ADAB KRITIK DAN MENILAI ORANG LAIN MENURUT MANHAJ AHLUS SUNNAH, Bagian-2.
Manhaj
Ahlis Sunnah wal Jama’ah fin Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin.
MUQADDIMAH.
Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya. Memohon pertolongan dan
memohon ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri
kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh
Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya; dan barang siapa
yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang sanggup
menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan
hamba-Nya.
Allah Swt berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa
1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
Katakanlah Perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
(Al Ahzab 70-71)
Sesungguhnya, ahlus sunnah wal jama’ah memiliki manhaj (jalan,
landasan, aturan) yang jelas dalam setiap aspek kehidupan manusia, misalnya
meliputi, aqidah, amal perbuatan, cara meneliti benar tidaknya suatu masalah,
memberikan dalil, berdiskusi, menjelaskan kebenaran, berdakwah serta cara
mengkritik dan menilai orang lain.
Risalah ini saya beri judul Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Fin
Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin, “Manhaj ahlus sunnah wal jama’ah dalam
mengkritik dan menilai orang lain”. (diterjemahkan ke dalam edisi bahasa
Indonesia dengan judul “Adab Mengkritik Menurut As Sunnah” –ed). Yang saya
maksud dengan “al Akharin” (orang lain) adalah sesama penganut ahlus sunnah wal
jama’ah, termasuk para perawi hadits dengan pembahasan umum, namun tidak
meliputi orang-orang kafir dan ahli bid’ah. Adapun tentang diterima atau
tidaknya riwayat hadits, dan tentang al Jarhu wat Ta’dil (penilaian
negatif dan positif terhadap seorang perawi hadits), tidak termasuk dalam
pembahasan risalah ini.
Dengan adanya pembahasan tentang manhaj ahlus sunnah wal jama’ah
dalam mengkritik dan menilai orang lain, tentu akan tergambar di hadapan anda,
bahwa ternyata manhaj ahlus sunnah wal jama’ah itu, tidak hanya meliputi aqidah
semata, namun juga meliputi aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia. Memang
demikianlah, manhaj ahlus sunnah wal jama’ah merupakan bentangan kebenaran
hakiki yang melandasi setiap persoalan hidup manusia. Oleh karena itu,
merupakan kewajiban bagi setiap muslim, untuk mengikuti seluruh manhaj ahlus
sunnah wal jama’ah, baik dalam bidang akidah maupun bidang-bidang lainnya.
Tentang benarnya manhaj ahlus sunnah wal jama’ah telah jelas,
seperti jelasnya matahari di siang hari. Namun demikian, banyak manusia yang
“menyerang” aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, lalu keluar darinya dan
memunculkan aliran serta manhaj yang bid’ah, yang sesat dan menyesatkan
manusia. Melihat kondisi buruk seperti ini, bangkitlah ulama untuk menjelaskan
kebenaran manhaj ahlus sunnah wal jama’ah dan membantah serta meluruskan
manhaj-manhaj yang berkembang. Di antara ulama, Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah
termasuk seorang ‘alim yang memberikan perhatian sangat serius terhadap masalah
ini, dan telah menyumbangkan buah karya yang besar kepada seluruh kaum muslimin
(di antara karya besar Ibnu Taimiyah adalah Majmu’ul Fatawa “Kumpulan
fatwa-fatwa” –ed)
Para ‘alim dari masa dahulu, telah mencurahkan perhatian terhadap Al
Jarh Wa Ta’dil yang membahas tentang
kaidah memberikan penilaian negatif dan penilaian positif, khusus kepada
pewaris hadits, bukan kepada orang lain. Dan hingga kini, belum ada kaidah
khusus yang membahas kaidah-kaidah dalam mengkritik dan menilai orang lain
secara umum, bukan terhadap perawi hadits saja. Akan tetapi sesungguhnya
kaidah-kaidah tersebut telah ada, namun tersebar di banyak tempat, yaitu dalam
Al Qur’an, as sunnah, perkataan mayoritas kaum salaf, kitab-kitab serta tulisan
ulama salaf. Dan yang telah saya lakukan ini, adalah menghimpun dan menyusun
kaidah-kaidah tersebut dalam suatu tempat, agar mudah diambil manfaatnya.
Ada beberapa hal yang mendorong saya untuk menyusun risalah ini,
yaitu antara lain:
1. Pada
saat ini, sering terdengar berbagai macam kritik dan penilaian terhadap orang
lain yang dilontarkan oleh banyak kalangan dari kaum muslimin, namun tidak
menggunakan manhaj atau adab yang benar dan baik, sehingga tidak memberikan
perbaikan, namun justru menimbulkan bermacam-macam dampak negatif.
2. Kaum
muslimin sangat membutuhkan, dan hingga saat ini jarang yang memiliki,
kaidah-kaidah umum dalam mengkritik dan menilai orang lain, sehigga mereka
dapat memberikan penilaian berlandaskan ilmu dan keadilan. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, bahwa setiap muslim harus menguasai prinsip-prinsip ajaran
Islam, sehingga dapat mengembalikan setiap persoalan pada prinsipnya, dan agar
ia selalu berkata berlandaskan ilmu dan keadilan. Bila ia tidak mengetahui
prinsip-prinsip ajaran Islam, dan tidak mengetahui kekeliruan dalam persoalan
cabang tersebut. maka ia akan merangkap dalam kejahilan, lalu akan membuat
kerusakan yang besar.” (lihat dalam Minhajus Sunnatin-Nabawiyyah)
3. Kedudukan
seorang muslim di sisi Allah Ta’ala, tinggi dan terhormat. Maka, tidak pantas
manusia merendahkan dan mencela seorang muslim, apalagi bila hal tersebut
tidaklah benar, tidak berdasarkan ilmu dan keadilan.
4. Banyak
dampak negatif yang ditimbulkan oleh penilaian seseorang terhadap orang lain,
yang dalam penilaiannya manhaj yang benar, misalnya: merugikan hak orang lain,
putusnya persaudaraan, munculnya fikrah-fikrah, terjadinya ghibah, hasad,
dengki, dan permusuhan dan meluasnya fitnah, hancurnya persatuan, serta
terjerumusnya umat Islam dalam perpecahan dan pertikaian.
Dengan dorongan keempat hal tersebut di atas, ditambah dengan
harapan agar kaum muslimin bersatu padu, berdiri kokoh di atas manhaj ahlus
sunnah wal jama’ah yang benar, dan hidup di atas bentangan manhaj-manhaj ahlus
sunnah wal jama’ah yang meliputi seluruh aspek kehidupannya, maka saya berdoa
kepada Allah Ta’ala, semoga ia menjadikan kita termasuk orang yang ikhlas dalam
perkataan dan perbuatan kita. Semoga ia memperlihatkan kepada kita bahwa
kebenaran itu tampak benar, lalu ia memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat
mengikutinya. Semoga ia memperlihatkan kepada kita bahwa kebatilan itu tampak
batil, lalu ia memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat menjauhinya. Semoga
Ia membimbing kita dalam din dan dunia kita. Sesungguhnya Dialah yang berkuasa
terhadap segala sesuatu. Dan shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad shollallhu ‘alaihi wa sallam.
Hisyam
bin Isma’il bin Ali Ash Shini
BAB I : KAIDAH UMUM MENILAI ORANG
1.1. Takut
Kepada Allah
Ghibah termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di dalam kitab-Nya, Allah ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah...” (Al Hujurat 12)
Tentang ghibah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda:
“Tahukan kalian apa ghibah itu? Para sahabat menjawab:, Allah dan
Rasul-Nya lebih menegtahui. Beliau berkata, kamu menceritakan saudaramu tentang
sesuaut yang dia benci. Salah seorang bertanya, bagaimana pendapat anda jika
yang saya katakan itu terdapat pada saudaraku tersebut? Beliau menjawab, jika
apa yang kamu kataka itu terdapat pada saudaramu, maka kamu telah melakukan
ghibah terhadapnya; da apabila yang kamu katakan itu tidak terdapat pada
saudaramu, berarti kamu telah mengada-ngada terhadapnya.” (HR. Muslim, IV:
2001)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengaitkan kehormatan
seorang muslim dengan kehormatan Hari Arafah, sebagaimana penuturan Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu bahwa pada saat haji wada’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda:
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian
haram atas kalian, seperti haramnya hari kalian sekarang ini, di dalam bulan
ini, dan di dalam negeri ini. Ketahuilah, bukankah telah aku sampaikan?” (HR. Muslim,
II: 886-892)
Selain hadits tersebut, masih ada hadits lain yang menjelaskan
tentang tingginya kehormatan seorang muslim, misalnya yang menyebutkan bahwa ,
merusak kehormatan seorang muslim merupakan perbuatan yang lebih jahat dari pada
menzinahi ibunya sendiri. Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda:
“Riba itu ada tujuh puluh dua tingkatan. Tingkatan yang terendah
adalah seperti seorang laki-laki menzinahi ibunya. Dan tingkatan yang tertinggi
adalah seseorang yang merusak kehormatan saudaranya.” (Lihat as silsilatush
shahihah, no. 1871)
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda:
“ ... barangsiapa yang mencritakan seorang mukmin tentang sesuatu
yang tidak ada pada dirinya, maka Allah akan menempatkannya dalam lumpur nanah
yang keluar dari tubuh penduduk neraka sampai ia meninggalkan apa yang dia
katakan, sedangkan dia tidak dapat meninggalkannya.” (HR. Ahmad II: 70, Hakim
II: 27, Daud II: 117, dan berkata sanadnya shahih, dan disepakati oleh adz
Dzahabi. Lihat as silsilatush shahihah, no. 437; irwa’ul ghalil, no. 2318)
Abdurahmna bin Ghanam menyatakan, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang apabila dipandang, maka
dapat mengingatkan kepada Allah. Dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang
yang senang mengadu domba, merusak jalinan cinta kasih (di antara hamba-hamba
Allah), dan senantiasa membuat kesempitan (kesulitan) terhadap orang yang tidak
bersalah.” (HR. Ahmad, IV: 227)
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Wahai orang-orang yang telah berislam pada lisannya, namun iman
belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan
mencela mereka, dan jangan membuka aurat mereka. Barangsiapa membuka aurat
saudara se-Islam, maka Allah akan membuka pula auratnya. Dan barangsiapa yang
Allah buka auratnya, niscaya Allah akan mengungkapnya walaupun di dalam
rumahnya.” (HR. Tirmidzi, no. 2032; shahih menurut Al Bani, lihat Shahih Sunan
at Tirmidzi, II: 200; lihat pula al musnad, IV: 421-424)
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari perbuatan ghibah,
sebagaimana perlindungan Allah Ta’ala kepada kaum salaf (yaitu para sahabat Rasulullah,
dan beberapa geneasi setelah mereka yang masih lurus mengikuti jejak langkah
mereka, serta belum melakukan penyimpangan – ed.). Kaum salaf rahimahullah
adalah kaum yang paling takut dan sangat menjauhi perbuatan ghibah. Misalnya
Bukhari rahimahullah menyatakan, “Saya mendengar Abu ‘Ashim berkata: ‘semenjak
saya mengetahui bahwa ghibah itu haram, maka sejak saat itu saya tidak pernah
sekalipun melakukan perbuatan ghibah terhadap seorang pun.’” (Lihat at Tarikhul
Kabir, IV: 336)
Pada kesempatan lain, Bukhari berkata: “Saya berharap, semoga aku
menemui Allah dalam keadaan tidak menghisabku, bahwa saya telah melakukan
ghibah terhadap seseorang.” (Bukhari memang sering memberikan penilaian negatif
maupun positif terhadap para perawi hadits, dan beliau khawatir kalau-kalau
Allah menganggap bahwa penilainnya itu termasuk ghibah –ed).
Tentang perkataan Bukhari tersebut, adz Dzahabi berkomentar, “Bukhari
rahimahullah benar. Barangsiapa melihat perkataan beliau dalam al Jarhu wa
Ta’dil (dalam memberikan penilaian positif dan negatif terhadap perawi
hadits), tentu ia akan mengetahui kewara’annya (kerendahannya) dalam
membicarakan seseorang, dan ia akan melihat keadilan (kehati-hatian) beliau
dalam menyatakan seorang perawi itu lemah. Seperti ucapan beliau, ‘bila saya
mengatakan bahwa si fulan perkataannya haditnya) perlu diteliti kembali, maka
si fulan itu tertuduh lemah. Inilah makna perkataan Bukhari sebagaimana
tersebut di atas.” (Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, XII: 439)
Bukhari rahimahullah juga telah berkata, “Saya tidak melakukan
ghibah sama sekali terhadap seorang pun, semenjak saya mengetahui bahwa ghibah
itu membahayakan pelakunya.” (Lihat Siyar A’lamin Nubala’, XII: 441)
Kaum salaf rahimahullah senantiasa melakukan koreksi terhadap dirinya
tentang perbuatan ghibah yang mungkin mereka lakukan. Misalnya, Ibnu Wahbin
rahimahullah telah berkata, “saya telah bernadzar, bahwa setiap kali (jika)
saya berbuat ghibah terhadap seseorang, maka saya akan shaum satu hari. Karena
nadzar ini, saya menjadi hati-hati, namun saya masih juga melakukan ghibah lalu
saya shaum. Kemudian saya berniat, bahwa setiap kali (jika) saya melakukan
ghibah terhadap seseorang, maka saya akan bersedekah dengan dirham. Karena saya
mencintai dirham, akhirnya, saya berhasil meninggalkan ghibah.” Adz Dzahabi
berkata, “Demi Allah, demikian itulah keadaan ulama. Dan seperti inilah buah
dari al ‘Ilmu an Nafi’ (ilmu yang bermanfaat).” (Lihat: Siyar A’lamin
Nubala’, IX: 228)
Sesungguhnya, bagi orang yang berbuat ghibah, maka kebaikannya
(pahalanya) akan dipindahkan oleh Allah kepada orang yang dighibahinya.
Abdurahman bin Mahdi rahimahullah pernah berkata, “Seandainya saya tidak
membenci perbuatan maksiat (seseorang) kepada Allah, niscaya saya harapkan
benar-benar agar semua orang yang ada di Mesir ini melakukan ghibah terhadap
diriku.” (Siyar A’lamin Nubala’, IX: 195)
Di masa sekarang, mungkin saja seorang da’i merasa perlu melakukan
ghibah terhadap seseorang, dalam rangka berdakwah, dan dengan tujuan untuk
meluruskan penyimpangan yang terjadi. Namun, sebelum ia membicarakan orang
lain, ia harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:
·
Seorang da’i harus bertanya
kepada dirinya, apakah motivasi sesungguhnya, sehingga ia merasa perlu
membicarakan seseorang? Apakah motivasinya adalah ikhlas karena Allah,
Rasul-Nya, dan (karena kepentingan) kaum muslimin? Ataukah karena dorongan hawa
nafsunya, yang jelas maupun yang tersembunyi? Atau mungkin pula karena hasad
dan benci terhadap sesorang?
Ketahuilah,
bahwa sebagian besar ghibah yang dilakukan oleh seseorang, memiliki motivasi
yang tercela, yaitu: kebencian, iri hati, sakit hati, dan benci, dendam ataupun
persaingan. Meskipun, seseorang mengatakan bahwa motivasinya adalah untuk
memberi nasihat dan menginginkan kebaikan. Di sinilah, banyak manusia tergelincir
ke lembah ghibah, sementara ia tidak menyadari akan ketergelincirannya, kecuali
jika ia meneliti secara seksama dan benar-benar ikhlas karena Allah semata
(Insya Allah ia tidak akan tergelincir). (Lihat: lil mu’allimi fit tankil, II:
180)
·
Mempelajari keadaannya,
apakah dalam keadaan tersebut, diperbolehkan ghibah atau tidak? (Lihat apa yang
disebutkan oleh Asy Syaukani di dalam Ra’fur Raibah Amma Yajuzu wama la
Yajuzu Minal Ghibah)
Beberapa
ghibah yang dibolehkan syariat antara lain: orang yang dizalimi menceritakan
kepada hakim tentang orang yang menzaliminya, meminta pertolongan kepada
seseorang dengan cara menceritakan bahwa seseorang telah melakukan kemungkaran,
menceritakan seseorang kepada mufti untuk meminta fatwa, menceritakan keburukan
seseorang kepada kaum muslimin karena dikhawatirkan dapat membahayakan umat
Islam, menyebut seseorang dengan panggilan yang bukan namanya namun hal itu
sudah lazim, membicarakan orang yang secara terang-terangan berbuat
kemungkaran. Lihat: Riyadhush Shalihin, hal. 639-641)
·
Perbanyaklah merenung akibat
yang mungkin ditimbulkan oleh ghibah. Misalnya, ia harus merenungkan,
seandainya di hari kiamat Allah bertanya, “Wahai hamba-Ku, mengapa kamu
membicarakan si fulan begitu?” hendaknya ia mengingat, ia pun mengingat firman
Allah Ta’ala:
“....
dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.” (Al Baqarah 235)
Ibnu
Daqiqil-id rahimahullah telah berkata, “kehormatan manusia merupakan salah satu
jurang di antara jurang-jurang neraka, (dan) para ahli hadits serta para ahli
hukum berdiri di atasnya.” (Lihat: Thabaqathus Syafi’iyatil Kubra, II:
18) (maksudnya, seseorang yang pekerjaannya tidak terlepas dari membicarakan
banyak orang, seperti: ahli hadts, ahli hukum, pengacara, penyiar ataupun
wartawan, maka apabila ia memberikan penilaian yang salah terhadap seseorang
sehingga merusak kehormatannya, niscaya ia akan terjerumus ke dalam jurang
neraka. Amal perbuatan yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam jurang
neraka itu banyak, salah satunya adalah merusak kehormatan seorang muslim – ed).
1.2. Mendahulukan Baik Sangka
Mendahulukan
baik sangka merupakan kaidah umum dalam mengkritik dan menilai orang lain, yang
bersumber dari firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah...” (Al Hujurat 12)
Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar
menjauhi prasangka. Sebab, sebagian dari prasangka termasuk perbuatan dosa.
Kemudian Allah Ta’ala melanjutkan perintah tersebut dengan larangan
mencari-cari kesalahan orang lain. Hal ini menunjukkan, bahwa mencari-cari
kesalahan biasanya tidak akan terjadi, kecuali setelah seseorang melakukan
prasangka buruk.
Pada haikatnya, syari’at islam menjamin kerahasiaan seorang muslim
yang tidak kita ketahui, sehingga terhadap perbuatan seorang muslim yang tidak
kita ketahui, maka kita wajib menganggap seluruh perbuatannya baik (inilah yang
disebut husnuzzhan, bersangka baik –ed).
Ketika kita mendengar aib seorang muslim sedang dibicarakan oleh
muslim yang lain, maka kita tidak boleh begitu saja mempercayai berita
tersebut, bahkan harus bersungguh-sungguh mengingkarinya.
Ketika tersiar berita bohong yang ditujukan kepada Aisyah Ummul
Mu’minin, banyak umat Islam yang termakan oleh berita tersebut. Kemudian Allah
Ta’ala menjelaskan sikap yang benar, yang semestinya dilakukan oleh setiap
muslim, sebagaimana firman-Nya:
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang
mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan
(mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An
Nur 12)
Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan, bahwa perkara menyebarkan
dan mengatakan berita bohong, merupaka perkara yang besar, bukan perkara
sepele, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“(ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke
mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga,
dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah
adalah besar.” (An Nur 15)
Setelah umat Islam menyadari betapa buruknya akibat dari penyiaran
berita bohong, maka Allah memperingatkan kepada kita agar tidak sekalipun
mengulangi perbuatan dosa besar tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang
seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (An Nur 17)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, bahwa sekedar
mengabarkan berita buruk tentang orang lain, tanpa dilandasi kepentingan syar’i
dan penelitian kebenarannya, termasuk perbuatan dosa. Allah Ta’ala berfirman:
“....tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa
yang dikerjakannya. ...” (An Nur 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Cukuplah seseorang itu dikatakan dusta bila ia mengatakan setiap
apa yang didengarnya.” (HR. Muslim di dalam Muqaddimah Ash Shahih, no. 5)
Di dalam Muqaddimah Ash Shahih Imam Muslim membuat suatu bab dengan
judul “Bab larangan membicarakan setiap apa yang didengar”. Kemudian di
bawahnya beliau mencantumkan hadits tersebut di atas. Selain itu, beliau juga
mencantumkan perkataan Imam Malik kepada Ibnu Wahbin, “Ketahuilah bahwa tidak selamat (dari cacat),
seorang yang mengucapkan setiap apa yang didengarnya. Dan orang tersebut tidak
akan menjadi seorang iman yang diteladani, sampai ia menahan sebagian dari apa
yang dia dengar.” (Shahih Muslim, I: 10-11)
Allah Azza Wa Jalla memerintahkan kepada kaum muslimin, agar
berlaku teliti terhadap berbagai berita yang ia dengar, sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al Hujurat 6)
1.3. Berdasarkan Ilmu dan Adil
Kaidah dalam mengkritik dan menilai orang lain haruslah berdasarkan
ilmu dan keadilan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Al Maidah 8)
“Dan janganlah kamu merugika manusia terhadap hak-hak mereka.”
(Hud: 85)
Tentang surat Al Maidah ayat 8 sebagaimana tersebut di atas, Ibnu
Jarir rahimahullah mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Muhammad Rasulullah, hendaklah kamu memiliki akhlak dan sifat menegakkan
kebenaran, menjadi saksi dengan adil terhadap temanmu maupun musuhmu. Janganlah
berlaku zalim di dalam hukum dan perbuatanmu. Jika kamu memusuhi suatu kaum,
janganlah sekali-kali hal tersebut membuatmu menjadi berbuat tidak adil dalam
menghukumi serta meperlakukan mereka, yang mengakibatkan kamu berbuat zalim
kepada mereka.” (Lihat: Tafsir Ibnu Jarir, X: 95, ditahqiq oleh Ahmad Syakir,
kutipan ringkas)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “membicarakan
manusia haruslah berdasarkan ilmu dan keadilan, tidak boleh berdasarkan
kejahilan dan kezaliman, seperti yang diperbuat ahli bid’ah.” (Minhajus
sunnatin Nabawiyyah, IV: 337)
Tentang biografi Al Fudhail, Adz Dzahabi berkata, “Apabila para
pembesar terdahulu tidak terlepas dari pergunjingan orang-orang, maka tentu
orang yang seperti Fudhail pun tidak luput dari pembicaraan manusia. Namun,
apabila seseorang telah memiliki keimanan dan kebaikan yang banyak, niscaya
pergunjingan manusia tentang dirinya, tidak sedikit pun akan membahayakannya.
Sesungguhnya membicarakan ulama membutuhkan sikap keadilan dan kewara’an.”
(Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, VIII: 448)
Tentang manhaj yang benar dalam membicarakan seseorang, apalagi
membicarakan ulama, dapat kita lihat contoh yang diberikan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, ketika ia berkata, “Abu Dzar (panggilan untuk Abad bin Ahmad bin
Muhammad bin Abdullah bin Ghafir Al Hirawi Al Anshari, bukan Abu Dzar sahabat
Nabi) adalah orang yang memiliki ilmu, din, dan pengetahuan tentang hadits dan
sunnah. Riwayat beliau dari tiga syekhnya diterima dalam periwayatan Bukhari.
Dia pernah ke Bagdad dari Hirah, lalu mengambil Tariqoh Ibnul Baqilani dan
membawanya ke Haram. Kemudian ia dan tariqahnya dibicarakan oleh Abu Nashr As
Sajazi, Abul Qasim Sa’ad bin Ali Az Zinjani, dan beberapa yang lainnya dari
kalangan ahli ilmu dan din. Beliau termasuk orang yang mengutamakan tariqah Al
Mabghi dan As Tsaqafi daripada Tariqah Ibnul Khuzaimah dan lainnya dari
kalangan ahli hadits. Penduduk Maghrib (Maroko) berhujjah dengan perkataannya,
lalu orang-orang mempelajari hadits serta tariqah yang ia ajarkan, ia menuntun
orang-orang hingga mengetahui dasar-dasarnya. Lalu, di antara murid-murid Abu
Dzar ada yang pindah ke Masyriq, seperti Abul Walid Al Baji, yang kemudian
mengambil Tariqah Abu JA’far As Samnani Al Hanafi (sahabat Qadhi Abu Bakar).
Tak lama kemudian, Qodhi Abu Bakr pindah. Lalu Abu Dzar mengambil Tariqah Abul
Ma’ali.
Kita harus bersyukur, bahwa tidak seorang pun di antara para ‘alim,
melainkan masing-masing memiliki usaha dan peran dalam membantah penyimpangan
dan bid’ah, lalu membela ahllus sunnah dan Dinul Islam. Semua upaya tersebut
diketahui oleh orang-orang yang mengenal mereka, yang membicarakan mereka
dengan keadilan dan ilmu. Suatu ketika, beberapa ‘alim mengalami kerancuan
dalam memahamai prinsip-prinsip Dinul Islam, yaitu mereka terpengaruh oleh
ajaran kaum Mu’tazilah, sehingga mereka mengatakan sesuatu yang bertentangan
dengan pemahaman ulama ahli ilmu dan din. Maka, diantara manusia ada yang
mengagungkan mereka karena kebaikan dan kemuliaannya. Namun ada juga yang
mencela mereka karena pendapat mereka telah terhinggapi bid’ah dan kebatilan. Sebaik-baik
ucapan adalah pertengahan (tidak hanya memuji tidak hanya mencela, namun memuji
kebaikannya dan mencela kejelekannya – ed).
Dari kalangan ahli ilmu dan din, terdapat beberapa orang yang
berbuat kekeliruan dan kesalahan. Dan Allah Ta’ala senantiasa menerima semua
perbuatan baik hamba-Nya, dan mengampuni kesalahan orang-orang yang meminta
ampun kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami
yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami,
Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al Hasyr 10)
Tidak diragukan lagi, bahwa barangsiapa bersungguh-sungguh mencari
kebenaran dalam din, yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, kemudian melakukan beberapa kesalahan yang tidak ia sengaja, maka
Allah akan mengampuni kesalahannya. Hal ini sebagaimana doa Rasulullah dan kaum
mukminin kepada Allah Ta’ala yang terdapat dalam firman-Nya:
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah.” (Al Baqarah 286) (Lihat Dar’u Ta’arudhil ‘Aqdi wan Naql, II:
101-103)
Dari penuturan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tersebut di atas, kita
memahami, bahwa seorang muslim tidak dibenarkan membicarakan orang lain kecuali
dengan landasan ilmu dan keadilan. Barangsiapa membicarakan orang lain tanpa
didasari ilmu dan keadilan, maka ia telah menyalahi Al Kitab dan As Sunnah,
serta menyimpang dari manhaj As Salafus Shalih. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al Isra 36)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Al Maidah 8)
Membicarakan seseorang tanpa dilandasi pengetahuan, dengan cara
yang zalim, dan berdasarkan hawa nafsu, merupakan penyebab kerusakan hati,
timbulnya permusuhan dan kedengkian, serta melenyapkan kesatuan da kekuatan
kaum muslimin. Da hanya Allah lah tempat kita memohon pertolongan dari semua
keburukan tersebut.
1.4. Adil
Dalam Mensifati
Kaidah keempat yang harus dimiliki oleh seorang muslim ketika
membicarakan orang lain adalah ia harus adil dalam mensifati seseorang,
sehingga tidak merugikan hak-hak orang yang ia bicarakan. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu merugika manusia terhadap hak-hak mereka.”
(Hud: 85)
Adil dalam mensifati orang lain adalah adil dalam menyebutkan
keburukan dan kebaikannya, lalu membandingkan mana yang lebih banyak,
keburukannya ataukah kebaikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda:
“Setiap anak Adam tidak terlepas dari kesalahan, dan sebaik-baik
orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad, III: 198,
Tirmidzi, IV: 659, Ibnu Majah, II: 1402, Lihat Shahihul Jami’, no. 4515)
“Tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan, dan tidaklah
sepatutnya (kita) melenyapkan kebaikan-kebaika seseorang karena suatu
kesalahan. Sebagaimana halnya air, apabila telah mencapai dua kulah, maka air
itu tidaklah mengandung kotoran.” (ini lafazh riwayat hadits Ad Darimi,
737-738; ad Daruquthni, I21-22. Ibnul Qayyim telah menjelaskan dalam studinya
terhadap Sunan Abu Daud, Lihat A’unul Ma’bud, I: 105-125dan Irwa’ul Ghalil, I:
60)
Apabila seorang muslim mensifati orang lain, maka tidak patut ia
melupakan kebaikan-kebaikannya dikarenakan kebencian dan permusuhan terhadap
orang yang disifati. Allah Ta’ala telah mendidik manusia dengan pendidikan yang
sebaik-baiknya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan janganlah kamu merugika manusia terhadap hak-hak mereka.”
(Hud: 85)
Banyak terjadi, manusia membicarakan keburukan orang lain, tanpa
diimbangi membicarakan kebaikan-kebaikannya. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan rasa dengki, permusuhan, ataupun persaingan antara yang membicarakan
dan yang dibicarakan.
Seorang yang adil dalam membicarakan orang lain, ia akan
menyebutkan kesalahan, sekaligusjuga menyebutkan kebaikan-kebaikannya, serta
tidak merugikan hak orang yang sedang dibicarakannya, meskipun orang tersebut
memiliki madzhab, aqidah, serta din yang berbeda dengan orang yang
membicarakan.
Di antara ulama, yang terkenal keadilannya dalam membicarakan orang
lain adalah Al Hafizh Adz Dzahabi rahimahullah, yang menulis kita Siyar A’lamin
Nubala’. Di dalam kitab tersebut, adz Dzahabi menulis biografi para ‘alim, dan
tokoh-tokoh masyarakat, baik yang akidahnya lurus, yang bid’ah maupunn yang
fasik dan menyimpang. Beliau membicarakan mereka secara adil, tidak mengurangi
hak mereka dalam menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Berikut ini beberapa
contoh yang ditulisoleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’:
·
Tentang Abdul Warits bin
Sa’id, Adz Dzahabi berkata, “dia termasuk seorang yang alim, dermawan, ahli din
dan wara’. Hanya saja, dia itu termasuk seorang qadari da pelaku bid’ah.”
(Siyar A’lamin Nubala’, VIII: 301)
·
Tentang al Hakim bin Hisyam,
Adz Dzahabi menyatakan, “Dia adalah raja yang diktator, fasik dan lalim. Dia
termasuk pahlawan yang berani, namun licik dan sombong. Dia telah berkuasa
sejak umur dua puluh tujuh tahun.” (Siyar A’lamin Nubaa’, VIII: 254)
·
Tentang Al Waqidi, Adz
Dzahabi menyatakan, “Meskipun tidak ada yang memperselisihkan tentang kelemahan
Al Waqidi (dalam meriwayatkan hadits), naum ia adalah orang yang lisannya benar
dan potensinya besar.” (Siyar A’lamin Nubala’, VII: 142)
·
Tentang Al Ma’mun yang
memunculkan fitnah, yaitu ketika ia berkata bahwa Al Qur’an adalah makhluk,
lalu ia memaksakan pendapatnya kepada para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Adz
Dzahabi berkata, “Dia termasuk tokoh Bani Abbas dalam hal tekad, akal, wibawa,
dan kesabaran. Secara umum kebaikannya banyak.” (Siyar A’lamin Nubala’, X: 273)
·
Dalam menjelaskan biografi Al
Jahizh, seorang sastrawan yang mu’tazili, Adz Dzahabi menyatakan, “Dia sangat
pandai, memiliki berbagai macam ilmu, dan termasuk salah seorang cendekiawan.
Namun rasa malunya sedikit, pengetahuannya tentang din dan juga sedikit serta
memiliki beberapa keganjilan.” (Siyar A’lamin Nubala’, XI: 256)
·
Tentang Qur’ah bin Tsabit,
Adz Dzahabi berkata, “Ia termasuk seorang yang murtad dan celaka. Pada
zamannya, ia adalah seorang dilosof terkenal keras kepala, namun otaknya
cemerlang.” (Siyar A’lamin Nubala’, XIII: 285)
·
Mengenai biografi Ahmad As
Sarkasi, Adz Dzahabi menceritakan, “Ia nadalah seorang filosof terkenal yang
memiliki berbagai macam karangan. Ia termasuk lautan ilmu yang tidak
bermanfaat.” (Siyar A’lamin Nubala’, XIII: 448)
·
Mengenai biografi Al Khayyath
Al Mu’tazil, Adz Dzahabi berkata, “Dia adalah syeikh Mu’tazilah Baghdad. Ia
memiliki kecerdasan yang luar biasa dan karangan-karangan yang baik. Dia
termasuk lautan ilmu. Di kalangan kaum Mu’tazilah, ia memiliki kehormatan
menakjubkan.” (Siyar A’lamin Nubala’, XIV: 220)
·
Mengenai biografi Al Juba’i,
Adz Dzahabi berkata, “ia sering berlaku bid’ah, namun ia termasuk orang yang
berpengetahuan luas dan otaknya encer. Dia mampu menundukkan perkataan orang
(yang menyerangnya) lalu mengendalikannya, dan ia memudahkan apa yang dirasa
sulit olehnya.” (Siyar A’lamin Nubala’, XIV 183)
·
Mengetahui biografi Ibnul
‘Amid, Adz Dzahabi berkata, “Dia mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam
mengarang dan balaghah (ilmu bicara atau komunikasi yang disertai dengan gaya
bahasa dan sastra, sehingga indah, mudah difahami dan fasih –ed.) hingga
ucapannya banyak dikutip menjadi pepatah. Orang mengatakan, bahwa ia adalah Al
Jahizh kedua. Dan orang mengatakan pula, bahwa ia mulai menulis dengan Abdul
Hamid dan menutupnya dengan Ibnul ‘Amid. Aka tetapi, meskipun ilmunya luas, dia
tidak mengetahui apa itu syara’, dan dia hanya berfilsafat.” (Siyar A’lamin
Nubala’, XVI: 137)
Masih banyak lagi contoh-contoh yang lain, yang dapat anda baca
secara lengkap dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’,karya Adz Dzahabi.
Manhaj yang digunakan Adz Dzahabi dalam mensifati orang lain adalah
suatu manhaj ilmiah yang sempurna, yang berdasarkan keadilan. Manhaj tersebut
adalah manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam menilai orang lain. Manhaj ini bersumber dari
Al Qur’anul Karim, di antaranya firman allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu
merugikan manusia terhadap hak-hak mereka.” Serta ayat-ayat yang semisal
dengannya.
Kepada setiap orang yang menginginkan keadilan, sepatutnya tidak
menyimpang dari mahaj yang lurus ini, dan hendaklah selalu bertakwa kepada
Allah ketika membicarakan orang lain, agar selalu berbicara dengan adil dan
obyektif. Semoga Allah memberikan taufiq kepada orang yang senantiasa berlaku
adil dan berbuat kebaikan.
1.5. Melihat
Banyak Kebaikan
Sesungguhnya air, bila telah mencapai dua kulah (sekitar satu meter
kubik), niscaya tidak lagi mengandung kotoran. Maka, barangsiapa yang
kebaikannya telah mengalahkan kesalahannya, maka orang tersebut akan diampuni
Allah Ta’ala.
Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah berkata, “Orang yang adil adalah
orang yang memaafkan kesalahan orang lain, yang kesalahannya (mungkin) hanya
sedikit sedangkan kebaikannya banyak.” (Lihat tulisan Ibnu Rajab dalam Al
awa’id, hal. 3)
Perkataan Ibnu Rajab termasuk manhaj yang benar dalam menilai orang
lain. Sebab, setiap orang tidak mungkin terlepas dari kesalahan. Barangsiapa
yang kesalahannya sedikit, sedangkan kebaikannya banyak, maka ia berada di atas
kebaikan yang banyak.
Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam’ah dalam menilai orang lain adalah mana
yang lebih sering, apakah lebih sering baiknya atau lebih sering buruknya, dan
hal itu dipandang secara adil.
Al Hafizh Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kami mencintai sunnah
dan ahlinya. Kami mencintai orang ‘alim karena apa yang melekat pada dirinya berupa
ittiba’ dan sifat terpuji. Kami membenci bid’ah yang dita’wil secara amat
toleran. Kami mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan banyaknya keadilan.”
(Siyar A’lamin Nubala’, XX: 46)
Menurut penuturan Adz Dzahabi, Abul Hasan As Safar berkata, “Ketika
ditanya tentang tafsir Abu Bakr Al Qafal, saya mendengar Abu Sahl Ash Sha’luki
menjawab, ‘Dia terpuji dari satu sisi dan tercela dari sisi yang lain, yaitu
pembelaannya terhadap mu’tazilah.’”
Adz Dzahabi mengatakan, “Kematiannya (Abu Bakr Al Qafal ed.) telah
berlalu, dan kelebihan yang dia miliki langka. Sesungguhnya seorang alim itu
hanya dipuji karena banyaknya kebaikannya. Kebaikan-kebaikan yang telah ia
perbuat janganlah dilupakan hanya karena ia tergelincir dalam suatu kesalahan. Mungkin
saja ia kini telah keluar dari kesalahannya (pada saat dibicarakan, mungkin
sudah berubah dari buruk menjadi baik, dari salah menjadi benar –ed.) dan dapat
saja Allah mengampuninya karena ia berusaha secara sungguh-sungguh menari
kebenaran. Dan tidak ada kekuatan kecuali karena pertolongan Allah.” (Siyar
A’lamin Nubala’, XVI: 285)
Tentang biografi Ibnu Hazm, Adz Dzahabi berkata, “Dalam rangka
menolak Qiyas, dia menyusun berbagai macam kitab, mendiskusikannya, dan
mengerahkan lisan serta penanya. Dia tidak bertatakrama dalam ucapannya
terhadap para imam, bahkan mencaci maki mereka. Maka balasan yang ia terima pun
setimpal dengan jenis amalannya, yaitu para imam berpaling dari karya-karyanya,
bahkan terkadang membakarnya. Namun, sebagian ulama memperhatikan karyanya,
lalu mengoreksinya dan mengambil manfaat darinya. Di dalam karyanya, terdapat
mutiara yang berharga, namun bercampur dengan bebautan yang tak ternilai.
Terkadang sebagian ulama tersebut merasa senang, terkadang merasa heran, dan
terhadap keganjilan yang mereka temui, mereka meninggalknannya. Secara umum, kelebihan
Ibnu Hazm itu langka. Terhadap semua orang, perkataannya dapat diambil dan
dapat pula ditinggalkan, kecuali perkataan Rasulullah shallallhu ‘alaihi
wasallam. Ibnu Hazm telah bangkit dengan ilmu yang melimpah, periwayatannya
baik, dan memiliki din dan kebaikan, serta tujuannya mulia. Karya-karyanya
bermanfaat, dia tidak berambisi terhadap kepemimpinan, dan menetapi
kedudukannya yaitu menekuni ilmu. Oleh karena itu, saya tidak berlebihan
terhadapnya, dan tidak pula menyingkirkannya, karena beberapa tokoh sebelum
kita telah memujinya.” (Siyar A’lamin Nubala’, XVII: 186-187)
Ibnu Hazm adalah pendiri madzhab Az Zhahiri, sebuah madzhab yang
hanya menerima dalil yang tersurat atau yang zhahir. Misalnya, Rasulullah telah
melarang seseorang kencing pada air yang tidak mengalir, dan melarang mandi
dengan air tersebut. kata Ibnu Hazm dan pengikutnya, yang dilarang adalah
kencing, kalau buang air besar, maka tidak dilarang. Contoh yang lain, Rasulullah
pernah melarang genderang dan alat musik. Kata penganut Zhahiri, Rasulullah
belum pernah melarang piano, gitar, ataupun biola, maka semua itu boleh. Anda
dapat membaca argumentasi Ibnu Hazm beserta pengikut kaum Zhahiri dalam
menghalalkan musik dan lagu, lihat HARAMKAH MUSIK dan lagu tulisan Abu Bakr
Jabir Al Jariri, WALA PRESS. Ibnu Hazm juga memiliki paham yang tidak mengakui
adanya qiyas. Qiyas berarti analogi. Ulama Ahlus Sunnah berdalil dengan Qiyas,
misalnya pada masa Rasulullah zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk gandum atau
kurma, lalu untuk negara-negara lain, diqiyaskan dengan makanan pokok, boleh
beras, boleh singkong, atau sagu. Contoh lain, seseorang bertanya kepada
Rasulullah, bolehkah mencium isteri ketika sedang shaum, lalu Rasululalh menjawab
dengan mengkiyaskan pada kumur-kumur. Karena berkumur tidak membatalkan shaum,
maka mencium istri pun tidak membatalka shaum. Ibnu Hazm tidak mau berdalil
dengan qiyas –ed.
Tentang cara menilai para ‘alim tersebut, dapat kita lihat kembali
perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Dar’u Ta’arudhil ‘Aql Wan Naql, II:
101-103 (sebagaimana terdapat pada subbab 1.3 “Berdasarkan ilmu dan adil” –ed.)
Tentang kaidah kelima, yaitu harus mempertimbangkan banyaknya
kebaikan, maka kita dapatkan ungkapan yang amat baik, yang tampaknya dapat kita
jadikan kaidah untuk memperkuat kaidah kelima tersbeut, yaitu ucapan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, “Pertimbangan itu didasarkan pada kesempurnaan (di) akhir,
bukan pada kekuangan (di) awal.” (Lihat Minhajus Sunnatin Nabawiyah, VIII: 412)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Umumnya, pujian atau
celaan yang ditujukan kepada seseorang, disebabkan oleh dua hal, yaitu karena
ia melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Kalau seseorang dicela karena
melakukan perbuatan (dosa), maka jangan lupa, bahwa ia juga dicela karena
meninggalkan perbuatan (baik). Demikian pula, jika seseorang dipuji karena
melakukan sunnah, maka jangan lupa, bahwa ia juga (harus) dipuji karena
meninggalkan bid’ah atau dosa. Beginilah cara membuat suatu perbandingan
keadilan. Barang siapa menggunakan cara seperti ini, maka ia telah menegakkan
keadilan. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan Al Kitab serta neaca
keadilan agar manusia menegakkan keadilan.” (Lihat Al Fatawa, X: 366, kutipan
ringkas)
Tidaklah kontradiktif, apabila dari satu sisi seseorang itu
dicintai dan dikasihi, namun dari sisi lain, ia dihukum dan dibensi. (Al
Fatawa, XV: 294) (ada istilah “al hubb fillah wal bughdu fillah,” seseorang itu
bercinta karena Allah dan membenci pun karena Allah pula. Seseorang itu arus
dicintai kebaikannya, namun pada saat yang sama, ia dibenci kemaksiatannya.
Tidak mencintai seseorang secara mutlak, ataupun membenci seseorang secara
mutlak –ed.)
Barangsiapa menempuh manhaj yang adil, maka seseorang akan
mengagungkan orang yang berhak diagungkan, lalu mencintainya, dan setia
kepadaya, karena hal ini adalah haknya. Seseorang itu memiliki kebaikan dan
keburukan, lalu dipuji dan dicela, dibalas kebaikannya dan dihukum (karena
kesalahannya), dicintai dan dibenci. Inilah manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang
berbeda dengan manhaj kaum Khawarij, Mu’tazilah, dan manhaj lain yang
menyimpang.” (Minhajus Sunnatin Nabawiyyah, IV: 543)
Banyak mausia yang hanya melihat aib seseorang namun melupakan kebaikan-kebaikannya.
Seperti perkataan Asy Syatibi rahimahullah, “Seandainya engkau (berlaku) benar
sembilan puluh sembilan kali, dan (berbuat) salah satu kali, niscaya manusia
aka memperhitungkan (dan selalu mengingat) yang satu itu.” (Siyar A’lamin Nubala’,
III: 308)
1.6. Membandingkan
Kebaikan Secara Adil
Kaidah yang keenam dalam menilai seseorang yaitu harus adil dalam
membandingkan keutamaan di antara manusia. Kaidah ini didasarkan pada firman
Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat 13)
Ketika ditanya, “Siapakah yang paling mulia di antara manusia?”
lalu Rasulullah menjawab,
“Orang yang mulia di antara mereka di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa di antara mereka.” (HR. Bukhari, no. 3353, 4689; Muslim, IV: 1846)
Ada dua macam pengutamaan (tafdhili) terhadap seseorang,
yaitu: Tafdhil mutlak dan tafdhil muqayyad.
Tafdhil Mutlak, yaitu pengutamaan seseorang didasarkan pada
ketakwaan da keimanannya. Ukuran ketakwaan dan keimanan adalah apa yang tampak
dari lahirnya, sedangkan keadaan batinnya termasuk urusan Allah. Bila kita
melihat seseorang lebih bertakwa, keimannya lebih kuat, ibadahnya lebih
sempurna dibandingkan yang lain, maka kita lebih mencintainya karena Allah.
Tafdhil Muqayyad, adalah pengutamaan (seseorang) yang
didasarkan pada batasannya, misalnya: ilmu, kecerdasan, pemahaman, kekuatan hafalan,
kemampuan manajerial, dan lain-lain. Penguatan seseorang tergantung dari
kebutuhannya, dan tidak berkaitan dengan keutamaan yang ada di sisi Allah
Ta’ala. Misalnya, seperti perkataan Adz Dzahabi terhadap As Sahruwardi,
“Otaknya cemerlang, hanya saja, pengetahuannya tentang din sedikit.”
Kaum salaf ridhwanallah ‘alaihim memiliki kaidah, bahwa mereka
tidak mengutamakan seseorang, kecuali setelah Allah dan Rasul-Nya mengutamakan
orang tersebut. dan mereka tidak mengakhirkan (atau mencela) seseorang, kecuali
setelah Allah dan Rasul-Nya mengakhirkan (atau mencela) orang tersebut.
Patut kita perhatikan, bahwa amalan hati seorang hamba dan
keutamaan iman dalam hatinya, dapat mengangkat derajat pemilik hati tersebut ke
tingkat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Mungkin saja, seorang hamba yang
diberi umur panjang, lalu menghabiskan waktunya untuk berbuat kebaikan,
beribadah dan berdakwah di jalan Allah, tidak lebih dicintai oleh Allah dari
pada seorang hamba yang diberi umur pendek, dan anal ibadahnya tidak lebih
bayak. Kemungkinan seperti ini telah terjadi pada kehidupan para nabi.
Misalnya, Nabi Nuh ‘alaihissalam diberi umur panjang hingga 950
tahun, selama itu ia senantiasa beribadah dan berdakwah di jalan Allah.
Sementara itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya diberi waktu
untuk beribadah dan berdakwah di jalan Allah kira-kira selama 23 tahun setelah
diangkat menjadi Rasul. Namun demikian, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam diangkat menjadi pimpinan Bani Adam, dan di sisi Allah keutamaannya
melebihi para nabi yang lain. Ia memiliki kedudukan yang terpuji, dipercaya
menjadi pembawa janji kemuliaan pada hari kiamat, sedangkan nabi yang lain
berada di belakang Muhammad. Kenyataan seperti ini, tidak lain disebabkan oleh
keadaan hati atau batin Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih
suci, lebih sempurna tauhidnya, dan lebih murni ibadahnya.
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nabi yang atas
kehendak Allah, telah disucikan hatinya oleh malaikat, yaitu ketika ia masih berumur
anak-anak, sebelum diangkat menjadi rasul. Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam juga termasuk nabi yang tidak pernah meminta kebinasaan terhadap
kaumnya yang melakukan kezaliman, seperti doanya kepada Allah, “Ya allah,
tunjukilah kaumku, sesungguhnya mereka termasuk kaum yang tidak mengetahui.” Ini
keikhlasan dan kesucian hatinya. Sedangkan kita dapat membaca kisah beberapa
nabi lain yang (tampaknya) tidak semulia sikap Muhammad. Misalnya, Nabi Nuh
‘alaihissalam pernah meminta azab untuk kaumnya yang zhalim (yaitu
ditenggelamkan). Nabi Yunus ‘alaihissalam pernah meninggalkan kaumnya dalam
keadaan marah, lalu ia ditelan ikan besar di tengah lautan. Nabi Musa
‘alaihissalam pernah merasa paling pandai, lalu Allah memerintahkan kepadanya
agar berguru kepada Nabi Khidir. Dengan beberapa contoh ini tampak, bahwa Nabi
Muhammad memiliki amalan batin yang lebih tinggi derajatnya di sisi Allah.
Wallahu A’lam –ed.
Adapun dari segi banyaknya amal ibadah yaitu tampak dari banyaknya
shalat, shaum, infaq fi sabilillah, komitmen dalam din, bertakw adan takut
kepada Allah Ta’ala. Orang yang seperti ini, dapat kita sebutkan,misalnya:
Hasan Basyri, Sa’id bin Musayyab, sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad dan yang
lainnya. Akan tetapi, semua nama tersebut baik secara pribadi maupun secara
jama’ah, tidak mencapai tingkatan Abu Bakr Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu.
Bahkan, seluruh kaum muslimin pun tidak ungkin melebihi derajat Abu Bakr Ash
Shidiq di sisi Allah Ta’ala.
Hal yang dapat memperjelas tentang pentingnya amalan hati adalah,
bahwa pada hari kiamat ada nabi yang datang brsama seorang pengikut, atau dua
orang pengikut, bahkan ada yang tanpa pengikut seorang pun. Namun, kita tidak
meragukan sedikit pun bahwa para nabi tersebut memuliki keutamaan yang melebihi
keutamaa Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum atau orang lain
yang setara dengan mereka. Padahal, banyak manusia masuk Islam melalui tangan
mereka, banyak negeri ditundukkan di bawah panji Islam pada masa mereka, lalu
mereka berdakwah di sekuruh negeri tersebut. hal ini menunjukkan bahwa amalan
hati para nabi berupa tauhid dan ubudiyah lebih baik dibandingkan amal perbuatan
anggota badan yang dilakukan para sahabat dan seluru manusia. Allah Ta’ala
memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Bijaksana Lagi
Maha Mengetahui.
Pengutamaan terhadap manusia hendaknya didasarkan pada keadilan,
bukan pada hawa nafsu atau ta’asshub. Syaikhul Islam bnu Tamiyah telah berkata,
“Barangsiapa menempuh cara yang adil, dia akan mengagungkan orang yang berhak
diagungkan, mencintainya, loyal kepadanya, memberikan hak sesuai dengan
proporsinya. Kemudian dia mengagungkan kebenaran dan menyayangi makhluk.”
(Lihat Minhajus Saunnatina Nabawyah, IV: 543)
Tafdhil mutlak terhadap seseorang sulit diterapkan, sebab setiap
orang memiliki keutamaan yang berbeda-beda, maka untuk membandingkan keutamaan
di antara manusia hendaklah membatasi jenis keutamaannya. Tanpa adanya
pembatasan, tentu manusia tidak akan benar dalam membandingkan keutamaan
seseorang dengan lainnya. Inilah yang disebut tafdhil meuqayyad.
Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata, “perbedaan pendapat
tentang mana yang lebih utama antara Aisyah dan Fatimah, akan dapat terjawab
apabila jenis keutamaannya dibatasi. Jika yang ditanyakan adalah, siapa di
antara Aisyah dan Fatimah yang lebih banyak pahalanya disisi Allah? Maka hal
ini tidak mungkin dapat dijawab. Sebab, menyangkut amalan hati, bukan sekedar
amalan anggota badan. Banyak terjadi, seorang hamba yang amalan anggota
badannya lebih banyak, namun di surga deajatnya di bawah seorang hamba
yangamalan anggota badannya lebih sedikit tetapi amalan hatinya lebih banyak.
jika yang ditanyakan adalah, siapa di antara Aisyah dan Fatimah yang lebih
utama dalam hal ilmu? Maka tidak diragukan lagi, bahwa Aisyah lebih beirlmu dan
lebih memberi manfaat kepada umat Islam, baik dari kalangan umat yang khusus
maupun dari kalangan umat sangant membutuhkan ilmu dari Aisyah. Jika yang
dikehendaki adalah kemuliaan nasab atau keturunan, maka tidak diragukan lagi
bahwa Fatimah lebih utama sebab ia merupakan keturunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Dan jika yang dipermasalahkan adalah kepemimpinan umat, maka
Fatimah adalah pemimpin seluruh kaum muslimin.
Jika membandingkan keutamaan di antara manusia dengan batasan yang
jelas, maka pembicaraan akan senantiasa berdasarkan ilmu dan keadilan. Banyak manusia yang melakukan perbandingan
keutamaan di antara seorang dengan lainnya, namun tidak memberikan
batasan-batasna perbandingan, sehingga merugikan hak orang yang dibicarakan.
Apalagi ketika membicarakan seseorang itu mengikut sertakan pengaruh ta’asshub
dan hawa nafsu, maka ia telah berbocara secara jahil dan zhalim.
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang mana yang lebih utama antara
orang kaya yang bersyukur dan orang fakir yang sabar, kemudian beliau menjawab,
“Yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling bertakwa kepada Allah,
dan jika ketakwaannya sama, maka sama pula derakat keutamaannya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mana yang lebih
utama antara Khadijah dan Aisyah, lalu beliau menjawab, “Khadijah memiliki
pengaruh di awal perkembangan Islam. Ia memberikan pertolongan dan pembelaan di
awal Islam, dan dalam perkara ini, ia lebih utama dibandingkan Aisyah ataupun
istri-istri Rasulullah lainnya. Sedangkan pengaruh di saat Islam sudah
berkembang, Aisyah menyampaika ajaran-ajaran din kepada umat Islam secara luas,
dan ilmu Aisyah tentang dinul Islam tidak tertandingi oleh Khadijah atau istri
lain, maka dalam perkara inilahj keutamaannya.”
Bagi seorang muslim yang hendak membandingkan keutamaan di antara
manusia, hendaklah memperhatikan empat hal berikut:
1. Mengetahui
sebab-sebab atau batasan keutamaan.
2. Mengetahui
tingkat, persentase, atau banyaknya masing-masing keutamaan, lalu
membandingkannya dengan yang lain, dalam perkara yang sama.
3. Mengetahui
hubungan antara perbuatan dengan pelakunya, baik hubungan kuantitas (jumlah
amal perbuatan) maupun kualitas (mutu amal perbuatan).
4. Mempertimbangkan
perbedaannya, misalnya perbedaan tempat, waktu, maupun situasi dan kondisinya.
Seringkali, seseorang memiliki sifat tertentu yang merupakan
keutamaan bagi dirinya, dan sifat tersebut tidak dimiliki oleh orang lain.
Misalnya, keutamaan Khalid bin Walid adalah sifat beraninya, keutamaan Ibnu
Abbas adalah ilmu dan kefaqihanya, sedangkan keutamaan Abu Dzar adalah
kezuhudannya.
Mengutamakan seseorang dengan suatu batasan keutamaan akan lebih
mudah, lebih terhindar dari pengaruh hawa nafsu, serta lebih obyektif. Di
sinilah letak masalah yang lebih sering menjerumuskan manusia dalam kejahilan
dan kezhaliman, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah
Ta’ala. Banyak orang yang merasa dekat
atau terkait dengan seseorang, lalu terbangkit keinginannya untuk
mengutamakannya, dengan cara mencari semua kebaikannya, kadangkala sampai
berlebihan (hingga mengkultuskan ed.), yaitu memandang orang lain seolah-olah
tak memiliki keutamaan. Bila kita teliti, ternyata banyak manusia yang tidak
terlepas dari cara yang keliru ini, yaitu cara membandingkan seseorang tanpa landasan
ilmu dan adil. Dan Allah tidak meridhai manhaj yang salah ini.
Banyak di antara penganut madzhab, tariqat dan pengikut Syaikh,
yang selalu mengutamakan madzhab, thariqat, atau syekh mereka masing-masing.
Demikian pula, banyak golongan nasab, kabilah, penduduk kota, ikatan profesi,
kelompok produksi, atau ikatan-ikatan lain, yang senantiasa mengutamakan
ikatannya saja. Mungkin saja, seseorang yang melakukan pengutamaan terhadap
kelompoknya atau iakatannya itu, ia memiliki ilmu yang luas dan wara’. Dan hal
seperti ini terjadi, karena ia sedang berada di dalam kelompok atau iakatannya,
sehingga pengutamaan terhadap kelompok, syaikh, atau ikatannya, dapat
memberikan manfaat yang dapat langsung dia rasakan. Sementara itu, ia tidak
mengetahui keutamaan orang lain, atau kelompok lain, semata-mata karena
ketidaktahuannya. Maka, hendaklah jangan menutup mata terhadap keutamaan
pihak-pihak yang lain. Sepatutnya ia membandingkan keutamaan di antara manusia
secara adil, berdasarkan ilmu, bukan ta’asshub, dan tidak zhalim.” (Lihat:
Badai’ul Qawa’id, oleh Ibnul Qayyim, III: 161-164, dengan peringkasan)
1.7. Cinta
dan Benci Secara Benar
Kaidah ketujuh dalam menilai orang lain adalah mencintai dan
membenci seseorang secara benar, yaitu dilandaskan karena Allah semata. Kaidah
ini berdasarkan firman Allah:
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (At Taubah 102)
Pada diri seseorang. Senantiasa terhimpun dua perkara, yaitu
kebaikan dan keburukan. Karena kebaikannya, seseorang patut dicinta dan dipuji;
dan karena keburukannya, ia patut dibenci dan dicela. Cinta dan loyalitas dan
menyeluruh pantas diberikan kepada kaum mukminin, sedangkan benci dan
permusuhan secara menyeluruh pantas dihadapka kepada kaum kafirin. Sesungguhnya
cinta dan benci, loyalitas dan permusuhan, termasuk tali keimanan yang utama,
yang kokoh. (Lihat Musnda Ahmad, IV: 286; Al Imam, 110, oleh Ibnu Abi Syaibah;
/Hakim, II: 480; Hasan menurut Al Bani, dalam As Silsilah, 1728)
Kaidah cinta dan benci terhadap seorang muslim yang berbuat baik namun
juga berbuat buruk, maka kita mencintainya karena ia berbuat amal-amal baik,
lallu kita memuji kebaikannya. Namun,kita juga membencinya karena ia berbuat
amal-amal buruk, lalu kita mencela keburukannya.
Barangsiapa tergelincir ke dalam perbuatan salah (tanpa ia sengaja
atau karena kelemahannya), maka janganlah ia dibenci secara mutlak, sebagaimana
yang diperbuat oleh penganut Khawarij, yakni mereka menganggap kafir terhadap
orang yang berbuat kemaksiatan. Namun demikian, jangan pula memuji seseorang
hingga menganggap sederajat dengan Abu Bakar, Umar, bahkan Jibril atau Mikail,
sebagaimana yang diperbuat oleh penganut Murji’ah (yakni mereka meyakini bahwa
stiap muslmin yang telah bersyahadat iu tidak akan disentuh api neraka –ed).
Sesungguhnya Dinul Islam itu berada di pertengahan, antara sikap berlebihan dan
sikap mengingkari.
Ulama salaf telah menunjukkan sikap yang benar, yang harus diambil
oleh seorang muslim dalam melaksanakan ajaran Dinul Islam. Misalnya, perkataan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa, X: 366; Al Fatawa, XV: 294 dan
Minhajus Sunnatin Nabawiyyah, IV: 453 (lihat subbab 1.5. tentang “melihat
banyaknya kebaikan” –ed.) tentang Abu JA’far Al Baqir, Adz Dzahai rahimahullah
berkata, “Abu JA’far adalah seorang imam dan mujtahid, membaca dan memahami
kitabullah, dan mempunyai kemampuan yang besar. Akan tetapi tentang Al Qur’an,
dia tiak sampai ke tingkat Ibnu Katsir dan yang sederajat dengannya, tentang
fiqih tidak sampai ke tingkat Abu Zinad dan Rabi’ah tentang hafalan serta
pengetahuan haditsnya tidak sampai ke tingkat Qatadah dan Ibnu Syihab. Maka,
kami tidak mencintai dan membenci seseorang karena Allah Ta’ala, karena
kebaikan-kebaikan yang terdapat pada dirinya.” (Siyar A’lamin Nubala’ IV: 402)
Seringkali terjadi, manusia membangun kecintaan dan kebencian
kepada seseorang, didasarkan pada sejauh mana kesepakatan orang tersebut
terhadapnya. Misalnya, seorang muslim mencintai muslim lainnya karena ia
menganut madzhab yang sama, memiliki satu thariqah dakwah, aatau berada dalam
satu jama’ah. Pada sebagian kamum muslimin, muncul kebencian terhadap muslim
yang lain, karena perbedaan pendapat dalam perkara yang bersifat fiqhi ijtihadi
atau nazhari amali, (yaitu perkara-perkara yang dikenal dengan istilah
furu’iyyah atau khilafiyyah –ed). Kebencian seperti ini merupakan bukti
cacatnya iman dalam hati seorang muslim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “pertama-tama, seorang muslim
harus memulai dakwahnya dengan niat karena Allah Ta’ala, karena menaati
perintah-Nya. Ia harus mencintai mad’u (orang yang diseru) karena perbuatan
bainya, dan ia harus mengakui hujjah, menasihati, serta meluruskan penyimpangan
yang terjadi. Bila ia melakukan semua hal tersebut karena ingin meraih
kekuasaan untuk dirinya maupun kelompoknya, karena mencari reputasi, atau
karena riya’, sambil mencela orang lain, maka semua amalnya tidak akan diterima
oleh Allah Ta’ala, bahkan pahalanya akan lenyap. Lalu, ketika ada orang lain
yang membantah, menyakiti, dan mengingatkan, bahwa ia telah keliru, tujuan
daklwahnya telah menyimpang, maka ia segera membela diri. Dalam keadaan seperti
ini, datanglah syaithon menggelincirkannya, yang semula ia memiliki tujuan
karena Allah, kini berubah menjadi karena hawa nafsu. Ia mempertahankan diri,
bahkan mungkin menzhalimi orang yang mengatakannya.”
Keadaan seperti di atas, banyak menimpa kaum musliin yang meyakini,
bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar, yang berada di atas
sunnah. Orang seperti ini tidak senang kepada siapa pun yang mengkritik atau
mengingatkan kekeliruannya, meskipun dari kalangan mujtahid, bahkan orang ini
lebih mencintai seorang yang jahil namun setia atau sepaham dengannya, padahal
boleh jadi, orang jahil ini berniat buruk, atau tidak memiliki ilmu serta
tujuan. Kejadian seperti ini mengakibtkan, seseorang memuji-memuji orang yang
tidak dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya, lalu mencela orang-orang yng tidak
dicela oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang terebut mendasarkan loyalitas dan
permusuhan pada hawa nafsunya, bukan pada kitabullah dan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Karena manusia menggenggam Dinul Islam tidak semata-mata karena
Allah Ta’ala, maka muncullah berbagain macam fitnah. Dan Allah Ta’ala brfirman:
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama
itu semata-mata untuk Allah...” (Al Anfal 39)
Islam mengajarkan, bahwa mencintai atau membenci sesorang itu wajib
didasarkan karena Allah, muwalah dan mu’adah (loyalitas dan permusuhan) juga
karena Allah, tidak ridha dengan keridlaan Allah dan Rasul-Nya, tidak marah
terhadap apa yang dimurkai Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ia senang bila semua
perkara itu sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, dan marah bila perkaa
tersebut bertentangan dengan kehendak hawa nafsunya. Namun demikian ia
beranggapan, bahwa yang sedang ia lakukan, yaitu beribadah dan berdakwah adalah
perbuatan yang sesuai dengan sunnah serta Dinul Islam. Padahal orang tersebut,
dalam ibadahnya dipoengaruhi hawa nafsu, dan dakwahnya untuk kepentingan diri
serta golongannya, bukan untuk Allah dan Rasul-Nya. Lalu, mengklaim dan
menganggap bahwa ia dan kelompknya adalah pengikut sunnah yang berada di atas
kebenaran. Keadaan mereka ini bercampuraduk antara kebenaran dan kebatilan,
antara sunnah dan bid’ah.
Demikianlah perilaku manusia yang memecah belah din, lalu manusa
menjadi bergolong-golongan, berbangga-bangga dengan golongannya, saling
memfasikkan, bahkan saling mengkafirkan.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al kitab
(kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
lurus.” (Al Bayyinah 4-5)
KESIMPULAN
Dapat kita simpulkan, bahwa ketika kita hendak melakukan penilaian
terhadap seseorang, maka kita harus melandaskannya pada tujuh buah kaidah,
yaitu: takut kepada Allah, mendahulukan baik sangka, berdasarkan ilmu dan adil,
adil dalam mensifati (seseorang), melihat (memperhatikan) banyaknya kebaikan,
adil dalam membandingkan keutamaan (di antara manusia), serta memiliki manhaj
(kaidah, adab) yang benar dalam cinta dan benci terhadap seseorang.
Barangsiapa menempuh manhaj yang benar dalam mengkritik dan menilai
orang lain, semoga ia mendapat kebenaran, dan semoga pada hari kiamat nanti ia
tidak dituntut terhadap apa yang telah ia ucapkan. Barangsiapa meninggalkan
kaidah-kaidah yang benar dalam mengkritik serta menilai orang lain,
sesungguhnya ia sedang berdiri di atas jurang api neraka dan salah satu kakinya
mulai tergelincir ke dalam jurang sementara dia tidak merasakan hal tersebut.
Akhirnya, hanya Allah lah yang mampu memberikan taufiq dan hidayah
kepada hamba-Nya. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------