IMAN DAN KUFUR, ADA POKOK DAN CABANG, 02
CABANG-CABANG KEKUFURAN
157.Tanya:
Apa yang menjadi lawan keimanan?

Jawab:
Lawan iman adalah kufur. Sebagaimana halnya iman, kufur pun memiliki cabang-cabang. Jika pokok keimanan adalah tashdiq (membenarkan), berlaku patuh, atau komitmen melalui ketaatan, maka pokok kekufuran adalah ingkar, menentang, sombong, maksiat, dan menantang. Dengan begitu, seluruh ketaatan adalah cabang keimanan, dan seluruh kemaksiatan adalah cabang kekufuran.
Berdasarkan hal-hal diatas, kufur terbagi atas dua tingkatan. Pertama, kufur akbar (besar) yang secara menyeluruh dapat mengeluarkan pelakunya dari iman. Kufur seperti itu dikenal dengan istilah murtad, disebut juga dengan kufur i’tiqadi yang dapat menafikan ucapan hati dan amalan atau salah satunya. Kedua, kufur kecil yang tidak secara mutlak menafikan keseluruhan iman seseorang. Yang dinafikan hanyalah masalah kesempurnaan imannya dan berkaitan dengan kufur amali yang tidak membatalkan ucapan hati maupun amalannya.

158.Tanya:
Apa yang menguatkan bahwa kufur i’tiqadi dapat secar totalitas menafikan keimanan seseorang dan bagaimana cara kita menghilangkan kufur tersebut?

Jawab:
Keberadaan iman dapat dilihat dari ucapan, baik lisan maupun hati, serta amalan, baik lisan, hati, maupun anggota badan. Yang dimaksud dengan ucapan hati adalah membenarkan, dan ucapan lisan itu adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan amalan hati tercermin dalam niat yang ikhlas dan amalan anggota badan tercermin dalam bentuk kepatuhan dan ketaatan atas seluruh tuntutan-tuntutan Allah. Jika ternyata ucapan lisan dan hati serta amalan lisan, hati, dan anggota badan hilang, hilang pulalah keimanan kita secara keseluruhan. Jika pembenaran dengan hati telah hilang, tak ada manfaat lain yang tersisa karena membenarkan dengan hati merupakan syarat keimanan yang keberadaannya membawa manfaat. Kedudukannya sama denga orang-orang yang mendustakan asma dan sifat Allah atau sebagian apa yang Allah utus (para rasul) serta kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Jika unsur amalan hati hilang walaupun itikad pembenaran masih ada, kalangan Ahlussunnah sepakat untuk menyatakan bahwa keimanan telah hilang karena keyakinan sudah tidak ada lagi. Pembenaran yang tidak disertai amalan hati tidak akan membawa manfaat karena kecintaan dan kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala telah hilang sebagaimana tidak bermanfaatnya pengakuan samar-samar maupun terang-terangan kaum Yahudi, musyrikin, iblis, Fir’aun yang mengatakan, “Kami tidak mendustakannya, akan tetapi kami tidak ittiba’ (mengikuti seurannya) dan tidak beriman kepadanya.”

159.Tanya:
Ada berapa bagiankah kufur besar yang menyebabkan murtad itu

Jawab:
Kufur penyebab murtad ada empat bagian, yaitu kufur juhud (akibat keingkaran), kufur takdzib (akibat mendustakan), kufur jahil (akibat kebodohan), kufur ‘inad (akibat menentang). Yang lainnya adalah kufur istikbar (akibat berlaku sombong) dan kufur nifaq (akibat kemunafikan).

160.Tanya:
Apa yang dimaksud denga kufur jahil dan kufur takdzib?

Jawab:
Makna yang terkandung dalam kufur tersebut adalah sikap jahil dan mendustakan, baik secara lahir maupun batin sebagaimana dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy dan umat-umat terdahulu. Hal itu dijelaskan Allah melalui firmanNya ini:
“(Yaitu) orang-orang yang mendustakan Al kitab (Al Quran) dan wahyu yang dibawa oleh Rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. kelak mereka akan mengetahui,”(Ghaafir/Al Mu’min: 70).
“... Serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”(Al A’raaf: 199).
“Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok). Hingga apabila mereka datang, Allah berfirman: ‘Apakah kamu telah mendustakan ayat-ayat-Ku, Padahal ilmu kamu tidak meliputinya, atau Apakah yang telah kamu kerjakan?’.” (An Naml: 83-84).
“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya ...”(Yuunus: 39).

161.Tanya:
Apa yang dimaksud dengan kufur juhud?

Jawab:
Kufur juhud adalah kufur yang dilakukan seorang hamba ketika dia menyembunyikan kebenaran dan secara lahirlah tidak mematuhinya, tetapi ilmu dan ma’rifah batiniyyah msih ada. Contoh kongkritnya adalah kufurnya Fir’aun dan kaumnya terhadap Musa ‘alaihissalam serta kufurnya kaum Yahudi terhadap Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentang kufurnya Fir’aun dan kaumnya, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya ...” (An Naml: 14).
Dan firmanNya tentang Yahudi:
“... Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.”(Al Baqarah: 89).
“... dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka Menyembunyikan kebenaran, Padahal mereka mengetahui.”(Al Baqarah: 146).

162.Tanya:
Apa yang dimaksud dengan kufur ‘inad (menentang) dan istikbar (sombong) itu?

Jawab:
Kufur tersebut terjadi jika seorang hamba menolak patuh atas kebenaran yang disertai pengakuan sebagaimana kufurnya iblis tatkala Allah berfirman:
“... kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al Baqarah: 34).
Iblis tidak ingkar atau mengingkari perintah Allah untuk sujud. Tang iblis tolak adalah kebijaksanaan dan keadilan Allah subhanahu wata’ala, bahkan iblis sampai berkata:
“... ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah’.”(Al A’raaf: 12).
Fir’aun pun memiliki watak seperti iblis sebagaimana diterangkan oleh Allah lewat firmanNya ini:
“Dan mereka berkata: ‘Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?’.”(Al Mu’minuun: 47).
Fir’aun adalah salah seorang contoh musuh para rasul dari masa ke masa yang diikuti juga oleh orang fir’aun-fir’aun berikutnya yang tak kalah membangkang dan congkaknya.
Contoh yang melakukan kufur ‘istikbar adalah Abu Thalib. Sekalipun dia membenarkan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan sedikit pun tidak ada keraguan tentangnya, dia lebih memilih berada dalam kesombongan ala jahiliyyahnya dengan mengagung-agungkan nenek moyang dan lebih mencintai millah mereka. Tentang kesombonga iblis, Allah berfirman:
“Berkata Iblis: ‘Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk’.”(Al Hijr: 33).
“... ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah’.”(Al A’raaf: 12).

163.Tanya:
Apa yang dimaksud dengan kufur nifaq?

Jawab:
Kufur nifaq muncul jika seorang hamba menolak pembenaran dengan hati dan amalannya, tetapi secara lahiriyah tidak ditampakkan dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dari orang lain (riya), sebagaimana kufurnya Abdullah bin Salul dan golongannya. Maha Besar Allah yang berfirman:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian’, pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al Baqarah: 8-10).
Hal itu lebih jelasnya lagi jika kita telusuri hingga ayat ke-20 dari surat Al Baqarah diatas, hingga berakhir dengan: “... Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”(Al Baqarah: 20).

164.Tanya:
Bagaimana halnya dengan kufur ‘amali sehingga pelakunya tidak dikatakan keluar dari Islam?

Jawab:
Kufur ‘amali lebih cenderung pada kemasiatan yang oleh ahli syar’i dikatakan masih mengandung keimanan. Artinya, pelakunya kufur tetapi masuk menyandang keislaman sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Janganlah kalian kembali (menjadi kufur) sepeninggalku, karena sebagian kamu memenggal leher sebagian lainnya.” (Muttafaq ‘alaih).
“Mencaci seorang muslim adalah perbuatan fasiq dan membunuhnya adalah kufur.”(Muttafaq ‘alaih).
Maka jelaslah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengistilahkan seorang mu’min yang membunuh kaum muslimin dengan kufur sesuai dengan firman Allah berikut:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al Hujuraat: 9-10).
Dengan demikian, Allah subhanahu wata’ala telah menetapkan keimanan dan persaudaraan dalam iman. Dia tidak menafikan dua golongan mu’min yang bertentangan tersebut. Artinya, dua golongan mu’min tersebut masih menyandang keimanan dan ikhwatul iman. Masalah ‘membunuh’ berhubungan dengan masalah qishash. Untuk itu, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“... Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula) ...”(Al Baqarah: 178).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
“Tidaklah beriman seorang pezina ketika dia berzina dan tidaklah beriman seorang pencuri ketika dia mencuri, dan tidak juga beriman seorang peminum ketika dia meminum khamr, sedangkan pintu taubat senantiasa terbuka setelah itu.” (HR. Muslim).
“Tidaklah seorang hamba yang berkata laa ilaaha illallah kemudian dia meninggal dunia, kecuali masuk surga.” Ketika Abu Dzar bertanya, ‘Sekalipun dia itu berzina dan mencuri?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya, sekalipun dia berzina dan mencuri” sebanyak tiga kali. Kemudian keempat kalinya, beliau bersabda: “Tidak dapat tidak, hai Abu Dzar!” Sesudah itu, Abu Dzar keluar sambil mengulang-ulang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak dapat tidak, hai Abu Dzar!”(HR. Muslim).
Dengan demikian jelaslah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menafikan keimanan seorang pezina, pencuri, pemabuk, maupun pembunuh, selama pada diri orang tersebut masih terdapat unsur tauhid. Hal itu dipertegas dengan pernyataan beliau bahwa siapapun yang mati dan pada dirinya masih terdapat kalimat laa ilaaha illallah, orang itu akan masuk surga sekalipun ada kemaksiatan yang dia lakukan. Seorang hamba tidak akan masuk surga jika berada diluar keimanan. Dalam hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa iman pelaku maksiat itu tengah berkurang atau tidak sempurna. Dengan demikian, pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diatas tadi bukan menghalalkan perbuatan maksiat. Kemaksiatan yang disertai penghalalan atas sesuatu yang haram dengan sendirinya, termasuk perbuatan mendustakan kitab dan rasulNya, bahkan secara tak langsung dapat juga dikatakan kafir i’tiqadi.

165.Tanya:
Apakah sujud kepada berhala, menghina Al Qur’an, mencaci maki rasul, memperolok-olok agama, dan yang sejenisnya itu merupakan kufur ‘amali yang tampak? Mengapa hal seperti itu tidak digolongkan sebagai keluar dari agama?

Jawab:
Pada dasarnya, hal-hal diatas tidak digolongka kedalam kufur ‘amali, kecuali jika disertai perbuatan fisik yang terlihat oleh manusia dan tidak disertai perbuatan fisik yang terlihat oleh manusia dan tidak disertai juga oleh hilangnya amalan hati (keikhlasan niat), mahabbah, dan kepatuhan. Jika hal itu betul-betul terjadi, kemaksiatan  itu patut dikategorikan sebagai kufur i’tiqadi sekalipun amaliyahnya tampak, sebagaimana terjadi pada orang-orang munafiq atau penentang yang murtad ketika perang Tabuk. Sehubungan dengan itu, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Mereka (orang-orang munafiq itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya ...”(At Taubah: 74).
“... ‘Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja’ ...”(At Taubah: 65).
Begitulah jawaban orang-orang munafiq ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempertanyakan perbuatan mereka. Sehingga Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“... ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman ...” (At Taubah: 65-66).
Dengan demikian, kufur kecil itu dapat kita telusuri dari penyelewengan lewat amalan-amalan biasa yang tidak menyangkut i’tiqad serta tidak membatalkan perkataan hati maupun amalannya.


[Baca...]



IMAN DAN KUFUR ITU MEMILIKI POKOK DAN CABANG
Tanya Jawab Aqidah Ahlussunnah, Syaikh Hafizh al Hakami

152.Tanya:
Berapa jumlah cabang iman itu?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”(Al Baqarah: 177).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
          “Iman itu adalah enam puluh lebih cabangnya”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan:
          “Ada tujuh puluh lebih sekian cabang iman. Yang paling tinggi kedudukannya adalah mengucapkan laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari tengah jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang dari iman.”(Muttafaq ‘alaih).

153.Tanya:
Bagaimana para ulama menafsirkan cabang-cabang iman itu?

Jawab:
Keseluruhan bahan tafsir mereka himpun dari syarah (penjelasan) hadits yang kemudian mereka pilah-pilah menjadi beberapa bagian sehingga banyak manfaat yang dapat diperoleh. Namun, pengetahuan tersebut bukanlah syarat utama dalam keimanan. Untuk mengetahui jumlah cabang iman, cukuplah kiranya Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman. Yang terpenting bagi seorang hamba adalah mengaplikasikan segala perintah serta membenarkan berita-berita yang ada dalam kedua sumber tadi. Mengetahui seluruh cabang keimanan buka saja merupakan bagian dari perkara keimanan, melainkan memang sudah merupakan kepastian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

154 , Tanya:
Bagaimana ringkasnya jumlah cabang iman itu?

Jawab:
Al Hafizh telah meringkas sebagaimana riwayat Ibnu Hibban didalam Fathul Baari. Cabang-cabang iman itu terbagi-bagi dalam berbagai amalan, baik amalan hati, amalan lisan, maupun amalan fisik yang dilakukan oleh seluruh anggota badan.
Pertama, amalan hati yang telah diyakini dengan niat terdiri atas 24 cabang, yaitu iman kepada Allah, termasuk didalamnya iman kepada DzatNya, sifat-sifatNya, dan metauhidkanNya, sebab Dia itu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Asy Syuuraa: 11). Kemudian, iman kepada malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, takdirNya (yang baik maupun yang buruk), dan iman kepada hari akhirNya yang didalamnya tercakup persoalan-persoalan dalam kubur, hari berbangkit, hisab, mizan, jembatan, surga, dan neraka. Selain itu juga mahabbah Allah yang didalamnya terkandung sikap mencintai dan membenci sesuatu karena Allah, serta mahabbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu meyakini dan mengagungkannya melalui shalawat atasnya dan mengikuti sunnahnya secara ikhlas yang didalamnya tercakup masalah meninggalkan riya’ dan nifaq serta senantiasa bertaubat, takut (pada adzabNya), menepati janji kepada Allah, bersabar, ridha, terhadap putusanNya, tawakal, tawadhu yang didalamnya termasuk menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih kecil (usianya), meninggalkan takabbur, ujub, dan meninggalkan hasad (dengki), dendam, dan kebencian.
Kedua,amalan-amalan lisan yang mencakup tujuh cabang, yaitu mengucapkan kalimat tauhid, membaca Al Qur’an, mempelajari ilmu dan mengajarkannya, berdo’a, berdzikir yang didalamnya terkandung permohonan ampunan, dan menjauhkan diri dari perbuatan serta perkataan yang sia-sia.
Ketiga, amalan jasmaniyah yang mencakup 38 cabang, diantaranya berkaitan dengan mata (15 cabang), yaitu membersihkan perasaan dan kecenderungan, memberi makan kepada yang memerlukan, memuliakan tamu, berpuasa wajib maupun sunnah, i’tikaf dimasjid, bermunajat pada malam Qadar, berhaji, berumrah, dan berthawaf. Juga berlari (menghindar) untuk menyelamatkan agama dan keyakinan diri melalui hijrah dari sumber kesyirikan, menepati janji, membebaskan yang terikat sumpah, dan menjalankan kafarat (denda atas pelanggaran). Selain itu ada juga yang berhubungan dengan ittiba’ (melaksanakan seruan) yang terdiri atas 6 cabang, yaitu menghindarkan dosa melalui nikah dan menegakkan hak-hak keluarga, berbuat baik kepada kedua orang tua termasuk didalamnya menjauhi durhaka kepada keduanya, mendidik putra-putrinya, senantiasa mempererat silaturahmi, menaati perintah majikan (bagi hamba sahaya), dan menyantuni atau bersikap lembut kepada hamba sahaya. Sedangkan yang berkaitan dengan masalah umum ada tujuh belas cabang, yaitu menegakkan tugas kepemimpinan dengan adil, mengikuti jama’ah, menaati ulil amri, ishlah terhadap sesama manusia termasuk memerangi kaum Khawarij (kelompok yang membangkang), saling menolong dalam kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, menegakkan ketentuan-ketentuan hukum, berjihad yang termasuk didalamnya menjaga perbatasan, menegakkan amanah, menunaikan hak seperlima dari harta rampasan perang, memuliakan tetangga, bermuamalah dengan baik termasuk didalamnya menghimpun harta dengan baik seperti para muzakki (orang yang berzakat) dan munfiqun (orag yang berinfaq), serta menginfakkannya kepada yang berhak termasuk didalamnya meninggalkan hal-hal yang mubadzir dan pemborosan, membalas ucapan salam, mendo’akan orang yang bersin, menahan perbuatan mudharat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia, serta menyingkirkan duri gangguan dijalan. Semaunya berjumlah sekitar enam puluh cabang, dan mungkin saja terhitung tujuh puluh tujuh cabang, tentunya jika dipisah-pisah bisa lebih lagi. Allahu a’lam.

153.Tanya:
Bagaimana Al Qur’an dan As Sunnah menetapkan dalil untuk ihsan?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“... Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(Al Baqarah: 195).
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An Nahl: 128).
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya ...”(Yuunus: 26).
“Dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.”(Luqman: 22).
“Tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”(Ar Rahmaan: 60).
Imam Al Qurthubi sendiri, dalam tafsirnya menafsirkan Hal Jazaa’ul Ihsaani  dengan Hal Jazaa’ul Iman (lihat Tafsir al Qurthubi, 17/73, pent). Sedangkan, makna ayat ke-26 dari surat Yuunus diatas; lilladzina ahsanul husna sama dengan ucapan laailaaha illallah berdasarkan kesepakatan para ahli tafsir (lihat Al Qurthubi, 15/116). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencatat (mewajibkan) kebaikan atas segala sesuatu.”(HR. Muslim).

156.
Tanya:
Apa yang dimaksud dengan ihsan dalam beribadah?

Jawab:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan Ihsan tatkala Jibril ‘alaihissalam bertanya tentangnya. Ketika itu Rasulullah menjawab:
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan jika engkau tak melihatNya, ketahuilah bahwa Dia melihatmu.” (Muttafaq ‘alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ihsan itu memiliki dua tingkatan yang satu sama lain berbeda. Tingkatan yang paling tinggi adalah beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihatNya. Itu adalah suatu kedudukan hadir diri dan hadir hati seakan-akan Allah terlihat langsung, ketika seorang hamba tengah memenuhi tuntutan syahadat dengan hatinya.Dia menyinari hati dengan keimanan dan menembus bashirah, sehingga yang gaib seolah-olah jelas terlihat. Pada tingkatan inilah hakikat ihsan berada. Tingkatan kedua berada dalam kedudukan muraqabah (pengawasan). Ketika seorang  hamba tengah beramal, dia dituntut untuk menyaksikan Allah, memandang, dan mendekatkan diri kepada Allah semata. Maka, jika seorang hamba sudah mampu menghadirkan diri dan hatinya didalam setiap perbuatannya, berarti dia telah ikhlas kepada Allah. Sikap seperti itu mampu menghindarkan sikap berpaling kepada selain Allah. Tercapai atau luputnya tujuan mencapai dua kedudukan tersebut, bergantung pada tembusnya bashirah pelaku itu sendiri.

[Baca...]



ANTARA KEHENDAK HAMBA DAN KEHENDAK ALLAH
Tanya Kawab soal Aqidah Ahlussunnah, Syaikh Hafizh al Hakmi
147.
Tanya:
Bagaimana dalil yang menegaskan bahwa semua ini adalah ciptaan Allah?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”(Az Zumar: 62).
“... Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?”(Faathir: 3).
“Inilah ciptaan Allah, Maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. sebenarnya orang- orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.” (Luqman: 11).

“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (Ar Ruum: 40).
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”(Ash Shaaffaat: 96).

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”(Asy Syams: 7-8).
“... Tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Al Hujuraat: 7).
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, Maka merekalah orang-orang yang merugi.” (Al A’raaf: 178).

Tentang penciptaan semua perbuatan hamba-hamba Allah, Imam Bukhari meriwayatkannya dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu dalam hadits Marfu’ ini:
“Sesungguhnya Allah menciptakan semua hamba yang berkarya berikut karya-karyanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
“Ya Allah, berikanlah pada jiwaku ketakwaan dan sucikanlah, sebab Engkaulah sebaik-baiknya yang dapat menyucikan (jiwa ini), Engkaulah yang memimpinnya dan pelindungnya.”

148.
Tanya:
Apa makna yang terkandung dari sabda Nabi berikut:
“Kebaikan itu semuanya ada pada kedua tanganMu, dan keburukan itu bukan (dialamatkan) kepadaMu.”
Padahal, Allah itu pencipta segala sesuatu?

Jawab:
Hadits tersebut menyiratkan makna bahwa perbuatan-perbuatan Allah itu semuanya baik dan hanya berurusan dengan kebaikan. Jika dikaitkan kepadaNya, tak ada keburukan yang terkait kepadaNya karena Allah itu Al Hakim yang Maha Adil dan seluruh perbuatanNya mengandung hikmah dan keadilan. Dia senantiasa menempatkan sesuatu pada proporsinya yang layak. Sebaliknya, segala keburukan itu hanya pantas dialamatkan kepada hamba sampai ke tingkat merusak, dan bahkan proses perusakan alam ini tidak terlepas dari tangan-tangan kotor manusia sebagaimana firman Allah berikut:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”(Asy Syuuraa: 30).
“... dan Kami tiada Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.”(An Nahl: 118).
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.”(Yuunus: 44).

149.
Tanya:
Apakah setiap hamba itu dikenai kodrat dan kehendak Allah atas perbuatan-perbuatan mereka?

Jawab:
Tentu, bagi hamba itu ada kodrat, iradat, dan kehendak yang merupakan sandaran setiap perbuatan mereka sesuai dengan kemampuan masing-masing dan atas segala amalan yang mereka lakukan, mereka akan memperoleh pahala atau sebaliknya, sanksi (hukuman). Sekali-kali, Allah tidak memberikan beban kepada hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya sebagaimana telah ditetapkan didalam kitab dan sunnah rasulNya. Setiap hamba tidak akan memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu kecuali memang telah Allah jadikan pekerjaan-pekerjaan itu untuk mereka. Jelasnya, perbuatan setiap hamba tidak akan terwujud tanpa, kodrat, kehendak, iradat, dan fi’liyyahNya. Dengan demikian, Dia adalah Pencipta mereka, Pencipta kodrat mereka, Pencipta iradah mereka, Pencipta kehendak buat mereka, dan Pencipta perbuatan-perbuatan mereka.
Benar jika Allah dikatakan sebagai pelaku dan benar pula jika dikatakan bahwa setiap hamba adalah objek yang diberi pekerjaan. Allah sebagai pemberi petunjuk adalah benar dan hamba sebagai yang diberi petunjuk juga adalah benar. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk ...”(Al A’raaf: 178).
Dengan demikian, kedua perbuatan tersebut diatasnamakan kepada pelakunya. Predikat pemberi hidayah dikenakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan penerima hidayah dikenakan oleh hamba. Disisi lain, Allah berhak menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki. Seluruh masalah yang berkenaan dengan hambaNya senantiasa sesuai dengan kehendak Allah. Karenanya, barangsiapa yang mengatasnamakan kekuasaan berbuat dan pelaksanaan perbuatan kepada hamba, berarti dia telah kafir. Demikian juga, barangsiapa yang mengatasnamakan keduanya kepada Allah semata, dia pun telah kafir. Seorang mu’min yang lurus adalah mu’min yang mengatasnamakan kekuasaan untuk berbuat kepada Al Khaaliq (Pencipta, Allah) dan kecenderungan berbuat (pelaksana) kepada makhluk.

150.
Tanya:
Mungkinkah dengan Qudrah Allah itu semua hambaNya menjadi mu’min dan taat?

Jawab:
Sesungguhya Dia Maha Kuasa berbuat seperti itu sebagaimana firmanNya:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja) ...”(An Nahl: 93).
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya ...”(Yuunus: 99).
Namun, segala sesuatu yang Dia lakukan untuk hambaNya berjalan sesuai dengan kebijaksanaanNya dan keharusan sifat rububiyyah, uluhiyyah, asma’ dan sifatNya sehingga dikalangan hamba-hambaNya muncul pertanyaan, mengapa diantara asma’ Allah itu terdapat Allah sebagai Penolak Mudharat, Pemberi Manfaat, Pemberi Karunia, Penolak Karunia, Al Khaafidh (Maha Menjatuhkan/Merendahkan), Ar Raafi’ (Maha Mengangkat), Al Mun’im (Pemberi Kenikmatan), Al Muntaqim (Maha Pembalas), dan lain-lain. Pada dasarnya af’al (perbuatan) Allah merupakan tuntunan asma’ (namaNya) dan sifat-sifatNya. Karenanya, menentang adanya perbuatan Allah berarti menentang asma’ dan sifatNya, bahkan termasuk menentang uluhiyyah dan rububiyyah Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”(Al Anbiyaa’: 22-23).

151.
Tanya:
Bagaimana Islam memposisikan iman terhadap takdir?

Jawab:
Iman terhadap takdir merupakan nizham (aturan, prinsip) dalam tauhid sekaligus sekaligus juga merupakan prinsip syar’i jika dihubungkan dengan keimanan atas penyebab munculnya takdir baik dan buruk. Pada dasarnya, Allah membuat aturan agama yang meluruskan yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman terhadap takdir dan yang menerapkan aturan syar’i seperti juga yang diimani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika ada yang mengatakan: ‘Kita pasrah saja terhadap ketetapan Allah, tak perlu beramal!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Beramallah kalian sebab setiap orang itu beramal dengan apa yang telah diciptakan untuknya.” Maka, barangsiapa yang menafikan qadar, dia berarti mengingkari ilmu dan kodrat Allah karena dia dapat dikatakan telah menafikan syari’at. Padahal, Dia telah membebaskan hambaNya melakukan berbagai perbuatan yang Dia ciptakan untuk mereka. Selain itu, ada juga hamba yang dianggap memerangi Allah karena selain mengakui Allah sebagai pencipta, dia juga mengakui bahwa makhluk pun dapat menciptakan sesuatu atau membuat ketentuan syar’i.  Hal itu merupakan penafian akan adanya kodrat dan ikhtiar hamba yang diberikan Allah kepadanya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal itu pun berarti ada pengakuan bahwa Allah telahm membebani hamba-hambaNya dengan hal diluar kekuasaan hambaNya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang buta yang membubuhkan tanda baca pada sebuah mushhaf. Upaya-upaya seperti itu jelas-jelas menisbatkan Allah kepada kezhaliman sebagai akibat hasutan iblis yang dilaknat Allah, sebagaimana firmanNya:
“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus’.”(Al A’raaf: 16).

Adapun orang yang benar-benar mu’min, mereka mengimani qadar baik maupun buruk yang telah diciptakan Allah ta’ala. Mereka pun meyakini bahwa Allah telah memberikan petunjuk-petunjuk syar’i lewat perintah dan laranganNya dan Allah telah memberikan peluang untuk memutuskan nasib masing-masing, baik yang masih samar-samar maupun yang sudah jelas. Hidayah dan kesesatan itu ada ditangan Allah. Dia memberikan hidayah kepad siapa saja yang Dia inginkan berdasarkan keadilanNya. Dia pun Maha Mengetahui sesuai dengan kemuliaan dan keadilanNya sebagaimana firmanNya berikut ini:
“... Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”(An Najm: 30).

Hikmah dan hujjah telah sampai dan jelas kepada hamba-hambaNya. Pahala dan siksaan pun disusun menurut ketentuan syar’i, bergantung pada segala perbuatan. Dengan begitu, mereka tidak menyerah begitu saja terhadap takdir. Mereka mampu membuat diri mereka jaya dan mulia dalam menghadapi kebaikan, mereka mengingat hak pemiliknya, sehingga mereka berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki Kami kepada (surga) ini. dan Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk ...”(Al A’raaf: 43).
Mereka pun berkata-kata seperti orang kafir yang mengatakan:
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’ ...”(Al Qashshash: 78).

Kalaupun mereka mengerjakan suatu perbuatan jelek, mereka berkata seperti perkataan Adam dan Hawa:
“... ‘Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi’.”(Al A’raaf: 23).
Dan sangat menghindari perkataan seperti perkataan syaithan yang terkutuk:
“Iblis berkata: ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat’ ...”(Al Hijr: 39).

Dan ketika ditimpa musibah, orang-orang beriman akan berkata:
          “... Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.” (Al Baqarah: 156).
Tidak seperti orang-orang kafir yang berkata:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafiq) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka Mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: ‘Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.’ akibat (dari Perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (Ali ‘Imraan: 156).


[Baca...]



TAKDIR DAN KEHENDAK ALLAH SERTA CARA MENGHADAPINYA
Tanya Jawab Aqidah Ahlus sunnah, Syaikh Hafizh al Hakami
141.Tanya:
Bagaimana dalil tentang takdir seumur hidup ketika awal penciptaan nuthfah (mani) itu?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“... Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”(An Najm: 32).
Didalam shahihain dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
          “Sesungguhnya seseorang terkumpul kejadiannya dalam perut ibunya empat puluh hari berupa mani, kemudian berupa ‘alaqah (segumpal darah) selama itu pula, kemudian berupa segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat yang meniupkan ruh kepadanya, dan diperitahkan untuk mencatat empat kalimat, diperintahkan untuk mencatat rezekinya, ajalnya, amalnya, dan nasib baik atau sialnya (bahagia atau celaka).’ Maka sesungguhnya, adakalanya seorang dari kamu melakukan amalan ahli surga sehingga jaraknya dengan surga hanya sehasta tetapi didahului ketentuan dalam takdir lalu beramal dengan amalan ahli neraka maka dia masuk kedalam neraka. Dan seseorang dari kamu melakukan amalan ahli neraka sehingga jaraknya dengan neraka hanya sehasta tetapi didahului ketentuan dalam takdir lalu beramal dengan amalan ahli surga maka dia masuk kedalam surga.”(HR. Bukhari-Muslim).

142.Tanya:
Bagaimana dalil takdir tahunan pada malam Qadar itu?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (Ad Dukhaan: 4-5).
Yang dimaksud dengan urusan yang penuh hikmah diatas adalah masalah rezeki, hidup, mati, nasib baik dan buruk, bahagia dan celaka. Berkaitan dengan masalah itu, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dari induk kitab, dicatatlah pada malam Qadar apa-apa yang terjadi dalam sunnah, baik soal kematian, kehidupan, rezeki, hujan, hingga soal siapa-siapa yang pergi haji.”

143.Tanya:
Bagaimana dalil takdir harian itu?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
          “... Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”(Ar Rahmaan: 29).
Didalam shahih Al Hakim, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Diantara bahan (yang dipakai Allah) untuk menciptakan Lauhul Mahfuzh adalah mutiara yang putih (bening, jernih) dengan kombinasi batu zamrud merah. PenaNya adalah cahaya; bukuNya adalah cahaya. Allah melihat 360 kali penglihatan setiap hari. Setiap kali melihat, Dia menciptakan, menghidupkan, mematikan, memuliakan, dan merendahkan.”
Inilah pengertian dari ayat: ‘Setiap hari Dia menangani urusan.’. Semua bentuk takdir diatas sifatnya azali yang ketika penciptaannya telah Allah perintahkan untuk ditulis di Lauhul Mahfuzh. Itulah tafsir dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum tentang firman Allah berikut:
“... ‘Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan’.”(Al Jaatsiyah: 29).
Dan semua itu bersandar pada ilmu Allah yang merupakan salah satu sifat Allah subhanahu wata’ala.

144.Tanya:
Bagaimana usaha kita jika takdir telah menetapkan kecelakaan dan kebahagiaan?

Jawab:
Seluruh kitab samawi dan sunnah-sunnah para nabi telah sepakat menyatakan bahwa ketetapan takdir itu tidaklah mencegah suatu amalan dan tidak mengharuskan bagi hambaNya pasrah begitu saja pada nasib. Seharusnyalah setiap hamba gigih dan berusaha sungguh-sungguh untuk senantiasa beramal shalih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri ketika ada yang bertanya, ‘Apa yang mesti diperbuat lagi jika semuanya telah ditetapkan?’ Nabi menjawab, “Jangan pasrah, justru beramallah kalian sebab setiap amal telah diringankan.’ Lalu beliau membaca ayat:
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al Lail: 5-10).
Allah subhanahu wata’ala Maha Bijaksana. Dia telah menentukan takdir yang pasti yang dilengkapi dengan sebab-sebab nasib hamba, baik dalam kehidupan maupun masalah tempat kembali (surga atau neraka). Dia pun telah meringankan melalui ketetapan bahwa setiap orang beramal sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadanya atau untuk mencapai apa yang dimudahkan Allah baginya. (lihat HR. Bukhari-Muslim diatas). Maka hendaklah setiap hamba mengetahui bahwa kemaslahatan akhirat berkaitan erat dengan penyebabnya. Karenanya, kegigihan usaha untuk senantiasa beramal shalih didunia merupakan penyebab kemaslahatannya. Hal ini dilakukan oleh para sahabat yang jauh lebih gigih daripada kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Carilah dengan gigih apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah mengendur.”
Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: ‘Apakah obat yang kita pakai untuk mengobati dan penangkal dengan bacaan-bacaan bisa menolak takdir Allah ta’ala?’ beliau menjawab, “Itu adalah takdir Allah.” Artinya, Allah telah menetapkan yang baik dan yang buruk berikut penyebab-penyebabnya serta obat dari takdir Allah.

145.Tanya:
Bagaimana dengan dalil yang berkenaan dengan beriman kepada kehendak Allah?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah ...”(Al Insaan: 30).
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): ‘Insya Allah’ ...”(Al Kahfi: 23-24).
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja) ...”(An Nahl: 93).
“... Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” (Al An’aam: 39).
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit ...”(Al An’aam: 125).
“Sesungguhnya keadaan (perintah)-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah dia.”(Yaasiin: 82).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
“Hati para hamba berada diantara jari-jari Ar Rahman, bagaikan hati yang satu, diperlakukannya dengan apa yang dikehendakiNya.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibawah ini berkenaan dengan berkuasanya Allah subhanahu wata’ala terhadap hamba-hambaNya yang tengah tidur. Dia berkuasa untuk membangunkannya maupun untuk tidak membangunkannya kembali:
          “Sesungguhnya Allah ta’ala menggenggam arwah (ruh para hamba) manakala Dia menghendaki dan mengembalikannya lagi manakala Dia menghendaki.”
Dalam kesempatan lain, beliau pun bersabda:
“Janganlah kalian berkata apa yang dikehendaki Allah dan dikehendaki fulan, tetapi katakanlah: ‘Atas kehendak Allah semata. Barangsiapa Allah menghendaki bagi hamba suatu kebaikan, maka diberiNya dia itu pengetahuan tentang agama’.”
“Jika Allah menghendaki rahmat bagi umat, maka Allah mewafatkan nabinya sebelumnya; dan jika Allah menghendaki kebinasaan umat, diadzablah umat itu, sementara nabinya masih hidup.”
Jelaslah, kehendak dan iradah Allah tak terbilang dan tak terbatas oleh campur tangan makhlukNya.

146.Tanya:
Allah ta’ala mengabarkan bebagai berita melalui kitab maupun lisan NabiNya dan sifat-sifatNya. Dia mencintai orang-orang baik (muhsinin), orang-orang bertakwa (muttaqin), dan orang-orang yang bersabar. Sebaliknya, Dia tidak menyukai orang-orang kafir dan orang-orang zhalim. Dia juga tidak ridha atas kekufuran dan perbuatan merusak hamba-hambaNya. Namun, semua itu tidak terlepas dari kehendak dan iradahNya. Jika hal itu tidak dikehendaki Allah, tentu hal itu tidak akan terjadi. Bagaimana Allah itu menghendaki sesuatu yang tidak diridhai atau tidak disukaiNya?

Jawab:
Ketahuilah, iradah seperti itu mengacu pada iradah kauniyyahqadariyyah, yaitu kehendak, dan tak ada keharusan pilih-pilih, bahkan berlaku untuk hal-hal yang dicintai, diridhai maupun yang tidak disukai, orang-orang kafir, orang-orang mu’min, orang taat, orang maksiat, dan lain-lain. Iradah itu bukan untuk satu jenis manusia, sebagaimana telah difirmankan Allah:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit ...”(Al An’aam: 125).
“... Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”(Al Maaidah: 41).
Iradah lainnya berkaitan dengan iradah diniyyah syar’iyyah yang khusus ditujukan bagi orang-orang yang diridhai dan dicintaiNya. Atas iradah inilah hamba-hamba itu diperintah dan dilarang sebagaimana firmanNya ini:
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ...”(Al Baqarah: 185).
“Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para Nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(An Nisaa’: 26).
Iradah diniyyah syar’iyyah tak akan muncul sebelum didahului iradah kauniyyah. Dengan begitu, pada diri orang mu’min yang taat itu terkumpul iradah kauniyyah dan iradah diniyyah syar’iyyah. Sedangkan pada orang yang fajir (durhaka) dan maksiat hanya terdapat iradah kauniyyah tanpa iradah syar’iyyah. Karenanya, Allah senantiasa menyeru hamba-hambaNya untuk menggapai keridhaan dan petunjukNya. Siapapun berhak menyambut seruan tersebut. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam).” (Yuunus: 25).
“... Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (An Najm: 30).


[Baca...]