MENGAMBIL HARTA ATAS SUATU AMALAN YANG SIFATNYA MEMBATU JIHAD FI SABILILLAH.
Bagi para pengajar, sudah selayaknya meminta bayaran dari orang yang diajari suatu keahlian. Sesunggunya memungut bayaran atas pengajaran suatu keahlian itu boleh, dan bekerja seperti itu adalah pekerjaan yang baik. Dan seandainya si murid memberikan hadiah kepada gurunya karena pengajarannya itu, dan memberinya sesuatu yang dia dapatkan dari suatu perlombaan atau selain perlombaan sebagai pengganti dari pengajarannya dan alat-alat yang diproduksinya serta tempat yang disewanya adalah boleh, dan sang guru hendaklah menerimanya. Memberikan pengganti (bayaran) dalam masalah ini termasuk amalan yang paling baik. Sampai-sampai syari’at Islam membolehkan memberikan bayaran kepada dua orang yang melakukan perlombaan dari selain keduanya.

Apabila pemerintah mengeluarkan harta dari baitul mal untuk orang yang melakukan perlombaan memanah, naik kuda dan onta, maka hal itu diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para imam.[1] Dan seandainya ada seorang muslim berderma dengan memberikan bayaran untuk perlombaan itu, maka dia memperoleh pahala atas perbuatannya. Demikian juga dengan sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang yang mengajarinya dalam hal keahlian itu, termasuk orang yang diberi pahala. Karena amalan-amalan tersebut manfaatnya dirasakan oleh seluruh kaum muslimin.

Dan memberikan bayaran, yang diambil dari pribadi-pribadi kaum muslimin dibolehkan saja. Jika keduanya (orang yang melakukan perlombaan) mengeluarkan bayaran, kemudian orang ini juga memberikan tambahan untuk mencukupinya, itu juga dibolehkan. Da jika dari keduanya tidak ada yang mencukupi, lalu mengeluarkan sesuatu atau mendermakan sesuatu yang menyenangkan dirinya tanpa paksaan, kemudian dengan itu juga menjamu jam’ah, atau diberikannya kepada sang guru, ataupun diberikan kepada temannya, yang demikian juga boleh.

Inti dari masalah itu adalah hendaknya diketahui bahwa amalan-amalan tersebut dalam rangka membantu dalam jihad fi sabilillah. Dan jihad fi sabilillah tujuannya adalah menjadikan dien ini seluruhnya milik Allah serta untuk meninggikan kalimat Allah.

POKOK DIEN
Pokok dien ada dua hal,
Pertama; kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah Ta’ala.
Kedua; kita beribadah kepadaNya dengan apa yang telah disyari’atkan, tidak dengan bid’ah.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Supaya dia mengujimu siapa diantara kamu yang lebih baik amalannya. (al Mulk: 2)


Al Fudho’il bin ‘Iadh berkata, “Yaitu amalan yang paling ikhlash dan paling benar.” Ketika ditanyakan kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amalan yang paling ikhlash dan paling benar?” dia menjawab, “sesungguhnya bila suatu amalan dikerjakan dengan ikhlash namun tidak benar, adalah tidak diterima. Dan bila dilakukan dengan benar namun tidak ikhlash, juga tidak diterima sampai pekerjaan itu dilakukan dengan benar dan ikhlash. Ikhlash; maksudya karena Allah, dan benar; maksudnya berdasarkan sunnah.”

Umar bin Khattob dalam doanya berkata, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku benar dan jadikalah ikhlashku karenaMu, dan janganlah engkau jadikan di dalamnya sedikit pun karena seseorang.”

Demikianlah dienul Islam yang dibawa oleh para Rasul Allah yang dikandung dalam kitab-kitabNya; yaitu berserah diri secara total kepada Allah semata. Barangsiapa yang tidak berserah diri kepadaNya, berarti dia orang yang sombong tidak mau beribadah kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu, akan masuk neraka jahannma dalam keadaan hina-dina. (al Mukmin: 60)

Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah dan juga kepada selainNya, berarti dia musyrik. Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. (an Nisa: 48)
Karena itulah, Allah mempunyai hak untuk tidak disekutukan dengan siapa pun dari makhlukNya. Tidak beribadah kecuali kepada Allah, tidak takut kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, dan tidak berdo’a kecuali hanya kepada Allah.

Firman Allah Ta’ala:
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Ala Nasyrah: 7-8)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. (al Isra: 23)
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan. (an Nur: 52)

Ketaatan adalah kepada Allah dan RasulNya, sedangakn takut dan takwa hanyalah kepada Allah. Firman Allah Ta’ala:
Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). (at Taubah: 59)

Berharap dan bersandar hanyalah kepada Allah, sedangkan pemberian bisa dari Allah dan juga dari Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (al Hasyr: 7)

MIZAN ADALAH AL KITAB DAN AS SUNNAH
Yang halal adalah yang dihalalkan oleh al kitab dan as sunnah, dan yang haram adalah yang diharamkan olehnya, dan dien adalah yang disyariatkannya. Tidak boleh dari seorang pun dari para syaikh, raja, ulama, umaro’, ustadz dan seluruh makhluk untuk keluar dari padaNya. Bahkan seluruh makhluk wajib menganut Islam yang dibawa oleh para rasul. Dengan begitu, mereka semuanya masuk ke dalam dien penutup para rasul dan pemimpin anak adam, imam orang-orang yang bertakwa, sebaik-baik makhluk dan yang paling utama di sisi Allah: Muhammad saw hambaNya dan RasulNya. Dan setiap orang, siapa pun juga, yang memerintahkan suatu perkara haruslah diselaraskan dengan al Kitab dan as Sunnah. Jika sesuai dengannya, diterima; jika tidak, maka tertolak. Sebagaimana yang terdapat dalam as shohihain dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda:

Barangsiap yang melakukan amalan tidak berdasarkan perintah kami, maka dia tertolak.[2]
Jika dalam perkataan dan perbuatan para syaikh dan para ulama ada yang ma’ruf dan ada yang munkar; ada petunjuk dan kesesatan; ada yang lurus dan menyimpang; maka sudah seharusnya mereka mengembalikan semua itu kepada Allah dan RasulNya.

Kemudian mereka harus menerima apa yang diterima oleh Allah dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Allah dan RasulNya.
Terhadap ulama saja haus demikian, lantas bagaimana dengan para guru dan orang-orang yang semisal dengannya? Allah Ta’ala berfirman;
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (an Nisa: 59)

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (al Baqarah: 213)

Kita memohon kepada Allah Ta’ala. Semoga Dia memberi petunjuk kepada kita dan saudara-saudara kita semuanya ke jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang sholih. Mereka itulah sebaik-baiknya teman.[3]

CATATAN BELAKANG
* Dalam hal ini sebagian ulama mengecualikan bai’at atas kematian, hal tersebut dikhusukan kepada Rasulullah Saw. At Thahawi berkata dalam Musykilatul Atsar ....ulama lain berpendapat, bahwa bai’at atas kematian adalah bai’at yang paling mulia.

Bai’at ini tidak boleh dilakukan kecuali terhadap Rasulullah Saw dan tidak ada kemungkinan pada beliau hilangnya keadaan yang menetapkan bai’at tersebut untuk tetap dilakukan.

Saya katakan, “Telah terjadi bai’at atas kematian kepada selain Rasulullah Shollahu ‘Alaihi Wasallam dari pihak yang jumlahnya lebih dari seorang.” Lihat, misalnya al Ishobah I: 454, al MA’rifah wa Tarikh III: 315, dan at Tarikhul Kabir V: 12.
Fadhilatus Syaikh bin Baz mengusulkan agar perjanjian yang dilakukan disebut aqdun, bukan bai’at. Beliau berkata di dalam risalahnya pada tanggal 11 Robi’ul akhir 1408 H kepada sebagian penuntut ilmu, “Adapun perihal pengikatan Anda terhadap Bai’at, maka saya telah mengusulkan terhadap pemimpin mereka ketika saya bertemu dengan mereka pada musim haji tahun lalu di Makkah dan telah saling memahami antara saya dengan mereka yang kami harap semoga ada menfaatnya yaitu agar bai’at diganti dengan ahdun (sama dengan aqdun). Mereka menerima hal tersebut. barangkali saja mereka bersandar pada apa yang telah ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ul Fatawa juz 28: 21, tentang tidak adanya pengingkaran terhadap hal tersebut.”

Penggunaan bai’at dalam pengertian ahdun dan aqdun adalah perkara yang sudah terkenal di kalangan para fuqoha. Lihat misalnya al Mustofa fi Ilmil Ushul II: 242 dan 251, Syahru Tsulatsiyat Musnad Imam Ahmad I: 70 dan II: 928, Bahjatun Nufus I: 927, Fathul Bari I: 64. Kemudian lihatlah perbedan pendapat antara ahli ilmu dalam ada dan tidaknya kewajiban kafaroh bagi orang yang mengambil perjanjian terhadap dirinya, kemudian tidak menepatinya, dalam Fathul Bari XI: 474, al Hidayah II: 74, al Mughni XI: 197, dan Fiqhul Imam al Auza’i I: 481-482.
3. ar romyu artinya adalah melempar atau melontar. Konotasi dalam banyak ayat ataupun hadits yang berkaitan dengan peperangan, bayak diartikan dengan memanah. Dalam konteks kekinian kita tidak dapat terpaku hanya pada arti memanah, karena pada saat sekarang sulit rasanya kita menggunakan panah dalam medan peperangan. Dahulu, melontarkan senjata dalam peperangan yang paling memungkinkan adalah menggunakan panah. Tapi kini, hanya dengan menekan tombol sekalipun untuk melontarkan rudal, juga termasuk dalam pengertian ar Romyu.
Dalam bahasan ini mari kita fahami hakikat dari arti memanah itu, dengan penekanan pada esensi jihad fi sabilillah. (pent)
4. Lihat daftar takhrij No. 1
5. Lihat daftar takhrij No. 2
6. Lihat daftar takhrij No. 3
7. Lihat daftar takhrij No. 4
8. Lihat daftar takhrij No. 5
9. Lihat daftar takhrij No. 6
10. Lihat daftar takhrij No. 7
11. Lihat daftar takhrij No. 8
12. Lihat daftar takhrij No. 9
13. Lihat daftar takhrij No. 10
14. Lihat daftar takhrij No. 11
15. telah disebutkan dari hadits Uqbah bin Amir rodhiyallohu ‘Anhu (Lihat daftar takhrij No. 1).
16. Lihat daftar takhrij No. 12
17. Imam Ahmad telah memutuskan hal tersebut sebagaimana terdapat dalam Al Furusiyyah, hal. 18 oleh Ibnul Qoyyim.
18. Lihat daftar takhrij No. 13
19. para ulama berbeda pendapat dalam perbandingan kebaikan antara menunggang kuda dengan memanah. Imam Malik berkata, “Lomba menunggang kuda lebih saya sukai dari pada lomba memanah.” Disebutkan oleh Abu Umar dalam at Tahmid, XIV: 84 dari beliau. Dalam masalah ini Ibnul Qoyyim telah berbicara dengan lengkapnya dalam kitabnya al Furusiyyah, halaman 11-17, yang ditutupnya dengan perkataan, “Titik pemisah pertentangan antara dua kelompok, bahwa dalam kesempurnaannya, masing-masing membutuhkan kepada yang lainnya. Karena tidak akan sempurna maksud salah satu dari keduanya, kecuali dengan adanya yang lain.”
“Memanah lebih bermanfaat dalam jarak jauh, dan di saat dua pasukan mulai menyatu panah pun tidak digunakan. Adapun bila dua pasukan berhadapan dengan jarak yang jauh, maka panahlah yang lebih bermanfaat. Peperangan tidak akan sempurna kecuali dengan memadukan dua hal tersebut. Yang afdhol adalah yang lebih dapat mengalahkan musuh dan lebih bermanfaat bagi pasukannya. Hal ini berbeda sesuai dengan kondisi pasukan dan keadaan. Wallohu A’lam.
Lihat juga Nailul Author, VIII: 248.
20. Lihat daftar takhrij No. 14
21. Lihat daftar takhrij No. 15
22. Lihat daftar takhrij No. 16
23. Lihat daftar takhrij No. 17
24. Lihat daftar takhrij No. 18
25. Lihat daftar takhrij No. 19
26. Lihat daftar takhrij No. 20
27. Lihat daftar takhrij No. 21
28. Lihat daftar takhrij No. 22
29. Lihat daftar takhrij No. 23
30. Lihat daftar takhrij No. 24
31. Lihat daftar takhrij No. 25
32. Taqiyuddin as Subki telah menjelaskan secara rinci keburukan-keburukan ‘mengikat perut’ di dalam Fatawanya juz II: 548-551. Mengikat perut telah tersebar luas pada jaman Syaikhul Islam, juga sepeninggal beliau tetap berlanjut di antara orang-orang yang mau belajar kepada syaikhnya.
Agar Anda mengerti – saudaraku pembaca – maksud perkataan penulis, akan saya sampaikan kepada Anda gambaran tentang ‘mengikat perut’, sebab memberikan keputusan atas sesuatu adalah cabang dari konsepsinya.

Ada suatu pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikhul Islam, yang kemudian beliau jawab dalam risalah ini, yaitu: apakah bagi seorang pemula (yang mau belajar pada seorang syaikh, pent.). diharuskan berdiri di tengah-tengah kelompok para ustadz dan muridnya sambil mengatakan, “Wahai jama’ah kebajikan, saya mohon kepada Allah Ta’ala dan mohon kepadamu. Hendaknya kalian mohon kepada Fulan agar menerima saya untuk menjadi ikhwannya, atau muridya atau yang semisal dengannya.” Lalu salah seorang dari jama’ah itu bangkit, kemudian mengambil perjanjian kepadanya dengan memberikan persyaratan-persyaratan yang dikehendaki sambil mengikat perutnya dengan kain atau dengan yang lainnya? Apakah perbuatan semacam ini diperbolehkan atau tidak?

Karena perbuatan tersebut menimbilkan fanatisme dan ta’ashub kepada ustadz, dimana setiap ustadz masing-masing mempunyai ikhwan, kelompok dan murid-murid yang mendukungnya bila dia melakukan kebenaran atau kebatilan. Mereka memusuhi orang-orang yang memusuhinya dan loyal terhadap orang-orang yang loyal kepadanya.
Syaikhul Islam dalam risalahnya ini tidak menjelaskan ungkapan sang penanya: “Saya mohon kepada Allah Ta’ala dan mohon kepadamu.” Dalam ungkapan tersebut ada kesalahan, yaitu penggunaan ‘wawul athof’ yang menimbulkan persekutuan antara nama Allah dangan nama selainNya. (asli kalimatnya berbunyi) as’alulloha ta’ala wa as’alukum. Kebiasaan mengikat perut tersebut terus berlanjut sepeninggalnya Syaikhul Islam, ditambah juga dengan kesalahan-kesalahan lainnya sebagaimana yang anda lihat dalam Fatawa as Subki.

33. as Subki berkata tentang gambaran tersebut dalam al Fatawa, II: 550, “Apabila suatu kaum berhinpun dan bersepakat di atas yang demikian, maka alangkah nikmatnya itu.”

34. apabila pada seseorang berhimpun pada suatu kebaikan dan keburukan, kejahatan, ketaatan dan kemaksiatan, sunnah dan bid’ah, dia berhak mendapat muwalah dan pahala sesuai dengan kadar kebaikannya. Dia juag berhak mendapat mu’adah dan hukuman sesuai dengan kadar kejahatannya. Pada diri seseorang ad potensi yang mengharuskan dia untuk dihormati, dan juga mengharuskan dia untuk dihinakan. Seperti halnya seorang pencuri yang fakir, dia dipotong tangannya karena mencuri dari baitul mal untuk mencukupi kebutuhannya.
Lihat Majmu’ul Fatawa. XXVIII: 208-209
Para da’i dan jama’ah Islam hendaklah ingat dengan perkataan di atas, dan menjadikannya sebagai syi’ar untuk keluar dari hizbiyah yang dibenci dan kemaslahatan yang semu.

35. ayat-ayat tersebut menghimpun seluruh perintah dan larangan secara global. Allah Ta’ala memulai dengan yang lebih tinggi nilainya dan paling besar bahayanya, yaitu menyangkut perjanjian yang di dalamnya mengandung sumpah kepada Allah. Dan menjadikan perjanjian diantara dua pihak seolah-olah perjanjian dengan Allah. Karenanya dia mengungkap hal itu dengan firmanNya: ......dan tepatilah perjanjian dengan Allah. Karena ayat tersebut mempunyai maksud pengokohan yang wajib, dan penguatan yang menyerukan untuk dilaksanakan. Makanya sebagian ahli tafsir membawa perjanjian di sini pada perjanjian bai’at kepada Rasulullah saw. Apakah sebab turunnya (ayat ini) karena ‘ini’ atau ‘itu’. Namun ibroh yang itu didasarkan pada keumuman lafazh bukan karena kekhususan sebab. Persoalannya, dalam ayat tersebut mencakup pemenuhan janji terhadap setiap perjanjian yang dipegang oleh pelakunya. Perlu diketahui, bahwa bersama kita ada beberapa perkara yang saling berdekatan asal makna dan hukumnya, tapi berbeda-beda dalam tingkatannya. Di antaranya adalah al ‘Ahd, yaitu yang terjadi di antara dua pihak yang saaling menepati untuk melaksanakan suatu amalan. Amalan pemilik yang satu imbalannya harus sepadan dengan amalan yang dilakukan oleh pihak lain. Biasanya perjanjian yang diadakan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dalam bentuk penumbuhan ketenangan dalam jiwa keduanya. Kebanyakan yang terjadi disertai juga dengan sumpah kepada Allah dengan perkataannya, “Ini adalah janji Allah”, dan yang semisal dengannya sebagai penguat.
Bagian inilah yang muncul pertama kali dalam ayat yang mulia ini, yang diungkapkan dengan ‘ahdullah dan dilanjutkan dengan firmanNya: .....apabila kamu berjanji. Hal ini menunjukkan bahwa ‘ahdun tersebut termasuk sesuatu yang harus ditepati.
Kemudian dilanjutkan dengan firmanNya: ...................... dan janganlah kamu membatalakn sumpah-sumpah (mu) itu sesudah meneguhkannya. Sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu).
Diantaranya juga wa’id, yaitu yang terjadi antara individu di dalam pergaulannya, dimana seseorang berjanji kepada temannya untuk kembali kepadanya menunaikan kemaslahatannya, atau menyelesaikan problemnya. Wa’d pada asalnya merupakan suatu derma, namun mengharuskan dia sesuai dengan konsekwensi keimanannya, dan yang sesuai juga dengan konsekwensi yang ditetapkan oleh paa pelakunya, berupa kepercayaan dan ketentraman. Oleh karena itu kami katakan. “Sebagian ada orang yang menggunakan kata ‘ahd dan wa’d untuk kata bai’ah.

36. ini adalah teks yang jelas dari perkataan Ibnu Taimiyyah, tentang disyari’atkannya “bai’ah juz’iyyah” jika terlepas  dari larangan-larangan syar’i yang telah disebutkan sebelumnya, dan akan disinggung pada pembahasan berikutnya.

37. dikeluarkan oleh Bukhari dalam as Shohih, no. 133, 2810, 3126, 7458; oleh Muslim dalam as Shohih, no. 1904; dan oleh yang lain dari hadits Abu Musa al Asy’ari r.a.

38. Lihat daftar takhrij No. 26

39. Lihat daftar takhrij No. 27

40. Saya selesai memberi komentar, muqoddimah dan mentakhrij hadits-haditsnya  pada hari kamis tanggal 26 Muharram 1409 Hijriyah.
Pada penutupan ini kami memohon kepada Allah semoga lembaran-lembaran ini dapat menjadi hujjah bagi kami, bukan menghujat kami. Kami mengamalkan kata-kata kami, berupaya menyatukan kaum muslimin, siap sedia memperbaiki hubungan persaudaraan.

Dengan begitu, kami bertawakal kepada Allah. Ya Allah persatukanlah para da’iMu yang mukhlish dari kalangan hambaMu yang bertauhid di atas kitab mereka dan sunnah Nabi – sholawat serta salam semoga terlimpah kepadanya dan seluruh saudara-saudaranya para Rasul. Amin ....



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------