BANCI DALAM TINJAUAN SYARI`AH[*]
(Oleh: Ustadz Sufyan bin
Fuad Baswedan, MA, Hafizhahullâh)
Salah
satu kebanggaan kita sebagai kaum Muslimin ialah syariat Islam itu sendiri.
Kita bangga karena memiliki syariat paling lengkap di dunia. Syariat yang
mengatur segalanya, dari perkara yang paling besar hingga yang paling sepele.
Semua yang menyangkut kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat tak lepas dari
tinjauan syariat. Laki-laki, perempuan, tua, muda, besar, kecil, penguasa,
rakyat jelata; semuanya diatur secara adil dan bij aksana. Bahkan kaum banci pun
tak lepas dari pembahasan.
Benar,
kaum banci yang sering menjadi ledekan dan bahan tertawaan, ternyata tidak
diabaikan oleh syariat begitu saja, sebab ia juga manusia mukallaf sebagaimana
lelaki dan wanita normal. Karenanya, dalam fiqih Islam, kita mengenal istilah mukhannats
(banci/bencong), mutarajjilah (wanita yang kelelakian), dan khuntsa
(interseks/berkelamin ganda).
Masing-masing
dari istilah ini memiliki definisi dan konsekuensi berbeda. Akan tetapi, dua
istilah yang pertama biasanya berkonotasi negatif, baik di mata masyarakat
maupun syariat. Sedangkan yang ketiga belum tentu demikian.
Untuk
lebih jelasnya, perlu diperhatikan definisi para ulama tentang banci dan waria,
berangkat dari hadits shahîh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالمُتَرَجِّلاَتِ
مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا
Dari
Ibnu Abbas, katanya,
"Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats
dan para wanita mutarajjilah.
Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’,
maka Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengusir Si Fulan,
sedangkan Umar mengusir Si Fulan”.[1]
Dalam
riwayat lain disebutkan:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بالنِّسَاءِ والمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ
النِّسَاءِ بالرِّجَالِ
Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang menyerupai wanita,
dan para wanita yang menyerupai laki-laki.[2]
Riwayat
yang kedua ini menafsirkan tentang yang dimaksud dengan mukhannats dan mutarajjilah
dalam hadits yang pertama. Sehingga menjadi jelas bahwa yang dimaksud mukhannats
adalah laki-laki yang menyerupai perempuan, baik dari cara berjalan, cara
berpakaian, gaya bicara, maupun sifat-sifat feminin lainnya. Sedangkan mutarajjilah
adalah wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal-hal tersebut.[3]
Secara
bahasa, kata mukhannats berasal dari kata dasar khanitsa-yakhnatsu.
Artinya, berlaku lembut. Dari istilah umum tersebut, maka istilah banci,
bencong, waria cocok untuk mengartikan mukhannats. Sedangkan untuk
istilah, mutarajjilah, mungkin terjemahan yang paling mendekati adalah
“wanita tomboy”.
Dalam
Syarahnya, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, bahwa laknat dan
celaan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tadi khusus ditujukan kepada
orang yang sengaja meniru lawan jenisnya. Adapun bila hal tersebut bersifat
pembawaan (karakter asli), maka ia cukup diperintah agar berusaha
meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak mau berusaha
meninggalkannya, dan membiarkan dirinya seperti itu, barulah ia berdosa,
lebih-lebih bila ia menunjukkan sikap ridha dengan perangainya tadi.
Adapun
sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mukhannats alami tidak dianggap
tercela ataupun berdosa. Maksudnya ialah seseorang yang tidak bisa meninggalkan
cara berbicara yang lembut dan gerakan gemulai setelah ia berusaha
meninggalkannya. Sedangkan bila ia masih dapat meninggalkannya walaupun secara
bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa udzur.[4]
Dari
keterangan tadi, dapat disimpulkan bahwa banci terbagi menjadi dua.
Pertama: Banci alami.
Yaitu seseorang yang ucapannya lembut dan tubuhnya gemulai secara alami, dan ia
tidak dikenal sebagai orang yang suka berbuat keji. Maka orang seperti ini
tidak dianggap fasik. Dia bukan orang yang dimaksud oleh hadits-hadits di atas
sebagai objek celaan dan laknat.
Kedua: Banci karena
sengaja meniru-niru kaum wanita, dengan melembutkan suara ketika berbicara,
atau menggerakan anggota badan dengan lemah gemulai. Perbuatan ini adalah
kebiasaan tercela dan maksiat yang menjadikan pelakunya tergolong fasik.[5]
Pembagian
ini juga berlaku bagi wanita yang menyerupai laki-laki (waria). Sebab pada
dasarnya kaum wanita juga terkena perintah dan larangan dalam agama sebagaimana
laki-laki, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya.
Jadi,
tindakan menyerupai lawan jenis yang disengaja bukanlah hal sepele. Tindakan
itu tergolong dosa besar dan merupakan perbuatan tercela. Nantinya tidak hanya
berpengaruh secara lahiriyah, namun juga merusak kejiwaan. Seorang banci
memiliki fisik seperti laki-laki, namun jiwanya menyerupai wanita. Demikian
pula waria yang fisiknya wanita, namun jiwanya laki-laki. Mereka sengaja
mengubah fisik dan kejiwaan aslinya, sehingga hati mereka pun turut berubah dan
rusak karenanya. Oleh sebab itu, kaum banci dan waria jarang sekali mendapat
hidayah dan bertaubat dari dosa besar tersebut. Ini merupakan peringatan dari
Allâh Ta'âla agar kita mengambil pelajaran darinya, dan bersyukur kepada-Nya
yang telah menjadikan kita memiliki jiwa dan raga yang sehat wal afiat.
PROFESI BANCI
Mungkin
yang terlintas dalam benak kita ketika membayangkan profesi banci, bencong,
waria, ialah seperti penata rias (salon), pengamen, pelawak, penjaja cinta
(PSK) atau desainer busana. Akan tetapi, bila kita merujuk ke penjelasan para
Salaf, ternyata ada juga yang mereka anggap sebagai profesi banci, dan kini
banyak dilakoni oleh lelaki normal, bahkan terkesan sebagai profesi keren,
seperti menjadi penyanyi.
Al-Marwazi
rahimahullâh meriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullâh, bahwasanya beliau
mengatakan: “Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang
lewat menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan sya’ir-sya’ir yang
mengajak untuk zuhud; namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi
kematian”. Dari sini, jelaslah bahwa Imam Ahmad rahimahullâh menganggap
penghasilan seorang banci sebagai sesuatu yang makruh.[6]
Bila
dicermati, yang dimaksud ‘makruh’ oleh Imam Ahmad ialah karâhah tahrîm,
alias makruh yang berarti haram. Sebab beliau mengaitkannya dengan hal-hal yang
sifatnya haram, seperti bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi orang
mati.
Jadi,
seorang penyanyi yang nampak gagah di mata banyak orang hari ini, menurut para
Salaf adalah orang banci, dan penghasilan mereka sifatnya haram, karena
diperoleh melalui cara yang haram. Apalagi jika ia sengaja bertingkah laku
seperti wanita (pura-pura banci), maka lebih haram lagi, sebagaimana yang
sering dilakukan para pelawak.
Demikian
pula banci yang bekerja di salon dan melayani wanita yang bukan mahramnya, ini
juga makruh hukumnya bila ia seorang banci alami, sebab profesi ini justru
melestarikan sifat bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkan sifat
tersebut. Namun bila ia sekedar pura-pura banci, maka pekerjaan ini jelas haram
hukumnya.
Apalagi
yang berprofesi sebagai bencong penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak
asusila, maka jauh lebih diharamkan lagi, karena mereka melakukan perbuatan
kaum Luth yang sangat tercela dan berat sanksinya dalam agama. Bahkan saking
bejatnya perbuatan ini, pelakunya tidak pantas dibiarkan hidup.
BEBERAPA KEBIASAAN BANCI
Pertama, memacari (mewarnai) tangan dan kaki.
Imam
Nawawi rahimahullâh mengatakan, “Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan pacar
(hena) dianjurkan bagi wanita yang bersuami. Hal ini berdasarkan sejumlah
hadits yang masyhur dalam bab ini. Akan tetapi ia haram bagi kaum lelaki,
kecuali bila digunakan sebagai obat dan semisalnya. Salah satu dalil yang
menunjukkan keharamannya ialah sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam
hadits shahîh, bahwa Allâh melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan
kaum perempuan yang menyerupai lelaki. Demikian pula dalam hadits shahîh dari
Anas, bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam melarang orang laki-laki
menggunakan za’faran. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Larangan ini
berkenaan dengan warnanya, bukan dengan aromanya; sebab menggunakan sesuatu
yang harum hukumnya sunnah bagi lelaki. Hena (pacar), dalam hal ini juga sama
dengan za’faran (saffron).[7]
Imam
asy-Syaukani rahimahullâh mengatakan, “Telah dijelaskan bahwa mewarnai tangan
dan kaki dengan pacar adalah perbuatan kaum wanita. Dan sebagaimana diketahui,
hal ini dilakukan oleh lelaki yang ingin menyerupai wanita”.[8]
Kedua, menabuh gendang.
Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullâh mengatakan, “Karena menyanyi, menabuh rebana, dan
bertepuk tangan adalah perbuatan wanita; maka para salaf menamakan kaum lelaki
yang melakukannya sebagai ‘banci’ (mukhannats). Mereka menamakan para penyanyi
sebagai kaum banci, dan ini sangat populer dalam ucapan mereka.”[9]
Ketiga, menyanyi.
Syaikhul-Islam
rahimahullâh juga mengatakan, “Salah satu perbuatan muhdats (baru;
bid'ah) yang diadakan oleh mereka (kaum sufi) ialah mendengarkan nyanyian para
banci yang terkenal sebagai biduan orang-orang fasik dan pezina. Atau terkadang
mereka mendengarkan nyanyian bocah-bocah kecil berwajah tampan, atau kaum
wanita jelita; sebagaimana kebiasaan pengunjung tempat-tempat hiburan…”.[10]
Keempat, berjoget.
Menurut
madzhab Hanafi, orang yang menghalalkan berjoget adalah kafir. Yang dimaksud
joget di sini, artinya melakukan gerakan miring kesana kemari yang disertai
membungkukkan dan mengangkat badan dengan cara tertentu, sebagaimana tarian
tarekat sufi.[11]
Adapun
menurut ulama Syafi’iyyah, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya
lemah gemulai seperti orang banci.[12]
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, berjoget hukumnya makruh.[13]
Ash-Shan’ani
rahimahullâh mengatakan: “Berjoget dan bertepuk tangan adalah kebiasaan orang
fasik dan bejat; bukan kebiasaan orang yang mencintai Allâh dan takut
kepada-Nya…”.[14]
Kelima, memangkas jenggot dan mencukurnya.
Maksudnya,
ialah jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam. Ibnu Abidin mengatakan,
“Adapun memangkas jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam, sebagaimana
yang dilakukan sebagian orang Maghrib dan lelaki banci, maka tidak ada seorang
alim pun yang membolehkannya.”[15]
BEBERAPA ATURAN TERKAIT ORANG BANCI
Menjadi Imam Shalat
Jika
yang bersangkutan banci alami, maka ia sah menjadi imam shalat. Dan ia tetap
diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap bancinya secara kontinyu dan
bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan baginya.
Adapun
jika ia pura-pura banci, maka ia dianggap fasik. Dan orang fasik hukumnya
makruh menjadi imam, demikian menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah,
dan salah satu riwayat dalam madzhab Maliki.[16]
Adapun
menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak
sah menjadi imam shalat.[17]
Hal ini didasarkan kepada pendapat Imam az-Zuhri rahimahullâh yang mengatakan,
“Menurut kami, tidak boleh shalat bermakmum di belakang laki-laki banci,
kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi,” sebagaimana yang
dinukil oleh Imam al-Bukhâri.[18]
Bolehkah Seorang Banci Memandang Wanita ?
Masalah
ini tidak lepas dari dua kondisi:
Pertama, jika orang banci
tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka tidak ada khilaf dalam
hal ini bahwa ia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik.[19]
Kedua, ia seorang banci
alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka dalam hal ini
terdapat dua pendapat:
- Ulama
Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah (keringanan)
baginya untuk berada di tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya
ialah firman Allâh ketika menjelaskan siapa saja yang boleh melihat
wanita, dan siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya,
yaitu: أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الِإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ yang terjemahannya: "atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak bersyahwat (terhadap wanita)..".[20]
2.
Ulama Syafi’iyah dan mayoritas
Hanafiyah, berpendapat bahwa lelaki banci meskipun tidak bersyahwat terhadap
wanita, tetap tidak boleh memandang kepada wanita. Dalam hal ini ia tetap
dihukumi sebagai lelaki normal.[21] Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu
Salamah berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ
أَخِي أُمِّ سَلَمَةَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ غَدًا
الطَّائِفَ، فَإِنِّي أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ؛ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ
بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ : لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ
Sesungguhnya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah bersamanya dan saat itu
di rumahnya terdapat seorang banci, maka Si banci tadi berkata kepada Abdullâh
saudara Ummu Salamah, "Hai Abdullâh, jika besok Allâh menaklukkan kota
Thaif bagi kalian; maka akan kutunjukkan kepadamu puteri Ghailan yang dari
depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat delapan,"
maka Rasûlullâh bersabda, "Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci
itu) masuk ke tempat kalian (kaum wanita)”.[22]
Hadits ini menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat wanita
ialah banci yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia
bisa menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada lelaki.
Sehingga dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita muslimah bila dibiarkan
keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci alami yang sama sekali tidak
bersyahwat terhadap wanita, tidak akan melakukan hal tersebut.
Kesimpulannya, pendapat yang
râjih adalah pendapat pertama yang sesuai dengan zhahir al-Qur’ân.
Kesaksian Orang Banci
Menurut
ulama Hanafiyyah, orang banci yang tertolak kesaksiannya ialah yang sengaja
berbicara lemah-lembut dan kemayu (manja) seperti wanita. Adapun bila ia
memiliki nada suara yang lembut dan fisiknya lembek secara alami, dan tidak
dikenal sebagai orang bejat; maka kesaksiannya masih diterima.[23]
Adapun
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menganggap bahwa menyerupai wanita adalah
perbuatan haram yang menjadikan kesaksian seseorang tertolak. Tentunya, yang
dimaksud bila sengaja menyerupai wanita, bukan karena pembawaannya.[24]
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah, diantara yang tertolak kesaksiannya ialah seseorang
yang tidak mempunyai rasa malu, dan termasuk sikap ini ialah bertingkah banci.[25]
Kesimpulannya, madzhab yang
empat sepakat bahwa status kesaksian orang banci perinciannya seperti yang
dijelaskan oleh ulama Hanafiyah.
Sanksi Bagi Orang Banci
Lelaki
yang sengaja bertingkah seperti wanita (pura-pura banci) tidak lepas dari dua
keadaan:
Pertama, laki-laki yang
sengaja bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus dalam perbuatan keji, ini
tergolong maksiat yang tidak ada had maupun kaffaratnya. Sanksi yang
pantas diterimanya bersifat ta’zir (ditentukan berdasarkan pertimbangan
hakim), sesuai dengan keadaan si pelaku dan kelakuannya. Dalam hadits
disebutkan, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjatuhkan sanksi kepada orang
banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Demikian pula yang
dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau.
Adapun
ta’zir yang diberlakukan meliputi:
- Ta’zir berupa
penjara. Menurut
madzhab Hanafi, lelaki yang kerjaannya menyanyi, banci, dan meratapi
kematian pantas dihukum dengan penjara sampai mereka bertaubat.[26]
- Ta’zir berupa
pengasingan.
Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, seorang banci hendaklah diasingkan
walaupun perbuatannya tidak tergolong maksiat (alias ia memang banci
asli). Akan tetapi pengasingan tadi dilakukan untuk mencari kemaslahatan.[27]
Ibnul-Qayyim
rahimahullâh mengatakan, “Termasuk siasat syar’i yang dinyatakan oleh Imam
Ahmad, ialah hendaklah seorang banci itu diasingkan; sebab orang banci hanya
menimbulkan kerusakan dan pelecehan atas dirinya. Penguasa berhak
mengasingkannya ke negeri lain yang di sana ia terbebas dari gangguan
orang-orang. Bahkan jika dikhawatirkan keselamatannya, orang banci tadi boleh
dipenjara”.[28]
Kedua, orang banci yang
membiarkan dirinya dicabuli dan disodomi.
Orang
banci seperti ini sanksinya diperselisihkan oleh para ulama. Banyak fuqaha’
yang berpendapat, ia pantas mendapat hukuman seperti pezina. Sedangkan Imam Abu
Hanifah rahimahullâh berpendapat, hukumannya adalah ta’zir yang bisa sampai ke
tingkat eksekusi, (seperti:) dibakar, atau dijungkalkan dari tempat yang
tinggi. Sebab para sahabat juga berbeda pendapat tentang cara menghukumnya.[29]
NASIHAT BAGI LELAKI BANCI
Sebagai
penutup, kami nasihatkan kepada siapa saja yang tergolong banci, agar segera
bertaubat kepada Allâh Ta'âla. Tekunlah belajar ilmu syar’i yang dapat
mendorong untuk taat kepada Allâh Ta'âla dan menghindari maksiat. Bertemanlah
dengan orang-orang yang baik agar mereka mendorong dan menolong dalam kebaikan.
Hendaklah
disadari, bahwa orang yang paling merugi ialah mereka yang merugi di dunia dan
akhirat. Ia harus banyak berdoa, sebab dengan doa, Allâh Ta'âla akan mewujudkan
harapan dan menerima taubatnya.
Wallâhu
Ta’ala a’lam.
|
Sebagian
besar pembahasan dalam tulisan ini diangkat dari artikel berjudul ( الأحكام الشرعية في المخنث
) oleh Ra'fat al- Hamid al- 'Adani, dari situs: www.ahlalhdeeth.com
|
|
HR
al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5886. Menurut al-Hâfizh Ibnu Hajar, dalam
riwayat versi Abu Dzar al-Harawi –salah seorang perawi kitab Shahîh
al-Bukhâri yang menjadi acuan Ibnu Hajar dalam menyusun Fathul-Bâri-, akhir
hadits ini menyebutkan bahwa Umar mengusir Si Fulanah (wanita). Adapun dalam
riwayat-riwayat lainnya disebutkan Si Fulan (pria).
|
|
HR
al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5885, dari jalur ‘Ikrimah pula.
|
|
Lihat
Mu’jam Lughatil-Fuqaha’, 1/417.
|
|
Fathul-Bâri,
10/332.
|
|
Pembagian
ini juga difahami dari penjelasan sejumlah ulama dalam kitab-kitab mereka,
seperti Ibnu Abdil-Barr dalam at-Tamhîd, 22/273; Ibnu Qudamah dalam
al-Mughni, 7/462; dan asy-Syirbini dalam Mughnil-Muhtâj, 4/430.
|
|
Talbis
Iblis, 1/281; Majalah al-Fiqh al-Islamy, 4/1923.
|
|
Lihat
al-Majmu’, 1/294.
|
|
Lihat
as-Sailul-Jarrar, 4/126.
|
|
Majmu’
Fatawa, 11/565-566. Lihat pula I’anatut Thalibin, 6/121; Mughnil-Muhtaaj,
4/430; al-Mughni, 12/40.
|
|
Al-Istiqamah,
1/306; Majmu’ Fatawa, 11/565-566.
|
|
Lihat
Hâsyiyah Ibnu Abidin, 4/259.
|
|
Lihat
al-Minhâj, 1/497, oleh an-Nawawi.
|
|
Lihat
Hâsyiyah ash-Shawi, 5/217; al-Inshaf, 6/89.
|
|
Subulus-Salâm,
5/1.
|
|
Hâsyiyah
Ibnu Abidin, 2/418.
|
|
Lihat
al-Mabsuth, 1/111; al-Umm, 1/166; al-Majmu’, 4/287; asy- Syarh al-Kabîr,
1/326 dan al-Muhalla, 4/212.
|
|
Lihat
al-Inshaf, 2/252; Syarah Muntahal Iradat, 1/272; at-Tâj wal-Iklîl, 2/93.
|
|
Shahîh
al-Bukhâri, 1/141, secara mu’allaq.
|
|
Lihat
Fathul-Qadîr, 2/222; at-Tamhîd, 22/273; Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mughni,
7/462.
|
|
Penggalan
dari ayat 31 Surat an-Nûr. Lihat at-Tamhîd, 22/273 dan al-Mughni, 7/462.
|
|
Lihat
Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mabsuth, 12/382.
|
|
HR
al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5887. Yang dimaksud lipatan di sini adalah
lipatan perut yang berjumlah empat bila dilihat dari depan, sedangkan dari
belakang ujung-ujungnya di kedua sisi berjumlah delapan.
|
|
Fathul-Qadîr,
17/130.
|
|
Al-Muhadzdzab,
2/325 dan al-Mughni, 12/40.
|
|
Hâsyiyah
ad-Dasuqi, 4/166.
|
|
Al-Mabsuth,
27/205.
|
|
Mughnil
Muhtâj, 4/192; al-Fatawa al-Kubra, 5/529.
|
|
Bada’i
al Fawa-id, 3/694.
|
|
Lihat
al-Mabsuth, 11/78; al-Fawakih ad-Dawani, 2/209; Raudhatut-Thalibin, 10/90,
dan , 10/155.
|
(Majalah
As-sunnah Edisi 10/Tahun XVI)
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------