ADAB KRITIK DAN MENILAI ORANG LAIN MENURUT MANHAJ AHLUS SUNNAH, Bagian-2.
Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fin Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin.

MUQADDIMAH.
Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya. Memohon pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya; dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang sanggup menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan hamba-Nya.
Allah Swt berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab 70-71)
Sesungguhnya, ahlus sunnah wal jama’ah memiliki manhaj (jalan, landasan, aturan) yang jelas dalam setiap aspek kehidupan manusia, misalnya meliputi, aqidah, amal perbuatan, cara meneliti benar tidaknya suatu masalah, memberikan dalil, berdiskusi, menjelaskan kebenaran, berdakwah serta cara mengkritik dan menilai orang lain.
Risalah ini saya beri judul Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Fin Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin, “Manhaj ahlus sunnah wal jama’ah dalam mengkritik dan menilai orang lain”. (diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul “Adab Mengkritik Menurut As Sunnah” –ed). Yang saya maksud dengan “al Akharin” (orang lain) adalah sesama penganut ahlus sunnah wal jama’ah, termasuk para perawi hadits dengan pembahasan umum, namun tidak meliputi orang-orang kafir dan ahli bid’ah. Adapun tentang diterima atau tidaknya riwayat hadits, dan tentang al Jarhu wat Ta’dil (penilaian negatif dan positif terhadap seorang perawi hadits), tidak termasuk dalam pembahasan risalah ini.
Dengan adanya pembahasan tentang manhaj ahlus sunnah wal jama’ah dalam mengkritik dan menilai orang lain, tentu akan tergambar di hadapan anda, bahwa ternyata manhaj ahlus sunnah wal jama’ah itu, tidak hanya meliputi aqidah semata, namun juga meliputi aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia. Memang demikianlah, manhaj ahlus sunnah wal jama’ah merupakan bentangan kebenaran hakiki yang melandasi setiap persoalan hidup manusia. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi setiap muslim, untuk mengikuti seluruh manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, baik dalam bidang akidah maupun bidang-bidang lainnya.
Tentang benarnya manhaj ahlus sunnah wal jama’ah telah jelas, seperti jelasnya matahari di siang hari. Namun demikian, banyak manusia yang “menyerang” aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, lalu keluar darinya dan memunculkan aliran serta manhaj yang bid’ah, yang sesat dan menyesatkan manusia. Melihat kondisi buruk seperti ini, bangkitlah ulama untuk menjelaskan kebenaran manhaj ahlus sunnah wal jama’ah dan membantah serta meluruskan manhaj-manhaj yang berkembang. Di antara ulama, Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah termasuk seorang ‘alim yang memberikan perhatian sangat serius terhadap masalah ini, dan telah menyumbangkan buah karya yang besar kepada seluruh kaum muslimin (di antara karya besar Ibnu Taimiyah adalah Majmu’ul Fatawa “Kumpulan fatwa-fatwa” –ed)
Para ‘alim dari masa dahulu, telah mencurahkan perhatian terhadap Al Jarh Wa Ta’dil  yang membahas tentang kaidah memberikan penilaian negatif dan penilaian positif, khusus kepada pewaris hadits, bukan kepada orang lain. Dan hingga kini, belum ada kaidah khusus yang membahas kaidah-kaidah dalam mengkritik dan menilai orang lain secara umum, bukan terhadap perawi hadits saja. Akan tetapi sesungguhnya kaidah-kaidah tersebut telah ada, namun tersebar di banyak tempat, yaitu dalam Al Qur’an, as sunnah, perkataan mayoritas kaum salaf, kitab-kitab serta tulisan ulama salaf. Dan yang telah saya lakukan ini, adalah menghimpun dan menyusun kaidah-kaidah tersebut dalam suatu tempat, agar mudah diambil manfaatnya.
Ada beberapa hal yang mendorong saya untuk menyusun risalah ini, yaitu antara lain:
1.    Pada saat ini, sering terdengar berbagai macam kritik dan penilaian terhadap orang lain yang dilontarkan oleh banyak kalangan dari kaum muslimin, namun tidak menggunakan manhaj atau adab yang benar dan baik, sehingga tidak memberikan perbaikan, namun justru menimbulkan bermacam-macam dampak negatif.
2.    Kaum muslimin sangat membutuhkan, dan hingga saat ini jarang yang memiliki, kaidah-kaidah umum dalam mengkritik dan menilai orang lain, sehigga mereka dapat memberikan penilaian berlandaskan ilmu dan keadilan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa setiap muslim harus menguasai prinsip-prinsip ajaran Islam, sehingga dapat mengembalikan setiap persoalan pada prinsipnya, dan agar ia selalu berkata berlandaskan ilmu dan keadilan. Bila ia tidak mengetahui prinsip-prinsip ajaran Islam, dan tidak mengetahui kekeliruan dalam persoalan cabang tersebut. maka ia akan merangkap dalam kejahilan, lalu akan membuat kerusakan yang besar.” (lihat dalam Minhajus Sunnatin-Nabawiyyah)
3.    Kedudukan seorang muslim di sisi Allah Ta’ala, tinggi dan terhormat. Maka, tidak pantas manusia merendahkan dan mencela seorang muslim, apalagi bila hal tersebut tidaklah benar, tidak berdasarkan ilmu dan keadilan.
4.    Banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh penilaian seseorang terhadap orang lain, yang dalam penilaiannya manhaj yang benar, misalnya: merugikan hak orang lain, putusnya persaudaraan, munculnya fikrah-fikrah, terjadinya ghibah, hasad, dengki, dan permusuhan dan meluasnya fitnah, hancurnya persatuan, serta terjerumusnya umat Islam dalam perpecahan dan pertikaian.
Dengan dorongan keempat hal tersebut di atas, ditambah dengan harapan agar kaum muslimin bersatu padu, berdiri kokoh di atas manhaj ahlus sunnah wal jama’ah yang benar, dan hidup di atas bentangan manhaj-manhaj ahlus sunnah wal jama’ah yang meliputi seluruh aspek kehidupannya, maka saya berdoa kepada Allah Ta’ala, semoga ia menjadikan kita termasuk orang yang ikhlas dalam perkataan dan perbuatan kita. Semoga ia memperlihatkan kepada kita bahwa kebenaran itu tampak benar, lalu ia memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat mengikutinya. Semoga ia memperlihatkan kepada kita bahwa kebatilan itu tampak batil, lalu ia memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat menjauhinya. Semoga Ia membimbing kita dalam din dan dunia kita. Sesungguhnya Dialah yang berkuasa terhadap segala sesuatu. Dan shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shollallhu ‘alaihi wa sallam.
Hisyam bin Isma’il bin Ali Ash Shini

BAB I : KAIDAH UMUM MENILAI ORANG
1.1.       Takut Kepada Allah
Ghibah termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Di dalam kitab-Nya, Allah ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah...” (Al Hujurat 12)
Tentang ghibah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Tahukan kalian apa ghibah itu? Para sahabat menjawab:, Allah dan Rasul-Nya lebih menegtahui. Beliau berkata, kamu menceritakan saudaramu tentang sesuaut yang dia benci. Salah seorang bertanya, bagaimana pendapat anda jika yang saya katakan itu terdapat pada saudaraku tersebut? Beliau menjawab, jika apa yang kamu kataka itu terdapat pada saudaramu, maka kamu telah melakukan ghibah terhadapnya; da apabila yang kamu katakan itu tidak terdapat pada saudaramu, berarti kamu telah mengada-ngada terhadapnya.” (HR. Muslim, IV: 2001)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengaitkan kehormatan seorang muslim dengan kehormatan Hari Arafah, sebagaimana penuturan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu bahwa pada saat haji wada’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari kalian sekarang ini, di dalam bulan ini, dan di dalam negeri ini. Ketahuilah, bukankah telah aku sampaikan?” (HR. Muslim, II: 886-892)
Selain hadits tersebut, masih ada hadits lain yang menjelaskan tentang tingginya kehormatan seorang muslim, misalnya yang menyebutkan bahwa , merusak kehormatan seorang muslim merupakan perbuatan yang lebih jahat dari pada menzinahi ibunya sendiri. Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Riba itu ada tujuh puluh dua tingkatan. Tingkatan yang terendah adalah seperti seorang laki-laki menzinahi ibunya. Dan tingkatan yang tertinggi adalah seseorang yang merusak kehormatan saudaranya.” (Lihat as silsilatush shahihah, no. 1871)
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“ ... barangsiapa yang mencritakan seorang mukmin tentang sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka Allah akan menempatkannya dalam lumpur nanah yang keluar dari tubuh penduduk neraka sampai ia meninggalkan apa yang dia katakan, sedangkan dia tidak dapat meninggalkannya.” (HR. Ahmad II: 70, Hakim II: 27, Daud II: 117, dan berkata sanadnya shahih, dan disepakati oleh adz Dzahabi. Lihat as silsilatush shahihah, no. 437; irwa’ul ghalil, no. 2318)
Abdurahmna bin Ghanam menyatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang apabila dipandang, maka dapat mengingatkan kepada Allah. Dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang senang mengadu domba, merusak jalinan cinta kasih (di antara hamba-hamba Allah), dan senantiasa membuat kesempitan (kesulitan) terhadap orang yang tidak bersalah.” (HR. Ahmad, IV: 227)
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Wahai orang-orang yang telah berislam pada lisannya, namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan mencela mereka, dan jangan membuka aurat mereka. Barangsiapa membuka aurat saudara se-Islam, maka Allah akan membuka pula auratnya. Dan barangsiapa yang Allah buka auratnya, niscaya Allah akan mengungkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (HR. Tirmidzi, no. 2032; shahih menurut Al Bani, lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, II: 200; lihat pula al musnad, IV: 421-424)
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari perbuatan ghibah, sebagaimana perlindungan Allah Ta’ala kepada kaum salaf (yaitu para sahabat Rasulullah, dan beberapa geneasi setelah mereka yang masih lurus mengikuti jejak langkah mereka, serta belum melakukan penyimpangan – ed.). Kaum salaf rahimahullah adalah kaum yang paling takut dan sangat menjauhi perbuatan ghibah. Misalnya Bukhari rahimahullah menyatakan, “Saya mendengar Abu ‘Ashim berkata: ‘semenjak saya mengetahui bahwa ghibah itu haram, maka sejak saat itu saya tidak pernah sekalipun melakukan perbuatan ghibah terhadap seorang pun.’” (Lihat at Tarikhul Kabir, IV: 336)
Pada kesempatan lain, Bukhari berkata: “Saya berharap, semoga aku menemui Allah dalam keadaan tidak menghisabku, bahwa saya telah melakukan ghibah terhadap seseorang.” (Bukhari memang sering memberikan penilaian negatif maupun positif terhadap para perawi hadits, dan beliau khawatir kalau-kalau Allah menganggap bahwa penilainnya itu termasuk ghibah –ed).
Tentang perkataan Bukhari tersebut, adz Dzahabi berkomentar, “Bukhari rahimahullah benar. Barangsiapa melihat perkataan beliau dalam al Jarhu wa Ta’dil (dalam memberikan penilaian positif dan negatif terhadap perawi hadits), tentu ia akan mengetahui kewara’annya (kerendahannya) dalam membicarakan seseorang, dan ia akan melihat keadilan (kehati-hatian) beliau dalam menyatakan seorang perawi itu lemah. Seperti ucapan beliau, ‘bila saya mengatakan bahwa si fulan perkataannya haditnya) perlu diteliti kembali, maka si fulan itu tertuduh lemah. Inilah makna perkataan Bukhari sebagaimana tersebut di atas.” (Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, XII: 439)
Bukhari rahimahullah juga telah berkata, “Saya tidak melakukan ghibah sama sekali terhadap seorang pun, semenjak saya mengetahui bahwa ghibah itu membahayakan pelakunya.” (Lihat Siyar A’lamin Nubala’, XII: 441)
Kaum salaf rahimahullah senantiasa melakukan koreksi terhadap dirinya tentang perbuatan ghibah yang mungkin mereka lakukan. Misalnya, Ibnu Wahbin rahimahullah telah berkata, “saya telah bernadzar, bahwa setiap kali (jika) saya berbuat ghibah terhadap seseorang, maka saya akan shaum satu hari. Karena nadzar ini, saya menjadi hati-hati, namun saya masih juga melakukan ghibah lalu saya shaum. Kemudian saya berniat, bahwa setiap kali (jika) saya melakukan ghibah terhadap seseorang, maka saya akan bersedekah dengan dirham. Karena saya mencintai dirham, akhirnya, saya berhasil meninggalkan ghibah.” Adz Dzahabi berkata, “Demi Allah, demikian itulah keadaan ulama. Dan seperti inilah buah dari al ‘Ilmu an Nafi’ (ilmu yang bermanfaat).” (Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, IX: 228)
Sesungguhnya, bagi orang yang berbuat ghibah, maka kebaikannya (pahalanya) akan dipindahkan oleh Allah kepada orang yang dighibahinya. Abdurahman bin Mahdi rahimahullah pernah berkata, “Seandainya saya tidak membenci perbuatan maksiat (seseorang) kepada Allah, niscaya saya harapkan benar-benar agar semua orang yang ada di Mesir ini melakukan ghibah terhadap diriku.” (Siyar A’lamin Nubala’, IX: 195)
Di masa sekarang, mungkin saja seorang da’i merasa perlu melakukan ghibah terhadap seseorang, dalam rangka berdakwah, dan dengan tujuan untuk meluruskan penyimpangan yang terjadi. Namun, sebelum ia membicarakan orang lain, ia harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:
·         Seorang da’i harus bertanya kepada dirinya, apakah motivasi sesungguhnya, sehingga ia merasa perlu membicarakan seseorang? Apakah motivasinya adalah ikhlas karena Allah, Rasul-Nya, dan (karena kepentingan) kaum muslimin? Ataukah karena dorongan hawa nafsunya, yang jelas maupun yang tersembunyi? Atau mungkin pula karena hasad dan benci terhadap sesorang?
Ketahuilah, bahwa sebagian besar ghibah yang dilakukan oleh seseorang, memiliki motivasi yang tercela, yaitu: kebencian, iri hati, sakit hati, dan benci, dendam ataupun persaingan. Meskipun, seseorang mengatakan bahwa motivasinya adalah untuk memberi nasihat dan menginginkan kebaikan. Di sinilah, banyak manusia tergelincir ke lembah ghibah, sementara ia tidak menyadari akan ketergelincirannya, kecuali jika ia meneliti secara seksama dan benar-benar ikhlas karena Allah semata (Insya Allah ia tidak akan tergelincir). (Lihat: lil mu’allimi fit tankil, II: 180)
·         Mempelajari keadaannya, apakah dalam keadaan tersebut, diperbolehkan ghibah atau tidak? (Lihat apa yang disebutkan oleh Asy Syaukani di dalam Ra’fur Raibah Amma Yajuzu wama la Yajuzu Minal Ghibah)
Beberapa ghibah yang dibolehkan syariat antara lain: orang yang dizalimi menceritakan kepada hakim tentang orang yang menzaliminya, meminta pertolongan kepada seseorang dengan cara menceritakan bahwa seseorang telah melakukan kemungkaran, menceritakan seseorang kepada mufti untuk meminta fatwa, menceritakan keburukan seseorang kepada kaum muslimin karena dikhawatirkan dapat membahayakan umat Islam, menyebut seseorang dengan panggilan yang bukan namanya namun hal itu sudah lazim, membicarakan orang yang secara terang-terangan berbuat kemungkaran. Lihat: Riyadhush Shalihin, hal. 639-641)
·         Perbanyaklah merenung akibat yang mungkin ditimbulkan oleh ghibah. Misalnya, ia harus merenungkan, seandainya di hari kiamat Allah bertanya, “Wahai hamba-Ku, mengapa kamu membicarakan si fulan begitu?” hendaknya ia mengingat, ia pun mengingat firman Allah Ta’ala:
“.... dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Baqarah 235)
Ibnu Daqiqil-id rahimahullah telah berkata, “kehormatan manusia merupakan salah satu jurang di antara jurang-jurang neraka, (dan) para ahli hadits serta para ahli hukum berdiri di atasnya.” (Lihat: Thabaqathus Syafi’iyatil Kubra, II: 18) (maksudnya, seseorang yang pekerjaannya tidak terlepas dari membicarakan banyak orang, seperti: ahli hadts, ahli hukum, pengacara, penyiar ataupun wartawan, maka apabila ia memberikan penilaian yang salah terhadap seseorang sehingga merusak kehormatannya, niscaya ia akan terjerumus ke dalam jurang neraka. Amal perbuatan yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam jurang neraka itu banyak, salah satunya adalah merusak kehormatan seorang muslim – ed).

1.2.        Mendahulukan Baik Sangka
Mendahulukan baik sangka merupakan kaidah umum dalam mengkritik dan menilai orang lain, yang bersumber dari firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah...” (Al Hujurat 12)
Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar menjauhi prasangka. Sebab, sebagian dari prasangka termasuk perbuatan dosa. Kemudian Allah Ta’ala melanjutkan perintah tersebut dengan larangan mencari-cari kesalahan orang lain. Hal ini menunjukkan, bahwa mencari-cari kesalahan biasanya tidak akan terjadi, kecuali setelah seseorang melakukan prasangka buruk.
Pada haikatnya, syari’at islam menjamin kerahasiaan seorang muslim yang tidak kita ketahui, sehingga terhadap perbuatan seorang muslim yang tidak kita ketahui, maka kita wajib menganggap seluruh perbuatannya baik (inilah yang disebut husnuzzhan, bersangka baik –ed).
Ketika kita mendengar aib seorang muslim sedang dibicarakan oleh muslim yang lain, maka kita tidak boleh begitu saja mempercayai berita tersebut, bahkan harus bersungguh-sungguh mengingkarinya.
Ketika tersiar berita bohong yang ditujukan kepada Aisyah Ummul Mu’minin, banyak umat Islam yang termakan oleh berita tersebut. Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan sikap yang benar, yang semestinya dilakukan oleh setiap muslim, sebagaimana firman-Nya:
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An Nur 12)
Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan, bahwa perkara menyebarkan dan mengatakan berita bohong, merupaka perkara yang besar, bukan perkara sepele, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“(ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar.” (An Nur 15)
Setelah umat Islam menyadari betapa buruknya akibat dari penyiaran berita bohong, maka Allah memperingatkan kepada kita agar tidak sekalipun mengulangi perbuatan dosa besar tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (An Nur 17)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, bahwa sekedar mengabarkan berita buruk tentang orang lain, tanpa dilandasi kepentingan syar’i dan penelitian kebenarannya, termasuk perbuatan dosa. Allah Ta’ala berfirman:
“....tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. ...” (An Nur 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Cukuplah seseorang itu dikatakan dusta bila ia mengatakan setiap apa yang didengarnya.” (HR. Muslim di dalam Muqaddimah Ash Shahih, no. 5)
Di dalam Muqaddimah Ash Shahih Imam Muslim membuat suatu bab dengan judul “Bab larangan membicarakan setiap apa yang didengar”. Kemudian di bawahnya beliau mencantumkan hadits tersebut di atas. Selain itu, beliau juga mencantumkan perkataan Imam Malik kepada Ibnu Wahbin,  “Ketahuilah bahwa tidak selamat (dari cacat), seorang yang mengucapkan setiap apa yang didengarnya. Dan orang tersebut tidak akan menjadi seorang iman yang diteladani, sampai ia menahan sebagian dari apa yang dia dengar.” (Shahih Muslim, I: 10-11)
Allah Azza Wa Jalla memerintahkan kepada kaum muslimin, agar berlaku teliti terhadap berbagai berita yang ia dengar, sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al Hujurat 6)
1.3.        Berdasarkan Ilmu dan Adil
Kaidah dalam mengkritik dan menilai orang lain haruslah berdasarkan ilmu dan keadilan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Maidah 8)
“Dan janganlah kamu merugika manusia terhadap hak-hak mereka.” (Hud: 85)
Tentang surat Al Maidah ayat 8 sebagaimana tersebut di atas, Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Muhammad Rasulullah, hendaklah kamu memiliki akhlak dan sifat menegakkan kebenaran, menjadi saksi dengan adil terhadap temanmu maupun musuhmu. Janganlah berlaku zalim di dalam hukum dan perbuatanmu. Jika kamu memusuhi suatu kaum, janganlah sekali-kali hal tersebut membuatmu menjadi berbuat tidak adil dalam menghukumi serta meperlakukan mereka, yang mengakibatkan kamu berbuat zalim kepada mereka.” (Lihat: Tafsir Ibnu Jarir, X: 95, ditahqiq oleh Ahmad Syakir, kutipan ringkas)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “membicarakan manusia haruslah berdasarkan ilmu dan keadilan, tidak boleh berdasarkan kejahilan dan kezaliman, seperti yang diperbuat ahli bid’ah.” (Minhajus sunnatin Nabawiyyah, IV: 337)
Tentang biografi Al Fudhail, Adz Dzahabi berkata, “Apabila para pembesar terdahulu tidak terlepas dari pergunjingan orang-orang, maka tentu orang yang seperti Fudhail pun tidak luput dari pembicaraan manusia. Namun, apabila seseorang telah memiliki keimanan dan kebaikan yang banyak, niscaya pergunjingan manusia tentang dirinya, tidak sedikit pun akan membahayakannya. Sesungguhnya membicarakan ulama membutuhkan sikap keadilan dan kewara’an.” (Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, VIII: 448)
Tentang manhaj yang benar dalam membicarakan seseorang, apalagi membicarakan ulama, dapat kita lihat contoh yang diberikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika ia berkata, “Abu Dzar (panggilan untuk Abad bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ghafir Al Hirawi Al Anshari, bukan Abu Dzar sahabat Nabi) adalah orang yang memiliki ilmu, din, dan pengetahuan tentang hadits dan sunnah. Riwayat beliau dari tiga syekhnya diterima dalam periwayatan Bukhari. Dia pernah ke Bagdad dari Hirah, lalu mengambil Tariqoh Ibnul Baqilani dan membawanya ke Haram. Kemudian ia dan tariqahnya dibicarakan oleh Abu Nashr As Sajazi, Abul Qasim Sa’ad bin Ali Az Zinjani, dan beberapa yang lainnya dari kalangan ahli ilmu dan din. Beliau termasuk orang yang mengutamakan tariqah Al Mabghi dan As Tsaqafi daripada Tariqah Ibnul Khuzaimah dan lainnya dari kalangan ahli hadits. Penduduk Maghrib (Maroko) berhujjah dengan perkataannya, lalu orang-orang mempelajari hadits serta tariqah yang ia ajarkan, ia menuntun orang-orang hingga mengetahui dasar-dasarnya. Lalu, di antara murid-murid Abu Dzar ada yang pindah ke Masyriq, seperti Abul Walid Al Baji, yang kemudian mengambil Tariqah Abu JA’far As Samnani Al Hanafi (sahabat Qadhi Abu Bakar). Tak lama kemudian, Qodhi Abu Bakr pindah. Lalu Abu Dzar mengambil Tariqah Abul Ma’ali.
Kita harus bersyukur, bahwa tidak seorang pun di antara para ‘alim, melainkan masing-masing memiliki usaha dan peran dalam membantah penyimpangan dan bid’ah, lalu membela ahllus sunnah dan Dinul Islam. Semua upaya tersebut diketahui oleh orang-orang yang mengenal mereka, yang membicarakan mereka dengan keadilan dan ilmu. Suatu ketika, beberapa ‘alim mengalami kerancuan dalam memahamai prinsip-prinsip Dinul Islam, yaitu mereka terpengaruh oleh ajaran kaum Mu’tazilah, sehingga mereka mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pemahaman ulama ahli ilmu dan din. Maka, diantara manusia ada yang mengagungkan mereka karena kebaikan dan kemuliaannya. Namun ada juga yang mencela mereka karena pendapat mereka telah terhinggapi bid’ah dan kebatilan. Sebaik-baik ucapan adalah pertengahan (tidak hanya memuji tidak hanya mencela, namun memuji kebaikannya dan mencela kejelekannya – ed).
Dari kalangan ahli ilmu dan din, terdapat beberapa orang yang berbuat kekeliruan dan kesalahan. Dan Allah Ta’ala senantiasa menerima semua perbuatan baik hamba-Nya, dan mengampuni kesalahan orang-orang yang meminta ampun kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al Hasyr 10)
Tidak diragukan lagi, bahwa barangsiapa bersungguh-sungguh mencari kebenaran dalam din, yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian melakukan beberapa kesalahan yang tidak ia sengaja, maka Allah akan mengampuni kesalahannya. Hal ini sebagaimana doa Rasulullah dan kaum mukminin kepada Allah Ta’ala yang terdapat dalam firman-Nya:
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (Al Baqarah 286) (Lihat Dar’u Ta’arudhil ‘Aqdi wan Naql, II: 101-103)
Dari penuturan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tersebut di atas, kita memahami, bahwa seorang muslim tidak dibenarkan membicarakan orang lain kecuali dengan landasan ilmu dan keadilan. Barangsiapa membicarakan orang lain tanpa didasari ilmu dan keadilan, maka ia telah menyalahi Al Kitab dan As Sunnah, serta menyimpang dari manhaj As Salafus Shalih. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al Isra 36)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Maidah 8)
Membicarakan seseorang tanpa dilandasi pengetahuan, dengan cara yang zalim, dan berdasarkan hawa nafsu, merupakan penyebab kerusakan hati, timbulnya permusuhan dan kedengkian, serta melenyapkan kesatuan da kekuatan kaum muslimin. Da hanya Allah lah tempat kita memohon pertolongan dari semua keburukan tersebut.
1.4.       Adil Dalam Mensifati
Kaidah keempat yang harus dimiliki oleh seorang muslim ketika membicarakan orang lain adalah ia harus adil dalam mensifati seseorang, sehingga tidak merugikan hak-hak orang yang ia bicarakan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu merugika manusia terhadap hak-hak mereka.” (Hud: 85)
Adil dalam mensifati orang lain adalah adil dalam menyebutkan keburukan dan kebaikannya, lalu membandingkan mana yang lebih banyak, keburukannya ataukah kebaikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Setiap anak Adam tidak terlepas dari kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad, III: 198, Tirmidzi, IV: 659, Ibnu Majah, II: 1402, Lihat Shahihul Jami’, no. 4515)
“Tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan, dan tidaklah sepatutnya (kita) melenyapkan kebaikan-kebaika seseorang karena suatu kesalahan. Sebagaimana halnya air, apabila telah mencapai dua kulah, maka air itu tidaklah mengandung kotoran.” (ini lafazh riwayat hadits Ad Darimi, 737-738; ad Daruquthni, I21-22. Ibnul Qayyim telah menjelaskan dalam studinya terhadap Sunan Abu Daud, Lihat A’unul Ma’bud, I: 105-125dan Irwa’ul Ghalil, I: 60)
Apabila seorang muslim mensifati orang lain, maka tidak patut ia melupakan kebaikan-kebaikannya dikarenakan kebencian dan permusuhan terhadap orang yang disifati. Allah Ta’ala telah mendidik manusia dengan pendidikan yang sebaik-baiknya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan janganlah kamu merugika manusia terhadap hak-hak mereka.” (Hud: 85)
Banyak terjadi, manusia membicarakan keburukan orang lain, tanpa diimbangi membicarakan kebaikan-kebaikannya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan rasa dengki, permusuhan, ataupun persaingan antara yang membicarakan dan yang dibicarakan.
Seorang yang adil dalam membicarakan orang lain, ia akan menyebutkan kesalahan, sekaligusjuga menyebutkan kebaikan-kebaikannya, serta tidak merugikan hak orang yang sedang dibicarakannya, meskipun orang tersebut memiliki madzhab, aqidah, serta din yang berbeda dengan orang yang membicarakan.
Di antara ulama, yang terkenal keadilannya dalam membicarakan orang lain adalah Al Hafizh Adz Dzahabi rahimahullah, yang menulis kita Siyar A’lamin Nubala’. Di dalam kitab tersebut, adz Dzahabi menulis biografi para ‘alim, dan tokoh-tokoh masyarakat, baik yang akidahnya lurus, yang bid’ah maupunn yang fasik dan menyimpang. Beliau membicarakan mereka secara adil, tidak mengurangi hak mereka dalam menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Berikut ini beberapa contoh yang ditulisoleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’:
·         Tentang Abdul Warits bin Sa’id, Adz Dzahabi berkata, “dia termasuk seorang yang alim, dermawan, ahli din dan wara’. Hanya saja, dia itu termasuk seorang qadari da pelaku bid’ah.” (Siyar A’lamin Nubala’, VIII: 301)
·         Tentang al Hakim bin Hisyam, Adz Dzahabi menyatakan, “Dia adalah raja yang diktator, fasik dan lalim. Dia termasuk pahlawan yang berani, namun licik dan sombong. Dia telah berkuasa sejak umur dua puluh tujuh tahun.” (Siyar A’lamin Nubaa’, VIII: 254)
·         Tentang Al Waqidi, Adz Dzahabi menyatakan, “Meskipun tidak ada yang memperselisihkan tentang kelemahan Al Waqidi (dalam meriwayatkan hadits), naum ia adalah orang yang lisannya benar dan potensinya besar.” (Siyar A’lamin Nubala’, VII: 142)
·         Tentang Al Ma’mun yang memunculkan fitnah, yaitu ketika ia berkata bahwa Al Qur’an adalah makhluk, lalu ia memaksakan pendapatnya kepada para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Adz Dzahabi berkata, “Dia termasuk tokoh Bani Abbas dalam hal tekad, akal, wibawa, dan kesabaran. Secara umum kebaikannya banyak.” (Siyar A’lamin Nubala’, X: 273)
·         Dalam menjelaskan biografi Al Jahizh, seorang sastrawan yang mu’tazili, Adz Dzahabi menyatakan, “Dia sangat pandai, memiliki berbagai macam ilmu, dan termasuk salah seorang cendekiawan. Namun rasa malunya sedikit, pengetahuannya tentang din dan juga sedikit serta memiliki beberapa keganjilan.” (Siyar A’lamin Nubala’, XI: 256)
·         Tentang Qur’ah bin Tsabit, Adz Dzahabi berkata, “Ia termasuk seorang yang murtad dan celaka. Pada zamannya, ia adalah seorang dilosof terkenal keras kepala, namun otaknya cemerlang.” (Siyar A’lamin Nubala’, XIII: 285)
·         Mengenai biografi Ahmad As Sarkasi, Adz Dzahabi menceritakan, “Ia nadalah seorang filosof terkenal yang memiliki berbagai macam karangan. Ia termasuk lautan ilmu yang tidak bermanfaat.” (Siyar A’lamin Nubala’, XIII: 448)
·         Mengenai biografi Al Khayyath Al Mu’tazil, Adz Dzahabi berkata, “Dia adalah syeikh Mu’tazilah Baghdad. Ia memiliki kecerdasan yang luar biasa dan karangan-karangan yang baik. Dia termasuk lautan ilmu. Di kalangan kaum Mu’tazilah, ia memiliki kehormatan menakjubkan.” (Siyar A’lamin Nubala’, XIV: 220)
·         Mengenai biografi Al Juba’i, Adz Dzahabi berkata, “ia sering berlaku bid’ah, namun ia termasuk orang yang berpengetahuan luas dan otaknya encer. Dia mampu menundukkan perkataan orang (yang menyerangnya) lalu mengendalikannya, dan ia memudahkan apa yang dirasa sulit olehnya.” (Siyar A’lamin Nubala’, XIV 183)
·         Mengetahui biografi Ibnul ‘Amid, Adz Dzahabi berkata, “Dia mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam mengarang dan balaghah (ilmu bicara atau komunikasi yang disertai dengan gaya bahasa dan sastra, sehingga indah, mudah difahami dan fasih –ed.) hingga ucapannya banyak dikutip menjadi pepatah. Orang mengatakan, bahwa ia adalah Al Jahizh kedua. Dan orang mengatakan pula, bahwa ia mulai menulis dengan Abdul Hamid dan menutupnya dengan Ibnul ‘Amid. Aka tetapi, meskipun ilmunya luas, dia tidak mengetahui apa itu syara’, dan dia hanya berfilsafat.” (Siyar A’lamin Nubala’, XVI: 137)
Masih banyak lagi contoh-contoh yang lain, yang dapat anda baca secara lengkap dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’,karya Adz Dzahabi.
Manhaj yang digunakan Adz Dzahabi dalam mensifati orang lain adalah suatu manhaj ilmiah yang sempurna, yang berdasarkan keadilan. Manhaj tersebut adalah manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam  menilai orang lain. Manhaj ini bersumber dari Al Qur’anul Karim, di antaranya firman allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka.” Serta ayat-ayat yang semisal dengannya.
Kepada setiap orang yang menginginkan keadilan, sepatutnya tidak menyimpang dari mahaj yang lurus ini, dan hendaklah selalu bertakwa kepada Allah ketika membicarakan orang lain, agar selalu berbicara dengan adil dan obyektif. Semoga Allah memberikan taufiq kepada orang yang senantiasa berlaku adil dan berbuat kebaikan.
1.5.       Melihat Banyak Kebaikan
Sesungguhnya air, bila telah mencapai dua kulah (sekitar satu meter kubik), niscaya tidak lagi mengandung kotoran. Maka, barangsiapa yang kebaikannya telah mengalahkan kesalahannya, maka orang tersebut akan diampuni Allah Ta’ala.
Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah berkata, “Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain, yang kesalahannya (mungkin) hanya sedikit sedangkan kebaikannya banyak.” (Lihat tulisan Ibnu Rajab dalam Al awa’id, hal. 3)
Perkataan Ibnu Rajab termasuk manhaj yang benar dalam menilai orang lain. Sebab, setiap orang tidak mungkin terlepas dari kesalahan. Barangsiapa yang kesalahannya sedikit, sedangkan kebaikannya banyak, maka ia berada di atas kebaikan yang banyak.
Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam’ah dalam menilai orang lain adalah mana yang lebih sering, apakah lebih sering baiknya atau lebih sering buruknya, dan hal itu dipandang secara adil.
Al Hafizh Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kami mencintai sunnah dan ahlinya. Kami mencintai orang ‘alim karena apa yang melekat pada dirinya berupa ittiba’ dan sifat terpuji. Kami membenci bid’ah yang dita’wil secara amat toleran. Kami mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan banyaknya keadilan.” (Siyar A’lamin Nubala’, XX: 46)
Menurut penuturan Adz Dzahabi, Abul Hasan As Safar berkata, “Ketika ditanya tentang tafsir Abu Bakr Al Qafal, saya mendengar Abu Sahl Ash Sha’luki menjawab, ‘Dia terpuji dari satu sisi dan tercela dari sisi yang lain, yaitu pembelaannya terhadap mu’tazilah.’”
Adz Dzahabi mengatakan, “Kematiannya (Abu Bakr Al Qafal ed.) telah berlalu, dan kelebihan yang dia miliki langka. Sesungguhnya seorang alim itu hanya dipuji karena banyaknya kebaikannya. Kebaikan-kebaikan yang telah ia perbuat janganlah dilupakan hanya karena ia tergelincir dalam suatu kesalahan. Mungkin saja ia kini telah keluar dari kesalahannya (pada saat dibicarakan, mungkin sudah berubah dari buruk menjadi baik, dari salah menjadi benar –ed.) dan dapat saja Allah mengampuninya karena ia berusaha secara sungguh-sungguh menari kebenaran. Dan tidak ada kekuatan kecuali karena pertolongan Allah.” (Siyar A’lamin Nubala’, XVI: 285)
Tentang biografi Ibnu Hazm, Adz Dzahabi berkata, “Dalam rangka menolak Qiyas, dia menyusun berbagai macam kitab, mendiskusikannya, dan mengerahkan lisan serta penanya. Dia tidak bertatakrama dalam ucapannya terhadap para imam, bahkan mencaci maki mereka. Maka balasan yang ia terima pun setimpal dengan jenis amalannya, yaitu para imam berpaling dari karya-karyanya, bahkan terkadang membakarnya. Namun, sebagian ulama memperhatikan karyanya, lalu mengoreksinya dan mengambil manfaat darinya. Di dalam karyanya, terdapat mutiara yang berharga, namun bercampur dengan bebautan yang tak ternilai. Terkadang sebagian ulama tersebut merasa senang, terkadang merasa heran, dan terhadap keganjilan yang mereka temui, mereka meninggalknannya. Secara umum, kelebihan Ibnu Hazm itu langka. Terhadap semua orang, perkataannya dapat diambil dan dapat pula ditinggalkan, kecuali perkataan Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam. Ibnu Hazm telah bangkit dengan ilmu yang melimpah, periwayatannya baik, dan memiliki din dan kebaikan, serta tujuannya mulia. Karya-karyanya bermanfaat, dia tidak berambisi terhadap kepemimpinan, dan menetapi kedudukannya yaitu menekuni ilmu. Oleh karena itu, saya tidak berlebihan terhadapnya, dan tidak pula menyingkirkannya, karena beberapa tokoh sebelum kita telah memujinya.” (Siyar A’lamin Nubala’, XVII: 186-187)
Ibnu Hazm adalah pendiri madzhab Az Zhahiri, sebuah madzhab yang hanya menerima dalil yang tersurat atau yang zhahir. Misalnya, Rasulullah telah melarang seseorang kencing pada air yang tidak mengalir, dan melarang mandi dengan air tersebut. kata Ibnu Hazm dan pengikutnya, yang dilarang adalah kencing, kalau buang air besar, maka tidak dilarang. Contoh yang lain, Rasulullah pernah melarang genderang dan alat musik. Kata penganut Zhahiri, Rasulullah belum pernah melarang piano, gitar, ataupun biola, maka semua itu boleh. Anda dapat membaca argumentasi Ibnu Hazm beserta pengikut kaum Zhahiri dalam menghalalkan musik dan lagu, lihat HARAMKAH MUSIK dan lagu tulisan Abu Bakr Jabir Al Jariri, WALA PRESS. Ibnu Hazm juga memiliki paham yang tidak mengakui adanya qiyas. Qiyas berarti analogi. Ulama Ahlus Sunnah berdalil dengan Qiyas, misalnya pada masa Rasulullah zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk gandum atau kurma, lalu untuk negara-negara lain, diqiyaskan dengan makanan pokok, boleh beras, boleh singkong, atau sagu. Contoh lain, seseorang bertanya kepada Rasulullah, bolehkah mencium isteri ketika sedang shaum, lalu Rasululalh menjawab dengan mengkiyaskan pada kumur-kumur. Karena berkumur tidak membatalkan shaum, maka mencium istri pun tidak membatalka shaum. Ibnu Hazm tidak mau berdalil dengan qiyas –ed.
Tentang cara menilai para ‘alim tersebut, dapat kita lihat kembali perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Dar’u Ta’arudhil ‘Aql Wan Naql, II: 101-103 (sebagaimana terdapat pada subbab 1.3 “Berdasarkan ilmu dan adil” –ed.)
Tentang kaidah kelima, yaitu harus mempertimbangkan banyaknya kebaikan, maka kita dapatkan ungkapan yang amat baik, yang tampaknya dapat kita jadikan kaidah untuk memperkuat kaidah kelima tersbeut, yaitu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Pertimbangan itu didasarkan pada kesempurnaan (di) akhir, bukan pada kekuangan (di) awal.” (Lihat Minhajus Sunnatin Nabawiyah, VIII: 412)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Umumnya, pujian atau celaan yang ditujukan kepada seseorang, disebabkan oleh dua hal, yaitu karena ia melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Kalau seseorang dicela karena melakukan perbuatan (dosa), maka jangan lupa, bahwa ia juga dicela karena meninggalkan perbuatan (baik). Demikian pula, jika seseorang dipuji karena melakukan sunnah, maka jangan lupa, bahwa ia juga (harus) dipuji karena meninggalkan bid’ah atau dosa. Beginilah cara membuat suatu perbandingan keadilan. Barang siapa menggunakan cara seperti ini, maka ia telah menegakkan keadilan. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan Al Kitab serta neaca keadilan agar manusia menegakkan keadilan.” (Lihat Al Fatawa, X: 366, kutipan ringkas)
Tidaklah kontradiktif, apabila dari satu sisi seseorang itu dicintai dan dikasihi, namun dari sisi lain, ia dihukum dan dibensi. (Al Fatawa, XV: 294) (ada istilah “al hubb fillah wal bughdu fillah,” seseorang itu bercinta karena Allah dan membenci pun karena Allah pula. Seseorang itu arus dicintai kebaikannya, namun pada saat yang sama, ia dibenci kemaksiatannya. Tidak mencintai seseorang secara mutlak, ataupun membenci seseorang secara mutlak –ed.)
Barangsiapa menempuh manhaj yang adil, maka seseorang akan mengagungkan orang yang berhak diagungkan, lalu mencintainya, dan setia kepadaya, karena hal ini adalah haknya. Seseorang itu memiliki kebaikan dan keburukan, lalu dipuji dan dicela, dibalas kebaikannya dan dihukum (karena kesalahannya), dicintai dan dibenci. Inilah manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang berbeda dengan manhaj kaum Khawarij, Mu’tazilah, dan manhaj lain yang menyimpang.” (Minhajus Sunnatin Nabawiyyah, IV: 543)
Banyak mausia yang hanya melihat aib seseorang namun melupakan kebaikan-kebaikannya. Seperti perkataan Asy Syatibi rahimahullah, “Seandainya engkau (berlaku) benar sembilan puluh sembilan kali, dan (berbuat) salah satu kali, niscaya manusia aka memperhitungkan (dan selalu mengingat) yang satu itu.” (Siyar A’lamin Nubala’, III: 308) 
1.6.       Membandingkan Kebaikan Secara Adil
Kaidah yang keenam dalam menilai seseorang yaitu harus adil dalam membandingkan keutamaan di antara manusia. Kaidah ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat 13)
Ketika ditanya, “Siapakah yang paling mulia di antara manusia?” lalu Rasulullah menjawab,
“Orang yang mulia di antara mereka di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka.” (HR. Bukhari, no. 3353, 4689; Muslim, IV: 1846)
Ada dua macam pengutamaan (tafdhili) terhadap seseorang, yaitu: Tafdhil mutlak dan tafdhil muqayyad.
Tafdhil Mutlak, yaitu pengutamaan seseorang didasarkan pada ketakwaan da keimanannya. Ukuran ketakwaan dan keimanan adalah apa yang tampak dari lahirnya, sedangkan keadaan batinnya termasuk urusan Allah. Bila kita melihat seseorang lebih bertakwa, keimannya lebih kuat, ibadahnya lebih sempurna dibandingkan yang lain, maka kita lebih mencintainya karena Allah.
Tafdhil Muqayyad, adalah pengutamaan (seseorang) yang didasarkan pada batasannya, misalnya: ilmu, kecerdasan, pemahaman, kekuatan hafalan, kemampuan manajerial, dan lain-lain. Penguatan seseorang tergantung dari kebutuhannya, dan tidak berkaitan dengan keutamaan yang ada di sisi Allah Ta’ala. Misalnya, seperti perkataan Adz Dzahabi terhadap As Sahruwardi, “Otaknya cemerlang, hanya saja, pengetahuannya tentang din sedikit.”
Kaum salaf ridhwanallah ‘alaihim memiliki kaidah, bahwa mereka tidak mengutamakan seseorang, kecuali setelah Allah dan Rasul-Nya mengutamakan orang tersebut. dan mereka tidak mengakhirkan (atau mencela) seseorang, kecuali setelah Allah dan Rasul-Nya mengakhirkan (atau mencela) orang tersebut.
Patut kita perhatikan, bahwa amalan hati seorang hamba dan keutamaan iman dalam hatinya, dapat mengangkat derajat pemilik hati tersebut ke tingkat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Mungkin saja, seorang hamba yang diberi umur panjang, lalu menghabiskan waktunya untuk berbuat kebaikan, beribadah dan berdakwah di jalan Allah, tidak lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang hamba yang diberi umur pendek, dan anal ibadahnya tidak lebih bayak. Kemungkinan seperti ini telah terjadi pada kehidupan para nabi.
Misalnya, Nabi Nuh ‘alaihissalam diberi umur panjang hingga 950 tahun, selama itu ia senantiasa beribadah dan berdakwah di jalan Allah. Sementara itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya diberi waktu untuk beribadah dan berdakwah di jalan Allah kira-kira selama 23 tahun setelah diangkat menjadi Rasul. Namun demikian, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diangkat menjadi pimpinan Bani Adam, dan di sisi Allah keutamaannya melebihi para nabi yang lain. Ia memiliki kedudukan yang terpuji, dipercaya menjadi pembawa janji kemuliaan pada hari kiamat, sedangkan nabi yang lain berada di belakang Muhammad. Kenyataan seperti ini, tidak lain disebabkan oleh keadaan hati atau batin Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih suci, lebih sempurna tauhidnya, dan lebih murni ibadahnya.
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nabi yang atas kehendak Allah, telah disucikan hatinya oleh malaikat, yaitu ketika ia masih berumur anak-anak, sebelum diangkat menjadi rasul. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga termasuk nabi yang tidak pernah meminta kebinasaan terhadap kaumnya yang melakukan kezaliman, seperti doanya kepada Allah, “Ya allah, tunjukilah kaumku, sesungguhnya mereka termasuk kaum yang tidak mengetahui.” Ini keikhlasan dan kesucian hatinya. Sedangkan kita dapat membaca kisah beberapa nabi lain yang (tampaknya) tidak semulia sikap Muhammad. Misalnya, Nabi Nuh ‘alaihissalam pernah meminta azab untuk kaumnya yang zhalim (yaitu ditenggelamkan). Nabi Yunus ‘alaihissalam pernah meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah, lalu ia ditelan ikan besar di tengah lautan. Nabi Musa ‘alaihissalam pernah merasa paling pandai, lalu Allah memerintahkan kepadanya agar berguru kepada Nabi Khidir. Dengan beberapa contoh ini tampak, bahwa Nabi Muhammad memiliki amalan batin yang lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Wallahu A’lam –ed.
Adapun dari segi banyaknya amal ibadah yaitu tampak dari banyaknya shalat, shaum, infaq fi sabilillah, komitmen dalam din, bertakw adan takut kepada Allah Ta’ala. Orang yang seperti ini, dapat kita sebutkan,misalnya: Hasan Basyri, Sa’id bin Musayyab, sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad dan yang lainnya. Akan tetapi, semua nama tersebut baik secara pribadi maupun secara jama’ah, tidak mencapai tingkatan Abu Bakr Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu. Bahkan, seluruh kaum muslimin pun tidak ungkin melebihi derajat Abu Bakr Ash Shidiq di sisi Allah Ta’ala.
Hal yang dapat memperjelas tentang pentingnya amalan hati adalah, bahwa pada hari kiamat ada nabi yang datang brsama seorang pengikut, atau dua orang pengikut, bahkan ada yang tanpa pengikut seorang pun. Namun, kita tidak meragukan sedikit pun bahwa para nabi tersebut memuliki keutamaan yang melebihi keutamaa Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum atau orang lain yang setara dengan mereka. Padahal, banyak manusia masuk Islam melalui tangan mereka, banyak negeri ditundukkan di bawah panji Islam pada masa mereka, lalu mereka berdakwah di sekuruh negeri tersebut. hal ini menunjukkan bahwa amalan hati para nabi berupa tauhid dan ubudiyah lebih baik dibandingkan amal perbuatan anggota badan yang dilakukan para sahabat dan seluru manusia. Allah Ta’ala memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Bijaksana Lagi Maha Mengetahui.
Pengutamaan terhadap manusia hendaknya didasarkan pada keadilan, bukan pada hawa nafsu atau ta’asshub. Syaikhul Islam bnu Tamiyah telah berkata, “Barangsiapa menempuh cara yang adil, dia akan mengagungkan orang yang berhak diagungkan, mencintainya, loyal kepadanya, memberikan hak sesuai dengan proporsinya. Kemudian dia mengagungkan kebenaran dan menyayangi makhluk.” (Lihat Minhajus Saunnatina Nabawyah, IV: 543)
Tafdhil mutlak terhadap seseorang sulit diterapkan, sebab setiap orang memiliki keutamaan yang berbeda-beda, maka untuk membandingkan keutamaan di antara manusia hendaklah membatasi jenis keutamaannya. Tanpa adanya pembatasan, tentu manusia tidak akan benar dalam membandingkan keutamaan seseorang dengan lainnya. Inilah yang disebut tafdhil meuqayyad.
Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata, “perbedaan pendapat tentang mana yang lebih utama antara Aisyah dan Fatimah, akan dapat terjawab apabila jenis keutamaannya dibatasi. Jika yang ditanyakan adalah, siapa di antara Aisyah dan Fatimah yang lebih banyak pahalanya disisi Allah? Maka hal ini tidak mungkin dapat dijawab. Sebab, menyangkut amalan hati, bukan sekedar amalan anggota badan. Banyak terjadi, seorang hamba yang amalan anggota badannya lebih banyak, namun di surga deajatnya di bawah seorang hamba yangamalan anggota badannya lebih sedikit tetapi amalan hatinya lebih banyak. jika yang ditanyakan adalah, siapa di antara Aisyah dan Fatimah yang lebih utama dalam hal ilmu? Maka tidak diragukan lagi, bahwa Aisyah lebih beirlmu dan lebih memberi manfaat kepada umat Islam, baik dari kalangan umat yang khusus maupun dari kalangan umat sangant membutuhkan ilmu dari Aisyah. Jika yang dikehendaki adalah kemuliaan nasab atau keturunan, maka tidak diragukan lagi bahwa Fatimah lebih utama sebab ia merupakan keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan jika yang dipermasalahkan adalah kepemimpinan umat, maka Fatimah adalah pemimpin seluruh kaum muslimin.
Jika membandingkan keutamaan di antara manusia dengan batasan yang jelas, maka pembicaraan akan senantiasa berdasarkan ilmu dan keadilan.  Banyak manusia yang melakukan perbandingan keutamaan di antara seorang dengan lainnya, namun tidak memberikan batasan-batasna perbandingan, sehingga merugikan hak orang yang dibicarakan. Apalagi ketika membicarakan seseorang itu mengikut sertakan pengaruh ta’asshub dan hawa nafsu, maka ia telah berbocara secara jahil dan zhalim.
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang mana yang lebih utama antara orang kaya yang bersyukur dan orang fakir yang sabar, kemudian beliau menjawab, “Yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling bertakwa kepada Allah, dan jika ketakwaannya sama, maka sama pula derakat keutamaannya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mana yang lebih utama antara Khadijah dan Aisyah, lalu beliau menjawab, “Khadijah memiliki pengaruh di awal perkembangan Islam. Ia memberikan pertolongan dan pembelaan di awal Islam, dan dalam perkara ini, ia lebih utama dibandingkan Aisyah ataupun istri-istri Rasulullah lainnya. Sedangkan pengaruh di saat Islam sudah berkembang, Aisyah menyampaika ajaran-ajaran din kepada umat Islam secara luas, dan ilmu Aisyah tentang dinul Islam tidak tertandingi oleh Khadijah atau istri lain, maka dalam perkara inilahj keutamaannya.”
Bagi seorang muslim yang hendak membandingkan keutamaan di antara manusia, hendaklah memperhatikan empat hal berikut:
1.    Mengetahui sebab-sebab atau batasan keutamaan.
2.    Mengetahui tingkat, persentase, atau banyaknya masing-masing keutamaan, lalu membandingkannya dengan yang lain, dalam perkara yang sama.
3.    Mengetahui hubungan antara perbuatan dengan pelakunya, baik hubungan kuantitas (jumlah amal perbuatan) maupun kualitas (mutu amal perbuatan).
4.    Mempertimbangkan perbedaannya, misalnya perbedaan tempat, waktu, maupun situasi dan kondisinya.
Seringkali, seseorang memiliki sifat tertentu yang merupakan keutamaan bagi dirinya, dan sifat tersebut tidak dimiliki oleh orang lain. Misalnya, keutamaan Khalid bin Walid adalah sifat beraninya, keutamaan Ibnu Abbas adalah ilmu dan kefaqihanya, sedangkan keutamaan Abu Dzar adalah kezuhudannya.
Mengutamakan seseorang dengan suatu batasan keutamaan akan lebih mudah, lebih terhindar dari pengaruh hawa nafsu, serta lebih obyektif. Di sinilah letak masalah yang lebih sering menjerumuskan manusia dalam kejahilan dan kezhaliman, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala. Banyak orang yang merasa dekat  atau terkait dengan seseorang, lalu terbangkit keinginannya untuk mengutamakannya, dengan cara mencari semua kebaikannya, kadangkala sampai berlebihan (hingga mengkultuskan ed.), yaitu memandang orang lain seolah-olah tak memiliki keutamaan. Bila kita teliti, ternyata banyak manusia yang tidak terlepas dari cara yang keliru ini, yaitu cara membandingkan seseorang tanpa landasan ilmu dan adil. Dan Allah tidak meridhai manhaj yang salah ini.
Banyak di antara penganut madzhab, tariqat dan pengikut Syaikh, yang selalu mengutamakan madzhab, thariqat, atau syekh mereka masing-masing. Demikian pula, banyak golongan nasab, kabilah, penduduk kota, ikatan profesi, kelompok produksi, atau ikatan-ikatan lain, yang senantiasa mengutamakan ikatannya saja. Mungkin saja, seseorang yang melakukan pengutamaan terhadap kelompoknya atau iakatannya itu, ia memiliki ilmu yang luas dan wara’. Dan hal seperti ini terjadi, karena ia sedang berada di dalam kelompok atau iakatannya, sehingga pengutamaan terhadap kelompok, syaikh, atau ikatannya, dapat memberikan manfaat yang dapat langsung dia rasakan. Sementara itu, ia tidak mengetahui keutamaan orang lain, atau kelompok lain, semata-mata karena ketidaktahuannya. Maka, hendaklah jangan menutup mata terhadap keutamaan pihak-pihak yang lain. Sepatutnya ia membandingkan keutamaan di antara manusia secara adil, berdasarkan ilmu, bukan ta’asshub, dan tidak zhalim.” (Lihat: Badai’ul Qawa’id, oleh Ibnul Qayyim, III: 161-164, dengan peringkasan)
1.7.       Cinta dan Benci Secara Benar
Kaidah ketujuh dalam menilai orang lain adalah mencintai dan membenci seseorang secara benar, yaitu dilandaskan karena Allah semata. Kaidah ini berdasarkan firman Allah:
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At Taubah 102)
Pada diri seseorang. Senantiasa terhimpun dua perkara, yaitu kebaikan dan keburukan. Karena kebaikannya, seseorang patut dicinta dan dipuji; dan karena keburukannya, ia patut dibenci dan dicela. Cinta dan loyalitas dan menyeluruh pantas diberikan kepada kaum mukminin, sedangkan benci dan permusuhan secara menyeluruh pantas dihadapka kepada kaum kafirin. Sesungguhnya cinta dan benci, loyalitas dan permusuhan, termasuk tali keimanan yang utama, yang kokoh. (Lihat Musnda Ahmad, IV: 286; Al Imam, 110, oleh Ibnu Abi Syaibah; /Hakim, II: 480; Hasan menurut Al Bani, dalam As Silsilah, 1728)
Kaidah cinta dan benci terhadap seorang muslim yang berbuat baik namun juga berbuat buruk, maka kita mencintainya karena ia berbuat amal-amal baik, lallu kita memuji kebaikannya. Namun,kita juga membencinya karena ia berbuat amal-amal buruk, lalu kita mencela keburukannya.
Barangsiapa tergelincir ke dalam perbuatan salah (tanpa ia sengaja atau karena kelemahannya), maka janganlah ia dibenci secara mutlak, sebagaimana yang diperbuat oleh penganut Khawarij, yakni mereka menganggap kafir terhadap orang yang berbuat kemaksiatan. Namun demikian, jangan pula memuji seseorang hingga menganggap sederajat dengan Abu Bakar, Umar, bahkan Jibril atau Mikail, sebagaimana yang diperbuat oleh penganut Murji’ah (yakni mereka meyakini bahwa stiap muslmin yang telah bersyahadat iu tidak akan disentuh api neraka –ed). Sesungguhnya Dinul Islam itu berada di pertengahan, antara sikap berlebihan dan sikap mengingkari.
Ulama salaf telah menunjukkan sikap yang benar, yang harus diambil oleh seorang muslim dalam melaksanakan ajaran Dinul Islam. Misalnya, perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa, X: 366; Al Fatawa, XV: 294 dan Minhajus Sunnatin Nabawiyyah, IV: 453 (lihat subbab 1.5. tentang “melihat banyaknya kebaikan” –ed.) tentang Abu JA’far Al Baqir, Adz Dzahai rahimahullah berkata, “Abu JA’far adalah seorang imam dan mujtahid, membaca dan memahami kitabullah, dan mempunyai kemampuan yang besar. Akan tetapi tentang Al Qur’an, dia tiak sampai ke tingkat Ibnu Katsir dan yang sederajat dengannya, tentang fiqih tidak sampai ke tingkat Abu Zinad dan Rabi’ah tentang hafalan serta pengetahuan haditsnya tidak sampai ke tingkat Qatadah dan Ibnu Syihab. Maka, kami tidak mencintai dan membenci seseorang karena Allah Ta’ala, karena kebaikan-kebaikan yang terdapat pada dirinya.” (Siyar A’lamin Nubala’ IV: 402)
Seringkali terjadi, manusia membangun kecintaan dan kebencian kepada seseorang, didasarkan pada sejauh mana kesepakatan orang tersebut terhadapnya. Misalnya, seorang muslim mencintai muslim lainnya karena ia menganut madzhab yang sama, memiliki satu thariqah dakwah, aatau berada dalam satu jama’ah. Pada sebagian kamum muslimin, muncul kebencian terhadap muslim yang lain, karena perbedaan pendapat dalam perkara yang bersifat fiqhi ijtihadi atau nazhari amali, (yaitu perkara-perkara yang dikenal dengan istilah furu’iyyah atau khilafiyyah –ed). Kebencian seperti ini merupakan bukti cacatnya iman dalam hati seorang muslim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “pertama-tama, seorang muslim harus memulai dakwahnya dengan niat karena Allah Ta’ala, karena menaati perintah-Nya. Ia harus mencintai mad’u (orang yang diseru) karena perbuatan bainya, dan ia harus mengakui hujjah, menasihati, serta meluruskan penyimpangan yang terjadi. Bila ia melakukan semua hal tersebut karena ingin meraih kekuasaan untuk dirinya maupun kelompoknya, karena mencari reputasi, atau karena riya’, sambil mencela orang lain, maka semua amalnya tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala, bahkan pahalanya akan lenyap. Lalu, ketika ada orang lain yang membantah, menyakiti, dan mengingatkan, bahwa ia telah keliru, tujuan daklwahnya telah menyimpang, maka ia segera membela diri. Dalam keadaan seperti ini, datanglah syaithon menggelincirkannya, yang semula ia memiliki tujuan karena Allah, kini berubah menjadi karena hawa nafsu. Ia mempertahankan diri, bahkan mungkin menzhalimi orang yang mengatakannya.”
Keadaan seperti di atas, banyak menimpa kaum musliin yang meyakini, bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar, yang berada di atas sunnah. Orang seperti ini tidak senang kepada siapa pun yang mengkritik atau mengingatkan kekeliruannya, meskipun dari kalangan mujtahid, bahkan orang ini lebih mencintai seorang yang jahil namun setia atau sepaham dengannya, padahal boleh jadi, orang jahil ini berniat buruk, atau tidak memiliki ilmu serta tujuan. Kejadian seperti ini mengakibtkan, seseorang memuji-memuji orang yang tidak dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya, lalu mencela orang-orang yng tidak dicela oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang terebut mendasarkan loyalitas dan permusuhan pada hawa nafsunya, bukan pada kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Karena manusia menggenggam Dinul Islam tidak semata-mata karena Allah Ta’ala, maka muncullah berbagain macam fitnah. Dan Allah Ta’ala brfirman:
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah...” (Al Anfal 39)
Islam mengajarkan, bahwa mencintai atau membenci sesorang itu wajib didasarkan karena Allah, muwalah dan mu’adah (loyalitas dan permusuhan) juga karena Allah, tidak ridha dengan keridlaan Allah dan Rasul-Nya, tidak marah terhadap apa yang dimurkai Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ia senang bila semua perkara itu sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, dan marah bila perkaa tersebut bertentangan dengan kehendak hawa nafsunya. Namun demikian ia beranggapan, bahwa yang sedang ia lakukan, yaitu beribadah dan berdakwah adalah perbuatan yang sesuai dengan sunnah serta Dinul Islam. Padahal orang tersebut, dalam ibadahnya dipoengaruhi hawa nafsu, dan dakwahnya untuk kepentingan diri serta golongannya, bukan untuk Allah dan Rasul-Nya. Lalu, mengklaim dan menganggap bahwa ia dan kelompknya adalah pengikut sunnah yang berada di atas kebenaran. Keadaan mereka ini bercampuraduk antara kebenaran dan kebatilan, antara sunnah dan bid’ah.
Demikianlah perilaku manusia yang memecah belah din, lalu manusa menjadi bergolong-golongan, berbangga-bangga dengan golongannya, saling memfasikkan, bahkan saling mengkafirkan.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah 4-5)
KESIMPULAN
Dapat kita simpulkan, bahwa ketika kita hendak melakukan penilaian terhadap seseorang, maka kita harus melandaskannya pada tujuh buah kaidah, yaitu: takut kepada Allah, mendahulukan baik sangka, berdasarkan ilmu dan adil, adil dalam mensifati (seseorang), melihat (memperhatikan) banyaknya kebaikan, adil dalam membandingkan keutamaan (di antara manusia), serta memiliki manhaj (kaidah, adab) yang benar dalam cinta dan benci terhadap seseorang.
Barangsiapa menempuh manhaj yang benar dalam mengkritik dan menilai orang lain, semoga ia mendapat kebenaran, dan semoga pada hari kiamat nanti ia tidak dituntut terhadap apa yang telah ia ucapkan. Barangsiapa meninggalkan kaidah-kaidah yang benar dalam mengkritik serta menilai orang lain, sesungguhnya ia sedang berdiri di atas jurang api neraka dan salah satu kakinya mulai tergelincir ke dalam jurang sementara dia tidak merasakan hal tersebut.
Akhirnya, hanya Allah lah yang mampu memberikan taufiq dan hidayah kepada hamba-Nya. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya.




0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------