MENGAMBIL HARTA ATAS SUATU AMALAN YANG SIFATNYA
MEMBATU JIHAD FI SABILILLAH.
Bagi
para pengajar, sudah selayaknya meminta bayaran dari orang yang diajari suatu
keahlian. Sesunggunya memungut bayaran atas pengajaran suatu keahlian itu
boleh, dan bekerja seperti itu adalah pekerjaan yang baik. Dan seandainya si
murid memberikan hadiah kepada gurunya karena pengajarannya itu, dan memberinya
sesuatu yang dia dapatkan dari suatu perlombaan atau selain perlombaan sebagai
pengganti dari pengajarannya dan alat-alat yang diproduksinya serta tempat yang
disewanya adalah boleh, dan sang guru hendaklah menerimanya. Memberikan
pengganti (bayaran) dalam masalah ini termasuk amalan yang paling baik.
Sampai-sampai syari’at Islam membolehkan memberikan bayaran kepada dua orang
yang melakukan perlombaan dari selain keduanya.
Apabila
pemerintah mengeluarkan harta dari baitul mal untuk orang yang melakukan
perlombaan memanah, naik kuda dan onta, maka hal itu diperbolehkan berdasarkan
kesepakatan para imam. Dan
seandainya ada seorang muslim berderma dengan memberikan bayaran untuk
perlombaan itu, maka dia memperoleh pahala atas perbuatannya. Demikian juga
dengan sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang yang mengajarinya
dalam hal keahlian itu, termasuk orang yang diberi pahala. Karena amalan-amalan
tersebut manfaatnya dirasakan oleh seluruh kaum muslimin.
Dan
memberikan bayaran, yang diambil dari pribadi-pribadi kaum muslimin dibolehkan
saja. Jika keduanya (orang yang melakukan perlombaan) mengeluarkan bayaran,
kemudian orang ini juga memberikan tambahan untuk mencukupinya, itu juga
dibolehkan. Da jika dari keduanya tidak ada yang mencukupi, lalu mengeluarkan
sesuatu atau mendermakan sesuatu yang menyenangkan dirinya tanpa paksaan,
kemudian dengan itu juga menjamu jam’ah, atau diberikannya kepada sang guru,
ataupun diberikan kepada temannya, yang demikian juga boleh.
Inti
dari masalah itu adalah hendaknya diketahui bahwa amalan-amalan tersebut dalam
rangka membantu dalam jihad fi sabilillah. Dan jihad fi sabilillah tujuannya
adalah menjadikan dien ini seluruhnya milik Allah serta untuk meninggikan
kalimat Allah.
POKOK DIEN
Pokok
dien ada dua hal,
Pertama; kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah
Ta’ala.
Kedua; kita beribadah kepadaNya dengan apa yang telah disyari’atkan,
tidak dengan bid’ah.
Sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
Supaya dia mengujimu siapa diantara kamu yang lebih baik amalannya.
(al Mulk: 2)
Al
Fudho’il bin ‘Iadh berkata, “Yaitu amalan yang paling ikhlash dan paling
benar.” Ketika ditanyakan kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amalan yang
paling ikhlash dan paling benar?” dia menjawab, “sesungguhnya bila suatu amalan
dikerjakan dengan ikhlash namun tidak benar, adalah tidak diterima. Dan bila
dilakukan dengan benar namun tidak ikhlash, juga tidak diterima sampai
pekerjaan itu dilakukan dengan benar dan ikhlash. Ikhlash; maksudya karena
Allah, dan benar; maksudnya berdasarkan sunnah.”
Umar bin
Khattob dalam doanya berkata, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku benar dan
jadikalah ikhlashku karenaMu, dan janganlah engkau jadikan di dalamnya sedikit
pun karena seseorang.”
Demikianlah
dienul Islam yang dibawa oleh para Rasul Allah yang dikandung dalam
kitab-kitabNya; yaitu berserah diri secara total kepada Allah semata.
Barangsiapa yang tidak berserah diri kepadaNya, berarti dia orang yang sombong
tidak mau beribadah kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu,
akan masuk neraka jahannma dalam keadaan hina-dina. (al Mukmin: 60)
Dan
barangsiapa berserah diri kepada Allah dan juga kepada selainNya, berarti dia
musyrik. Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. (an Nisa: 48)
Karena
itulah, Allah mempunyai hak untuk tidak disekutukan dengan siapa pun dari
makhlukNya. Tidak beribadah kecuali kepada Allah, tidak takut kecuali kepada
Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, dan tidak berdo’a kecuali hanya
kepada Allah.
Firman
Allah Ta’ala:
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Ala
Nasyrah: 7-8)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia. (al Isra: 23)
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang
mendapat kemenangan. (an Nur: 52)
Ketaatan
adalah kepada Allah dan RasulNya, sedangakn takut dan takwa hanyalah kepada
Allah. Firman Allah Ta’ala:
Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan
Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi Kami,
Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,"
(tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). (at Taubah: 59)
Berharap
dan bersandar hanyalah kepada Allah, sedangkan pemberian bisa dari Allah dan
juga dari Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (al Hasyr: 7)
MIZAN ADALAH AL KITAB DAN AS SUNNAH
Yang
halal adalah yang dihalalkan oleh al kitab dan as sunnah, dan yang haram adalah
yang diharamkan olehnya, dan dien adalah yang disyariatkannya. Tidak boleh dari
seorang pun dari para syaikh, raja, ulama, umaro’, ustadz dan seluruh makhluk
untuk keluar dari padaNya. Bahkan seluruh makhluk wajib menganut Islam yang
dibawa oleh para rasul. Dengan begitu, mereka semuanya masuk ke dalam dien
penutup para rasul dan pemimpin anak adam, imam orang-orang yang bertakwa,
sebaik-baik makhluk dan yang paling utama di sisi Allah: Muhammad saw hambaNya
dan RasulNya. Dan setiap orang, siapa pun juga, yang memerintahkan suatu
perkara haruslah diselaraskan dengan al Kitab dan as Sunnah. Jika sesuai
dengannya, diterima; jika tidak, maka tertolak. Sebagaimana yang terdapat dalam
as shohihain dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda:
Barangsiap yang melakukan amalan tidak berdasarkan perintah kami,
maka dia tertolak.
Jika
dalam perkataan dan perbuatan para syaikh dan para ulama ada yang ma’ruf dan
ada yang munkar; ada petunjuk dan kesesatan; ada yang lurus dan menyimpang;
maka sudah seharusnya mereka mengembalikan semua itu kepada Allah dan RasulNya.
Kemudian
mereka harus menerima apa yang diterima oleh Allah dan RasulNya, dan menolak
apa yang ditolak oleh Allah dan RasulNya.
Terhadap
ulama saja haus demikian, lantas bagaimana dengan para guru dan orang-orang
yang semisal dengannya? Allah Ta’ala berfirman;
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (an Nisa: 59)
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan),
Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab
itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan
Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus. (al Baqarah: 213)
Kita
memohon kepada Allah Ta’ala. Semoga Dia memberi petunjuk kepada kita dan
saudara-saudara kita semuanya ke jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang
dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati
syahid dan orang-orang yang sholih. Mereka itulah sebaik-baiknya teman.
CATATAN BELAKANG
* Dalam
hal ini sebagian ulama mengecualikan bai’at atas kematian, hal tersebut
dikhusukan kepada Rasulullah Saw. At Thahawi berkata dalam Musykilatul Atsar
....ulama lain berpendapat, bahwa bai’at atas kematian adalah bai’at yang
paling mulia.
Bai’at
ini tidak boleh dilakukan kecuali terhadap Rasulullah Saw dan tidak ada
kemungkinan pada beliau hilangnya keadaan yang menetapkan bai’at tersebut untuk
tetap dilakukan.
Saya
katakan, “Telah terjadi bai’at atas kematian kepada selain Rasulullah Shollahu
‘Alaihi Wasallam dari pihak yang jumlahnya lebih dari seorang.” Lihat, misalnya
al Ishobah I: 454, al MA’rifah wa Tarikh III: 315, dan at
Tarikhul Kabir V: 12.
Fadhilatus
Syaikh bin Baz mengusulkan agar perjanjian yang dilakukan disebut aqdun,
bukan bai’at. Beliau berkata di dalam risalahnya pada tanggal 11 Robi’ul akhir
1408 H kepada sebagian penuntut ilmu, “Adapun perihal pengikatan Anda terhadap
Bai’at, maka saya telah mengusulkan terhadap pemimpin mereka ketika saya
bertemu dengan mereka pada musim haji tahun lalu di Makkah dan telah saling
memahami antara saya dengan mereka yang kami harap semoga ada menfaatnya yaitu
agar bai’at diganti dengan ahdun (sama dengan aqdun). Mereka menerima
hal tersebut. barangkali saja mereka bersandar pada apa yang telah ditetapkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ul Fatawa juz 28: 21,
tentang tidak adanya pengingkaran terhadap hal tersebut.”
Penggunaan
bai’at dalam pengertian ahdun dan aqdun adalah perkara yang sudah
terkenal di kalangan para fuqoha. Lihat misalnya al Mustofa fi Ilmil Ushul
II: 242 dan 251, Syahru Tsulatsiyat Musnad Imam Ahmad I: 70 dan II:
928, Bahjatun Nufus I: 927, Fathul Bari I: 64. Kemudian
lihatlah perbedan pendapat antara ahli ilmu dalam ada dan tidaknya kewajiban
kafaroh bagi orang yang mengambil perjanjian terhadap dirinya, kemudian tidak
menepatinya, dalam Fathul Bari XI: 474, al Hidayah II: 74, al Mughni XI:
197, dan Fiqhul Imam al Auza’i I: 481-482.
3. ar
romyu artinya adalah melempar atau melontar. Konotasi dalam banyak ayat
ataupun hadits yang berkaitan dengan peperangan, bayak diartikan dengan
memanah. Dalam konteks kekinian kita tidak dapat terpaku hanya pada arti
memanah, karena pada saat sekarang sulit rasanya kita menggunakan panah dalam
medan peperangan. Dahulu, melontarkan senjata dalam peperangan yang paling
memungkinkan adalah menggunakan panah. Tapi kini, hanya dengan menekan tombol
sekalipun untuk melontarkan rudal, juga termasuk dalam pengertian ar Romyu.
Dalam
bahasan ini mari kita fahami hakikat dari arti memanah itu, dengan penekanan
pada esensi jihad fi sabilillah. (pent)
4. Lihat
daftar takhrij No. 1
5. Lihat
daftar takhrij No. 2
6. Lihat
daftar takhrij No. 3
7. Lihat
daftar takhrij No. 4
8. Lihat
daftar takhrij No. 5
9. Lihat
daftar takhrij No. 6
10.
Lihat daftar takhrij No. 7
11.
Lihat daftar takhrij No. 8
12.
Lihat daftar takhrij No. 9
13.
Lihat daftar takhrij No. 10
14.
Lihat daftar takhrij No. 11
15.
telah disebutkan dari hadits Uqbah bin Amir rodhiyallohu ‘Anhu (Lihat daftar
takhrij No. 1).
16.
Lihat daftar takhrij No. 12
17. Imam
Ahmad telah memutuskan hal tersebut sebagaimana terdapat dalam Al Furusiyyah,
hal. 18 oleh Ibnul Qoyyim.
18.
Lihat daftar takhrij No. 13
19. para
ulama berbeda pendapat dalam perbandingan kebaikan antara menunggang kuda
dengan memanah. Imam Malik berkata, “Lomba menunggang kuda lebih saya sukai
dari pada lomba memanah.” Disebutkan oleh Abu Umar dalam at Tahmid, XIV:
84 dari beliau. Dalam masalah ini Ibnul Qoyyim telah berbicara dengan
lengkapnya dalam kitabnya al Furusiyyah, halaman 11-17, yang ditutupnya
dengan perkataan, “Titik pemisah pertentangan antara dua kelompok, bahwa dalam
kesempurnaannya, masing-masing membutuhkan kepada yang lainnya. Karena tidak
akan sempurna maksud salah satu dari keduanya, kecuali dengan adanya yang lain.”
“Memanah
lebih bermanfaat dalam jarak jauh, dan di saat dua pasukan mulai menyatu panah
pun tidak digunakan. Adapun bila dua pasukan berhadapan dengan jarak yang jauh,
maka panahlah yang lebih bermanfaat. Peperangan tidak akan sempurna kecuali
dengan memadukan dua hal tersebut. Yang afdhol adalah yang lebih dapat
mengalahkan musuh dan lebih bermanfaat bagi pasukannya. Hal ini berbeda sesuai
dengan kondisi pasukan dan keadaan. Wallohu A’lam.
Lihat
juga Nailul Author, VIII: 248.
20.
Lihat daftar takhrij No. 14
21.
Lihat daftar takhrij No. 15
22.
Lihat daftar takhrij No. 16
23.
Lihat daftar takhrij No. 17
24.
Lihat daftar takhrij No. 18
25.
Lihat daftar takhrij No. 19
26.
Lihat daftar takhrij No. 20
27.
Lihat daftar takhrij No. 21
28.
Lihat daftar takhrij No. 22
29.
Lihat daftar takhrij No. 23
30.
Lihat daftar takhrij No. 24
31.
Lihat daftar takhrij No. 25
32.
Taqiyuddin as Subki telah menjelaskan secara rinci keburukan-keburukan
‘mengikat perut’ di dalam Fatawanya juz II: 548-551. Mengikat perut
telah tersebar luas pada jaman Syaikhul Islam, juga sepeninggal beliau tetap
berlanjut di antara orang-orang yang mau belajar kepada syaikhnya.
Agar
Anda mengerti – saudaraku pembaca – maksud perkataan penulis, akan saya
sampaikan kepada Anda gambaran tentang ‘mengikat perut’, sebab memberikan
keputusan atas sesuatu adalah cabang dari konsepsinya.
Ada
suatu pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikhul Islam, yang kemudian beliau
jawab dalam risalah ini, yaitu: apakah bagi seorang pemula (yang mau belajar
pada seorang syaikh, pent.). diharuskan berdiri di tengah-tengah kelompok para
ustadz dan muridnya sambil mengatakan, “Wahai jama’ah kebajikan, saya mohon
kepada Allah Ta’ala dan mohon kepadamu. Hendaknya kalian mohon kepada Fulan
agar menerima saya untuk menjadi ikhwannya, atau muridya atau yang semisal
dengannya.” Lalu salah seorang dari jama’ah itu bangkit, kemudian mengambil
perjanjian kepadanya dengan memberikan persyaratan-persyaratan yang dikehendaki
sambil mengikat perutnya dengan kain atau dengan yang lainnya? Apakah perbuatan
semacam ini diperbolehkan atau tidak?
Karena
perbuatan tersebut menimbilkan fanatisme dan ta’ashub kepada ustadz, dimana
setiap ustadz masing-masing mempunyai ikhwan, kelompok dan murid-murid yang
mendukungnya bila dia melakukan kebenaran atau kebatilan. Mereka memusuhi
orang-orang yang memusuhinya dan loyal terhadap orang-orang yang loyal
kepadanya.
Syaikhul
Islam dalam risalahnya ini tidak menjelaskan ungkapan sang penanya: “Saya mohon
kepada Allah Ta’ala dan mohon kepadamu.” Dalam ungkapan tersebut ada kesalahan,
yaitu penggunaan ‘wawul athof’ yang menimbulkan persekutuan antara nama Allah
dangan nama selainNya. (asli kalimatnya berbunyi) as’alulloha ta’ala wa
as’alukum. Kebiasaan mengikat perut tersebut terus berlanjut sepeninggalnya Syaikhul
Islam, ditambah juga dengan kesalahan-kesalahan lainnya sebagaimana yang anda
lihat dalam Fatawa as Subki.
33. as
Subki berkata tentang gambaran tersebut dalam al Fatawa, II: 550, “Apabila
suatu kaum berhinpun dan bersepakat di atas yang demikian, maka alangkah
nikmatnya itu.”
34.
apabila pada seseorang berhimpun pada suatu kebaikan dan keburukan, kejahatan,
ketaatan dan kemaksiatan, sunnah dan bid’ah, dia berhak mendapat muwalah dan
pahala sesuai dengan kadar kebaikannya. Dia juag berhak mendapat mu’adah dan
hukuman sesuai dengan kadar kejahatannya. Pada diri seseorang ad potensi yang
mengharuskan dia untuk dihormati, dan juga mengharuskan dia untuk dihinakan.
Seperti halnya seorang pencuri yang fakir, dia dipotong tangannya karena
mencuri dari baitul mal untuk mencukupi kebutuhannya.
Lihat
Majmu’ul Fatawa. XXVIII: 208-209
Para
da’i dan jama’ah Islam hendaklah ingat dengan perkataan di atas, dan
menjadikannya sebagai syi’ar untuk keluar dari hizbiyah yang dibenci dan
kemaslahatan yang semu.
35. ayat-ayat
tersebut menghimpun seluruh perintah dan larangan secara global. Allah Ta’ala
memulai dengan yang lebih tinggi nilainya dan paling besar bahayanya, yaitu
menyangkut perjanjian yang di dalamnya mengandung sumpah kepada Allah. Dan menjadikan
perjanjian diantara dua pihak seolah-olah perjanjian dengan Allah. Karenanya
dia mengungkap hal itu dengan firmanNya: ......dan tepatilah perjanjian dengan
Allah. Karena ayat tersebut mempunyai maksud pengokohan yang wajib, dan
penguatan yang menyerukan untuk dilaksanakan. Makanya sebagian ahli tafsir
membawa perjanjian di sini pada perjanjian bai’at kepada Rasulullah saw. Apakah
sebab turunnya (ayat ini) karena ‘ini’ atau ‘itu’. Namun ibroh yang itu
didasarkan pada keumuman lafazh bukan karena kekhususan sebab. Persoalannya,
dalam ayat tersebut mencakup pemenuhan janji terhadap setiap perjanjian yang
dipegang oleh pelakunya. Perlu diketahui, bahwa bersama kita ada beberapa
perkara yang saling berdekatan asal makna dan hukumnya, tapi berbeda-beda dalam
tingkatannya. Di antaranya adalah al ‘Ahd, yaitu yang terjadi di antara dua
pihak yang saaling menepati untuk melaksanakan suatu amalan. Amalan pemilik
yang satu imbalannya harus sepadan dengan amalan yang dilakukan oleh pihak
lain. Biasanya perjanjian yang diadakan antara pihak yang satu dengan pihak
yang lainnya dalam bentuk penumbuhan ketenangan dalam jiwa keduanya. Kebanyakan
yang terjadi disertai juga dengan sumpah kepada Allah dengan perkataannya, “Ini
adalah janji Allah”, dan yang semisal dengannya sebagai penguat.
Bagian
inilah yang muncul pertama kali dalam ayat yang mulia ini, yang diungkapkan
dengan ‘ahdullah dan dilanjutkan dengan firmanNya: .....apabila kamu berjanji.
Hal ini menunjukkan bahwa ‘ahdun tersebut termasuk sesuatu yang harus ditepati.
Kemudian
dilanjutkan dengan firmanNya: ...................... dan janganlah kamu
membatalakn sumpah-sumpah (mu) itu sesudah meneguhkannya. Sedangkan kamu
telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu).
Diantaranya
juga wa’id, yaitu yang terjadi antara individu di dalam pergaulannya,
dimana seseorang berjanji kepada temannya untuk kembali kepadanya menunaikan
kemaslahatannya, atau menyelesaikan problemnya. Wa’d pada asalnya
merupakan suatu derma, namun mengharuskan dia sesuai dengan konsekwensi
keimanannya, dan yang sesuai juga dengan konsekwensi yang ditetapkan oleh paa
pelakunya, berupa kepercayaan dan ketentraman. Oleh karena itu kami katakan.
“Sebagian ada orang yang menggunakan kata ‘ahd dan wa’d untuk kata
bai’ah.
36. ini
adalah teks yang jelas dari perkataan Ibnu Taimiyyah, tentang disyari’atkannya
“bai’ah juz’iyyah” jika terlepas dari
larangan-larangan syar’i yang telah disebutkan sebelumnya, dan akan disinggung
pada pembahasan berikutnya.
37.
dikeluarkan oleh Bukhari dalam as Shohih, no. 133, 2810, 3126, 7458; oleh
Muslim dalam as Shohih, no. 1904; dan oleh yang lain dari hadits Abu Musa al
Asy’ari r.a.
38.
Lihat daftar takhrij No. 26
39.
Lihat daftar takhrij No. 27
40. Saya
selesai memberi komentar, muqoddimah dan mentakhrij hadits-haditsnya pada hari kamis tanggal 26 Muharram 1409
Hijriyah.
Pada
penutupan ini kami memohon kepada Allah semoga lembaran-lembaran ini dapat
menjadi hujjah bagi kami, bukan menghujat kami. Kami mengamalkan kata-kata
kami, berupaya menyatukan kaum muslimin, siap sedia memperbaiki hubungan
persaudaraan.
Dengan
begitu, kami bertawakal kepada Allah. Ya Allah persatukanlah para da’iMu yang
mukhlish dari kalangan hambaMu yang bertauhid di atas kitab mereka dan sunnah
Nabi – sholawat serta salam semoga terlimpah kepadanya dan seluruh
saudara-saudaranya para Rasul. Amin ....