat penampung darah dihamparkan dan pedang meneteskan darah, sementara di sekelilingnya ada budak-budak perempuannya, istri-istrinya dan anak gadisnya. Apakah anda kira seorang diantara yang hadir itu berani melirik-lirik istri-istr dan anak-anak raja tersebut, semntara sang raja melihatnya dan mengawasinya ? Sekali kali tidak !! Bahkan seluruh hadirin menjadi ketakutan, hatinya takut, matanya tertunduk, badannya tak bergerak karena takutnya terhadap siksaan raja tersebut.

Tidak diragukan lagi, bahwa Allah memiliki sifat Yang Maha Tinggi. Sesungguhnya Penguasa langit dan bumi lebiih hebat pengetahuan, pengawasan dan siksaan-Nya daripada raja tersebut. Apabila seorang yang lemah memperhatikan bahwa Rabbnya sangat dekat dari dirinya, dan Dia mengetahui apa yang diniatkan, dikatakan dan dilakukannya, tentu hatinya akan luluh, takut kepada Allah, lalu memperbagus amalannya karena Allah.” (Adhwaul Bayan, III:9-10)

Beberapa hadis yang semakna dengan ayat – ayat tersebut di atas, menunjukkan wajibnya merasa ada pengawasan Allah Ta’ala terhadapnya, dan malu kepadanya dengan sebenar – benarnya.

Dari Ibnu Mas’ud radiyallhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, hendaklah menjaga kepalanya dan apa yang ada padanya, menjaga perut dan apa yang terkandung padanya, serta ingat akan kematian dan kebusukan. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka ia meninggalkan kesenangan dunia. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka ia benar-benar telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR Tirmidzi,IX:281, Kiamat;Hakim, IV:323, Kasih Sayang; dia katakan sanadnya shahih dan disepakati oleh Adz Dzahabi dan hasan menurut Al Albani)


CARA MENCAPAI TAQWA (04),
MERASAKAN ADANYA PENGAWASAN ALLAH (LANJUTAN)

Di dalam Al Faidl, Al Munawi berkata :
“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dengan cara meninggalkan nafsu dan syahwat, menahan diri dari hal-hal yang tidak disukai, sampai jiwa menjadi lembut dan bersih dari noda. Ketika itulah akhlaqnya menjadi mulia, cahaya langit memancar dalam dada hamba tersebut dan ilmunya tentang Allah menghnujam, sehingga selama hidupnya, ia merasa cukup dengan Allah, tidak butuh pada yang lain.”

Al Baidlawi berkata : “Malu kepada Allah tidak seperti apa yang kamu duga, namun hendaknya kamu menjaga diri dengan seluruh anggota badanmu dari ahl-hal yang tidak diridhai-Nya, baik perkataan maupun perbuatan.”

Sufyan bin Uyainah berkata : “Malu itu lebih ringan daripada taqwa. Seorang hamba tidak akan merasa takut sebelum merasa malu. Apakah ahlut taqwa itu bisa masuk ke tingkat taqwa jika tidak dimulai dari rasa malu ? Barangsiapa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, hendaklah menjaga kepalanya dan apa yang ada padanya, yakni indera yang lahir maupun yang bathin, sehingga tidak menggunakannya kecuali untuk hal-hal yang dihalalkan. Hendaklah memelihara perut serta apa yang terkandung dan berhubungan dengannya, sepeti : hati, kemaluan, tangan dan kaki. Janganlah mempergunakan anggota badan untuk maksiat kepada Allah, sebab Allah melihat semua perbuatan hamba dan tidak ada sesuatupun yang bisa menutupi-Nya.” (Faidlul Qadir, I/488)

Dari Usamah bin Syarik radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apa-apa yang tidak kamu sukai bila manusia melihat perbuatanmu, maka janganlah kamu melakukannya ketika kamu sendirian.” (HR Ibnu Hibban dalam Raudhatul ‘Uqala, 12-13, Adh Dhiya dalam Al Mukhtar, I:449, Al Albani berkata sanadnya dhaif, kemudian aku dapati suatu syahid yang mursal untuk hadits ini di dalam Jami’ Ibnu Wahbin, hal 65, dengan demikian hadits ini menjadi hasan, insya Allah, Ash Shahih,1065)

Tsauban radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari ummatku, datang pada hari kiamat membawa kebaikan seperti gunung Tihamah yang putih. Lalu Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan. Mereka itu adalah saudara – saudara kalian, dari kaum kalian, beribadah pada malam hari seperti yang kalian lakukan, akan tetapi mereka adalah suatu kaum yang apabila menyendiri melanggar larangan-larangan Allah.” (HR Ibnu Majah:4245, bab Zuhud;Shahih menurut Al Albani di dalam Shahih nya nomor 505)

Anas radliyallhu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Tiga yang mencelakakan dan tiga yang menyelamatkan. Tiga yang mencelakakan adalah kikir yang diperturutkan, hawa nafsu yang diikuti, dan bangga diri. Tiga yang menyelamatkan adalah takut kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, seimbang ketika miskin dan kaya, serta adil dalam keadaan marah dan senang.” (HR Bazzar no. 80; Al ‘Uqaili, hal 352; Abu Bakr Ad Dainuri dalam Al Mujalasah dan  Jawahirul ‘Ilmi,:343; mempunyai beberapa jalan dan hasan. Diringkas dari Ash Shahihah, 1802)

Munawi berkata : “(Takut kepada Allah) dalam keadaan tersembunyi didahulukan (dari keadaan terang-terangan), sebab taqwa kepada Allah dalam keadaan tersembunyi lebih tinggi derajatnya daripada dalam keadaan terang-terangan. Ini adalah derajat muraqabah. Rasa takutnya dalam keadaan tersembunyi dan terang-terangan tersebut mencegah dari mengerjakan setiap larangan,  dan mendorongnya melakukan setiap yang diperintahkan. Jika hamba tersebut lalai dari memperhatikan rasa takut dan ketaqwaarn, kemudian berbuat kesalahan, dia segera bertaubat kemudian terus menerus takut.”  (Faidlul Qadir, III/307)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya  tentang ihsan dalam hadits yang diberi nama Ummus Sunnah, beliau menjawab :
“Engkau beribadah kepada Allah, seolah-olah engkau melihatnya, dan jika engkau tidak bisa melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Bukhari, I:114; Muslim, I:157-158; Tirmidzi, X:77-78; Abu Dawud, 4670; Nasa’i, VIII:97, semuanya dalam bab Iman kecuali Abu Dawud dalam bab Sunnah)


CARA MENCAPAI TAQWA (05),
MERASAKAN ADANYA PENGAWASAN ALLAH (LANJUTAN)

Imam Nawawi rahimahullah berkata :
“Hadits ini termasuk jawami’ul kalim(perkataan simpel yang bermakna luas, ed) yang diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena seandainya seseorang beribadah dalam keadaan dapat melihat Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala, pasti dia tidak akan membuang buang kesempatan. Setiap bentuk ibadah seperti tunduk, khusyu’, berperilaku baik, terpadu lahir dan batin untuk memperhatikan kesempurnaan ibadah, pasti akan dia lakukan dengan sebaik-baiknya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Beribadahlah kepada Allahdalam seluruh keadaanmu seperti halnya kamu beribadah dalam keadaan melihat-(Nya).” Hal ini hanya bisa terwujud dengan adanya pengetahuan hamba tentang pengawasan Allah Ta’ala kepadanya, sehingga seorang hamba tidak bermalas-malas dalam beribadah. Makna ini tetap ada sekalipun hamba tersebut tidak mampu melihat-Nya. Oleh karena itu, sepatutnya seorang hamba beramal sesuai dengan tuuntutan-Nya. Karena maksud ucapan Nabi tersebut adalah menganjurkan ikhlas dalam beribadah dan merasa adanya pengawasan Allah kepada hamba-Nya dalam kekhusyu’an dan ketundukannya. Ahli kebenaran telah menganjurkan agar manusia bergaul dengan orang-orang yang shalih, sehingga dapat mencegah dirinya dari kekurangan, lantaran hormat dan malu kepada mereka. Dan bagaimana dengan orang-orang yang senantiasa diawasi oleh Allah, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan?.” (Syarah Shahih Muslim, Nawawi, I/157-158)

Ibnu Rajab berkata :
Ini (hadits Nabi diatas) menunjukkan bahwa seorang hamba beribadah kepada Allah ta’ala dengan cara menghadirkan rasa dekat dengan-Nya, dan dia seolah-olah melihat Allah berada di hadapannya. Keadaan ini mengharuskan seorang hamba takut kepada-Nya, sebagaimana terdapat dalam riwayat Abu Hurairah : “Hendaklah kamu takut kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya.” Keadaan ini juga mengharuskan ikhlas dalam beribadah, dan berupaya memperbagus dan menyempurnakannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada sekelompok sahabat, melalui sabdanya, “Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Kalimat ini merupakan penjelas. Sebab, seorang hamba bila diperintah untuk muraqabah kepada Allah Ta’ala dengan menghadirkan rasa dekat kepada-Nya, sampai seolah olah dia melihat Allah, terkadang amat sulit melakukanya. Maka, hendaklah dia beribadah dengan keyakinan bahwa Allah melihatnya, mengawasi rahasianya, dan yang dinyatakannya, lahirnya maupun batinnya, dan tidak ada satu perkarapun yang tersembunyi bagi Allah. Apabila tingkatan itu telah tercapai, maka mudah bagi dia untuk beralih ke tingkat berikutnya, yaitu ke bashirahnya merasa dekat dengan Allah, dan merasakan Allah bersamanya, sampai seolah-olah dia melihat-Nya.

Sabda Nabi ini juga merupakan isyarat, bahwa barang siapa merasa sulit untuk beribadah kepada Allah seolah-olah dia melihat Allah, hendaklah beribadah kepada Allah atas dasar bahwa Allah melihatnya dan mengawasinya, dan hendaklah malu atas pengawasan tersebut.

Sebagaimana yang dikatakan oleh orang – orang yang arif : “Bertaqwalah kepada Allah, karena Ia adalah Pelihat yang paling mudah melihatmu.”
Sebagian orang arif berkata : “Takutlah kepada Allah sebanding dengan kekuasaan Allah kepadamu dan malulah kepada Allah sebesar kedekatan Allah kepadamu.” (Jami’ul ‘Ulum, 33-34, secara ringkas)

Kesimpulannya : di antara hal –hal yang dapat membantu seorang bertaqwa, adalah melatih diri untuk muraqabah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjadikan hati selalu dekat dan berada dalam pengawasan-Nya. Dengan demikian, ia malu berbuat maksiat dan berupaya melaksanakan ketaatan dengan sebaik-baiknya.

Ada beberapa atsar yang memperkuat makna-makna ini :
Disebutkan dari seorang Arab, dia berkata : “Pada suatu malam yang gelap gulita saya keluar, tiba –tiba ada seorang gadis dan saya pun tergiur kepadanya, lantas dia berkata : “Celakalah kamu !, tidakah kamu memliki pencegah dari akalmu jika kamu tidak memiliki pencegah dari agama?” Saya jawab, “Sesungguhnya tidak ada yang melihat kita selain bintang – bintang.” “Lantas dimana penciptanya?” sahutnya.

Al Junaid ditanya : ”Apakah yang bisa membantu menundukkan pandangan?” Dia menjawab : “Pengetahuanmu bahwa pandangan Allah kepadamu mendahului pandanganmu kepada-Nya.”

Al Harits Al Muhasbi berkata : “Muraqabah adalah kedekatan hati tentang kedekatan Rabb.”

Dan Imam Ahmad berkata : “Apabila pada suatu hari Anda bersendirian, janganlah Anda berkata, “Saya bersendirian.” Akan tetapi katakanlah, “Di atas saya ada Pengawas.”

Janganlah Anda mengira bahwa Allah lalai walaupun sekejap, dan jangan pula menyangka bahwa apa – apa yang tersembunyi bagi-Nya adalah ghaib.



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------