MENGAPA MUSIBAH TERUS MENDERA?
Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi
Sumber: assunnah-Qatar.com

Pembaca budiman,
Alhamdulillah, kaum muslimin di negeri kita kembali mendapatkan muhibah Masyayikh Yordania, yaitu Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari Hafizhahullah dan Fadhilatusy-Syaikh Salim bin Id al-Hilali Hafizhahullah.
Beliau berdua telah menyampaikan muhadharah dengan tema sebab-sebab turunnya musibah dan adzab,serta jalan keluarnya, dilangsungkan di Masjid Istiqlal, Jakarta, hari Sabtu 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M. Tema ini sengaja diangkat, untuk mengingatkan segenap kaum Muslimin, agar berintrospeksi diri, bahwa banyaknya musibah, tidak lain karena kebodohan terhadap din (agama) dan tidak mengetahui syari'at Rabbul 'Alamin. Sehingga untuk itu solusinya, tidak lain kecuali dengan ilmu dan selalu ber-ittiba kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Berikut ini adalah ceramah Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari Hafizhahullah:
Sesungguhnya kami memuji Allah Tabaraka wa Ta'ala atas apa yang telah Dia siapkan, berupa kesempatan yang baik ini. Yaitu, kami berkumpul di dalam kesempatan ini dengan ikhwan kami seagama dan dalam satu manhaj (jalan); mengikuti Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah, serta pemahaman para Salaf yang shalih. Walaupun kita berada dalam batas geografi yang berbeda, dan tempat yang saling berjauhan, namun kemuliaan manhaj ini, kesempurnaan dan kebaikannya, tidaklah memecah-belah antar kita. Maka, jadilah pertemuan ini dalam bagian sejumlah perjumpaan yang telah mengumpulkan kami bersama saudara-saudara kami di negara ini, sejak beberapa tahun yang lalu, lewat ceramah-ceramah dan kajian-kajian ilmiah bersama. Kami bersyukur kepada Allah Rabbil 'Alamin atas nikmat ini. Betapa berharganya kenikmatan ini.

Rasa terima kasih juga kami haturkan kepada orang-orang yang memiliki jasa (andil) yang diberkahi dalam mengatur dan menyiapkan pertemuan-pertemuan ini. Khususnya, saudara-saudara (panitia) atau Ta'mir Masjid Istiqlal yang telah memberikan kesempatan ini. Dan ini termasuk dalam bingkai saling menolong yang terpuji secara syar'i. Allah Ta'ala berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” [al- Maidah : 2]
Maka kami ucapkan kepada mereka terima kasih yang banyak. Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لايثكر الله من لا يثكر البا س
“Orang yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia, dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah” [1]
Karena itu, ungkapan syukur kita kepada orang yang berhak menerimanya [2], merupakan bentuk syukur kepada Allah. Allah Ta'ala berfirman:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” [Ibrahim : 7].
Selanjutnya, syukur kita kepada Rabb kita, akan menambah nikmat Rabb kita kepada kita, dan memperbanyak karunia-Nya kepada kita. Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” [an-Nahl : 53]
Dan sebagaimana firman-Nya:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya” [an-Nahl :18]
Jauhnya jarak kita dari sikap syukur kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana keburukan, celaka dan kesesatan serta perbuatan jelek yang melanda umat, sehingga Allah menimpakan adzab-adzab-Nya. Sebuah siksaan yang hampir-hampir tidak akan hilang, kecuali dengan kembali sepenuhnya kepada agama Allah, mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui kepada keteguhan di atas perintah Allah Azza wa Jalla.

Karena, syukur nikmat merupakan sebab turunnya rahmat Allah, dan jalan menuju keridhaan-Nya. Sebaliknya, mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus datangnya siksa dan merupakan jalan menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya, siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan menyebabkan umat menjadi lemah, terbelakang, dan terpuruk.
Orang yang melihat sembari merenung, dan orang yang memperhatikan sambil berpikir, akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi umat ini, umat Islam, pada zaman ini, berada dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat Islam berada atau hampir berada di bagian belakang kafilah, setelah dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan [3]. Padahal, umat Islam adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya manusia, fasilitas-fasilitas, kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.

Akan tetapi, kemunduran masih terus terjadi, menjadi umat yang paling rendah, terlemah dan terburuk. Mereka dikuasai (musuh), seolah-olah pedang berada di atas leher (mereka). Apakah sebabnya? Apakah penyakitnya? Dan apakah obat penyembuhnya?
Tidak mungkin yang menjadi penyakitnya adalah karena sedikitnya harta, atau kekurangan sumber daya manusia, maupun sedikitnya sumber penghasilan. Karena, semua ini melimpah. Jadi, apakah sebenarnya penyakit umat ini? Adakah jalan untuk mengetahui obatnya, hingga bisa dimanfaatkan, dan digunakan, selanjutnya kita pun bisa keluar dari keadaan-keadaan yang berat dan susah ini, keadaan yang buruk, yang sedang menyelimuti umat ini dan hampir-hampir tidak bisa lepas darinya, kecuali dengan curahan taufik Allah Azza wa Jalla bagi umat ini.

Wahai saudara-saudara seagama,
Kenyataannya memang pahit. Sesungguhnya, ada beberapa sebab dan bermacam-macam penyakit, hal itulah yang menjerumuskan umat ke dalam musibah-musibah, bencana-bencana dan ujian-ujian ini. Umat tidak akan dapat keluar dan melepaskan diri dari semua musibah ini, kecuali dengan taufik Allah Azza wa Jalla , dengan tambahan karunia dan kenikmatan dari-Nya.
Permasalahan besar seperti ini tidak mungkin diselesaikan secara parsial, hanya melalui seminar-seminar, ceramah, kajian, dengan satu atau beberapa kalimat. Semua ini kami sampaikan, untuk tujuan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, dalam rangka mengajak untuk berpegang teguh dengan tali Allah, dalam upaya menjalin ta'awun (saling menolong) di atas kebajikan dan takwa. Maka, kami ingin mengatakan sebagai peringatan, sesungguhnya sebab-sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan ujian ini banyak, bahkan sangat beragam. Akan tetapi, secara global bermuara pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini. Padahal, agama merupakan sebab kelestarian umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani urusan mereka. Bila penyebab ini tiada, maka pengaruhnya pun sirna.
Saya hanya ingin menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah penyakit kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari'at Rabbul 'Alamin. Saya akan menyebutkan sebagian dalil-dalil tentang hal ini, insya Allah.

Dalam Shahihain (dua kitab Shahih), Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim, dari sahabat yang agung, ‘Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika tidak tersisa seorang 'alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan” [4]

Mereka (para pemimpin yang bodoh itu) menjadi orang-orang yang sesat atas ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan mereka juga menjadi orang-orang menyesatkan. Jadi, petunjuk hadits ini begitu jelas, maknanya sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu (agama) dan berkurangnya jumlah ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar dan penyakit terparah yang menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan menimpa penduduknya, terutama cengkeraman musuh (atas diri kita).

Wahai saudara-saudaraku.
Sungguh, mengetahui penyakit ini akan membuat kita berhasil mengetahui inti dari permasalahan ini, sehingga kita akan memahaminya berdasarkan ilmu, agama, dan realita, untuk mengetahui penyakit dan obatnya; daripada mengkaji satu masalah yang tidak benar atau mengungkap sesuatu yang tidak sesuai fakta. Jika demikian, justru penyakit itu akan semakin parah, dan pemberian obatnya pun keliru. Dampaknya, umat tidak akan merasakan manfaatnya, bahkan musibah dan ujian akan semakin meningkat.
Ilmu syar'i (agama) yang sarat kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan, dan bukan pula perkara yang hukumnya sekedar mustahab (dianjurkan) saja. Akan tetapi hukumnya adalah fardhu 'ain (kewajiban individu) atas setiap muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
طلب العلم فر يضة على كل مسلم
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim”.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa kata muslim (dalam hadits ini, Red.) mencakup laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, ilmu syar'i merupakan tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya. Allah Ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[ar-Ra'd :11]

Sungguh, Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan memiliki peran, serta keteguhan, menjadi kaum yang lemah, penuh kekurangan, tercabik-cabik dan terpuruk, sampai mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada pada diri mereka, yang berupa gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama. Yang terburuk adalah kebodohan (terhadap agama), dan yang paling parah yaitu kedangkalan ilmu, sampai mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan reputasinya terdahulu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan kejadian ini, mengisyaratkan kepada kenyataan, yang tidak ada seorang pun yang menolaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Sesungguhnya menjelang hari Kiamat terdapat tahun-tahun yang menipu, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang terpercaya dianggap khianat, orang yang berdusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, dan ruwaibidhah akan berbicara,” para sahabat bertanya,"Apakah ruwaibidhah, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab,"Seorang yang hina dan bodoh berbicara tentang urusan orang banyak".[5]

Seorang yang tafih/safih (hina, bodoh) ini, tanda dan sifat pertamanya adalah bodoh, tidak memiliki ilmu dan tidak memiliki pemahaman. Maka, marilah kita renungkan keadaan tabib (dokter) ini, dia mengobati orang lain, padahal dia sendiri sakit. Nabi n bersabda tentang tabib yang mengobati badan :
Barangsiapa mengobati, sedangkan dia (sebelumnya) tidak dikenal (dengan) keahlian dalam pengobatan, maka dia menanggung.[6].

(Jika ini berkaitan dengan masalah pengobatan jasmani, Red.), maka bagaimana dengan terapi pengobatan (yang berhubungan dengan masalah-masalah) agama? Bagaimana mereka ini (berani) mengeluarkan fatwa kepada umat, berupa fatwa-fatwa yang menenggelamkan umat dalam kelalaian dan menambah keterpurukannya, serta menghalangi dari sebab kebangkitannya?
Semua ini dilakukan atas nama ilmu, padahal demi Allah, itu merupakan kebodohan. Semua itu dengan disampaikan atas nama agama, padahal demi Allah, itu merupakan kelalaian. Semua itu dikatakan atas nama petunjuk, padahal demi Allah, itu merupakan kesesatan. Adakah setelah kebenaran selain kesesatan saja?

Dahulu, ketika para ulama membimbing dan memimpin, umat berada di atas kebaikan, umat berada di depan dan menjadi maju. Namun, ketika para ulama itu mengalami kemunduran, umat pun terpengaruh. Tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memimpin, dan tatkala ilmi berada di puncak pimpinan, keadaan itu menyebabkan kemajuan duniawi.
Setiap orang mengetahui bahwa jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak hanya melalui penyebaran ilmu saja, dengan membantah ahli bid'ah dan ahli ahwa' (orang-orang yang melakukan bid'ah dan mengikuti hawa-nafsu), menyanggah orang-orang yang menyimpang dan orang-orang yang rusak keyakinannya. Akan tetapi, jihad beliau itu sangat kompleks dan luas. Beliau berjihad dengan pedang dan tombak, sebagaimana beliau berjihad dengan pena dan penjelasan. Inilah Syaikhul Islam, yang memimpin tentara, lasykar-lasykar Islam dan di front depan dalam pertempuran Syaqhab (ÔóÞúÍóÈõ) di Damaskus pada abad ke-8. Beliau rahimahullah memerangi musuh-musuh Allah, yaitu bangsa Tartar dan para pembela mereka yang hendak menyerang umat Islam di daerahnya sendiri. Beliau menghadang mereka dengan kuat, dengan sikap yang agung, yang besar, dan indah. Sejarah selalu menyebutnya dan mempersaksikannya, karena beliau rahimahullah memandang ilmu dengan setinggi-tingginya. Beliau bernaung di bawah bendera sulthan, dalam ketaatan kepada Allah, dan dalam perkara yang ma'ruf (baik). Bukan bertolak dari sekedar semangat yang kosong dan perasaan yang membinasakan, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang yang mengaku ingin berjihad tanpa ilmu belakangan ini. Mereka ini tidaklah menegakkan ilmu dengan sebenarnya, tidak mengerti kedudukan ilmu dengan bentuk sebenarnya. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan, walaupun dengan menamakan agama, walaupun dengan nama jihad, walaupun dengan nama syari'at; mereka ibarat jauh panggang dari api.

Sekarang telah datang Tartar yang baru (yakni orang-orang kafir Barat, Red.). Dewasa ini, mereka menyerang umat di halaman rumahnya sendiri. Mereka menyerang wawasan umat, sejarahnya, dan kemuliannya, serta menerjang negara-negara kaum Muslimin. Akan tetapi, umat ini -sangat disayangkan- belum bisa melahirkan Ibnu Taimiyah yang lain, tidak mampu memunculkan seorang ulama yang agung, yang disegani lagi cerdas, yang menempatkan hak kepada pemiliknya, dan mengagungkan kedudukan syari'at. Karenanya, umat terus-menerus tidak beranjak dari tempatnya, yaitu kelemahan dan kemundurannya, sampai Allah mengizinkan datangnya (kemuliaan) yang baru melalui sikap kembali secara kuat menuju manhaj Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Tidak ada jalan ke arah sana kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu. Dan, hal ini tidak akan terwujud, melainkan dengan taufik Allah Azza wa Jalla . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا
“Jika kamu bertakwa kepada Allah, Dia akan memberikan furqan (pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu” [al-Anfal : 29]
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” [ath-Thalaq : 4]

Oleh karena itu, ilmu merupakan batu pertama untuk melakukan ishlah (perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang pertama kali dimulai adalah dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi asas yang menjadi landasan kebaikan manusia.
Akan tetapi, ilmu yang sedang kita bicarakan ini, dan selalu kita sampaikan, bagaimanakah ciri khasnya? Apakah tanda-tandanya? Apakah sebuah ilmu yang merujuk pikiran dan hawa nafsu belaka, berdasarkan persangkaan dan perkiraan semata, ataukah ilmu tersebut yang berasaskan al Kitab dan as-Sunnah?

Ilmu yang tegak di atas cahaya, petunjuk terbaik dan perilaku paling sempurna adalah ilmu yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
“Artinya : Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku” [8]
Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Dengan ilmu, kebodohan akan hilang. Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka siang menjadi nampak, cahayanya bersinar, dan malam pun menghilang bersama dengan kegelapan dan kesuramannya.

Bukankah waktunya sudah dekat? Benar, demi Allah. Akan tetapi, hal ini menuntut adanya kebangkitan ilmiyah, jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti dan tidak lemah dari diri kita. Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi.
Saudara-saudaraku seagama., demikianlah penyakit pertama, yaitu kebodohan. Sedangkan obatnya adalah ilmu.

Adapun penyakit kedua yaitu penyakit bid'ah, dan obatnya adalah Sunnah, penawarnya adalah ittiba` (mengikuti) Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman tentang beliau:
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [an-Nur : 54]
Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang berasaskan Sunnah, sehingga semua bid'ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya, kesesatannya, dan kegelapannya. Inilah yang akan dibicarakan oleh yang mulia Syaikh Salim al Hilali pada pembahasan berikutnya.
Semoga shalawat, salam dan berkah dilimpahkan kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau dan para sahabat beliau semuanya. Akhir perkataan kami adalah alhamdulillah Rabbil-'Alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007. Disunting dari muhadharah di Masjid Istiqlal Jakarta, Sabtu, 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M, Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari]
__________
Footnotes
[1]. Hadist ini kami dapati dengan lafazh : “Barangsiapa tidak mensyukuri manusia, dia tidak mensyukuri Allah”. [HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan Ibnu Baththah, dari sahabat An-Nu’man bin Basyir. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 6677]
[2]. Yaitu kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita
[3]. Kafilah berasal dari bahasa Arab “Qafilah”, yaitu rombongan banyak orang yang bergerak pulang dari safar atau memulai safar. Rombongan ini membawa binatang tunggangannya, barang-barangnya dan perbekalannya. Maksudnya, bahwa kaum muslimin dahulu menjadi pemimpin bangsa-bangsa, namun sekarang terbelakang.
[4]. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari –hafizhahullah- secara makna. Adapun sebagian lafazhnya yang termaktub dalam Shahih Al-Bukhari : “ Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba secara langsung, tetapi dia mencabut ilmu dengan meafatkan ulama. Sehingga ketika Allah pun tidak menyisakan seorang alim pun, lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan” [HR Bukhari, no. 100]
[5]. ]. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari –hafizhahullah- secara makna. Adapun lafazh hadits yang kami dapati adalah, salah satunya : “ Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar di dustakan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanat dianggap khianat, dan Ruwaibidhah akan berbicara pada masa itu’. Beliau ditanya : ‘Apakah Ruwaibidhah?’ Beliau menjawab, ‘Seorang yang hina lagi bodoh (berbicara tentang) urusan orang banyak” [HR Ibnu Majah, no. 4036 dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]
[6]. Yakni, menanggung jika ada kebinasaan atau semacamnya. HR Abu Dawud no. 4586, An-Nasai no. 4830, Ibnu Majah no. 3466. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.
[7]. Syaqhab adalah nama desa kecil di dekat Damaskus, di perbatasan Hauran. Jaraknya dengan Damaskus adalah 37km. Dinukil dari Muqif Ibni Taimiyyah minal Asy’irah, hal.164
[8]. Hadits shahih lighairihi dengan penguatnya. Riwayat Malik 2/899, no. 1661 dengan lafzh : “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya : Kitab Allah dan Sunnah NabiNya. Silahkan lihat At-Ta’zhim wal Minnah di Intisharis Sunnah, hal. 13-14, karya Syaikh Salim Al-Hilali.


[Baca...]



“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. al-Baqoroh [2]:120)
Apa hubungan ayat yang mulia ini dengan pembahasan figih kita kali ini. Jawabnya sangat erat. Entertainment & amusement (hiburan dan pelesir) adalah salah satu pintu musuh -musuh Islam dalam menghancurkan Islam. Mereka tahu, selama umat Islam berpegang kuat dengan agamanya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun menyusun strategi bagaimana umat Islam tidak memperhatikan agamanya, di antaranya dengan memperba­nyak sarana hiburan (televisi, game, sport, musik) dan membangun tempat-tempat hiburan.

Tidak dipungkiri bahwa kita membutuhkan kebugaran dan kesegaran dalam menunai kan ibadah. Berwisata sering menjadi pilihan saudara-saudara kita. Sebagian mereka pergi ke pantai atau pegunungan untuk bersahabat dengan alam. Sebagian lagi mengadakan perjalanan dakwah, mengunjungi pondok-pondok pesantren, panti asuhan atau bercengkrama dengan para petani dan kaum buruh. Dengan demikian kita ingat kembali, bahwa kita tidak sendirian. Banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan perhatian kita, agar mereka pun hidup dalam bimbingan Islam. Allohul-mustaan.
Berikut ini kita kaji bersama, ‘fiqih wisata’. Semoga kita tetap menuai pahala walaupun sedang berwisata.

DEFINISI TAMASYA/ REKREASI
Rekreasi dalam bahasa Arab biasa disebut (siyahahyaitu bepergian ke suatu tempat untuk suatu tujuan[1], bukan untuk berpindah tempat dan bukan untuk melakukan suatu pekerjaan.[2]

HUKUM BERTAMASYA
Rekreasi dengan tujuan bersantai, bersenang -senang, menikmati indahnya alam, mengetahui tempat-tempat bersejarah dan lain sebagainya, hukum asalnya dibolehkan jika tidak terdapat kemungkaran di dalamnya. Jika tujuannya untuk berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar, maka hal itu dianjurkan. Tetapi jika sekadar rekreasi kemudian menyaksikan kemungkaran dan tidak mengingkarinya, maka hukumnya haram.[3]

IBADAH LEBIH DIUTAMAKAN DARI SEKADAR REKREASI
Tujuan hidup kita adalah kebahagiaan akhirat. Alloh telah menunjukkan jalan menuju ke sana, di antaranya dengan menunaikan ibadah. Alloh Ta’ala tetap mewajibkan sholat lima waktu walaupun se seorang sedang dalam perjalanan jauh (safar). Na mun Alloh Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk menggoshor sholatnya. Demikian pula Alloh Ta’ala memberi keringanan tidak berpuasa wa jib ketika safar dan menggodho’nya di hari lain.
Ummul Mu’minin A’isyah radhiyallahu ‘anhuma berkata :
“Awal mula sholat diwajibkan adalah dua roka’at, maka ditetapkan bagi musafir dua roka’at, dan bagi orang yang mukim (tidak safar) sholat (4 roka’at)” (HR. Bukhori 1090 dan Muslim 685)
Saat safar boleh menjama’/menggabung antara sholat Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’. Hal ini berdasarkan hadits :
“Nabi menjamak sholat Dzuhur dengan Ashar, dan menjama’ sholat Maghrib dengan Isya’ tatkala sedang melakukan perjalanan jauh.” (HR. Bukhori 1107, dan Muslim 704).
Sekalipun dalam keadaan safar maka sho lat berjama’ah tetap dilakukan karena sholat berjama’ah tidak hanya ketika mukim. Bahkan dalam kondisi apapun Alloh Ta’ala tetap memerintahkan kaum muslimin untuk sholat berjama’ah walaupun ketika sedang berperang dan khawatir diserang musuh.
Alloh Ta’ala berfirman :“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat ber sama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang senjata.” (QS. an-Nisa [4]:102)

REKREASI KE TIGA MASJID YANG DIBERKAHI
Mengadakan perjalanan jauh ke masjidil Harom, masjid Nabawi dan masjidil Aqsho dianjur kan dalam Islam. NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Tidak boleh mengadakan perjalanan jauh (untuk iba dah) kecuali menuju 3 masjid, masjidil haram, masjid Nabawi, dan masjidil Aqsho.” (HR. Bukhori 1189).
Sekalipun perjalanan menuju masjid-masjid tersebut untuk sholat atau untuk haji dan umroh atau tujuan yang lain, selama tujuannya baik maka akan membuahkan pahala.[4]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sholat di masjidil Haram lebih baik 100.000 kali lipat, sholat di mas jid Nabawi lebih baik 1.000 kali lipat dan sholat di masjidil Aqsho lebih baik 500 kali lipat jika diban dingkan dengan sholat di masjid-masjid lain.[5]

REKREASI DI TEMPAT KAUM MUSLIMIN
Hukum asalnya diperbolehkan, bahkan jika tujuannya untuk mengambil ibroh atau mencari rezeki yang halal, atau melihat dan memperha tikan kekuasaan Alloh Ta’ala sang Pencipta atau un tuk menuntut ilmu maka dianjurkan. Syaratnya adalah tidak terdapat kemungkaran di dalamnya. (lihat QS. Muhammad [47]: 10, al-Ankabut [29]:20, al-Mulk [67]:15, dan an-Nur [24]:122)[6]

REKREASI KE NEGERI KAFIR
Rekreasi dengan tujuan bersenang-sedang menuju negara kafir termasuk perkara yang tidak pernah dilakukan oleh para salafus sholih. Oleh karena itu para ulama masa kini sebelum menghukuminya, mereka membahas masalah yang semisal yaitu hukum seorang muslim tinggal di negeri kafir.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang muslim tinggal di negeri kafir hukumnya HARAM. Bahkan seorang muslim wajib hijrah jika tidak dapat melaksanakan agamanya di negeri kafir tersebut.[7]
Alloh Ta’ala memerintahkan hijrah bagi seorang muslim yang berada di negeri kafir yang tidak dapat melaksanakan agamanya. Lihat surat an-Nisa [4] : 97 – 99.
Dalam sebuah hadist[8], Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan :
“Barangsiapa berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia serupa dengan nya.” (HR. Abu Dawud 2787, dihasankan oleh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shohihah 2330)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil ijma’ ulama tentang haramnya seorang muslim yang tinggalnya di negeri kafir. (QS. an-Nisa’ [4] : 97 – 99) Beliau -semoga Allah ‘Azza wa jalla merahmatinya- mengatakan : “Ayat ini menjelaskan bahwa setiap muslim yang tinggal di negeri kafir pada hal mampu untuk hijrah (tetapi tidak melaku kan), sedangkan dia tidak dapat melaksanakan agamanya, maka orang ini telah melakukan hal yang haram menurut kesepakatan ulama.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Adhim 1/555)[9]

KAPAN SEORANG MUSLIM BOLEH PERGI KE NEGERI KAFIR
Syaikh Sholih al-Fauzan hafidhahullah juga menjelaskan : “Haram hukumnya bepergian ke negeri kafir, dan dibolehkan ketika kondisi darurat dengan syarat seorang muslim dapat menampakkan agama nya, menjadi mulia (tidak semakin hina) dengan agama Islamnya, jauh dari tempat kerusakan, waspada terhadap makar. Begitu pula hukum nya menjadi boleh bahkan wajib jika bepergian ke sana untuk mendakwahi agar penduduk negeri kafir tersebut masuk (agama) Alloh Ta’ala dan menye barkan Islam.” (al-Wala’ wal Baro’ hlm.9)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan : “Tidak boleh seorang muslim bepergian ke negeri kafir kecuali dengan 3 syarat :
1. Memiliki ilmu syar’i sehingga dapat menolak syubhat/ kerancuan.
2. Memiliki agama/ ketakwaan sehingga dapat mencegah dirinya dari (fitnah) syahwat.
3. Ada kebutuhan (mendesak) untuk pergi ke negeri kafir.”

Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan, “jika tidak terpenuhi syarat-syarat ini, maka tidak boleh bepergian ke negeri kafir, sebab akibatnya (seorang muslim) terkena fitnah atau dikhawatirkan ter kena fitnah (syubhat dan syahwat), mengeluarkan dan menyia-nyiakan harta yang banyak. Adapun bepergian untuk maksud rekreasi, maka bukan lah suatu kebutuhan yang membolehkan seorang muslim untuk pergi ke negeri kafir. Karena seorang muslim masih bisa berekreasi ke negeri kaum muslimin sehingga dia dapat menjaga diri dan keluarganya untuk melaksanakan syari’at Islam.[10]

REKREASI KE MAKAM WALI ATAU KUBURAN KERAMAT[11]
Mengadakan perjalanan jauh/safar yang bertu juan untuk mencari tempat-tempat ibadah yang lebih mulia dan lebih berkah telah dilarang dalam Islam, kecuali menuju tiga tempat yang memang memiliki kemulian dan berkah yaitu Masjidil Ha rom, Masjid Nabawi dan Masjid al-Agsho.
Larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencakup larangan be pergian jauh untuk ziarah kuburan siapapun, baik kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para wali apabila dilaku kan dengan menempuh perjalanan jauh. Karena semua tempat tidak mempunyai keistimewaan kecuali tiga masjid yang memiliki berkah dan keutamaan tersebut.

REKREASI/BERLIBUR UNTUK MENIKAH SESAAT[12]
Ada sebagian ulama memberi rukhsoh/mem bolehkan menikah dengan niat talak,[13] tetapi sebagian lainnya mengharamkannya.
Pendapat yang mengharamkan adalah yang lebih benar dengan beberapa alasan :
Di antara maksud pernikahan adalah supa ya terjalin hubungan suami istri yang berkesinambungan untuk selamanya, timbul kasih sayang, mendapatkan ketenangan dan rohmat Alloh Ta’ala dan memperoleh keturunan.[14]

Nikah dengan niat talak, apabila niat itu di ucapkan dan diketahui oleh pasangannya be rarti nikah mut’ah. Tetapi jika tidak diketahui oleh pasangannya berarti laki-laki tersebut me nipu pasangan dan walinya. Telah dimaklumi bersama bahwa tidak seorang pun bersedia dinikahi untuk sesaat kecuali wanita yang ru sak akhlak dan agamanya.[15]
Nikah dengan niat talak terdapat kesamaan de ngan nikah mut’ah dan nikah tahlil yang telah disepakati keharamannya karena di dalamnya terdapat niat untuk sementara.[16]
Adapun sebagian ulama yang membolehkan beralasan harus dilakukan dengan syarat yakni oleh orang asing yang sedang menyelesaikan tu gas di suatu tempat, bukan seorang yang sengaja pergi ke suatu tempat dengan tujuan menikah de ngan niat talak. Walaupun demikian, tetap disa rankan tidak melakukan hal ini.[17]

Setelah diketahui menikah seperti ini menimbulkan madhorot yang lebih besar, maka nikah ini wajib dilarang. Di antara akibat buruk yang ditim bulkan adalah :
Menjadi jalan untuk hanya memuaskan hawa nafsu dan menuju zina yang sebenarnya.
Menyelisihi maksud nikah yang syar’i, yaitu kelanggengan, kebersamaan, keharmonisan, saling mencintai dan mendapat rahmat Alloh Ta’ala serta mendapat keturunan.
Menelantarkan kaum wanita dan anak-anak dengan tidak memberi nafkah.
Menjadikan nasab tercerai berai.
Berakibat kedzoliman terhadap satu sama lain.

DILARANG BEPERGIAN TANPA TUJUAN
Di musim liburan sering kita menjumpai para pemuda berkelana tanpa tujuan yang jelas. Mereka berkelana, baik berjalan kaki, bersepeda, atau berkendaraan lainnya. Banyak kita jumpai mereka meminta-minta di jalan karena tidak membawa bekal yang cukup. Adapun berkelana atau bepergian semacam ini telah diingatkan oleh para ulama.[18]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Adapun berkela na tanpa tujuan tertentu, maka hal itu bukanlah amalan umat ini. Oleh karenanya, Imam Ahmad rahimahullah berkata: ‘Berkelana (tanpa tujuan) sedikitpun bukan termasuk ajaran agama Islam dan bukan amalan para Nabi ‘alaihis sholatu was salam dan orang-orang sholih.”[19] Sekalipun ada di antara saudara-saudara kita yang berkelana terlarang ini, entah karena salah paham, atau tidak tahu akan larangan.”[20]

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bukan lah maksud dari berkelana adalah seperti pemahaman sebagian orang ahli ibadah yang hanya sekadar berkelana di bumi dan menyendiri di gunung, padang pasir dan goa. Berkelana semacam itu tidak disyari’atkan kecuali pada za man fitnah dan kegoncangan agama.”[21]

Syaikh al-Albani rahimahullah juga berkata pada saat mengomentari hadits larangan safar sendirian, “Di dalam hadits ini terdapat bantahan yang amat jelas tentang keluarnya sebagian orang sufi ke jalanan secara sendirian dengan tujuan berkelana dan penyucian jiwa!. Bahkan kerap kali mereka mati karena kelaparan dan kehau san sebagaimana diceritakan dalam hikayat-hi kayat mereka. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[22]

[Penulis:  Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM. Disalin dari MAJALAH AL-FURQON edisi, 11. TH. KE-9 NO: 103. 1431H/2010M. untuk dipublikasikan kembali oleh:ibnuabbaskendari.wordpress.com]
Catatan Kaki:


[1] Seperti untuk bersantai, bersenang – senang, menikmati indahnya alam, mengetahui tempat – tempat bersejarah dan lain sebagainya.
[2] Al-Mu’jam al-Washith 915-916. Demikian definisi rekreasi yang lainnya dalam “Ahkam as-Siyahah Dirosah Syar’iyah Muqoronah” oleh Hasyim bin Muhammad bin Husain Naqur cet. Dar ibnul Jauzi thn. 1424 H. Dan pembahasan ini banyak mengambil dari kitab tersebut, semoga bermanfaat
[3] Fatawa wa tisy’arotil Islam, Fatwa Prof. Dr. Su’ud bin Abdulloh al-Fanisan 13/315.
[4] Ahkam as-Siyahah wa Atsaruha Dirosah Syar’iyah Muqoronah karya Hasyim bin Muhammad bin Husain Naqur, hlm. 279.
[5] HR. Ahmad 3/343, Ibnu Majah 1406, dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ al-Gholil 4/341-343
[6] Ahkam as-Siyahah wa Atsaruha Dirosah Syar’iyah Muqoronah hlm. 173-174.
[7] Ini adalah pendapat Ibnu Rusyd, IbnulArobi dalam madzhab Malik dan para ulama madzhab Syafi’i, dan madzhab Ham bali. Sedangkan pendapat tidak wajib hijrah dari negeri kafir adalah pendapat para ulama madzhab Hanafi, Ibnu Abdil Bar, al-Khotobi, dan Imam Nawawi (al-Inshof 4/121, Kasyaful Qona’ 3/43, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 18/281, Musykilul Atsar 7/31, al-Mabsuth 10/6, Umdatul Qori’ 1/29. Lihat juga Ahkam as-Siyahah Dirosah Syar’iyah Muqoronah h1m.174-175).
[8] Masih banyak hadits-hadits yang serupa, seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang muslim yang tinggal di negeri kafir (HR. Tirmidzi 1654, dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ al-Gholil 5/29)
[9] Demikian juga Ibnu Rusyd mengatakan perkara ini adalah kesepakatan ulama. Muqoddimat Ibnu Rusyd li bayan magtadhothu al-Mudawwanah minal Ahkam 5/465)
[10] Syarh Tsalatsatil Ushul h1m.131-132.
[11] Lihat pembahasan secara lengkap dalam majalah AL FURQON edisi no.79 dalam rubrik Akidah dengan topik“Ritual Ziarah Wali Songo dalam Sorotan.”
[12] Masalah ini di kenal dengan istilah nikah dengan niat talak, yaitu seseorang sengaja pergi ke suatu tempat dengan mak sud menikah untuk sementara, jika tiba saatnya kembali is menceraikannya wanita yang dia nikahi. Silakan merujuk ma jalah al-Furgon edisi 12, thn.ke 8, 1430 H. dalam rubrik Fiqih dalam topik “Nikah sesaat, menikah dengan niat talak.”
[13] Seperti yang pernah di fatwakan oleh Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa wa Magolat Mutanawwi’ah 4/26.
Akan tetapi pendapat ini ditentang oleh para ulama. Misalnya kesepakatan fatwa Lajnah Da’imah (sepeninggal Syaikh Bin Baz rahimahullah) yang diketuai oleh Syaikh Abdul Azizi Alu Syaikh hafidhahullah dan disetujui Syaikh Sholih Fauzan hafidhahullah, Bakr Abu Zaid rahimahullah, dan Abdulloh bin Ghodyan hafidhahullah sebagai anggota lajnah (18/449, no.21140), Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Liqo’ al-Bab al-Maftuh 21/133, Syaikh Rosyid Ridho (az-Zawaj bi Niyatit Tholaq) h1m.69-70)
[14] Lihat perkataan semisal oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/60.
[15] Lihat Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/60, dan az-Zawaj bi Niyatit Tholaq hlm. 69 – 70.
[16] Lihat Fatwa Lajnah Da’imah (18/449, no.21140)
[17] Lihat Majmu’ Fatawa wa Magolat Mutanawwi’ah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah 5/41.
[18] Kami nukil bab ini dari risalah “Bekal Safar Menurut Sun nah Nabi” karya al-Ustadz Abu Abdillah bin Luqman al­Atsari dan Abu Ubaidah a’s-Sidawi hafidhahullah Ta’ala, cet .pertama, Media Tarbiyah thn,1428 H.
[19] Masa’il Imam Ahmad 2/176 an-Naisaburi.
[20] Igtidho’Shirotil Mustaqim 1/327.
[21] Tafsir al-Qur’anil ‘Adzim 2/220, surat at-Taubah [9]:112)
[22] HR. al-Bukhori 1862, Muslim 1341.


[Baca...]



Lembaga pendidikan hanya sebuah sarana dan sekolah hanya sekadar tempat singgah anak untuk menjalani persiapan menuju jenjang pendidikan berikutnya. Namun, sangat disayangkan sebagian lembaga pendidikan ternyata lebih banyak mewarnai perilaku dan tabiat buruk anak. Oleh karena itu, bila sukses dunia-akhirat adalah pertimbangan utama, maka orangtua harus pandai-pandai memilih lembaga pendidikan yang sejalan dengan syariat Islam.

Banyak orang awam dan berkantong tebal salah dalam memilih lembaga pendidikan. Alih-alih mempertimbangkan kebersihan akidah dan keluhuran akhlak bagi anak-anaknya, mereka hanya berorientasi pada keberhasilan di dunia. Alhasil, mereka hanya memilih sekolah favorit yang ternama dan bergengsi walaupun harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Sekolah mahal dipakai sebagai alat pengangkat prestise orangtua, sekadar alat untuk menunjukkan bahwa orangtua mampu menyekolahkan anak di sekolah pilihan orang kaya. Bila sudah begini, janganlah terlalu berharap memiliki anak shalih.

Berikut beberapa contoh kesalahan orang tua dalam memberikan pendidikan buat anak-anaknya:

1. Salah Tujuan
Seringkali orangtua menyekolahkan anak karena malu pada tetangga bila anaknya bodoh atau kalah kecerdasannya, atau khawatir kelak anaknya tidak mendapat pekerjaaan yang layak. Atau, si orangtua hanya ingin agar anaknya nanti menjadi pengawai negeri dan pejabat tinggi yang banyak harta dan hidup mapan. Padahal, orangtua haruslah berangkat dari niat menjalankan perintah Allah, yaitu memenuhi kewajiban hamba sebagai orangtua yang memang dituntut untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bertakwa dan shalih, yang menjadi simpanan abadi di akhirat kelak.
Sayangnya, saat ini justru sekolah yang melulu berorientasi pada keberhasilan dunialah yang menjadi prioritas banyak orang awam. Mereka tak memperhatikan apakah terjadi ikhtilat atau tidak. Sehingga kemaksiatan mudah tercipta di sekolah tersebut, karena landasan agama dicampakkan, sementara dunia menjadi tujuan. Lihatlah, di sekolah-sekolah yang ikhtilat, banyak terjadi kasus zina melalui budaya pacaran, pergaulan bebas, dan asmara buta sehingga kekejian merebak dan perzinahan merajalela.

2. Salah Sekolahan
Bisa jadi orangtua sudah benar dalam niat, tapi karena ilmu agamanya yang minim, ia salah mencarikan lembaga pendidikan bagi anak-anaknya. Misalnya, ia ingin anaknya paham ilmu agama, maka ia main masukkan saja anaknya ke sekolah agama seperti madrasah atau pesantren, tanpa peduli apakah pesantren itu penuh bid’ah atau tidak, dan apakah akidah dan akhlak para santri benar-benar terkontrol.
Harus diakui, saat ini masih ada sekolah Islam yang di situ bercampur-baur antara pelajar laki-laki dengan perempuan, atau kurang memperhatikan sistem pengajarannya, sehingga bercampur antara pelajaran yang syar’i dan bid’ah, bahkan antara ajaran Islam dan ajaran kafir. Alhasil, pemahaman dan efek buruklah yang diterima sang anak. Kelak, ia pun secara sistematis akan tumbuh menjadi generasi dengan pemahaman dan pengamalan Islam yang menyimpang dari syariat Islam.

3. Salah Teladan
Sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, keteladan memiliki pengaruh kuat dalam proses pendidikan anak. Perilaku orangtua maupun guru berdampak kuat bagi pembentukan kematangan pribadi sang anak. Teladan yang salah akan membuat anak terdidik di atas kebiasaan buruk dan perilaku negatif. Karena itu, orangtua harus memilih pendidik yang menjunjung tinggi nilai-nilai akidah dan moral, serta memiliki kelebihan ilmu dan amal dibanding murid-muridnya.

4. Salah Metode Pendidikan
Bisa saja pelajaran yang diberikan kepada sang anak sudah baik, tapi cara penyampaiannya yang tidak tepat, sehingga tujuan dan target pendidikan tidak tercapai, atau anak didik menjadi gagal. Mendisiplinkan anak-anak dengan sanksi kekerasan fisik, misalnya, hanya membentuk anak berwatak keras. Sebaliknya, memberi toleransi yang berlebihan akan membuat anak semakin manja. Anak yang selalu diluluskan permintaan materinya akan tumbuh menjadi anak yang cinta dunia, sementara anak yang biasa diabaikan permintaannya, bisa punya kebiasaan mencuri. Di sekolah, anak hanya dicecar dengan hafalan, tapi kurang diajak memahami suatu permasalahan.

5. Motivasi yang Kurang Tepat
Kesalahan orangtua atau guru dalam memberi motivasi kepada anak didiknya bisa memberi dampak yang kurang baik. Misalnya, mendoromg anak berprestasi dengan hadiah yang menggiurkan, atau memotivasi anak berprestasi agar tidak tersaingi oleh teman-temannya, atau memotivasi anak agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Motivasi yang demikian itu akan merusak watak dan pribadi anak, karena anak terdorong bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu bukan karena Allah, melainkan karena ingin berprestasi dan mendapat hadiah yang menggiurkan. Parahnya lagi, hanya untuk mengejar hadiah yang dijanjikan, si anak bisa saja menghalalkan segala cara, dengan mencontek atau berbuat curang lainnya, yang penting hadiah didapat.
Alhasil, bila dia tidak bisa berprestasi, maka dia akan menjadi orang yang frustasi dan malas belajar, sedangkan pada anak yang didorong agar tidak tersaingi oleh teman-temannya akan timbul sifat angkuh, sombong dan egois. Dan anak yang dimotivasi agar bangga dengan prestasi yang dicapainya, tumbuh menjadi anak yang tidak pandai bersyukur kepada Allah; ia hanya bersemangat menuntut ilmu, tapi kehilangan kendali bila gagal.

6. Membatasi Kreativitas Anak
Ada sebagian orangtua yang membatasi, memaksa dan selalu menentukan kreativitas anak. Ini akan mengekang bakat anak, membuat anak kurang percaya diri, tidak pandai bergaul, dan cenderung memisahkan diri dari teman-temannya. Seharusnya orangtua mengarahkan, membimbing, mendorong dan memberi fasilitas agar anak mengembangkan kreativitasnya sepanjang kreativitas itu tidak melanggar syariat, tidak merugikan dan mengganggu orang lain, dan bermanfaat untuk diri maupun agamanya. Anak yang merasa didukung kreativitasnya akan tumbuh dengan kepala yang penuh ide cemerlang dan menjadi orang yang bertanggung jawab, sekaligus menjadi anak yang bangga dengan orang-tuanya

7.  Membatasi Pergaulan
Kadang, karena tidak ingin anak terpengaruh oleh perilaku buruk teman bergaulnya, orangtua bertindak sangat protektif terhadap anaknya. Bahkan, anak tak boleh “nimbrung” jika orang tuanya sedang menerima tamu. Atau, anak hanya diperbolehkan bergaul dengan teman-teman tertentu yang belum tentu shalih, tapi justru dilarang mendekati temannya yang shalih, paham As-Sunnah dan rajin beribadah.
Sikap orangtua seperti di atas membuat anak menjadi pemalu dan tidak pandai bergaul, atau akan membuat anak mudah merendahkan orang lain yang dianggap tidak selevel dengannya.
Orangtua bijaksana akan mengawasi pergaulan anak-anaknya, tanpa terlalu membatasi tapi juga tidak membiarkan anak bergaul bebas. Orangtua harus selalu mengingatkan dan memantau agar anak bergaul dengan orang-orang shalih, yang paham As-Sunnah, rajin beribadah dan berakhlak mulia serta teman-teman yang bisa memotivasinya menjadi orang yang bermanfaat untuk diri, agama, orang tua dan orang di sekitarnya.

8. Tidak Disiplin dan Kurang Tertib
Ketidakdisiplinan dan kurang tertibnya orang tua dalam mendidik anak akan membuat anak juga tidak disiplin dan tertib dalam menjalani hidupnya. Orangtua dan para pendidik harus menanamkan hidup disiplin dan tertib sejak usia dini sehingga anak terbiasa hidup disiplin dan tertib dalam menunaikan tugas-tugas harian, terutama yang terkait dengan kewajiban agama dan ibadah kepada Allah, tugas rumah dan tugas sekolahan. Anak harus dilatih untuk membiasakan shalat fardhu tepat waktu dan berjemaah di masjid (bagi anak laki-laki), melatih diri untuk berpuasa, serta menaati perintah orangtua dalam kebaikan, bukan dalam kemaksiatan.
Setiap orangtua atau pendidik hendaknya membuatkan jadwal rutin harian, yang berkaitan dengan ibadah, tugas harian maupun tugas sekolah, dan orangtua harus senantiasa mengontrol dan mengawasinya jangan sampai ada yang terlewatkan.

9. Hanya Pendidikan Formal
Sebagian orangtua sudah merasa cukup mendidik anak bila sudah memberi mereka pendidikan formal atau kursus bimbingan belajar. Padahal, kebanyakan lembaga tersebut mengajarkan ilmu keduniaan saja, tanpa memedulikan kebutuhan prinsipil seperti pendidikan akidah, pembinaan akhlak dan pendidikan yang berbasis pada kemandirian. Alhasil, lulus dari pendidikan formal, anak tidak bisa menghadapi realitas dan persaingan hidup. Sebab, kebutuhan ilmu sang anak tidak dapat dipenuhi hanya melalui madrasah saja.
Dengan kata lain, setiap anak harus membekali dirinya dengan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan realitas hidup, perkembangan teknologi, bisnis, informasi, komunikasi, situasi terkini, dunia tumbuhan dan binatang. Dan untuk itu, orangtua haruslah aktif dan selektif dalam memilihkan bacaan, yaitu memilihkan bacaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karenanya, pendidikan non formal, terutama pendidikan agama mutlak diperlukan, karena dengan pendidikan inilah si anak akan dapat menyaring, mana ilmu teknologi, bisnis, komunikasi, dan segala hal yang bermanfaat atau justru berpotensi merusak akidah maupun akhlak seseorang.

10. Kurang Mengenalkan Tanggung Jawab
Orangtua harus menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi pada anak-anaknya akan tugas dan kewajiban mereka, baik yang terkait dengan urusan agama maupun dunia. Masing-masing harus merasa bahwa tugas sekecil apa pun merupakan amanah yang harus diemban dan beban tanggung jawab yang harus dipikul sepenuh kemampuan. Anak harus dilatih untuk lebih dahulu menunaikan kewajiban dari pada menuntut haknya baik hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada sesama manusia terutama kepada orangtua, sanak-kerabat dan teman-temannya.
Orangtua harus mengenalkan kepada anak-anaknya tanggung jawab kepada agama, diri, dan lingkungannya. Bahkan anak harus dikenalkan pada kewajiban zakat, infak dan sedekah, menyantuni anak yatim dan fakir-miskin agar tumbuh rasa tanggung jawab dan sensitivitasnya pada agama dan lingkungan, baik lingkungan rumah maupun sekolah.

11. Khawatir yang Berlebihan
Perasaan takut terhadap keselamatan dan rasa khawatir terhadap masa depan anak merupakan sifat yang wajar ada pada setiap orangtua. Namun, perasaan itu akan berubah menjadi bahaya bila berlebihan dan berubah menjadi was-was akan keselamatan anaknya, bersikap bakhil karena takut beban biaya hidup anaknya tidak terpenuhi, dan mencintai anak secara berlebihan.
Ketakutan seperti itu hanya akan membuat hidup terbebani, tidak percaya dengan takdir, dan mengurangi ketawakalannya kepada Allah. Yang ada nanti hanya perasaan tidak tenang dan khawatir terhadap nasib anaknya. Inilah yang kadang membuat orangtua tidak tega saat melepas anaknya menempuh pendidikan boarding school (pondok) di pesantren. Padahal, setiap orangtua harus menyadari bahwa suatu saat nanti anak akan berpisah dengannya, baik untuk mencari ilmu atau mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya setelah menikah kelak.

12. Kurang Sabar dalam Menerima Hasil
Bisa jadi orangtua sudah punya target-target tertentu atas pendidikan anaknya, atau boleh jadi orangtua telah mendidik anaknya untuk mengganti jabatannya atau memegang perusahaannya setelah  dia meninggal. Namun, ternyata sang anak mengecewakannya. Bukan karena ia nakal dan membangkang, melainkan karena bakat sang anak tidak sejalan dengan keinginan dan harapan orangtuanya. Akhirnya, kita dengar orang tua mencerca anaknya, “Tinggal belajar saja kok tidak bisa. Makanya, belajar yang betul!”
Padahal, kita semua sadar bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniakan kecerdasan dan kemampuan yang berbeda kepada setiap hamba-Nya. Seharusnya orang tua bersikap bijak.  Kewajiban orangtua hanyalah berusaha semaksimal mungkin mengarahkan dan membina anak-anaknya, sedangkan hasilnya, Allah Maha Adil dan Maha Tahu apa yang tetbaik bagi hamba-Nya. Jadi, kenapa orangtua harus kecewa dengan hasil yang tidak sesuai keinginannya?  Bukankah lebih baik mengutamakan kesabaran dan keistikomahan dalam mendidik dan mengarahkan anak, daripada terpaku pada hasil akhirnya?

13. Curiga Berlebihan
Orang tua harus bersikap terbuka dan memberi kepercayaan kepada anak. Sikap ini akan memperlancar komunikasi dan interaksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain.  Keterbukaan dan kepercayaan juga akan membuat anak mencintai orangtuanya secara tulus dan memandang penuh hormat dan kasih pada keduanya. Sebaliknya, bila orang tua mudah menuduh tanpa bukti, mencurigai setiap gerak-gerik anak tanpa alasan dan menganggap anak berkhianat kepada orangtuanya, perasaan anak akan tercabik-cabik, kekecewaan tumbuh, dan kemarahan anak kepada orangtua akan tersulut. Apalagi bila anak merasa apa yang dituduhkan kepadanya tidak benar.
Oleh karena itu, orang tua harus berhati-hati dalam menilai anak-anaknya. Jangan mudah curiga dan menuduh anak dengan sesuatu tanpa alasan dan bukti hanya karena kurang cinta atau cemburu. Orang tua juga tidak boleh meremehkan kemampuan dan kelebihan anak dengan menganggapnya masih terlalu kecil.
Di pihak lain, sang anak pun tak boleh mudah memvonis orangtuanya tidak sayang dan membencinya. Seharusnya seorang anak bersabar menghadapi sikap orang tua yang kurang berkenan dan sebaiknya mencari informasi yang sebenarnya kenapa orangtuanya bersikap demikian, dan menghilangkan dendam kepada orangtua karena sikapnya tersebut. Sebab, dendam yang dibiarkan bisa memutus hubungan silaturahim. Maka, pupuklah sikap saling percaya,  tumbuhkan empati, dan sikap terbuka dalam menghadapi setiap masalah.

14. Menjauhkan Anak dari Orang Shalih
Kalau tidak bergaul dengan ulama atau orang shalih, pasti kita akan bergaul dengan orang-orang bodoh dan ahli maksiat. Kedekatan dengan para ulama dan orang shalih akan memotivasi anak untuk cinta pada kebaikan, amal shalih, dan lingkungan yang bagus. Siapa yang berkumpul dengan orang-orang baik atau hidup di lingkungan yang baik, akan tertular kebaikannya. Dan siapa yang berkumpul dengan orang-orang buruk atau hidup di lingkungan yang buruk, akan pula terkena getah keburukannya.
Wahai anak shalih yang mendambakan surga, jangan biarkan dirimu bergaul dengan orang buruk berhati serigala, orang munafik, orang fasik dan ahli bid’ah perusak agama. Ingat, orang yang baik akan dikumpulkan bersama orang baik dan orang yang buruk akan berkumpul dengan orang yang buruk. Dan pada Hari Kiamat kelak, seseorang dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.

Dari buku:
Judul: “Untukmu Anak Shalih”
Penyusun: Ust. Zaenal Abidin bin Syamsudin, Lc
Penerbit: Rumah penerbit al-manar
Halaman: 35-45

[Baca...]



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
Inilah hadits tentang perintah membaca Shalat `alan Nabi Saw yang sering dijadikan sandaran oleh kebanyakan kaum muslimin, yang perlu dikritisi derajat keshahihahannya.
Haditsnya secara lengkap berbunyi:
من صلى علي يوم الجمعة ثمانين مرة غفر الله له ذنوب ثمانين عاما ، فقيل له : وكيف الصلاة عليك يا رسول الله ؟ قال : تقول : اللهم صل على محمد عبدك ونبيك ورسولك النبى الأمي ، وتعقد واحدا ” .
Artinya: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku hari Jum’at sebanyak 80 kali niscaya Allah mengampuninya selama 80 tahun”, lalu beliau ditanya: “Lalu bagaimanakah bershalawat atasmu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Allahumma shalli ‘ala Muhammadin ‘abdika wa rasulika an nabiyyil ummiy, ini dihitung sekali”.

Derajat Hadits: PALSU

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Khathib (di dalam kitab Tarikh Baghdad-pent) dari jalan Wahb bin Daud bin Sulaiman Adh Dharir, dia berkata: “Ismail bin Ibrahim telah meriwayatkan kepada kami, bahwa Abdul Aziz bin Shuhaib mendapatkan riwayat dari Anas bin Malik secara marfu’ (tersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pent).
Al Khathib menyebutkan di dalam biografi Wahb bin Daud bin Sulaiman Adh Dharir ini: bahwa dia bukan orang tsiqah.

As Sakhawi di dalam kitab Al Qaulul Badi’ berkata: “Disebutkan oleh Ibnul Jauzy di dalam Al Ahadits Al Wahiyah, no; 796.
Al Albani mengomentari: “Dan hadits ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitabnya yang lain yaitu Al Ahadits Al Maudhu’ah, dan ini lebih utama (untuk dijadikan patokan-pent), karena siratan-siratan kepalsuan terhadap hadits ini jelas, dan di dalam hadits-hadits yang shahih tentang keutamaan mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sudah sangat cukup daripada hadits ini, contohnya yaitu sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا.
Artinya: “Barangsiapa yang bershalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekali niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh kali”. (Hadits riwayat muslim dan yang lainnya, dan juga disebutkan di dalam kitab Shahih Abi Daud, no: 1369)

Kemudian hadits ini disebutkan oleh As Sakhawi di tempat lain, hal: 147 dari riwayat Ad Daruquthni yaitu dari hadits Abu Hurairah secara marfu’ (tersambung sanadnya sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pent), lalu beliau berkata: “Hadits ini dihasankan oleh Al ‘Iraqy dan sebelumnya Abu Abdillah bin An Nu’man, dan penghasanan ini perlu penelitian, dan telah disebutkan sebelum ini seperti riwayat ini yaitu dari riwayat Anas”.

Al Albani mengomentari: “Aku mengatakan bahwa hadits yang dimaksudkan (yaitu hadits yang di Ad Daruquthni) dari riwayat Ibnul Musayyab, beliau berkata: “Saya mengira riwayat ini dari Abu Hurairah”, sebagaimana yang disebutkan yang disebutkan di dalam kitab Al Kasyf (maksudnya Kasyful Khafa’ , karya Al ‘Ajluni-pent) (1/167).

Selesai jawaban dari Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. diambilkan dari kitab Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah, no: 215.
Di bawah ini teks berbahasa Arabnya:
موضوع .
أخرجه الخطيب ( 13 / 489 ) من طريق وهب بن داود بن سليمان الضرير حدثنا إسماعيل ابن إبراهيم ، حدثنا عبد العزيز بن صهيب عن أنس مرفوعا .
ذكره في ترجمة الضرير هذا وقال : لم يكن بثقة ، قال السخاوي في ” القول البديع ” ( ص 145 ) : وذكره ابن الجوزي في ” الأحاديث الواهية ” ( رقم 796  .
قلت : وهو بكتابه الآخر ” الأحاديث الموضوعات ” أولى وأحرى ، فإن لوائح الوضع عليه ظاهرة ، وفي الأحاديث الصحيحة في فضل الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم غنية عن مثل هذا ، من ذلك قوله صلى الله عليه وسلم : ” من صلى علي مرة واحدة صلى الله عليه بها عشرا “.رواه مسلم وغيره ، وهو مخرج في ” صحيح أبي داود ” 1369  ، ثم إن الحديث ذكره السخاوي في مكان آخر ( ص 147 ) من رواية الدارقطني يعني عن أبي هريرة مرفوعا ، ثم قال : وحسنه العراقي ، ومن قبله أبو عبد الله بن النعمان ، ويحتاج إلى نظر ، وقد تقدم نحوه من حديث أنس قريبا يعني هذا . قلت : والحديث عند الدارقطني عن ابن المسيب قال : أظنه عن أبي هريرة كما في الكشف ( 1 / 167  .
سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة وأثرها السيئ في الأمة [1 /383]

Terlihat ada kata-kata yang tidak disebutkan di dalam hadits yang disebutkan di atas, seperti;
1. Kalimat: ” Sayyidina
2. Kalimat: ” Baca setelah sholat ashar

Saya tidak tahu apakah ada riwayat lain di dalam sunan Ad Daruquthni atau tidak, tetapi sepengetahuan saya di dalam kitab Sunan Ad Daruquthni tidak ada kalimat “Sayyidina” dan “setelah sholat ashar”? dan ini juga berarti mengada-ada di dalam riwayat ini.
Adapun silsilah yang dimaksudkan dalam pertanyaan (saya tuliskan dalam bahasa Arab):
العلامة العارف بالله المسند الحافظ الحبيب عمر بن محمد بن سالم بن حافظ بن عبد الله بن أبي بكر بن العيدروس بن الحسين بن الشيخ أبي بكر بن سالم بن عبد الله بن عبد الرحمن بن عبد الله بن الشيخ عبد الرحمن السقاف بن محمد مولى الدويلى بن علي بن علوي بن الفقيه المقدم محمد بن علي محمد صاحب المرباط بن علي الخالي قسم بن علوي بن محمد بن علوي بن عبيد الله بن الإمام المهاجر إلى الله أحمد بن عيسى بن محمد بن علي العريدي بن جعفر الصادق بن محمد الباقر بن علي زين العابدين بن الحسين حفيد رسول الله ولد علي بن أبي طالب و طامة الزهراء بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم
adalah silsilah yang menerangkan bahwa beliau:
العلامة العارف بالله المسند الحافظ الحبيب عمر بن محمد
Adalah keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi bukan berarti hadits ini diriwayatkan dari jalur ini. Karena yang kita dapatkan di kitab-kitab hadits sebagaimana yang disebutkan di dalam jawaban di atas, bukan dari jalur shahabat Husein atau shahabat Ali bin Abi Thalib atau shahabat Fathimah Az Zahra radhiyallahu ‘anhum wa ardhahum ajma’in, tetapi dari jalur shahabat Anas dan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma wa ardhahuma.

Jadi harus dibedakan antara silsilah keturunan dengan sanad hadits, semoga bisa dipahami.
Terakhir, saya nasehatkan kepada diri saya pribadi dan bapak serta seluruh kaum muslimin untuk memperbanyak shalawat atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terutama pada hari Jum’at, sebanyaknya tanpa batas karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membatasinya, mari perhatikan riwayat berikut:

عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَىَّ ». قَالَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ قَالَ يَقُولُونَ بَلِيتَ. قَالَ « إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِمْ ».رواه أبو داود
Artinya: “Aus bin Aus radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya termasuk hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jum’at maka perbanyaklah bershalawat atasku di dalamnya karena sesungguhnya shalawat kalian diperlihatkan kepadaku”, para shahabat bertanya: “Bagaimanakah shalawat kami diperlihatkan kepadamu padahal engkau sudah dimakan tanah?”, beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan kepada bumi untuk menghabiskan jasad-jasadnya para nabi shallallahu ‘alaihim wasallam”. (Hadits shahih riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ad Darimy, An Nasai, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Wallahu a’lam.
و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين
Saya berdoa dengan nama-nama Allah Yang Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang ‘Ulya, semoga kita menjadi orang yang selalu mencintai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan seluruh keluarga dan shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

[Baca...]