IMAN DAN KUFUR ITU MEMILIKI POKOK DAN CABANG
Tanya Jawab Aqidah Ahlussunnah, Syaikh Hafizh al Hakami

152.Tanya:
Berapa jumlah cabang iman itu?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”(Al Baqarah: 177).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
          “Iman itu adalah enam puluh lebih cabangnya”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan:
          “Ada tujuh puluh lebih sekian cabang iman. Yang paling tinggi kedudukannya adalah mengucapkan laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari tengah jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang dari iman.”(Muttafaq ‘alaih).

153.Tanya:
Bagaimana para ulama menafsirkan cabang-cabang iman itu?

Jawab:
Keseluruhan bahan tafsir mereka himpun dari syarah (penjelasan) hadits yang kemudian mereka pilah-pilah menjadi beberapa bagian sehingga banyak manfaat yang dapat diperoleh. Namun, pengetahuan tersebut bukanlah syarat utama dalam keimanan. Untuk mengetahui jumlah cabang iman, cukuplah kiranya Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman. Yang terpenting bagi seorang hamba adalah mengaplikasikan segala perintah serta membenarkan berita-berita yang ada dalam kedua sumber tadi. Mengetahui seluruh cabang keimanan buka saja merupakan bagian dari perkara keimanan, melainkan memang sudah merupakan kepastian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

154 , Tanya:
Bagaimana ringkasnya jumlah cabang iman itu?

Jawab:
Al Hafizh telah meringkas sebagaimana riwayat Ibnu Hibban didalam Fathul Baari. Cabang-cabang iman itu terbagi-bagi dalam berbagai amalan, baik amalan hati, amalan lisan, maupun amalan fisik yang dilakukan oleh seluruh anggota badan.
Pertama, amalan hati yang telah diyakini dengan niat terdiri atas 24 cabang, yaitu iman kepada Allah, termasuk didalamnya iman kepada DzatNya, sifat-sifatNya, dan metauhidkanNya, sebab Dia itu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Asy Syuuraa: 11). Kemudian, iman kepada malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, takdirNya (yang baik maupun yang buruk), dan iman kepada hari akhirNya yang didalamnya tercakup persoalan-persoalan dalam kubur, hari berbangkit, hisab, mizan, jembatan, surga, dan neraka. Selain itu juga mahabbah Allah yang didalamnya terkandung sikap mencintai dan membenci sesuatu karena Allah, serta mahabbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu meyakini dan mengagungkannya melalui shalawat atasnya dan mengikuti sunnahnya secara ikhlas yang didalamnya tercakup masalah meninggalkan riya’ dan nifaq serta senantiasa bertaubat, takut (pada adzabNya), menepati janji kepada Allah, bersabar, ridha, terhadap putusanNya, tawakal, tawadhu yang didalamnya termasuk menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih kecil (usianya), meninggalkan takabbur, ujub, dan meninggalkan hasad (dengki), dendam, dan kebencian.
Kedua,amalan-amalan lisan yang mencakup tujuh cabang, yaitu mengucapkan kalimat tauhid, membaca Al Qur’an, mempelajari ilmu dan mengajarkannya, berdo’a, berdzikir yang didalamnya terkandung permohonan ampunan, dan menjauhkan diri dari perbuatan serta perkataan yang sia-sia.
Ketiga, amalan jasmaniyah yang mencakup 38 cabang, diantaranya berkaitan dengan mata (15 cabang), yaitu membersihkan perasaan dan kecenderungan, memberi makan kepada yang memerlukan, memuliakan tamu, berpuasa wajib maupun sunnah, i’tikaf dimasjid, bermunajat pada malam Qadar, berhaji, berumrah, dan berthawaf. Juga berlari (menghindar) untuk menyelamatkan agama dan keyakinan diri melalui hijrah dari sumber kesyirikan, menepati janji, membebaskan yang terikat sumpah, dan menjalankan kafarat (denda atas pelanggaran). Selain itu ada juga yang berhubungan dengan ittiba’ (melaksanakan seruan) yang terdiri atas 6 cabang, yaitu menghindarkan dosa melalui nikah dan menegakkan hak-hak keluarga, berbuat baik kepada kedua orang tua termasuk didalamnya menjauhi durhaka kepada keduanya, mendidik putra-putrinya, senantiasa mempererat silaturahmi, menaati perintah majikan (bagi hamba sahaya), dan menyantuni atau bersikap lembut kepada hamba sahaya. Sedangkan yang berkaitan dengan masalah umum ada tujuh belas cabang, yaitu menegakkan tugas kepemimpinan dengan adil, mengikuti jama’ah, menaati ulil amri, ishlah terhadap sesama manusia termasuk memerangi kaum Khawarij (kelompok yang membangkang), saling menolong dalam kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, menegakkan ketentuan-ketentuan hukum, berjihad yang termasuk didalamnya menjaga perbatasan, menegakkan amanah, menunaikan hak seperlima dari harta rampasan perang, memuliakan tetangga, bermuamalah dengan baik termasuk didalamnya menghimpun harta dengan baik seperti para muzakki (orang yang berzakat) dan munfiqun (orag yang berinfaq), serta menginfakkannya kepada yang berhak termasuk didalamnya meninggalkan hal-hal yang mubadzir dan pemborosan, membalas ucapan salam, mendo’akan orang yang bersin, menahan perbuatan mudharat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia, serta menyingkirkan duri gangguan dijalan. Semaunya berjumlah sekitar enam puluh cabang, dan mungkin saja terhitung tujuh puluh tujuh cabang, tentunya jika dipisah-pisah bisa lebih lagi. Allahu a’lam.

153.Tanya:
Bagaimana Al Qur’an dan As Sunnah menetapkan dalil untuk ihsan?

Jawab:
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“... Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(Al Baqarah: 195).
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An Nahl: 128).
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya ...”(Yuunus: 26).
“Dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.”(Luqman: 22).
“Tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”(Ar Rahmaan: 60).
Imam Al Qurthubi sendiri, dalam tafsirnya menafsirkan Hal Jazaa’ul Ihsaani  dengan Hal Jazaa’ul Iman (lihat Tafsir al Qurthubi, 17/73, pent). Sedangkan, makna ayat ke-26 dari surat Yuunus diatas; lilladzina ahsanul husna sama dengan ucapan laailaaha illallah berdasarkan kesepakatan para ahli tafsir (lihat Al Qurthubi, 15/116). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencatat (mewajibkan) kebaikan atas segala sesuatu.”(HR. Muslim).

156.
Tanya:
Apa yang dimaksud dengan ihsan dalam beribadah?

Jawab:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan Ihsan tatkala Jibril ‘alaihissalam bertanya tentangnya. Ketika itu Rasulullah menjawab:
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan jika engkau tak melihatNya, ketahuilah bahwa Dia melihatmu.” (Muttafaq ‘alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ihsan itu memiliki dua tingkatan yang satu sama lain berbeda. Tingkatan yang paling tinggi adalah beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihatNya. Itu adalah suatu kedudukan hadir diri dan hadir hati seakan-akan Allah terlihat langsung, ketika seorang hamba tengah memenuhi tuntutan syahadat dengan hatinya.Dia menyinari hati dengan keimanan dan menembus bashirah, sehingga yang gaib seolah-olah jelas terlihat. Pada tingkatan inilah hakikat ihsan berada. Tingkatan kedua berada dalam kedudukan muraqabah (pengawasan). Ketika seorang  hamba tengah beramal, dia dituntut untuk menyaksikan Allah, memandang, dan mendekatkan diri kepada Allah semata. Maka, jika seorang hamba sudah mampu menghadirkan diri dan hatinya didalam setiap perbuatannya, berarti dia telah ikhlas kepada Allah. Sikap seperti itu mampu menghindarkan sikap berpaling kepada selain Allah. Tercapai atau luputnya tujuan mencapai dua kedudukan tersebut, bergantung pada tembusnya bashirah pelaku itu sendiri.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------