ADAB KRITIK DAN MENILAI ORANG LAIN MENURUT MANHAJ AHLUS SUNNAH, Bagian-1.
Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fin Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin.
Penulis : Hisyam bin Isma’il Ash-Shini.
Penerbit : Al Muntada al Islami, London, 1412 H.
Penerjemah : Ibnu Marjan-Abu Fahmi, Wala` Press Thn. 1995.
Editor : Ir. Muhammad Hatta, (Allah Yarhamuhu, tutup usia 2011)
Updated : Mahad Imam Bukhari Jatinangor, Mei 2012. 

DAFTAR ISI
Pengantar
Muqaddimah
BAB I. KAIDAH UMUM MENILAI ORANG
·         Takut Kepada Allah
·         Mendahulukan Baik Sangka
·         Berdasarkan Ilmu dan Adil
·         Adil Dalam Mensifati
·         Melihat Banyaknya Kebaikan
·         Membandingkan Kebaikan Secara Adil
·         Cinta dan Benci Secara Benar
BAB II. KAIDAH UMUM MENDENGAR PENILAIAN BURUK
·         Bahaya Penyebaran Isu
·         Perlakuan Terhadap Isu
·         Melihat Keadaan Penilai
·         Meneliti Setiap Berita
·         Mencegah Ghibah
·         Menolak Penilaian Negatif Rival
BAB III. KAIDAH UMUM DALAM PERGAULAN
·         Kebahagiaan Bergaul
·         Pertemuan Yang Utama
·         Menyikapi Kesalahan Orang
·         Sebut-Sebutlah Allah
·         Berikan Hak Kepada Ahlinya


PENGANTAR
Dari Dr. Abid bin Muhammad As-Sufyani
Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya. Memohon pertolongan dan memohon ampun kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya; dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang sanggup menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan hamba-Nya.
Allah Swt berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab 70-71)
Sesungguhnya seorang hamba memahami dinul Islam secara bertingkat atau bertahap. Dan buah pemahaman dari ad Dinul Islam yang benar adalah beribadah secara murni dan tulus kepada Allah Subahanahu Wata’ala. Agar manusia dapat beribadah secara murni dan dapat memahami syariat Islam secara benar, maka Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin, melakukan dakwah, mengajak manusia menuju jalan Allah, sebagaimana Allah berfirman:
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (Yusuf 108)
Para pengikut Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wasallam adalah orang yang paling layak dan paling berhak memelihara manhaj (jalan) yang mereka dakwahkan kepada manusia. Manhaj Islam yang semourna tercermin dari kepribadian para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menegakkan keadilan terhadap diri sendiri, keluarga, karib kerabat, tetangga, masyarakat, dan seluruh manusia. Hak-hal Islam yang berkenaan dengan pribadi mereka, terpelihara dengan baik, tidak ada kezaliman, ghibah, maupun kedustaan. Begitu pula hak syara’, seperti: amar ma’ruf nahyi munkar, hisbah (sistem pengawasan dan pengamanan), musyawarah dan ijtihad, semuanya terpelihara dengan baik.
Sesungguhnya, masyarakat Islam di para sahabat radhiyallohu ‘anhum, dibangun melalui iltizam (komitmen) terhadap hukum-hukum syara’. Mereka mengerahkan seluruh potensinya untuk mengabdi kepada Allah, bertahkim kepada hukum-hukum-Nya, senang terhadap janji-Nya, dan takut terhadap ancaman-Nya. Melalui upaya-upaya tersebut, jiwa kaum muslimin mengalami peningkatan derajat keimanan. Dan apabila derajat keimanan dalam jiwa meningkat, maka meningkat pula kemuliaan masyarakat.
Mereka telah berhasil mendirikan bangunan masyarakat muslim, lalu memeliharanya, dan menghiasinya. Keindahan masyarakat muslim di masa para sahabat Rasulullah, tampak dari persaudaraan mereka yang didasari rasa saling mencintai. Jiwa mereka dipenuhi iman, khusyu, bersih dari ketamakan duniawi, dan selalu mengejar keridhaan Allah. Mereka melaksanakan aktivitas kehidupan dengan pedoman syari’at Islam, sehingga mereka terdidik dan melakukan perbaikan. Apabila mereka berbuat salah, mereka segera bertaubat. Mereka senantiasa bermusyawarah dalam berbagai urusan kaum muslimin, terutama menyangkut ijtihad para sahabat terhadap penyelesaian masalah-masalah kaum muslimin. Semua hal tersebut, merupakan wasilah (sarana, prasarana) guna mewujudkan suatu jamaah kaum msulimin yang bersih dari penyimpangan dan penyelewengan.
Adab (suatu metode) mengkritik yang benar, yaitu yang berpegang teguh kepada kaidah-kaidah syar’i, merupakan hasil utama dari dinamika kehidupan salaful-ummah (generasi awal kaum muslimin) yang terbimbing oleh syari’at Allah Ta’ala. Adab mengkritik yang benar, merupakan wasilah terbesar untuk memelihara tujuan masyarakat muslim.
Ulama ahlus sunnah wal jama’ah dan para pengikutnya, telah menempuh jalan yang dilalui para sahabat. Mereka melihat amalan saudaranya melalui mizan syara’, yaitu keadilan. Mereka berlaku adil dalam menilai orang lain, tidak mengesampingkan kebaikan orang karena suatu kesalahan yang diperbuatnya. Mereka mengatakan  baik bila seseorang berbuat baik, dan mengatakan salah bila seseorang berbuat salah. Melalui “keadilan rabbani” tersebut, Allah memelihara tujuan Islam, dan menjaga kemaslahatan kaum muslimin, yang bersifat khusus maupun umum.
Sesungguhnya, adab mengkritik yang benar telah dicontohkan oleh para sahabat dan ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Misalnya ketika Umar bin Khattab berbicara di mimbar, tiba-tiba Salman Al Farisi interupsi, dan berkata bahwa ia tidak akan mematuhi perintah Khalifah sebelum Khalifah Umar bin Khattab menjelaskan perihal baju yang dikenakannya. Dan Khalifah Umar bin Khattab tidak marah, ia menerima kritik tersebut, lalu menjelaskannya – ed. Demikian juga di kalangan ulama, mereka saling memberikan koreksi tanpa rasa takut dan segan. Ahlul Halli Wal Aqdi (lembaga tinggi dalam masyarakat dalam sturktur kaum muslimin), yang berwenang membuat kebijakan menyangkut semua problematika umat Islam, menerima dengan baik saran, kritik, koreksi, dari seluruh kaum muslimin, sehingga masyarakat merasa tentram dan menerima kebijakan yang mereka tetapkan, karena kebijakan tersebut memelihara tujuan-tujuan syariat Islam serta memelihara hak-hak kaum muslimin.
Seorang sahabat bersedia tunduk pada koreksi saudaranya, karena menghendaki perbaikan dan mengurangi keburukan. Kaum muslimin pada masa awal telah berhasil mencapai tujuan-tujuan Islam, namun demikian mereka tidak menjadi sombong karenanya, tidak menjadi zalim terhadap seseorang, serta tidak mempunyai rasa dendam atau sakit hati kepada siapa pun. kalaupun di antara mereka ada yang terjatuh ke lembah kesombongan, kezaliman, ataupun rasa dendam, maka hal ini tidak sampai mengakibatkan perpecahan dan permusuhan di antara kaum muslimin, yang dapat melemahkan kekuatan dan persatuan umat Islam. Dan seseorang yang terjatuh ke dalam perbuatan dosa, segera memohon ampun kepada Allah Ta’ala, sebagaimana Allah telah berfirman:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka...” (Ali Imran 135)
Kritik dan koreksi merupakan sarana untuk merealisasikan  tujuan-tujuan syariat. Oleh karena itu, kaum muslimin tidak menyia-nyiakan hal ini, bahkan mengarahkan agar adab kritik dan koreksi yang dikemukakan, senantiasa berada dalam kaidah-kaidah syar’i. Adab kritik yang benar, yang sesuai dengan manhaj Ahlus sunnah wal jamaah, akan menambah kebaikan, mengurangi keburukan, dan lebih mengokohkan bangunan masyarakat kaum muslimin. Kaum muslimin, satu sama lain berfungsi saling membangun dan saling menguatkan, hal ini disebabkan, mereka berdiri pada landasan yang sama, yaitu akidah Islma yang benar, yang diyakini oleh Rasulullah shollahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabat ridhwanallah ‘alaihim.
Sesungguhnya, orang-orang yang tidak mengikuti manhaj akidah para sahabat ridhwanallah ‘alaihim telah terjerumus ke dalam pengaruh hawa nafsu, lalu melakukan perbuatan bid’ah. Pada kenyataannya mereka tidaklah bersatu, bahkan terpecah belah bahkan senantiasa berselisih, namun bid’ah-bid’ah itu melekat pada diri mereka, karena ketundukan satu sama lain di antara mereka hanyalah taqlid semata, dan mereka tidak mengadakan penelitian atau koreksi. Bid’ah dan hawa nafsu tidak memungkinkan penyatuan tujuan para ahli syirik tersebut. bangunan masyarakat yang didirikan oleh penganut hawa nafsu yang banyak berdusta, tentu tidaklah kokoh, bahkan sangat rapuh, meskipun dari luar tampaknya begitu tegar.
Rasulullah shollallhu ‘alaihi wasallam bersama para sahabatnya telah menanam fondasi yang kokoh berupa aqidah ahlus sunnah wal jamaah pada hati setiap muslim. Lalu, di atasnya mendirikan bangunan jamaah kaum muslimin yang kuat dan indah, berupa pelaksanaan seluruh syariat Islam dalam semua aspek kehidupan mereka. Karena kekokohan dan ketegaran generasi awal dari kaum muslimin tersebut, maka segala fitnah, semua rongrongan, dan setiap makar musuh-musuh Islam untuk merubuhkan bangunan jamaah kaum muslimin, selalu mengalami kegagalan. Ketika badai besar menerpa generasi demi generasi dari kaum muslimin, maka manusia melihat bangunan jamaah kaum muslimin tersebut berguncang, dan musuh-musuh Islam mengira bahwa bangunan kaum muslimin benar-benar telah hancur, tak ada yang tersisa sedikit pun. sangkaan musuh-musuh Islam itu ternyata keliru, sebab bangunan jamaah kaum muslimin tetap memiliki akidah Islamiyah yang tetap kokoh dan tak retak sedikit pun, tujuannya tetap terpelihara, akhlaknya tidak berubah, dan gerakan kritik terhadap berbagai penyimpangan yang muncul, tetap berjalan.
Saya tidak mempunyai penafsiran lain tentang kekokohan kaum muslimin pada generasi awal tersebut, selain penafsiran bahwa, apabila suatu kaum berkumpul di atas aqidah yang benar, yang disertai dengan tajarrud (menghadapkan diri secara penuh, semata-mata) kepada Allah Ta’ala, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat mencabik-cabik tujuannya, memusnahkan keberadaannya, ataupun merusak kebaikannya. Inilah bukti, bahwa suatu kaum yang menegakkan kebenaran itu akan selalu lestari dan senantias eksis di tengah-tengah kehidupan manusia, bi idznillah.
Apabila ciri-ciri bangunan masyarakat tersebut adalah: beraqidah benar, bertajarrud kepada Allah, mengerahkan seluruh potensi diri untuk melakukan semua kebaikan, serta senantiasa melakukan koreksi terhadap pembangunan dan pemeliharaan jamaah kaum muslimin agar selalu berada dalam kebenaran, maka tentulah masyarakat seperti ini memiliki karakteristik khusus. Dalam melakukan koreksi, tentu mereka pun memiliki adab khusus yang berlandaskan syari’at. Semua ciri bangunan jam’ah kaum muslimin ini tentu saja berbeda dengan ciri bangunan masyarakat penganut hawa nafsu, dan di antara keduanya tidak mungkin ada pertalian.
Tak mungkin disangkal, bahwa seluruh umat Islam memiliki satu tujuan, yaitu semata-mata beribadah kepada Allah Ta’ala. Namun, situasi, kondisi, da tantangan setiap zaman tentulah berbeda. Maka, wasa’il (cara dan metode) yang digunakan untuk memerangi kejahatan, atau melakukan kritik terhadap orang lain, tentu berbeda pula, tergantung tingkat kejahatan dan perbedaan watak pelaku penyimpangan.
Penulis risalah ini, Hisyam bin Ismail Ash Shini, telah melakukan kajian yang mendalam tentang adab mengkritik dan menilai orang lain, yang bersumber dari manhaj ahlis sunnah wal jamaah. Dalam muqaddimah, ia menulis tentang adab tersebut, yang ditujukan bagi sesama kaum muslimin atau penganut ahlis sunnah wal jama’ah, dan tidak ditujukan kepada pengikut hawa nafsu  ataupun penganut berbagai aliran yang menyimpang.
Adab mengkritik dan menilai terhadap sesama ahlus sunnah wal jama’ah, termasuk pembahasan yang amat dibutuhkan oleh kaum muslimin, karena kurangnya pemahaman mereka terhadap adab tersebut. adapun bagi pembaca yang ingin mendalami tentang pembahasan ahlus sunnah wal jama’ah dalam mengkritik dan menilai para pengikut hawa nafsu, dapat mempelajari kitab al I’tisham karya Imam Asy Syatibi. Dalam kitab tersebut, diungkapkan sikap para sahabat Rasulullah dan sikap para imam, seperti Imam Malik, Imam Ahmad, serta imam-imam salaf yang lain, ketika mereka mengikuti pengikut hawa nafsu.
Tentang manhaj ahlus sunnah wal jama’ah dalam menghadapi penganut berbagai aliran yang menyimpang, telah dijelaskan oleh ulama di dalam bab sirah. Selain itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah pula mengungkapkannya di dalam kitab Iqthidha’us Shirathil Mustaqim Li Mukhalafati ash Habil Jahim.
Sudah tentu, setiap muslim apalagi para da’i, sangat memerlukan pedoman serta adab mengkritik yang baik dan benar, yang berlandaskan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Setiap muslim tentu akan dihadapkan pada berbagai macam persoalan, menyangkut penyimpangan, penyelewengan, dan perusakan ajaran Islam. Terhadap persoalan seperti ini, terdapat tiga golongan manusia yang menampakkan sikap berbeda, yaitu:
1.    Golongan yang bersikap toleran. Kaum muslimin dari golongan ini selalu memberikan toleransi yang banyak terhadap kemaksiatan dan penyimpangan yang dilakukan oleh kaum muslimin. Mereka tidak melakukan kritik, koreksi, ataupun perbaikan. Bahkan, mereka lari dari masalah tersebut dan berpaling pula dari orang yang memberikan koreksi terhadap kekeliruannya, yaitu karena ia bersikap masalah bodoh.
2.    Golongan yang bersikap kaku. Golongan ini merupakan kebalikan dari golongan pertama. Mereka tidak mengenal toleransi dalam hal apapun, besar maupun kecil. Mereka menginginkan agar umat Islam memiliki sikap yang sama dalam menghadapi semua persoalan, bukan hanya persoalan aqidah dan ibadah, namun juga menyangkut persoalan ijtihad. Tentu saja, apa yang dikehendaki golongan ini, merupakan cita-cita yang mustahil. Mereka lupa, bahwa para sahabat Rasulullah pun seringkali berbeda pendapat dalam menghadapi berbagai persoalan, dan mereka tidak menganggap hal tersebut sebagai perpecahan, bahkan sebaliknya, mereka menghargai perbedaan tersebut sambil saling berusaha untuk memelihara kemurnian aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Inilah kenyataan yang telah dilupakan oleh kaum muslimin dari golongan kedua ini.
3.    Golongan yang bersikap pertengahan atau moderat, antara sikap toleran dalam setiap hal dan kaku dalam semua perkara. Golongan ketiga ini mewarisi sikap para sahabat Rasulullah. Dalam hal manhaj aqidah, mereka bersikap tegas dan tidak toleran, bahkan mereka selalu mengarahkan manusia menuju aqidah yang benar, yaitu melalui tarbiyah dan ta’lim. Sedangkan dalam masalah ijtihadi, mereka menghormati perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan pendapat pribadi. Perbedaan pendapat yang terjadi pada golongan ini, senantiasa diikuti oleh upaya mencari kebenaran, dan tidak mengganggu perjalanan dakwah serta pembangunan masyarakat muslim.
Dalam risalah ini, Al Akh Hisyam bin Ismail (semoga Allah melimpahkan taufik kepadanya) menjelaskan kaidah-kaidah umum dalam mengkritik dan menilai orang lain, kaidah bagi orang yang mendengar penilaian negatif terhadap orang lain, serta kaidah dalam pergaulan kaum muslimin. Semoga umat Islam dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari risalah ini, terutama bagi golongan kedua sebagaimana tersebut di atas.
Kita wajib bersyukur kepada Allah Ta’al terhadap jerih payah Al Akh Hisyam bin Ismail (semoga Allah melipat gandakan balasan kebaikan padanya), sehingga terjadilah risalah ini, yang dapat meluruskan adab kritik kaum muslimin apabila belum sesuai dengan manhajahlus sunnah wal jamaah.
Saya berwasiat, khususnya kepada diri saya sendiri, dan umumnya kepada para da’i serta kaum muslimin seluruhnya, agar lebih mencurahka perhatian pada masalah perbaika umat, pembaruan agama (tajdidudin) menyangkut aqidah, ibadah, tsaqafah (kebudayaan), maupun muamalah (interaksi sosial), sambil terus-menerus mengadakan koreksi terhadap berbagai penyimpangan keagamaan yang diperbuat oleh kaum muslimin. Janganlah kita memiliki sifat lemah apalagi putus asa, karena menghadapi akhlak da’i yang tidak terpuji, berbaliknya umat dari pemikiran tajdiduddin ke arah pemikiran tradisional, serta menghadapi amal-amal manusia yang berlebihan (seperti: bid’ah, taqlid, al jahl, tahkimul aql, ta’asshub, berfoya-foya, mengkultuskan pemimpin, menganggap membaca wirid merupakan amal tertinggi lalu merasa puas dengannya, dan lebih mencintai dunia dibanding akhirat. Ed). Kita harus terus berdakwah, sampai umat Islam berdiri tegak di atas manhaj aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, sampai aliran-aliran sesat pengikut hawa nafsu lenyap, sampai kaum muslimin terhindar dari kemusyrikan, kekafiran, bid’ah dan kemunafikan karena fitnah-fitnah ini lebih dahsyat dari fitnah pembunuhan. Semua kenginan kita tersebut di atas tidak akan terwujud, kecuali apabila kota mengikuti manhaj Rasulullah Shollallohu’alaihi wasallam dalam hal aqidah dan amal, lalu kita berkomitmen kepadanya, merasa takut menyalahinya. Seperti tersebut dalam firman Allah Ta’ala:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An Nur 63)
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir berkata, kata fitnah dalam ayat tersebut adalah fitnah kekafiran, kemusyrikan, bid’ah atau kemunafikan. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari fitnah-fitnah tersebut.
Akhirnya, pengantar ini saya tutup dengan doa, “segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, dan seluruh sahabatnya.”
Dr. Abid bin Muhammad as Sufyani
(Dekan Fakultas Syari’ah dan Studi Islam pada Universitas Ummul Qura’, Mekkah, Saudi Arabia)



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------