HADITS SHALAT 40 KALI BERJAMAAH
DI MASJID NABAWI
VERSUS HADITS SHALAT 40
HARI DI MASJID JAMI` MANASAJA
www.muslim.or.id
Pada umumnya, para jamaah haji
dijadwalkan untuk mengunjungi kota Madinah sebelum atau sesudah penyelenggaraan
ibadah haji.
Mereka sangat bersemangat berkunjung ke Madinah meski ziarah ini tidak ada
hubungannya dengan ibadah haji. Hal ini tidak aneh karena Madinah memiliki
kedudukan yang tinggi dalam sejarah penyebaran Islam. Ke tempat inilah Nabi
Muhammad berhijrah untuk kemudian menghabiskan umur beliau dalam menyemai dakwah Islam di sana. Maka meski ibadah haji tetap sah tanpa
ziarah ke Madinah, para jamaah haji selalu merasa ada yang kurang jika tidak
berkunjung ke sana. Di antara ibadah yang biasa dilakukakan para jamaah haji
selama di kota ini adalah shalat arba’in di Masjid Nabawi. Tulisan ini
mencoba menelisik beberapa segi dari ibadah ini agar para pembaca bisa
mengetahui kedudukannya dalam Islam.
Keutamaan Shalat di Masjid
Nabawi
Shalat di Masjid Nabawi tidaklah
seperti shalat di masjid lain. Allah telah menyematkan padanya keutamaan yang
besar, sebagaimana Allah telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang
lain. Hadits berikut dengan tegas menjelaskan hal ini:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: «صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا
سِوَاهُ، إِلاَّ المَسْجِدَ الحَرَامَ»
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda : “Satu kali shalat di masjidku ini lebih
baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram. ” (HR.
al-Bukhari no.1190 dan Muslim no. 505)
Sungguh keutamaan yang besar! Ini
berarti satu kali shalat fardhu di sana lebih baik dari shalat fardhu yang kita
lakukan dalam dua ratus hari. Maka sungguh merugi orang yang sudah sampai di
Madinah tapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Hadits
yang muttafaq ‘alaih sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya ini
sudah cukup sebagai penggelora semangat kita dan kita tidak butuh lagi
hadits-hadits yang lemah.
Apa itu Shalat Arba’in?
Arba’in atau arba’un dalam bahasa Arab berarti empat
puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba’in adalah melakukan shalat empat
puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan
takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan
membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji
Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama
minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba’in.
Dasar keyakinan ini adalah sebuah
hadits dari Anas
bin Malik bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ صَلَّى فِي
مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ
مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ
“Barang siapa shalat di masjidku
empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan
dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad no. 12.583 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath
no. 5.444)
Hadits ini dihukumi shahih oleh
beberapa ulama seperti al-Mundziri , al-Haitsami dan Hammad al-Anshari[1]
berdasarkan dimasukkannya Nubaith bin Umar dalam kitab ats-Tsiqat oleh Ibnu
Hibban. Padahal Nubaith ini tidak dikenal (majhul),dan para ulama hadits
menjelaskan bahwa Ibnu Hibban memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu
memasukkan orang-orang yang majhul dalam kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah).
Perlu direnungkan, bagaimana amalan
dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan sahabat dan hanya
diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan
tidak memiliki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if-
kecuali hadits ini?[2]
Maka sesungguhnya penshahihan ini
tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat
yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh
al-Albani, Bin Baz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi).[3]
Pembahasan lebih dalam mengenai takhrij hadits dan perbedaan para ulama seputar
keshahihan hadits ini bisa ditelaah di tulisan lain dalam mabhats ini.
Beberapa Catatan Tentang
Praktek Shalat Arba’in
Terlepas dari perbedaan pendapat di
atas, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan seputar amalan ini, di
antaranya:
1-
Kadang-kadang terjadi pelanggaran sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala
amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita
bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat
dikumandangkan. Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul ihram bersama
imam. Padahal Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kita
untuk mendatangi masjid dengan tenang dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat
hendak shalat. Beliau bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ
الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ
وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ
فَأَتِمُّوا
“Jika kalian mendeng ar iqamat,
berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru,
shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang
tertinggal.” (HR. al-Bukhari no.636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh
al-Bukhari)
2-
Sebagian orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah
menyelesaikan arba’in. Hal ini bisa mudah dilihat di penginapan para
jamaah haji menjelang kepulangan dari Madinah. Panggilan adzan yang terdengar
keras dari hotel-hotel yang umumnya dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab
sebagaimana hari-hari sebelumnya saat program arba’in belum selesai.
Jika kita melihat kondisi para jamaah haji setelah sampai di negeri
masing-masing, kita bisa melihat kondisi yang lebih memprihatinkan lagi.
Adakah ini karena keyakinan mereka
bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan
program arba’in? Jika demikian, maka amalan yang masih diperselisihkan
ini telah memberikan dampak buruk atau dipahami secara salah. Syaikh
‘Athiyyah Muhammad Salim –salah satu ulama yang ikut menshahihkan amalan ini-
berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan
dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang orang
meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah kembali
buruk setelah sempat baik.” [4]
3-
Sebagian orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu lama,
sedangkan mereka tidak memiliki bekal yang memadai. Padahal mereka perlu
menyewa penginapan dan menyediakan kebutuhan hidup yang lain. Sebagian orang
yang kehabisan bekal akhirnya mengemis di Madinah demi mengejar keutamaan arba’in.[5]
Adapun jamaah haji Indonesia, insyaallah
tidak mengalami hal ini karena biaya hidup di Madinah sudah masuk dalam paket
biaya pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.
Di samping itu, jika ada bekal dan
waktu berlebih, lebih baik jika digunakan untuk memperbanyak ibadah di Makkah
dan Masjidil Haram yang jelas memiliki keutamaan lebih besar.
4-
Barangkali ada jamaah haji yang memaksakan diri untuk tetap shalat di Masjid
Nabawi saat sedang saat keras demi mengejar keutamaan arba’in. Semangat
ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka
hal ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir
tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji adalah salah satu faktor
penyebab banyaknya kematian para jamaah haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi
dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di
Makkah. Sementara sebagian jamaah lain justru sakit saat ibadah utama
(haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti
ini.
5-
Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi
mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut
ini:
عَنْ أُمِّ
حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ
الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي،
وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاتُكِ
فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ
لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ
خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي» ، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا
مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي
فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid
as-Sa’idi-bahwa ia telah datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-
dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi –shallallahu
‘alaihi wasallam- berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian
dalam rumahmu lebih baik bagimu dari shalat di kamar depan. Shalatmu di
kamar depan lebih baik bagimu dari shalat di kediaman keluarga besarmu.
Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu dari shalat di masjid
kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka
Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid di bagian rumahnya yang
paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah.
(HR. Ahmad no. 27.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar)
Kita sudah mengetahui besarnya
keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi para wanita, shalat di rumah
mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan
di Masjidil Haram.
Semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jamaah
haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid yang begitu menaati sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan
selalu shalat di rumah. Tidak seperti sebagian jamaah haji wanita yang kadang sampai shalat di jalan-jalan kota Makkah
karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu
agama yang memadai.
Ada Arba’in Lain
Selain arba’in di atas ada
arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih, yaitu hadits
berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ
يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ
النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa yang shalat karena Allah empat
puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan
baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan.
(HR ar-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi
mengatakan: para rawinya tsiqah)[6]
Dibanding arba’in yang di atas,
arba’in ini memiliki beberapa perbedaan, yaitu:
Jumlah bilangan shalatnya dua ratus
shalat dalam empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam
delapan hari! Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya
mengalami kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya
pahala yang dijanjikan.
Arba’in ini pelaksanaannya tidak
terbatas pada Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di masjid manapun di atas muka
bumi ini.
Jangan Lewatkan Pahala
Jihad di Masjid Nabawi
Di akhir pembahasan ini, saya ingin
mengajak para peziarah kota Madinah untuk tidak melewatkan sebuah peluang
pahala besar selama di Madinah, yakni sebuah amalan yang tidak hanya akan
bermanfaat selama musim haji saja, tapi diharapkan bisa menerangi sisa kehidupan
mereka yang akan datang. Hal ini termaktub dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا، لَمْ
يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ
الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ
بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ»
Dari Abu Hurairah beliau berkata,
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa
mendatangi masjidku ini, tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ingin dia
pelajari atau dia ajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah.
Dan barang siapa datang untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya
memandang barang orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh
al-Albani)
Memandang barang orang lain
maksudnya adalah ia seperti orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau
membeli, dan hanya memandang barang orang lain sehingga tidak mendapatkan
apa-apa. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah suqul ‘ilmi
(pasar ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang
ilmu, baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya.[7]
Jika anda paham bahasa Arab, anda
bisa belajar langsung kepada para ulama di Masjid Nabawi. Jika tidak, anda bisa
membawa kitab untuk dibaca, berdiskusi atau membaca al-Quran dan terjemahnya.
Atau menghadiri pengajian berbahasa Indonesia yang mulai tahun ini insyaallah
akan dibuka di kursi-kursi resmi dalam Masjid Nabawi dan diampu para mahasiswa
senior di Universitas Islam Madinah. Yang penting setiap langkah anda dari
penginapan menuju Masjid Nabawi tidak lepas dari niat mempelajari kebaikan atau
mengajarkannya, agar pahala jihad
tidak luput dari anda.
Musim haji selain menjadi musim ibadah juga merupakan titik temu para ulama dan penuntut ilmu.
Para jamaah haji
yang ingin melipatgandakan keuntungan mereka menimba ilmu dari para ulama haramain
atau para ulama yang datang dari berbagai penjuru dunia, kemudian
mendakwahkannya di negeri masing-masing. Mereka menjadi duta dakwah sebagaimana
dahulu para sahabat meninggalkan tanah suci yang mereka cintai untuk menebar
hidayah. Atau jika tidak mendakwahkannya secara luas, paling tidak mereka
mengenal Islam yang murni langsung dari sumbernya dan bermanfaat untuk mereka
dan keluarga mereka, dan ini sungguh keuntungan yang tidak sedikit.
Khatimah
Dari paparan di atas, jelaslah bagi
kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat cukup memotivasi
kita untuk melakukan shalat
jamaah sebanyak mungkin di Masjid Nabawi. Lemahnya hadis arba’in,
ditambah adanya praktek-praktek yang salah sebagaimana telah dijelaskan di atas
membuat kita tidak memerlukannya. Semoga Allah membimbing kita dan kaum
muslimin untuk berilmu sebelum beramal, dan membimbing kita semua kepada apa
yang Dia cinta dan ridhai. Amin.
Referensi:
Adhwa’ul Bayan fi Idhah al-Qu`ran
bil Qur`an, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi, Darul Fikr.
Al-Bahtsul Amin fi Hadits
al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
At-Targhib wat Tarhib, al-Mundziri.
Fadhlul Madinah, Syaikh Abdul Muhsin
al-‘Abbad.
Fatawa al-Lajnah ad-Daimah,
Majma’ az-Zawa`id wa Manba’
al-Fawa`id, al-Haitsami, Maktabah al-Qudsi.
Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz,
Muhammad asy-Syuwai’ir.
Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil
Mashabih, Abul Hasan al-Mubarakfuri, al-Jami’ah as-Salafiyyah.
Shahih at-Targhib wat Tarhib,
al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal
Maudhu’ah, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
Takhrij Ahadits Ihya Ulumiddin,
al-Hafizh al-‘Iraqi, Darul ‘Ashimah.
—-
Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA (Mahasiswa Doktoral Universitas
Islam Madinah)
Artikel Muslim.Or.Id
[1]
Majma’ az-Zawaid 4/8, at-Targhib wat Tarhib 2/139.
[2]
Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah
al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
[3]
Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah 1/540 no. 364, Majmu’
Fatawa Syaikh Bin Baz 26/285, Fadhlul Madinah hal. 19, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah
4/440.
[4]
Adhwa’ul Bayan 8/336.
[5]
Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah
al-Islamiyyah edisi 41.
[6]
Shahih at-Targhib wat Tarhib 1/98 no. 409, Takhrij Ahadits Ihya Ulumiddin1/334.
[7]
Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih 2/456.
==========