CARA MENCAPAI TAQWA (01):
Prof Dr. Ahmad Farid /penerj.
Abu Fahmi Ahmad
Bab ini tidak bisa
diselami kecuali oleh jiwa yang memiliki keutamaan dan kemuliaan tinggi, yaitu
yang tidak pernah tentram dengan kerendahan, dan tidak menjual murah
kedudukannya yang tinggi. Kami mencoba menerangkan tentang kemuliaan taqwa dan
kerinduan hati kepada hal tersebut. Ada seorang berkata : “Demi Allah,
bagaimana saya bisa menggapai mutiara yang berharga ini, dan sampai kepada
tingkatan yang mulia.
Sesungguhnya orang
mukmin itu, jika dirangsang denga perbuatan baik, maka bangkitlah keinginan
untuk melakuakannya, dan jika ditakut-takuti dengan perbuatan buruk, maka dia
pun berusaha menghindarinya. Dan tidak ada kebaikan pada orang yang manakala
dicegah (dari perbuatan terlarang), dia tidak menghindarinya, dan manakala
diperintah (dengan perbuatan baik), tidak terbangkit keinginannya untuk
melakukan perintah tersebut.
Imam Al Ghazali
rahimahullah berkata :
“Keutamaan jiwa
seorang mukmin, hanya ada manakala ditegakkan di atas ketaqwaan, yaitu denga
kemauan keras ia tinggalkan setiap bentuk kemaksiatan, dan memelihara jiwa dari
setiap penyimpangan. Jika Anda melakukan yang demikian, niscaya Anda menjadi
taqwa kepada Allah (takut dengan sebenar-benarnya), melalui kedua mata, lisan,
perut, kelamin dan seluruh anggota tubuh. Berarti, Anda telah mengendaliknda
denga kendali taqwa.”
Bab ini memerlukan
syarah (penjelasan) yang panjang. Adapun yang perlu saya tekankan di sini
adalah :.
“Barangsiapa yang
ingin bertaqwa kepada Allah, hendaklah memelihara lima anggota badan, sebab
inilah yang pokok, yaitu sepasang mata, telinga, lisan, hati dan perut.
Berupaya keras untuk memelihara kelimanya dari setiap kemadharatan yang ia
takuti, anatara lain berupa kemaksiatan dan perkara haram, penyimpangan, dan
berlebih-lebihan (boros) dalam yang halal. Jika dia berhasil menjaga kelima
anggota badan tersebut, maka seluruh sendi (tubuh)nya cukup bisa diharapkan
(untuk baik), dan jadilah dia sebagai penegak taqwa kepada Allah Ta’ala secara
menyuluruh.” (Minhajul ‘Abidin, 76-77)
Jika Anda bertanya
: “ Bagaimana saya bisa menjaga seluruh anggota badan yang lima dari maksiat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan bagaimana saya bisa mengendalikannya
dengan ketaatan kepada Allah?.
Saya katakan :
“Dari pertanyaan Anda, akan saya himpun ke dalam beberapa topik yang dapat
menerangkan dan bisa kita jadikan jalan untuk menempuh ketaqwaan. Allah lah
pemberi taufiq kepada kita semua.”
والخص ذلك في خمسة أمور: (1) محبة الله عز وجل على
القلب العبد يدع لها كل محبوب ويضحى في سبيلها بكل مرغوب. (2) أن تستشعر في قلبك
مراقبة الله عز وجل وتستحى منه حق الحياء. (3) أن تعلم ما في سبيل المعاصى والآثام
من الشرور والآللام. (4) أن تعلم كيف تغلب هواك وتطيع مولاك. (5) أن تدرس مكائد
الشيطان ومصائده، وأن تحذر من وساوسه ودسائسه.
Tentang hal ini,
yaitu faktor yang dapat membantu mencapai ketaqwaan, saya ringkas dalam lima
perkara :
1. Mahabbatullah, kecintaan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah-lah yang menguasai hati seorang hamba. Ia
mampu menanggalkan kecintaan hamba terhadap segala sesuatu (selain-Nya)
sehingga rela berkorba dalam menempuh (jalan ketaqwaan).
2. Hati Anda harus dapat merasakan adanya
pengawasan Allah dan malu kepada-Nya dengan sebenar-benar malu.
3. Anda harus mengetahui segala sesuatu yang
ada di jalan maksiat, dan akibat yang ditimbulkannya berupa kerusakan-kerusakan
dan penyakit-penyakit.
4. Anda harus mengetahui bagaimana menundukkan
hawa nafsu dan menaati Maula (Allah Subhanahu wa Ta’ala)
5. Hendaknya Anda mengetahui tipu daya – tipu
daya syaithan berikut ranjau-ranjaunya, dan hendaklah waspada dari bisikan dan
tipu muslihatnya.
CARA MENCAPAI
TAQWA (02),
Kelima faktor yang dapat
membantu mencapai ketaqwaan tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut :
Mahabbatullah ‘Azza wa Jalla
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata :
“Mahabbah itu ibarat pohon (kecintaan) dalam hati,
akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat Yang dicintai-Nya, bentengnya
adalah ma’rifah kepada-Nya, rantingnya adalah rasa takut kepada (siksa) Nya,
daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkannya adalah taat
kepada-Nya, dan bahan penyiramnya adalah dzikir kepada-Nya. Kapan saja, jika
amalan-amalan tersebut berkurang, maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada
Allah).” (Raudhatul Muhibbin, 409, Darush Shafa)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
“Mahabbatullah Subhanahu wa Ta’ala itu memiliki dua
tingkatan :
Yang pertama : yang bersifat fardhu dalam menetapinya,
yauitu kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang mewajibkan dirinya
mencintai perkara yang fardhu, yang Allah wajibkan kepadanya, membenci
perkara-perkara yang Allah haramkan kepadanya. Mahabbah kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan perintah dan larangan-Nya,
mendahulukan mahabbah kepadanya daripada kepada dirinya sendiri dan anggota
keluarganya, ridho terhadap perkara Al Islam yang ia sampaikan dari Allah. Juga
mahabbah kepada para Rasul serta orang-orang yang mengikutinya secara baik dan menyeluruh karena Allah semata, dan membenci
orang-orang kafir dan pendurhaka secara menyeluruh karena Allah pula. Inilah
tolak ukur iman yang wajib dilakukan oleh seorang hamba, dan barangsiapa
melalaikan perkara ini, maka berkuranglah imannya, sesuai dengan kadar yang dia
lalaikan tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“ Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS
An Nisaa : 65)
Demikianlah, mahabbah wajib yang dimiliki seseorang akan
berkurang manakala dia melalaikan hal tersebut, sebab mahabbah wajib itu
menuntut seseorang untuk melakukan perbuatan wajib dan meninggalkan perbuatan
yang dilarang-Nya.
Yang kedua : Tingkatan mahabbah para pendahulu ummat yang
benar-benar dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala (Assabiqunal Muqarrabun),
yaitu mereka yang meningkatkan derajat mahabbah sampai ke tingkat mencintai dan
menaati perkara-perkara yang sunnah (nawafil), tidak menyukai hal-hal
yang makruh dalam segala bentuknya, dan sampai ke derajat ridha terhadap taqdir
dan qadha-Nya, meskipun berupa musibah yang menyakitkan dirinya. Dan inilah
keutamaan yang disunnahkan kepadanya. Dan di dalam shahih Bukhari dari Abu
Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
”Barangsiapa memusuhi kekasih-Ku, maka telah Aku nyatakan
perang terhadapnya. Hamba-Ku tidaklah mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu
yang lebih aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan
hamba-Ku senatiasa mendekatka diri kepada-Ku dengan ibadah sunnah sehingga Aku
mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang
dia pergunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia pergunakan untuk
melihat, tangannya yang dia pergunakan untuk menindak dengan keras, kakinya
yang dia pergunakan untuk berjalan. Dan jika dia mohon kepada-Ku akan Aku beri
dia, dan apabila dia mohon perlindungan kepada-Ku akan Aku lindungi dia.” (HR
Bukhari, XI : 341)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : ‘Andaikan dalam
mahabbah itu tidak terdapat apapun, kecuali sesuatu yang dapat menyelamatkannya
dari adzab Allah, maka sepatutnya, seorang hamba tidak perlu meminta balasan
sedikitpun untuk selama-lamanya.’ Sebagian ulama ditanya : ‘Di mana anda bisa
menemukan di dalam Al Quran yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak
menyiksa hamba yang mencintai-Nya?’ Maka ia menjawab, dalam firman-Nya :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami
ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah:
"Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu? ..." (QS Al Maidah : 18)
Faktor – faktor yang Mendatangkan
Mahabbah :
1.
Membaca Al Qur an dengan tadabbur (penghayatan) dan memahami
makna-maknanya.
2.
Taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu
dengan mengerjakan amalan sunnah setelah mengerjakan amalan wajib.
3.
Selalu berdzikir kepada-Nya melalui hati dan lisan.
4.
Mengutamakan cinta kepada Allah daripada cinta kepada dirinya sendiri, di
saat bergejolaknya hawa nafsu.
5.
Menelaah Asma’ dan Sifat Allah, serta memahami makna-maknanya.
6.
Mengingat-ingat kenikmatan Allah dan kebaikan-Nya kepada hamba, sebab hati
manusia itu, --naluri-nya—mencintai orang yang berbuat baik kepadanya dan
membenci orang yang berbuat jelek kepadanya.
7.
Berkhalwat (menyendiri dari manusia dan mendekat kepada Allah, ed)
dengan-Nya di saat Allah turun ke langit bumi, dan saat lain yang
diizinkan-Nya, yaitu ketika Dia berfirman : “Adakah yang meminta kepada-Ku,
adakah yang bertaubat kepada-Ku, dan adakah yang memohon ampun kepada-Ku
...” (Hadits turunnya Allah, riwayat
Bukhari, XII:464, Tauhid;Muslim,VI:38-39;Tirmidzi,XIII:30, Ad Da’awat;Abu
Dawud,1301,Ash Shalah)
8.
Duduk dan berteman dengan Shadiqun (orang yang senantiasa berada
dalam kebenaran, ed), lalu mengambil manfaat dari tutur kata mereka yang
baik tersebut.
9.
Menjauhi syahwat maupun syubhat yang dapat terjauhnya hati dari Allah.
10. Memikirkan ciptaan Allah yang menunjukkan
kesempurnaan-Nya, sebab hati memiliki sifat bawaan untuk mencintai Yang Maha
Sempurna, dan kalangan Salaf lebih banyak mencurahkan olah fikir daripada
ibadah badaniyah.
11. Selalu mengingat apa-apa yang disebutkan dalam Al Kitab
dan as Sunnah, tentang keadaan orang mukmin yang akan melihat Allah secara
langsung di dalam surga kelak dan kunjungan mereka kepada-Nya, dan berkumpulnya
mereka pada hari di mana terdapat kenikmatan tambahan.
Tidak diragukan lagi, bahwa kesibukan dalam melakukan
hal-hal yang dapat mendatangkanmahabbah kepada Allah, merupakan kesibukan hati
dalam rangka menaati Allah dan menjauhi maksiat kepada-Nya. Apabila mahabbah
telah mencapai kesempurnaannya, maka keadaannya seperti dikatakan dalam syair :
Anda maksiat kepada Allah,
sementara Anda mengaku mencintai-Nya
Anda menyanjung-Nya,
namun Anda berlaku menjelekkan-Nya
Andaikan cintamu itu benar-benar jujur,
tentu kamu menaati-Nya
Sesungguhnya bukti seseorang itu mencintai sesuatu,
adalah dengan menaatinya
Jika pintu mahabbah telah terbuka untuk hamba, dan dia
memasuki istana-Nya yang megah, tentu dia akan melaukukan ketaatan-ketaatan
untuk menarik hati pemilik istana, sehingga dia akan memperoleh kebahagiaan
final di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dan Permata Hati (penyejuk mata) ku ditempatkan dalam sholat.” (HR Ahmad, III:128, Nasa’i, VII:61, Bab
Menggauli Istri; Hakim,II:160, Bab Nikah; Shahih menurut syarat muslim; dan
disepakati oleh Adz Dzahabi dan shahih
menurut Al Albani di dalam Ash Shahihah, no 1809)
Itulah sebabnya, mengapa ketika beliau shalat, kedua
betisnya sampai bengkak dan kedua telapak kakinya memar. Di Antara shahabat ada
yang bertanya kepadanya tentang hal ini, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaawab :
“Apakah aku tidak boleh menjadi seorang hamba yang pandai
bersyukur?.” (HR Bukhari, III/!4, Bab Tahajjud;Ibnu Majah,1419)
Jelaslah bahwa mahabbatullah termasuk penyebab utama yang
mendatangkan ketaqwaan hamba, seperti yang dikatakan oleh penyair :
Karena cintamu kepada Rabb,
jadikanlah dirimu sebagai khaddam-nya,
Sesungguhnya orang yang mencintai sesuatu,
ia menjadi pelayan bagi yang dicintainya.
Sudah sepatutnya, bahwa setiap hamba yang mencintai
Allah, dia menjadikan dirinya sebagai khadam (pelayan)-Nya, menaati
perintah-Nya, tidak maksiat kepada-Nya.
Sebagian orang shalih berkata : “ Sungguh, aku merasa
tidak baik bermaksiat kepada Allah.” Artinya, bahwa anggota badannya tidak
sampai melakukan kemaksiatan, karena rasa cinta untuk menaati-Nya dan membenci
kemaksiatan. Sebagaimana sering dinasihatkan oleh sebagian salafush sholih kepada
putra-putrinya :
“Biasakanlah dirimu untuk mencintai Allah dan
menaati-Nya, sebab orang muttaqin itu menyatukan anggota badan mereka dengan
ketaatan, sehingga merasa kesepian bila tidak bersama dengannya. Jika mereka
diperintah oleh orang-orang terkutuk untuk melakukan kemaksiatan, maka
kemaksiatan tersebut melewatinya dengan rasa malu, dan mereka pun
menghindari-Nya.”
Maka dari itu, selayaknya kita memohon kepada Allah Yang
Maha Kaya lagi Maha Mulia, agar menganugerahkan kepada kita sifat mahabbatullah
yang bisa mendatangkan karunia dan rahmat-Nya.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------