ANTARA KEHENDAK HAMBA DAN KEHENDAK ALLAH
Tanya Kawab soal Aqidah Ahlussunnah, Syaikh Hafizh al Hakmi
147.
Tanya:
Bagaimana dalil yang menegaskan bahwa semua ini adalah ciptaan Allah?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”(Az Zumar: 62).
“... Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?”(Faathir: 3).
“Inilah ciptaan Allah, Maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. sebenarnya orang- orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.” (Luqman: 11).

“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (Ar Ruum: 40).
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”(Ash Shaaffaat: 96).

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”(Asy Syams: 7-8).
“... Tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Al Hujuraat: 7).
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, Maka merekalah orang-orang yang merugi.” (Al A’raaf: 178).

Tentang penciptaan semua perbuatan hamba-hamba Allah, Imam Bukhari meriwayatkannya dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu dalam hadits Marfu’ ini:
“Sesungguhnya Allah menciptakan semua hamba yang berkarya berikut karya-karyanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
“Ya Allah, berikanlah pada jiwaku ketakwaan dan sucikanlah, sebab Engkaulah sebaik-baiknya yang dapat menyucikan (jiwa ini), Engkaulah yang memimpinnya dan pelindungnya.”

148.
Tanya:
Apa makna yang terkandung dari sabda Nabi berikut:
“Kebaikan itu semuanya ada pada kedua tanganMu, dan keburukan itu bukan (dialamatkan) kepadaMu.”
Padahal, Allah itu pencipta segala sesuatu?

Jawab:
Hadits tersebut menyiratkan makna bahwa perbuatan-perbuatan Allah itu semuanya baik dan hanya berurusan dengan kebaikan. Jika dikaitkan kepadaNya, tak ada keburukan yang terkait kepadaNya karena Allah itu Al Hakim yang Maha Adil dan seluruh perbuatanNya mengandung hikmah dan keadilan. Dia senantiasa menempatkan sesuatu pada proporsinya yang layak. Sebaliknya, segala keburukan itu hanya pantas dialamatkan kepada hamba sampai ke tingkat merusak, dan bahkan proses perusakan alam ini tidak terlepas dari tangan-tangan kotor manusia sebagaimana firman Allah berikut:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”(Asy Syuuraa: 30).
“... dan Kami tiada Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.”(An Nahl: 118).
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.”(Yuunus: 44).

149.
Tanya:
Apakah setiap hamba itu dikenai kodrat dan kehendak Allah atas perbuatan-perbuatan mereka?

Jawab:
Tentu, bagi hamba itu ada kodrat, iradat, dan kehendak yang merupakan sandaran setiap perbuatan mereka sesuai dengan kemampuan masing-masing dan atas segala amalan yang mereka lakukan, mereka akan memperoleh pahala atau sebaliknya, sanksi (hukuman). Sekali-kali, Allah tidak memberikan beban kepada hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya sebagaimana telah ditetapkan didalam kitab dan sunnah rasulNya. Setiap hamba tidak akan memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu kecuali memang telah Allah jadikan pekerjaan-pekerjaan itu untuk mereka. Jelasnya, perbuatan setiap hamba tidak akan terwujud tanpa, kodrat, kehendak, iradat, dan fi’liyyahNya. Dengan demikian, Dia adalah Pencipta mereka, Pencipta kodrat mereka, Pencipta iradah mereka, Pencipta kehendak buat mereka, dan Pencipta perbuatan-perbuatan mereka.
Benar jika Allah dikatakan sebagai pelaku dan benar pula jika dikatakan bahwa setiap hamba adalah objek yang diberi pekerjaan. Allah sebagai pemberi petunjuk adalah benar dan hamba sebagai yang diberi petunjuk juga adalah benar. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk ...”(Al A’raaf: 178).
Dengan demikian, kedua perbuatan tersebut diatasnamakan kepada pelakunya. Predikat pemberi hidayah dikenakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan penerima hidayah dikenakan oleh hamba. Disisi lain, Allah berhak menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki. Seluruh masalah yang berkenaan dengan hambaNya senantiasa sesuai dengan kehendak Allah. Karenanya, barangsiapa yang mengatasnamakan kekuasaan berbuat dan pelaksanaan perbuatan kepada hamba, berarti dia telah kafir. Demikian juga, barangsiapa yang mengatasnamakan keduanya kepada Allah semata, dia pun telah kafir. Seorang mu’min yang lurus adalah mu’min yang mengatasnamakan kekuasaan untuk berbuat kepada Al Khaaliq (Pencipta, Allah) dan kecenderungan berbuat (pelaksana) kepada makhluk.

150.
Tanya:
Mungkinkah dengan Qudrah Allah itu semua hambaNya menjadi mu’min dan taat?

Jawab:
Sesungguhya Dia Maha Kuasa berbuat seperti itu sebagaimana firmanNya:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja) ...”(An Nahl: 93).
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya ...”(Yuunus: 99).
Namun, segala sesuatu yang Dia lakukan untuk hambaNya berjalan sesuai dengan kebijaksanaanNya dan keharusan sifat rububiyyah, uluhiyyah, asma’ dan sifatNya sehingga dikalangan hamba-hambaNya muncul pertanyaan, mengapa diantara asma’ Allah itu terdapat Allah sebagai Penolak Mudharat, Pemberi Manfaat, Pemberi Karunia, Penolak Karunia, Al Khaafidh (Maha Menjatuhkan/Merendahkan), Ar Raafi’ (Maha Mengangkat), Al Mun’im (Pemberi Kenikmatan), Al Muntaqim (Maha Pembalas), dan lain-lain. Pada dasarnya af’al (perbuatan) Allah merupakan tuntunan asma’ (namaNya) dan sifat-sifatNya. Karenanya, menentang adanya perbuatan Allah berarti menentang asma’ dan sifatNya, bahkan termasuk menentang uluhiyyah dan rububiyyah Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”(Al Anbiyaa’: 22-23).

151.
Tanya:
Bagaimana Islam memposisikan iman terhadap takdir?

Jawab:
Iman terhadap takdir merupakan nizham (aturan, prinsip) dalam tauhid sekaligus sekaligus juga merupakan prinsip syar’i jika dihubungkan dengan keimanan atas penyebab munculnya takdir baik dan buruk. Pada dasarnya, Allah membuat aturan agama yang meluruskan yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman terhadap takdir dan yang menerapkan aturan syar’i seperti juga yang diimani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika ada yang mengatakan: ‘Kita pasrah saja terhadap ketetapan Allah, tak perlu beramal!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Beramallah kalian sebab setiap orang itu beramal dengan apa yang telah diciptakan untuknya.” Maka, barangsiapa yang menafikan qadar, dia berarti mengingkari ilmu dan kodrat Allah karena dia dapat dikatakan telah menafikan syari’at. Padahal, Dia telah membebaskan hambaNya melakukan berbagai perbuatan yang Dia ciptakan untuk mereka. Selain itu, ada juga hamba yang dianggap memerangi Allah karena selain mengakui Allah sebagai pencipta, dia juga mengakui bahwa makhluk pun dapat menciptakan sesuatu atau membuat ketentuan syar’i.  Hal itu merupakan penafian akan adanya kodrat dan ikhtiar hamba yang diberikan Allah kepadanya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal itu pun berarti ada pengakuan bahwa Allah telahm membebani hamba-hambaNya dengan hal diluar kekuasaan hambaNya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang buta yang membubuhkan tanda baca pada sebuah mushhaf. Upaya-upaya seperti itu jelas-jelas menisbatkan Allah kepada kezhaliman sebagai akibat hasutan iblis yang dilaknat Allah, sebagaimana firmanNya:
“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus’.”(Al A’raaf: 16).

Adapun orang yang benar-benar mu’min, mereka mengimani qadar baik maupun buruk yang telah diciptakan Allah ta’ala. Mereka pun meyakini bahwa Allah telah memberikan petunjuk-petunjuk syar’i lewat perintah dan laranganNya dan Allah telah memberikan peluang untuk memutuskan nasib masing-masing, baik yang masih samar-samar maupun yang sudah jelas. Hidayah dan kesesatan itu ada ditangan Allah. Dia memberikan hidayah kepad siapa saja yang Dia inginkan berdasarkan keadilanNya. Dia pun Maha Mengetahui sesuai dengan kemuliaan dan keadilanNya sebagaimana firmanNya berikut ini:
“... Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”(An Najm: 30).

Hikmah dan hujjah telah sampai dan jelas kepada hamba-hambaNya. Pahala dan siksaan pun disusun menurut ketentuan syar’i, bergantung pada segala perbuatan. Dengan begitu, mereka tidak menyerah begitu saja terhadap takdir. Mereka mampu membuat diri mereka jaya dan mulia dalam menghadapi kebaikan, mereka mengingat hak pemiliknya, sehingga mereka berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki Kami kepada (surga) ini. dan Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk ...”(Al A’raaf: 43).
Mereka pun berkata-kata seperti orang kafir yang mengatakan:
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’ ...”(Al Qashshash: 78).

Kalaupun mereka mengerjakan suatu perbuatan jelek, mereka berkata seperti perkataan Adam dan Hawa:
“... ‘Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi’.”(Al A’raaf: 23).
Dan sangat menghindari perkataan seperti perkataan syaithan yang terkutuk:
“Iblis berkata: ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat’ ...”(Al Hijr: 39).

Dan ketika ditimpa musibah, orang-orang beriman akan berkata:
          “... Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.” (Al Baqarah: 156).
Tidak seperti orang-orang kafir yang berkata:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafiq) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka Mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: ‘Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.’ akibat (dari Perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (Ali ‘Imraan: 156).



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------