MENGAMBIL HARTA ATAS SUATU AMALAN YANG SIFATNYA MEMBATU JIHAD FI SABILILLAH.
Bagi para pengajar, sudah selayaknya meminta bayaran dari orang yang diajari suatu keahlian. Sesunggunya memungut bayaran atas pengajaran suatu keahlian itu boleh, dan bekerja seperti itu adalah pekerjaan yang baik. Dan seandainya si murid memberikan hadiah kepada gurunya karena pengajarannya itu, dan memberinya sesuatu yang dia dapatkan dari suatu perlombaan atau selain perlombaan sebagai pengganti dari pengajarannya dan alat-alat yang diproduksinya serta tempat yang disewanya adalah boleh, dan sang guru hendaklah menerimanya. Memberikan pengganti (bayaran) dalam masalah ini termasuk amalan yang paling baik. Sampai-sampai syari’at Islam membolehkan memberikan bayaran kepada dua orang yang melakukan perlombaan dari selain keduanya.

Apabila pemerintah mengeluarkan harta dari baitul mal untuk orang yang melakukan perlombaan memanah, naik kuda dan onta, maka hal itu diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para imam.[1] Dan seandainya ada seorang muslim berderma dengan memberikan bayaran untuk perlombaan itu, maka dia memperoleh pahala atas perbuatannya. Demikian juga dengan sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang yang mengajarinya dalam hal keahlian itu, termasuk orang yang diberi pahala. Karena amalan-amalan tersebut manfaatnya dirasakan oleh seluruh kaum muslimin.

Dan memberikan bayaran, yang diambil dari pribadi-pribadi kaum muslimin dibolehkan saja. Jika keduanya (orang yang melakukan perlombaan) mengeluarkan bayaran, kemudian orang ini juga memberikan tambahan untuk mencukupinya, itu juga dibolehkan. Da jika dari keduanya tidak ada yang mencukupi, lalu mengeluarkan sesuatu atau mendermakan sesuatu yang menyenangkan dirinya tanpa paksaan, kemudian dengan itu juga menjamu jam’ah, atau diberikannya kepada sang guru, ataupun diberikan kepada temannya, yang demikian juga boleh.

Inti dari masalah itu adalah hendaknya diketahui bahwa amalan-amalan tersebut dalam rangka membantu dalam jihad fi sabilillah. Dan jihad fi sabilillah tujuannya adalah menjadikan dien ini seluruhnya milik Allah serta untuk meninggikan kalimat Allah.

POKOK DIEN
Pokok dien ada dua hal,
Pertama; kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah Ta’ala.
Kedua; kita beribadah kepadaNya dengan apa yang telah disyari’atkan, tidak dengan bid’ah.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Supaya dia mengujimu siapa diantara kamu yang lebih baik amalannya. (al Mulk: 2)


Al Fudho’il bin ‘Iadh berkata, “Yaitu amalan yang paling ikhlash dan paling benar.” Ketika ditanyakan kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amalan yang paling ikhlash dan paling benar?” dia menjawab, “sesungguhnya bila suatu amalan dikerjakan dengan ikhlash namun tidak benar, adalah tidak diterima. Dan bila dilakukan dengan benar namun tidak ikhlash, juga tidak diterima sampai pekerjaan itu dilakukan dengan benar dan ikhlash. Ikhlash; maksudya karena Allah, dan benar; maksudnya berdasarkan sunnah.”

Umar bin Khattob dalam doanya berkata, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku benar dan jadikalah ikhlashku karenaMu, dan janganlah engkau jadikan di dalamnya sedikit pun karena seseorang.”

Demikianlah dienul Islam yang dibawa oleh para Rasul Allah yang dikandung dalam kitab-kitabNya; yaitu berserah diri secara total kepada Allah semata. Barangsiapa yang tidak berserah diri kepadaNya, berarti dia orang yang sombong tidak mau beribadah kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu, akan masuk neraka jahannma dalam keadaan hina-dina. (al Mukmin: 60)

Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah dan juga kepada selainNya, berarti dia musyrik. Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. (an Nisa: 48)
Karena itulah, Allah mempunyai hak untuk tidak disekutukan dengan siapa pun dari makhlukNya. Tidak beribadah kecuali kepada Allah, tidak takut kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, dan tidak berdo’a kecuali hanya kepada Allah.

Firman Allah Ta’ala:
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Ala Nasyrah: 7-8)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. (al Isra: 23)
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan. (an Nur: 52)

Ketaatan adalah kepada Allah dan RasulNya, sedangakn takut dan takwa hanyalah kepada Allah. Firman Allah Ta’ala:
Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). (at Taubah: 59)

Berharap dan bersandar hanyalah kepada Allah, sedangkan pemberian bisa dari Allah dan juga dari Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (al Hasyr: 7)

MIZAN ADALAH AL KITAB DAN AS SUNNAH
Yang halal adalah yang dihalalkan oleh al kitab dan as sunnah, dan yang haram adalah yang diharamkan olehnya, dan dien adalah yang disyariatkannya. Tidak boleh dari seorang pun dari para syaikh, raja, ulama, umaro’, ustadz dan seluruh makhluk untuk keluar dari padaNya. Bahkan seluruh makhluk wajib menganut Islam yang dibawa oleh para rasul. Dengan begitu, mereka semuanya masuk ke dalam dien penutup para rasul dan pemimpin anak adam, imam orang-orang yang bertakwa, sebaik-baik makhluk dan yang paling utama di sisi Allah: Muhammad saw hambaNya dan RasulNya. Dan setiap orang, siapa pun juga, yang memerintahkan suatu perkara haruslah diselaraskan dengan al Kitab dan as Sunnah. Jika sesuai dengannya, diterima; jika tidak, maka tertolak. Sebagaimana yang terdapat dalam as shohihain dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda:

Barangsiap yang melakukan amalan tidak berdasarkan perintah kami, maka dia tertolak.[2]
Jika dalam perkataan dan perbuatan para syaikh dan para ulama ada yang ma’ruf dan ada yang munkar; ada petunjuk dan kesesatan; ada yang lurus dan menyimpang; maka sudah seharusnya mereka mengembalikan semua itu kepada Allah dan RasulNya.

Kemudian mereka harus menerima apa yang diterima oleh Allah dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Allah dan RasulNya.
Terhadap ulama saja haus demikian, lantas bagaimana dengan para guru dan orang-orang yang semisal dengannya? Allah Ta’ala berfirman;
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (an Nisa: 59)

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (al Baqarah: 213)

Kita memohon kepada Allah Ta’ala. Semoga Dia memberi petunjuk kepada kita dan saudara-saudara kita semuanya ke jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang sholih. Mereka itulah sebaik-baiknya teman.[3]

CATATAN BELAKANG
* Dalam hal ini sebagian ulama mengecualikan bai’at atas kematian, hal tersebut dikhusukan kepada Rasulullah Saw. At Thahawi berkata dalam Musykilatul Atsar ....ulama lain berpendapat, bahwa bai’at atas kematian adalah bai’at yang paling mulia.

Bai’at ini tidak boleh dilakukan kecuali terhadap Rasulullah Saw dan tidak ada kemungkinan pada beliau hilangnya keadaan yang menetapkan bai’at tersebut untuk tetap dilakukan.

Saya katakan, “Telah terjadi bai’at atas kematian kepada selain Rasulullah Shollahu ‘Alaihi Wasallam dari pihak yang jumlahnya lebih dari seorang.” Lihat, misalnya al Ishobah I: 454, al MA’rifah wa Tarikh III: 315, dan at Tarikhul Kabir V: 12.
Fadhilatus Syaikh bin Baz mengusulkan agar perjanjian yang dilakukan disebut aqdun, bukan bai’at. Beliau berkata di dalam risalahnya pada tanggal 11 Robi’ul akhir 1408 H kepada sebagian penuntut ilmu, “Adapun perihal pengikatan Anda terhadap Bai’at, maka saya telah mengusulkan terhadap pemimpin mereka ketika saya bertemu dengan mereka pada musim haji tahun lalu di Makkah dan telah saling memahami antara saya dengan mereka yang kami harap semoga ada menfaatnya yaitu agar bai’at diganti dengan ahdun (sama dengan aqdun). Mereka menerima hal tersebut. barangkali saja mereka bersandar pada apa yang telah ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ul Fatawa juz 28: 21, tentang tidak adanya pengingkaran terhadap hal tersebut.”

Penggunaan bai’at dalam pengertian ahdun dan aqdun adalah perkara yang sudah terkenal di kalangan para fuqoha. Lihat misalnya al Mustofa fi Ilmil Ushul II: 242 dan 251, Syahru Tsulatsiyat Musnad Imam Ahmad I: 70 dan II: 928, Bahjatun Nufus I: 927, Fathul Bari I: 64. Kemudian lihatlah perbedan pendapat antara ahli ilmu dalam ada dan tidaknya kewajiban kafaroh bagi orang yang mengambil perjanjian terhadap dirinya, kemudian tidak menepatinya, dalam Fathul Bari XI: 474, al Hidayah II: 74, al Mughni XI: 197, dan Fiqhul Imam al Auza’i I: 481-482.
3. ar romyu artinya adalah melempar atau melontar. Konotasi dalam banyak ayat ataupun hadits yang berkaitan dengan peperangan, bayak diartikan dengan memanah. Dalam konteks kekinian kita tidak dapat terpaku hanya pada arti memanah, karena pada saat sekarang sulit rasanya kita menggunakan panah dalam medan peperangan. Dahulu, melontarkan senjata dalam peperangan yang paling memungkinkan adalah menggunakan panah. Tapi kini, hanya dengan menekan tombol sekalipun untuk melontarkan rudal, juga termasuk dalam pengertian ar Romyu.
Dalam bahasan ini mari kita fahami hakikat dari arti memanah itu, dengan penekanan pada esensi jihad fi sabilillah. (pent)
4. Lihat daftar takhrij No. 1
5. Lihat daftar takhrij No. 2
6. Lihat daftar takhrij No. 3
7. Lihat daftar takhrij No. 4
8. Lihat daftar takhrij No. 5
9. Lihat daftar takhrij No. 6
10. Lihat daftar takhrij No. 7
11. Lihat daftar takhrij No. 8
12. Lihat daftar takhrij No. 9
13. Lihat daftar takhrij No. 10
14. Lihat daftar takhrij No. 11
15. telah disebutkan dari hadits Uqbah bin Amir rodhiyallohu ‘Anhu (Lihat daftar takhrij No. 1).
16. Lihat daftar takhrij No. 12
17. Imam Ahmad telah memutuskan hal tersebut sebagaimana terdapat dalam Al Furusiyyah, hal. 18 oleh Ibnul Qoyyim.
18. Lihat daftar takhrij No. 13
19. para ulama berbeda pendapat dalam perbandingan kebaikan antara menunggang kuda dengan memanah. Imam Malik berkata, “Lomba menunggang kuda lebih saya sukai dari pada lomba memanah.” Disebutkan oleh Abu Umar dalam at Tahmid, XIV: 84 dari beliau. Dalam masalah ini Ibnul Qoyyim telah berbicara dengan lengkapnya dalam kitabnya al Furusiyyah, halaman 11-17, yang ditutupnya dengan perkataan, “Titik pemisah pertentangan antara dua kelompok, bahwa dalam kesempurnaannya, masing-masing membutuhkan kepada yang lainnya. Karena tidak akan sempurna maksud salah satu dari keduanya, kecuali dengan adanya yang lain.”
“Memanah lebih bermanfaat dalam jarak jauh, dan di saat dua pasukan mulai menyatu panah pun tidak digunakan. Adapun bila dua pasukan berhadapan dengan jarak yang jauh, maka panahlah yang lebih bermanfaat. Peperangan tidak akan sempurna kecuali dengan memadukan dua hal tersebut. Yang afdhol adalah yang lebih dapat mengalahkan musuh dan lebih bermanfaat bagi pasukannya. Hal ini berbeda sesuai dengan kondisi pasukan dan keadaan. Wallohu A’lam.
Lihat juga Nailul Author, VIII: 248.
20. Lihat daftar takhrij No. 14
21. Lihat daftar takhrij No. 15
22. Lihat daftar takhrij No. 16
23. Lihat daftar takhrij No. 17
24. Lihat daftar takhrij No. 18
25. Lihat daftar takhrij No. 19
26. Lihat daftar takhrij No. 20
27. Lihat daftar takhrij No. 21
28. Lihat daftar takhrij No. 22
29. Lihat daftar takhrij No. 23
30. Lihat daftar takhrij No. 24
31. Lihat daftar takhrij No. 25
32. Taqiyuddin as Subki telah menjelaskan secara rinci keburukan-keburukan ‘mengikat perut’ di dalam Fatawanya juz II: 548-551. Mengikat perut telah tersebar luas pada jaman Syaikhul Islam, juga sepeninggal beliau tetap berlanjut di antara orang-orang yang mau belajar kepada syaikhnya.
Agar Anda mengerti – saudaraku pembaca – maksud perkataan penulis, akan saya sampaikan kepada Anda gambaran tentang ‘mengikat perut’, sebab memberikan keputusan atas sesuatu adalah cabang dari konsepsinya.

Ada suatu pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikhul Islam, yang kemudian beliau jawab dalam risalah ini, yaitu: apakah bagi seorang pemula (yang mau belajar pada seorang syaikh, pent.). diharuskan berdiri di tengah-tengah kelompok para ustadz dan muridnya sambil mengatakan, “Wahai jama’ah kebajikan, saya mohon kepada Allah Ta’ala dan mohon kepadamu. Hendaknya kalian mohon kepada Fulan agar menerima saya untuk menjadi ikhwannya, atau muridya atau yang semisal dengannya.” Lalu salah seorang dari jama’ah itu bangkit, kemudian mengambil perjanjian kepadanya dengan memberikan persyaratan-persyaratan yang dikehendaki sambil mengikat perutnya dengan kain atau dengan yang lainnya? Apakah perbuatan semacam ini diperbolehkan atau tidak?

Karena perbuatan tersebut menimbilkan fanatisme dan ta’ashub kepada ustadz, dimana setiap ustadz masing-masing mempunyai ikhwan, kelompok dan murid-murid yang mendukungnya bila dia melakukan kebenaran atau kebatilan. Mereka memusuhi orang-orang yang memusuhinya dan loyal terhadap orang-orang yang loyal kepadanya.
Syaikhul Islam dalam risalahnya ini tidak menjelaskan ungkapan sang penanya: “Saya mohon kepada Allah Ta’ala dan mohon kepadamu.” Dalam ungkapan tersebut ada kesalahan, yaitu penggunaan ‘wawul athof’ yang menimbulkan persekutuan antara nama Allah dangan nama selainNya. (asli kalimatnya berbunyi) as’alulloha ta’ala wa as’alukum. Kebiasaan mengikat perut tersebut terus berlanjut sepeninggalnya Syaikhul Islam, ditambah juga dengan kesalahan-kesalahan lainnya sebagaimana yang anda lihat dalam Fatawa as Subki.

33. as Subki berkata tentang gambaran tersebut dalam al Fatawa, II: 550, “Apabila suatu kaum berhinpun dan bersepakat di atas yang demikian, maka alangkah nikmatnya itu.”

34. apabila pada seseorang berhimpun pada suatu kebaikan dan keburukan, kejahatan, ketaatan dan kemaksiatan, sunnah dan bid’ah, dia berhak mendapat muwalah dan pahala sesuai dengan kadar kebaikannya. Dia juag berhak mendapat mu’adah dan hukuman sesuai dengan kadar kejahatannya. Pada diri seseorang ad potensi yang mengharuskan dia untuk dihormati, dan juga mengharuskan dia untuk dihinakan. Seperti halnya seorang pencuri yang fakir, dia dipotong tangannya karena mencuri dari baitul mal untuk mencukupi kebutuhannya.
Lihat Majmu’ul Fatawa. XXVIII: 208-209
Para da’i dan jama’ah Islam hendaklah ingat dengan perkataan di atas, dan menjadikannya sebagai syi’ar untuk keluar dari hizbiyah yang dibenci dan kemaslahatan yang semu.

35. ayat-ayat tersebut menghimpun seluruh perintah dan larangan secara global. Allah Ta’ala memulai dengan yang lebih tinggi nilainya dan paling besar bahayanya, yaitu menyangkut perjanjian yang di dalamnya mengandung sumpah kepada Allah. Dan menjadikan perjanjian diantara dua pihak seolah-olah perjanjian dengan Allah. Karenanya dia mengungkap hal itu dengan firmanNya: ......dan tepatilah perjanjian dengan Allah. Karena ayat tersebut mempunyai maksud pengokohan yang wajib, dan penguatan yang menyerukan untuk dilaksanakan. Makanya sebagian ahli tafsir membawa perjanjian di sini pada perjanjian bai’at kepada Rasulullah saw. Apakah sebab turunnya (ayat ini) karena ‘ini’ atau ‘itu’. Namun ibroh yang itu didasarkan pada keumuman lafazh bukan karena kekhususan sebab. Persoalannya, dalam ayat tersebut mencakup pemenuhan janji terhadap setiap perjanjian yang dipegang oleh pelakunya. Perlu diketahui, bahwa bersama kita ada beberapa perkara yang saling berdekatan asal makna dan hukumnya, tapi berbeda-beda dalam tingkatannya. Di antaranya adalah al ‘Ahd, yaitu yang terjadi di antara dua pihak yang saaling menepati untuk melaksanakan suatu amalan. Amalan pemilik yang satu imbalannya harus sepadan dengan amalan yang dilakukan oleh pihak lain. Biasanya perjanjian yang diadakan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dalam bentuk penumbuhan ketenangan dalam jiwa keduanya. Kebanyakan yang terjadi disertai juga dengan sumpah kepada Allah dengan perkataannya, “Ini adalah janji Allah”, dan yang semisal dengannya sebagai penguat.
Bagian inilah yang muncul pertama kali dalam ayat yang mulia ini, yang diungkapkan dengan ‘ahdullah dan dilanjutkan dengan firmanNya: .....apabila kamu berjanji. Hal ini menunjukkan bahwa ‘ahdun tersebut termasuk sesuatu yang harus ditepati.
Kemudian dilanjutkan dengan firmanNya: ...................... dan janganlah kamu membatalakn sumpah-sumpah (mu) itu sesudah meneguhkannya. Sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu).
Diantaranya juga wa’id, yaitu yang terjadi antara individu di dalam pergaulannya, dimana seseorang berjanji kepada temannya untuk kembali kepadanya menunaikan kemaslahatannya, atau menyelesaikan problemnya. Wa’d pada asalnya merupakan suatu derma, namun mengharuskan dia sesuai dengan konsekwensi keimanannya, dan yang sesuai juga dengan konsekwensi yang ditetapkan oleh paa pelakunya, berupa kepercayaan dan ketentraman. Oleh karena itu kami katakan. “Sebagian ada orang yang menggunakan kata ‘ahd dan wa’d untuk kata bai’ah.

36. ini adalah teks yang jelas dari perkataan Ibnu Taimiyyah, tentang disyari’atkannya “bai’ah juz’iyyah” jika terlepas  dari larangan-larangan syar’i yang telah disebutkan sebelumnya, dan akan disinggung pada pembahasan berikutnya.

37. dikeluarkan oleh Bukhari dalam as Shohih, no. 133, 2810, 3126, 7458; oleh Muslim dalam as Shohih, no. 1904; dan oleh yang lain dari hadits Abu Musa al Asy’ari r.a.

38. Lihat daftar takhrij No. 26

39. Lihat daftar takhrij No. 27

40. Saya selesai memberi komentar, muqoddimah dan mentakhrij hadits-haditsnya  pada hari kamis tanggal 26 Muharram 1409 Hijriyah.
Pada penutupan ini kami memohon kepada Allah semoga lembaran-lembaran ini dapat menjadi hujjah bagi kami, bukan menghujat kami. Kami mengamalkan kata-kata kami, berupaya menyatukan kaum muslimin, siap sedia memperbaiki hubungan persaudaraan.

Dengan begitu, kami bertawakal kepada Allah. Ya Allah persatukanlah para da’iMu yang mukhlish dari kalangan hambaMu yang bertauhid di atas kitab mereka dan sunnah Nabi – sholawat serta salam semoga terlimpah kepadanya dan seluruh saudara-saudaranya para Rasul. Amin ....


[Baca...]



BERMUWALAH KEPADA ORANG-ORANG MUKMIN SESUAI DENGAN KADAR KETAATANNYA.
Apabila mereka berkumpul di atas ketaatan kepada Allah dan RasulNya serta tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, tidak ada seorang pun (yang berhak) dalam segala-galanya, akan tetapi mereka bersama-sama  dengan yang lainnya harus berada dalam ketaatan kepada Allah dan RasulNya.[1] Tidak bersama-sama dalam kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi hendaklah mereka tolong menolong dalam kejujuran, keadilan, kebaikan, amar ma’ruf nahi munkar, menolong orang yang terzhalimi dan seluruh orang yang dicintai Allah dan RasulNya; tidak saling tolong menolong dalam kezhaliman, ashobiyyah jahiliyyah, mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah, perpecahan dan ikhtilaf, ‘mengikuti perut’ terhadap seseorang untuk mengikutinya dalam segala sesuatu dan bersekutu di atas selain yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya.

Dengan demikian, seseorang tidak berpindah dari satu orang kepada yang lainnya, dan tidak bernisbat kepada siapa pun, tidak laqith, tidak tsaqil (tidak ustadz A, tidak ustadz B; tidak harokah A, tidak harokah B, pent) dan nama-nama jahiliyyah lainnya. Sesungguhnya hal itu timbul hanya karena sang ustadz ingin disetujui oleh para muridnya dalam segala keinginannya, muwalah terhadap orang-orang yang bermuwalah kepadanya dan memusuhi orang-orang yang memusuhinya secara mutlak. Perbuatan ini adalah haram. Seseorang tidak diperkenankan hal itu kepada yang lainnya dan memaksakan kepadanya[2] akan tetapi yang menyatukan mereka adalah as Sunnah, dan yang memisahkannya adalah bid’ah. Mereka dipersatukan oleh perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, dan dipisahkan oleh maksiat kepada Allah dan RasulNya. Hingga manusia itu menjadi ahlu tho’at da ahlu maksiat kepada Allah. Tidak ada ibadah kecuali kepada Allah Azza Wa Jalla, dan tidak ada ketaatan mutlak kecuali kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan RasulNya.

TERCELANYA BANYAK BERPINDAH-PINDAH
Tidak diragukan lagi, jika mereka dalam kebiasaan jahiliyahnya – orang yang diajari oleh seorang ustadz, dia menjadi sekutunya – orang yang berpindah dari ustadz yang pertama kepada ustadz yang kedua adalah orang yang zholim, yang melanggar dan tidak menepati janjinya. Hal ini juga haram dan dosa, lebih besar dosanya dari pada orang yang tidak melakukan seperti perbuatannya itu. Bahkan semacam inilah, apabila ia berpindah kepada selain ustadznya dan sekutunya, berarti dai telah melakukan perbuatan yang haram, kemudian menjadi seperti bangkai daging babi.

Sesungguhnya dai tidak menepati janji Allah dan RasulNya, dan juga janji ustadznya yang pertama. Dia seperti orang yang main-main yang tidak memiliki perjanjian, tidak memiliki agama dan tidak mempunyai sifat menepati janji.

Pada masa jahiliyah, ada seorang yang mengikat suatu perjanjian dengan suatu kabilah. Kemudian apabila dia mendapati kabilah yang lebih kuat dari kabilah yang pertama, dia batalkan perjanjian yang pertama, lalu mengadakan perjanjian da persekutuan lagi dengan kabilah yang kedua (keadaan orang ini sama dengan mereka yang di atas). Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat,
Dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.

Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.[3] (an Nahl: 91 - 94)

MENCEGAH ORANG YANG BERBUAT KERUSAKAN
Mereka harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar, tidak boleh membiarkan orang-orang yang ada di antara mereka berbuat kezholiman atau kekejian. Juga tidak boleh membiarkan anak-anak bertabarruj atau mempertontonkan sesuatu yang menimbulkan fitnah manusia. Tidak boleh menggauli orang-orang yang buruk pergaulannya, dan tidak boleh dihormati untuk tujuan jahat.

TERCELANYA WALA’ SECARA MUTLAK DENGAN BATIL MAUPUN HAK
Barangsiapa yang mengadakan perjanjian dengan seseorang untuk bermuwalah kepada orang-orang yang bermuwalah terhadapnya, dan memusuhi orang-orang yang memusuhinya, dia termasuk jenis bangsa Tartar yang berjuang di jalan syetan. Orang semacam ini tidak termasuk mujahid fi sabilillah atau tentara kaum muslimin. Pasukan kaum muslimin tidak boleh seperti mereka. Sekalipun mereka pasukan syetan, namun ada baiknya agar dikatakan kepada muridnya dengan perkataan, “Hendaknya kamu menepati janji Allah untuk bermuwalah kepada orang-orang yang bermuwalah kepada Allah dan RasulNya, memusuhi orang-orang yang memusuhi Allah dan RasulNya. Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Jika saya berada di atas kebenaran, maka engkau harus menolong kebenaran itu. Dan jika saya berada di atas kebatilan, janganlah kau tolong kebatilan itu. Barangsiapa yang berpegang dengan hal ini, maka dia termasuk mujahidin fi sabilillahi Ta’ala yang menginginkan seluruh dien ini hanya milik Allah dan juga tegaknya kalimat Allah.”[4]

Di dalam shohihain, bahwa Nabi saw ditanya: Wahai Rasulullah, ada orang yang berperang karena keberaniannya, ada juga yang karena kesombongannya dan ada juga yang karena ingin dipuji manusia. Mana diantara mereka yang ada di jalan Allah? Kemudian beliau bersabda:

Barangsiapa yang berjuang karena ingin meninggikan kalimat Allah, maka dai berada di jalan Allah.[5]
Apabila seorang mujahid berperang karena sombong kepada kaum muslimin, atau karena ingin dipuji oleh manusia, atau karena keberaniannya, maka dia berperang bukan di jalan Allah sampai ia berperang karena ingin meninggikan kalimat Allah Ta’ala.  Lantas bagaimana dengan orang yang belajar untuk memproduksi alat perang yang dibangun dari asas yang rusak dalam rangka membantu orang yang dikondisikan atas orang yang dikondisikan?
Barangsiapa yang berbuat demikian, maka dia termasuk ahli jahiliyah dan (seperti) bangsa Tartar yang telah keluar dari syari’at Islam. Orang semacam itu berhak mendapatkan hukuman berat yang bersifat syar’i untuk mencegah mereka dan orang-orang seperti mereka dari perpecahan dan perselisihan semacam ini; sampai dien ini semuanya milik Allah, dan ketaatan hanya kepada Allah dan RasulNya. Dan mereka menegakkan keadilan, bermuwalah kepada Allah dan RasulNya, cinta karena Allah dan membenci karena Allah serta beramar ma’ruf nahi munkar.

[Baca...]



JIHAD ADALAH SEBAIK-BAIK AMAL.
Di dalam as Shahih disebutkan, bahwa seseorang berkata, “Saya tidak peduli bahwa saya tidak akan melakukan suatu amal setelah Islam selain mengurus Masjidil Haram!” lalu Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Jihad fi sabilillah lebih baik dari ini semua.” Dan Umar bin Khattab r.a. berkata, “janganlah kalian angkat suara kalian di atas mimbar Rasulullah saw akan tetapi bila saya telah selesai shalat saya akan menanyakan hal tersebut kepada Beliau.” Lalu dia menanyakan kepada Beliau saw menjelaskan kepada mereka, bahwa imam dan jihad adalah baik dari pada Masjidil Haram, haji, umrah, thawaf dan memberi minum orang-orang yang melaksanakan haji. Oleh karena itu, Abu Hurairah r.a. berkata, “Saya berada di medan jihad di malam hari lebih saya sukai dari pada qiyamul lail di sisi hajar Aswad pada malam Lailatul Qadar.
Oleh karena itu, tetap berada di medan perang lebih baik dari pada tetap berada di Makkah atau Madinah, dan berbuat dengan tombak dan busur adalah lebih baik dari pada shalat sunnah. Sedangkan, berada di kota-kota yang jauh yang jauh sama dengan shalat sunnah.[1]
Di dalam shahihain dari Nabi saw, beliau bersabda:
Sesungguhnya di dalam surga ada seratus tingkatan, antara satu tingkat dengan tingkat yang lain seperti antara langit dan bumi. Semua itu disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang berjihad di jalanNya.[2]

PERBANDINGAN KEBAIKAN DIANTARA AMAL-AMAL JIHAD
Amal-amal ini masing-masing memiliki tempatnya yang sesuai, dimana lebih baik dari amalan yang lainnya. (dengan) pedang di saat perang dengan musuh, menikam di saat dekat dengannya, kemudian memanah di saat jauh dengannya atau ketika ada penghalang seperti sungai, benteng dan lain-lainnya. Maka setiap hal yang lebih untuk dapat mengalahkan musuh dan lebih bermanfaat untuk kaum muslimin, itu adalah lebih baik. Kebaikan ini berbeda sesuai dengan kondisi musuh dan kondisi para mujahidin. Dalam kondisi tertentu, memanah lebih bermanfaat[3], dan dalam kondisi tertentu menikam lebih baik. Termasuk juga apa-apa yang diketahui orang-orang yang berperang.

BELAJAR DAN MENGAJARKAN JIHADTERMASUK AMAL SHOLIH
Mempelajari amal-amalan itu bagi orang-orang yang mencari wajah Allah adalah termasuk amal sholih. Barangsiapa yang mengajarkan hal tersebut kepada orang lain, maka dia adalah sekutunya di dalam setiap jihad yang dia lakukan, pahala dari salah satu keduanya tidak dikurangi sedikit pun, seperti halnya orang yang membaca Al Qur’an dan mengajarkan ilmunya. Bagi yang belajar, hendaklah mempunyai niat yang baik, semata-mata bertujuan mencari wajah Allah. Dan bagi yang mengajar, hendaknya memberi nasihat kepada yang belajar dan bersungguh-sungguh dalam mengajarkannya. Bagi yang belajar hendaknya juga mengetahui kehormatan gurunya, dan berterima kasih atas kebaikannya, karena orang yang tidak berterima kasih kepada manusia berarti dia tidak bersyukur kepada Allah, dan juga jangan sampai mengingkari hak dan kebaikannya.

WAJIB TOLONG MENOLONG DALAM KEBAIKAN DAN TAKWA DAN HARAM BERMUSUHAN
Para pengajar hendaklah tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana yang diperintahkan Nabi saw dengan sabdanya:
Orang Islam adalah saudara Islam, janganlah mengabaikan dan menzhaliminya.[4]
Perumpamaan orang-orang mukmin di dalam saling cinta dan kasihnya seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya merasa sakit, seluruh tubuhnya merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur.[5]

Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai dia mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti yang dia cintai untuk dirinya sediri.[6]

Orang mukmin yang satu dengan yang lainnya bagaikan satu bangunan yang saling mengokohkan (Beliau sambil mengaitkan jari-jarinya).[7]
Janganlah saling menghasud, saling memutuskan hubungan, saling membenci dan saling bermusuhan. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.[8]
Semua hadits di atas terdapat dalam ash-Shahih.

Di dalam as Sunan, dari Beliua, bersabda:
“Maukah aku kabarkan sesuatu kepada kalian, yang derajatnya lebih baik dari derajat shalat, shaum dan shodaqoh serta amar ma’ruf nahi munkar?” mereka menjawab, “Mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Baiknya hubungan persaudaraan. Karena rusaknya hubungan persaudaraan adalah pemotong, saya bukan mengatakan memotong rambut, namun memotong dien.[9]

Di dalam ash Ahahih dari Beliau, bersabda:
Pintu-pintu surga dibuka setiap hari senin dan kamis, lalu diberi ampunan bagi setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, kecuali bagi orang yang antara dia dengan saudaranya ada permusuhan. Kemudian dikatakan: tangguhkanlah kedua orang ini sampai mereka berdua akur.[10]
Tidak halal bagi seorang muslim mengisolir saudaranya lebih dari tiga hari, keduanya bertemu tapi saling berpaling. Dan yang paling baik dari keduanya adalah yang memulai dengan salam.[11]

HARAMNYA MENGANIAYA TANPA ALASAN YANG BENAR
Seorang guru tidak dibenarkan menganiaya orang lain dan menyakitinya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan tanpa alasan yang benar, karena Allah Ta’ala berfirman:
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (al Ahzab: 58)
Seseorang yang menghukumi orang lain bukan karena berbuat zhalim, bukan karena melanggar suatu ketentuan atau karena mengabaikan kebenaran, akan tetapi karena hawa nafsunya, maka yang demikian ini adalah termasuk kezhaliman yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya. Allah Ta’ala telah berfirman dalam hadits qudsi.
Wahai hambaKu, sesungguhnya aku mengharamkan kezhaliman terhadap diriKu, dan Aku jadikan dia haram di antara kamu. Maka janganlah kalian saling berbuat zhalim.[12]

TIDAK ADA HUKUMAN KECUALI DENGAN SYARA’
Apabila seseorang melakukan suatu kesalahan, maka dia tidak boleh dihukum dengan selain hukum syara’. Seorang mu’allim atau ustadz tidak diperkenankan memberikan hukuman semaunya sendiri. Dan orang lain tidak boleh memberikan bantuan atau dukungan dalam melakukan hal tersebut, seperti memerintahkan untuk mengisolir seseorang yang bukan melakukan kesalahan syar’i. Atau mengatakan, “Saya mengisolasi dia!” atau “Saya halalkan darahnya!” dan lain sebagainya.
Yang demikian ini termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh pendeta terhadap orang-orang Nashrani, dan Huzzab terhadap orang-orang Yahudi. Dan juga termasuk jenis pekerjaan yang dilakukan oleh para pemimpin kesesatan terhadap para pengikutnya.
Abu Bakar as Shidiq, khalifah Rasulullah saw berkata, “Taatilah aku selama aku taat kepada Allah! Jika aku durhaka kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepadaku atas kalian.”

Nabi saw bersabda,
Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan terhadap khalik.[13]
Barangsiapa yang memerintahkan kamu untuk maksiat kepada Allah, maka janganlah kamu taati dia.[14]

Apabila seorang mu’allim atau ustadz telah memerintahkan untuk mengisolasi seseorang, menjauhkan dirinya, menghalalkan darahnya atau yang sejenisnya, maka haruslah diperhatikan, jika orang tersebut melakukan kesalahan yang sifatnya syar’i hendaklah dihukum sesuai dengan kadar kesalahannya, tanpa ditambah. Dan jika tidak melakukan kesalahan syar’i, dia tidak boleh dihukum dengan suatu hukuman karena tujuan dari seorang mu’allim atau yang lainnya.

HARAM BERKELOMPPOK DAN TA’ASSHUB DENGAN ZHOLIM  DAN BERDASARKAN HAWA NAFSU
Para mu’allim tidak diperkenankan menghimpun manusia dan melakukan hal-hal yang menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka, tetapi hendaklah mereka menjadi seperti saudara yang saling tolong menolong dalam kebaukan dan takwa. Sebagaimana firnan Allah Ta’ala,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, (Al Maidah: 2)

Seorang mua’allim tidak diperkenankan mengambil suatu perjanjian kepada seseorang untuk menyetujuinya dalam segala apa yang dia kehendaki, membela orang yang membelanya dan memusuhi orang-orang yang memusuhinya. Orang yang melakukan ini termasuk Jengis Khan dan yang semisal dengannya, yang menjadikan orang-orang yang setuju dengannya sebagai teman dan yang menentangnya sebagai musuh.
Tetapi hendaklah mereka dan para pengikutnya memenuhi janji Allah dan RasulNya, jika salah seorang ustadz dizhalimi, tolonglah dia, jika dia berbuat zhalim, janganlah membantunya namun mencegahnya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam as Shahiha dari Nabi saw bersabda,

Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim dan yang dizhalimi. Dikatakan: Wahai Rasulullah, saya menolongnya dalam keadaan dizhalimi. Bagaimana saya harus menolongnya dalam keadaan berbuat zhalim? Beliau bersabda: kamu mencegahnya dalam berbuat zhalim, yang demikianlah pertolonganmu terhadapnya.[15]

MUWALAH ITU DENGAN KEBENARAN DAN UNTUK KEBENARAN
Apabila diantara sesama mu’allim atau sesama murid, atau diantara mu’allim dan murid terjadi permusuhan, maka seseorang tidak boleh membantu salah satu dari keduanya sampai mengetahui yang hak. Janganlah memberikan pertolongan dengan kejahilan dan hawa nafsu, tapi lihatlah persoalannya. Apabila nampak jelas baginya suatu kebenaran, hendaknya menolong yang benar. Apakah yang benar sahabatnya sendiri maupun sahabat orang lain, atau apakah yang salah itu sahabatnya sendiri maupun bukan. Hendaklah (semua itu) bertujuan karena beribadah kepada Allah semata dan mentaati Rasulnya: mengikuti kebenaran dan menegakkan keadilan. Allah Ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar (dalam) menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapakmu dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) itu kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (an Nisa: 135)

Dikatakan لَوَى لِسَانُهُ artinya mengabarkan dengan dusta, الْاِعْرَاضُ menyembunyikan kebenaran. Karena sesungguhnya orang yang menyembunyikan kebenaran adalah setan yang isu.

Barangsiapa yang condong terhadap sahabatnya – baik dia berada di pihak yang benar maupun pihak yang salah – maka dia telah berhukum dengan hukuim jahiliyyah dan keluar dari hukum Allah dan RasulNya. Dan orang-orang yang diagungkan oleh mereka adalah orang yang diagungkan oleh Allah dan RasulNya, orang yang dicintai di sisi mereka adalah orang yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, dan orang yang hina di sisi mereka adalah orang yang diridhoi oleh Allah dan RasulNya, bukan yang sesuai dengan hawa nafsu.

Sesungguhnya orang yang taat kepada Allah dan RasulNya, dia telah memperoleh petunjuk, dan barangsiapa yang maksiat kepada Allah dan RasulNya, dia hanya memadhorotkan diri sendiri.
Inilah prinsip yang harus mereka pegang. Jika sudah begini, maka tidak dibutuhkan lagi berpecahnya mereka ataupun berkelompok mereka. Sesungguhnya Allah berfirman,
Sesungguhnya orang yang memecah-belah agamanya dan mereka terpecah mencari beberapa golongan, ridak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. (Al An’am: 59)

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas kepada mereka. (Ali Imorn: 105)
Apabila seseorang telah diajarkan oleh salah seorang ustadz, dia harus mengetahui kadar kebaikanya kepada dirinya dan berterima kasih kepadanya.
Janganlah ‘mengikat perutnya’, baik kepada ustadznya maupun kepada selainnya. Sebab, “mengikat perut’[16] untuk orang tertentu dan bernisbat kepadanya – sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan – adalah termasuk bid’ah jahiliyyah dan termasuk persekutuan yang pernah dilakukan oleh kaum musyrikin, juga termasuk perpecahan antara Qais dan Yaman. Dan jika yang dimaksudkan dengan mengikat perut dan penisbatan tersebut adalah tolong menolong dalam kebajikan dan takwa, maka yang demikian adalah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala tnpa pengikatan. Tapi jika yang dimaksudkan adalah tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka hal ini telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya. Maka segala kebaikan yang dimaksudkan dalam masalah ini, adalah segala kebaikan yang ada dalam perintah Allah dan RasulNya dengan segala kema’rufan, terlepas dari perintah mua’allim. Sedangkan kejahatan yang dimaksudkan dalam masalah ini, sungguh telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya.

Seorang ustadz tidak diperkenankan melakukan persekutuan dengan murid-muridnya atas dasar pemikiran. Demikian juga dengan ustadz yang lain, tidak diperkenankan baginya merekrut salah seorang murid-murid (dari ustadz lain) untuk bernisbat kepadanya dengan cara bid’ah. Dia tidak boleh mengingkari hak ustadz yang pertama terhadap murid tersebut.

Ustadz yang pertama juga tidak diperkenanka melarang muridnya untuk mengambil manfat belajar dari yang lain. Dan ustadz yang kedua tidak diperkenankan berkata, “Ikatlah untuk saya dan bernisbatlah kepada saya tanpa utadzmu yang pertama.” Akan tetapi apabila simurid tersebut belajar kepada ustadz yang kedua, dia harus memperhatikan hak masing-masing dari kedua ustadz tersebut; tidak berta’ashub kepada yang pertama ataupun kepada yang kedua. Apabila ta’lim ustadz yang pertama kepadanya lebih banyak, maka perhatian si murid tersebut kepada ustadz yang pertama itu juga harus lebih bayak.

[Baca...]



NASIHAT EMAS IBNU TAIMIYYAH-4.
MUQADDIMAH.
KEUTAMAAN MEMANAH FI SABILILLAH. 

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Memanah fi sabilillah,[1]menikam fi sabilillah, dan memancung fi sabilillah; semua itu termasuk apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya. Allah Ta’ala telah menyebutkan ketiga hal tersebut firmanNya:
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. (QS. Muhammad: 4)

Maka peganglah kepala mereka, dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka (Al Anfal: 12)

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu. (Al Ma’idah: 94)
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Al Anfal: 60)

Sungguh telah dinyatakan dalam Shahih Muslim dan juga yang lainnya dari Nabi saw, bahwasannya beliau membaca ayat tersebut (Al Anfal: 60) di atas mimbar kemudian bersabda:
Ketahuilah bahwasannya kekuatan itu adalah ar Ramyu! Ketahuilah bahwasannya kekuatan itu adalah ar Ramyu! Ketahuilah bahwasannya kekuatan itu adalah ar Ramyu![2]
Dinyatakan dalm as Shahih, dari Nabi saw beliau bersabda:
Panahlah dan naiklah! Kalian memanah lebih aku sukai dari pada menaiki (kuda-kuda kalian). Maka barangsiapa yang telah belajar memanah kemudian melupakannya bukanlah dari golongan kami.[3]

Dalam riwayat lain:
Barangsiapa yang telah belajar memanah kemudian melupakannya, maka itu adalah suatu nikmat yang diingkarinya.[4]
Dan di dalam as Sunnah beliau bersabda:
Setiap permainan yang dimainkan oleh seseorang adalah kebatilan, kecuali memanah, melatih kuda, dan bercengkrama dengan isterinya, karena itu termasuk kebenaran.[5]

Beliau juga bersabda:
Akan ditaklukkan atas kalian bumi-bumi, dan Allah mencukupi kalian, maka seseorang dari kalian jangan sampai tidak mampu memainkan anak panahnya.[6]


Makhul berkata, “Umar bin Khattab telah mengirim surat ke Syam (yang isinya): anak-anak kalian hendaknya kalian ajari memanah dan naik kuda.”[7]

Di dalam Shahih Bukhari dari Nabi saw, beliau bersabda:
Bani Isra’il, panahlah! Karena sesungguhnya bapak-bapak kalian adalah pemanah.[8]
Dan beliau melewati sekelompok orang yang sedang melakukan lomba memanah, kemudian beliau bersabda: “Panahlah wahai Bani Isra’il, karena sesungguhnya bapak-bapak kalian adalah pemanah. Panahlah dan saya bersama Bani Fulan.” Kemudian salah satu kelompok tersebut menahan tangannya  (tidak mau memanah), lalu beliau bersabda, “mengapa kalian tidak mau memanah?” mereka menjawab, “bagaimana kami memanah, sementara anda bersama mereka.” Beliau bersabda, “panahlah dan saya bersama kalian semua.[9]

Dan Sa’ad bin Abi Waqas r.a. berkata, “Rasulullah Saw pada perang Uhud melepaskan tempat anak panahnya dan memberikannya kepadaku seraya bersabda:
Panahlah! Tebusanmu adalah bapak dan ibuku.

Dan Ali bin Aib Thalib berkata, “saya tidak melihat Rasulullah Saw menghimpun kedua orang tuanya untuk seseorang kecuali kepada Sa’ad. Beliau bersabda:
Panahlah wahai Sa’ad! Tebusanmu adalah bapak dan ibuku.[10]

Anas bin Mali berkata, Rasulullah Saw bersabda:
Suara Abi Thalhah dalam barisan lebih baik dari seratus.
Ketika di dalam satu pasukan dia berada di hadapan Beliau mengeluarkan tempat anak panahnya, kemudian berkata, “jiwaku adalah tebusan untuk jiwamu dan wajahku adalah pelindung untuk wajahmu.[11]

Nabi Saw juga memiliki pedang, busur dan tombak, di dalam as Sunan dari beliau saw bersabda:
Barangsiapa yang meluncurkan anak panahnya fi sabilillah – sampai ataupun tidak – baginya adalah sama dengan (pahala) membebaskan budak.[12]
Sesungguhnya Allah dengan satu anak panah memasukkan tiga orang ke dalam surga, yaitu pembuatnya yang dalam membuatnya menganggap suatu kebaikan, yang meluncurkannya dan yang memberikan bantuan dengan hal tersebut.[13]

Karena perbuatan demikian adalah termasuk perbuatan-perbuatan jihad. Dan jihad adalah sebaik-baik perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan suka rela, dan melakukan jihad dengan sukarela adalah lebih baik dari melakukan haji secara suka rela dan perbuatan lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.
Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal,
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At Taubah: 19 – 22)
















[Baca...]