Indahnya Masuk Surga Sekeluarga
وأقبل بعضهم على بعض يتساءلون ، قالوا إنا كنا قبل في أهلنا مشفقين ، فمن
الله
علينا ووقانا عذاب السموم ، إنا كنا من قبل ندعوه إنه هو البر الرحيم.
“Dan sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang lain saling tanya-menanya.
Mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah
keluarga kami merasa takut (akan diazab). Maka Allah memberikan karunia kepada
kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu
menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha
Penyayang.” (Ath-Thur [52]: 25-28).
Muqaddimah
Di antara hal yang dirindukan oleh banyak manusia adalah berkumpul dengan
orang-orang yang disayangi. Ada rasa bahagia yang sulit dilukiskan dengan
kata-kata dalam acara berkumpul itu. Di masa tertentu, seperti Idul Fitri dan
Idul Adha misalnya, sebagian orang bahkan tak ragu bersusah payah dalam arus
mudik demi berkumpul kembali dengan orang-orang yang dicintai. Kata pepatah
Jawa, Mangan ora mangan sing penting ngumpul. Makan atau tidak makan yang
penting bisa kumpul.
Di lingkungan surga kelak,
orang-orang beriman tersebut digambarkan dalam ayat di atas suka
berkumpul-kumpul kembali. Mereka saling mencari dan kumpul bersama
masing-masing keluarga dan para sahabatnya dahulu. Para penduduk surga itu lalu
saling bertegur sapa sambil tersenyum bahagia. Sungguh kebahagiaan yang tak
terkira, ketika kembali bersua dengan orang-orang yang dicintai selama di dunia
dahulu.
Makna Ayat
Ibn Abbas menceritakan, seperti dinukil oleh mufassir al-Qurthubi. Ketika
orang-orang beriman telah dimasukkan ke surga, mereka lalu bernostalgia
mengenang yang dahulu dikerjakan. Mereka juga saling menceritakan kepayahan
yang mereka tanggung sebagai konsekuensi keimanan yang diyakininya.
Mereka harus menaati suatu kebaikan
meski terkadang hal itu berseberangan dengan bujukan nafsunya. Sebagaimana ia
harus menanggung pergolakan hati dan logika akibat rasa takut kepada neraka
jika bermaksiat. Tak lupa para penduduk surga itu senantiasa memuji Allah SWT
yang dengan limpahan rahmat-Nya berkenan mengganjar semua kepenatan dunia
dengan nikmat yang begitu meruah di surga.
Obrolan ringan tersebut, menurut
mufassir Ibn Katsir, dilakukan di sela-sela cengkerama penduduk surga dengan
yang lainnya. Layaknya sebuah perkumpulan keluarga sambil diselingi suguhan
berupa minuman dan makanan ringan. Dalam riwayat lain, ada yang bertanya,
bagaimana cara kalian meraih surga? Jawab mereka, kami senantiasa saling
memelihara serta mengingatkan di antara keluarga. Kami selalu khawatir dan
takut sekiranya ada di antara anggota keluarga yang tergelincir ke dalam
neraka.
‘Aisyah, istri Rasulullah SAW
menambahkan, kerap ia membaca ayat ini, “Maka Allah memberikan karunia kepada
kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu
menyembah-Nya.” Tak lupa ‘Aisyah berdoa: Ya Allah, limpahkanlah kebaikan kepada
kami dan jauhkanlah kami dari siksa neraka. Sesungguhnya Dia-lah yang
melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.
Visi Keluarga Dalam Islam
Sudah menjadi rahasia umum jika pernikahan dan keluarga bukanlah sekadar
memenuhi kebutuhan biologis manusia. Sebab ia sekait dengan perjalanan panjang
seseorang menuju terminal terakhir di hari Pembalasan. Sebagai orang terdekat
yang paling banyak berinteraksi dalam keseharian, peran keluarga menjadi vital
dalam pertumbuhan iman seorang Muslim. Karena seseorang tergantung atas agama
sahabat dan orang-orang yang digaulinya, demikian Nabi SAW selalu mengingatkan.
Untuk itu, sejak dini Allah SWT
menggariskan, tujuan utama sebuah keluarga adalah saling menjaga dan
mengingatkan agar terhindar dari siksa neraka. Visi besar ini tentu tak bisa
dicapai semudah membalik telapak tangan. Tak sedikit tantangan dan godaan yang
bisa memalingkan sebuah keluarga Muslim dari niat awalnya. Kata Nabi SAW,
semakin berat kepayahan yang dilalui kian besar pula ganjaran kemuliaan yang
disediakan kelak.
Sebab realitasnya, terkadang
perjuangan bahkan sudah ditapaki sejak keluarga tersebut baru mengikat diri
dalam ikatan pernikahan. Belum lagi setelah mereka beroleh karunia berupa
keturunan, maka keletihan dan kesukaran dalam merawat komitmen visi keluarga
kian terasa berat. Olehnya, di sinilah peran keluarga agar saling mengingatkan
dan menegur jika di antara mereka lalai akan pedihnya neraka Jahannam.
Tentunya tanggung jawab sepenuhnya
bukan cuma milik ibu yang digariskan lebih banyak tinggal di rumah bersama
anak-anak. Sebagaimana beban itu tak selamanya disandarkan kepada ayah selaku
kepala keluarga. Sebab, setiap anggota keluarga punya hak dan kewajiban yang
sama untuk selalu menjaga dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran.
Bahaya Hiburan yang Mematikan Hati
Adanya gempuran budaya hedonisme dan materialisme terasa kian memberatkan visi
keluarga untuk bisa saling mengingatkan dan menjaga dari siksa Allah SWT. Dunia
menawarkan segala macam jenis hiburan yang melenakan. Alih-alih mendapat
hiburan yang bisa menguatkan iman, tak jarang hiburan itu justru
menggelincirkan iman. Hiburan yang didapat ternyata hanya melalaikan dan
mengotori jiwa.
Sebagai umat mayoritas di negeri
ini, sepatutnya seorang Muslim merasa miris dengan hiburan yang marak di tengah
masyakarat. Seluruh hiburan tersebut bersifat hura-hura, pelampiasan nafsu, dan
menghamburkan materi semata. Ironisnya, hal yang sama juga terjadi di bulan
suci Ramadhan. Tayangan di televisi, misalnya, sama sekali tak mencerminkan ruh
ibadah dan jihad umat Islam.
Ahli tafsir Muhammad al-Amin
asy-Syinqithi mengingatkan, kegembiraan yang melenakan di dunia bisa membuat
seorang Muslim lalai dan berhati keras. Akibat lebih jauh, orang itu bisa
kehilangan orientasi dan hanya menganggap dunia sebagai tempat bersenang-senang
saja. Puncaknya, ia menjadi ragu dengan hari Pembalasan dan tak lagi peduli
terhadap ancaman bagi yang ingkar atas perintah Allah SWT.
Senada di atas, Allah berfirman,
“Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia
dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir).
Sesungguhnya dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada
Tuhannya).” (Al-Insyiqaq [84]: 12-14).
Karena itu, Asy-Syinqithi
memungkasi, orang-orang yang mulai terjangkiti virus keraguan terhadap
kebenaran agama Islam akan berujung menjadi tidak yakin terhadap hari
Pembalasan. Alhasil, dengan sikap seperti itu, ia pun tak lagi peduli
mengingatkan keluarga dan orang-orang di sekitarnya untuk senantiasa berpegang
teguh kepada ajaran agama Islam (Tafsir
Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an). *Mahasiswa Pasca Sarjana
Jurusan Pemikiran Islam, Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. SUARA
HIDAYATULLAH, JULI 2015
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------