ADAB KRITIK DAN MENILAI ORANG LAIN MENURUT MANHAJ AHLUS SUNNAH, Bagian-3.
Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fin Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin.
BAB II : KAIDAH UMUM MENDENGAR PENILAIAN BURUK.

Bahaya Penyebaran Isu.
Ketika seorang muslim mendalami Al Kitab, As Sunnah, dan sejarah Islam, maka salah satu hal penting yang patut dicatat adalah betapa besar bahaya yang ditimbulkan oleh penyebaran isu. Isu merupakan “senjata” yang amat berbahaya dan sangat ampuh untuk menghancurkan kehormatan seseorang ataupun kemapanan suatu masyarakat. Entah sudah berapa ribu kali, isu berhasil mencemaskan orang tak bersalah, merusak kehormatan orang bsar, menghancurkan ikatan keluarga, memutuskan tali persahabatan, memunculkan berbagai kejahatan, memporak-porandakan keutuhan pasukan, serta mencabik-cabik kekokohan umat.
Mengingat betapa bahayanya isu, maka kita lihat, setiap negara sangat memperhatikan dan berhati-hati terhadap penyebaran isu. Bahkan, isu dijadikan alat ukur untuk mengetahui tingkat kepekaan masyarakat dan tingkat stabilitas pemerintahan, sehingga dari penyebaran isu, dapat diperdiksi peristiwa yang mungkin terjadi pada masa mendatang, di tingkat nasional maupun tingkat international.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khususnya, dan para sahabat pada umumnya, pernah mengalami guncangan hebat yang diakibatkan oleh tersebarnya haditsul ifki (berida bohong) tentang Aisyah istri Rasulullah. (setelah berperang dengan Bani Mushtaliq pada tahun ke-5 Hijriah, dalam perjalanan pulang, Aisyah tertinggal dari rombongan di suatu tempat. Dalam keadaan menunggu, mengharapkan ada di antara rombongan yang akan kembali menjemputnya, lewatlah seorang sahabat, Shafwan Ibnu Mu’atthal. Kemudian, shafwan mempersilakan Aisyah untuk mengendarai untanya, sementara ia berjalan menuntun unta. Ketika memasuki Madinah, orang-orang yang melihatnya membicarakan mereka berdua dengan pendapatnya masing-masing. Kemudian, kaum munafik menambah-nambah berita sambil menyebarluaskannya. Terjadilah keguncangan hebat di kalangan kaum muslimin. Hingga turunlah firman Allah Ta’ala untuk menjernihkan suasana, sebagaimana terdapat dalam An Nur 11-19 –ed)
Kaum muslimin di Madinah telah termakan oleh berita bohong tersebut yang telah tersiar sebulan penuh, dan seandainya buka karena pertolongan Allah Ta’ala, niscaya dapat membinasakan orang yang buruk maupun orang yang baik tanpa kecuali. Kejadian besar ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kaum muslimin pda masa Rasulullah maupun umat Islam pada masa berikutnya hingga hari kiamat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu...” (An Nur 11)
Tatkala tersiarnya isu, maka setiap orang berada dalam kebimbangan dan kegelisahan, antara membenarkan dan menolak. Kemudian, pendapat seorang muslim dengan muslim yang lain mulai berbeda, sikap yang satu dengan yang lain mulai berbeda, sikap yang satu dengan yang mulai bertentangan, akhirnya memecah belah persatuan ummat. Oleh karena itu, hendaklah setiap muslim brhati-hati, jangan mengemukakan setiap yang didengarnya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Cukuplah seseorang itu (dikatakan) berdusta bila ia mengatakan setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim, dalam muqaddimah Ash Shahih, no. 5)
“cukuplah seseorang itu berdosa bila ia mengatakan setiap apa yang ia dengar.” (Lihat Shahihul Jami’, no. 4480)
Imam Malik rahimahullah berkata, “Ketahuilah, termasuk kerusakan besar, apabila seseorang mengatakan setiap apa yang ia dengar.” (Suiyar A’lamin Nubala’, VIII: 66)
Betapa buruk akibat yang ditimbulkan oleh isu-isu, dan beberapa contoh berikut ini kan lebih memperjelas tentang malapetaka oleh isu, yaitu antara lain:
a.    Setelah sebagian kaum muslimin melaksanakan hijrah ke Habsyah, tersebar isu, bahwa kaum kafir Quraisy telah masuk Islam. Akibatnya, kaum muslimin yang telah berhijrah tadi, kembali ke Mekkah. Namun sebelum memmasuki Mekkah, mereka mengetahui bahwa berita itu hayalah isu. Maka sebagian di antara mereka ada yang berbalik ke Habsyah, naum sebagiannya lagi tetap ke Mekkah. Lalu, sesampainya di Mekkah, di antara mereka ada yang mengalami penyiksaan dari kaium kafir Quraisy, padahal sebelumnya, mereka berhijrah karena menghindari penyiksaan tersebut. namun, hikmah dari semua kejadian tersebut, hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
b.    Pada Perang Uhud, tersiar isu bahwa Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam telah terbunuh. Maka, berita ini sangat melemahkan semangan juang pasukan muslimin, bahkan adapula yang melemparkan senjatanya lalu berlari meninggalkan medan pertempuran.
c.    Kaum munafik pernah menyebarkan isu tentang keburukan Khalifah Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Akibat isu ini, muncullah persekongkolan antara kaum muanfik dan orang-orang bodoh. Mereka menghentikan suplai air untuk Khalifah, lalu brsama-sama membunuhnya.
d.    Terjadinya perang Jamal dan perang shiffin merupakan akibat dari isu, yang kemudian mendatangkan akibat tambahan berupa munculnya beberapa paham bid’ah, seperti: syi’ah, Murji’ah, dan Qadariyah. Selain itu, bid’ah merajalela hingga saat sekarang, dan kita turut merasakan akibat buruknya.
Kita tengok kembali peristiwa hadits ifki, yang berhasil mengguncang rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama sebulan penuh,mengguncang seluruh isi kota Madinah, bahkan se,uruh kaum muslimin. Hadits ifki telah membebabi jiwa yang paling suci, yaitu jiwa Rasulullah, lalu menimbulkan kepedihan yang tida tertahankan ada hatinya, paad hati Aisyah, Abu Bakar Shidiq dan istrinya, hati Shafwan bin Mu’atthal, dan hati sahabat-sahabat ridhwanullah ‘alaihim. Selama bulan tersebut, mereka diliputi keraguan, kecemasan, dan kepedihan, mereka diliputi keraguan, kecemasan, dan kepedihan, yang mereka sendiri tidak mengetahui, kapan akhirnya ujian yang teramat berat itu? (Lihat Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, IV: 2495)
Peristiwa hadits ifki mrupakan pendidikan dari Allah Ta’ala, berupa pendidikan yang keras, serta nasihat yang besar, yang sudah pasti mempunyai hikmah amat penting bagi seluruh kaum muslimin. Dan hanya Allah yang Mahabijaksana lagi maha mengetahui terhadap segala sesuatu. Dia ttelah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (An Nur 11)
Pembawa berita bohong yang mengguncang penduduk Madinah, bukan pula sejumlah orang yang terpisah-pisah, namun sekelompok orang yang bersatu padu dengan tujuan yang sama. Pelaku berita bohong itu bukan hanya Abdullah bin Ubay bin Salul saja, meskipun ia memang tokoh sentral penggerak tersiarnya isu, yang tingkah lakunya mencerminkan kelompok yahudi serta kelompok munafiqun, (dan yahudi serta munafikin inilah yang memperbesar isu) karena mereka tidak mampu memerangi kaum muslimin secara terang-terangan.
Dalam menyelaesaikan kasus hadits ifki, Allah Ta’ala memulai alur pembicaraa-Nya dengan penjelasan hakikat hadits ifki, lalu betapa besar nilai bahayanya, serta membongkar akar masalah yang memunculkan hadits ifki. Sebagai terapi, Allah Swt menenangkan gejolak hati kaum muslimin dengan berfirman: “Janganlah kamu kira bahwa berita bohog itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu.”
Berkata bohong yang telah merusak keseerasian masyarakat muslim di Madinah itu, Allah katakan tidak buruk, bahkan baik bagi kaum muslimin. Kebaikan ini ditinjau dari beberapa segi, antara lain:
1.    Melalui kasus hadits ifki, Allah Ta’ala dapat mengungkap pelaku-pelaku makar yang menujukan makarnya kepada Rasulullah dan keluargaya.
2.    Karena adanya kasus ini, Allah menjelaskan kepada kaum muslimin, bahwa menuduh seorang tanpa fakta termasuk perbuatan haram, dan baginya pantas mendapatkan hukuman.
3.    Melalui kasus ini pula, maka Allah Ta’ala dapat menunjukkan manhaj yang benar dalam menilai seseorang, yang sebelumnya tidak seorang muslim pun tidak mengetahuinya.
Setiap orang yang memiliki andil penyiaran berita bohong, mendapatkan balasan dari Allah Ta’ala, sesuai dengan kesalahannya masing-masing. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Tiap-tiap orang dari mereka mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Sedangkan yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong tersebut, baginya azab yang besar.”
Allah Ta’ala menunjukkan manhaj yang benar bagi seorang muslim ketika pertama kali ia mendengar sebuah khabar buruk, yaitu ia harus berkeyakinan bahwa khabar tersebut tidaklah benar, sambil ia meneliti dari mana sumber berita itu, serta mengecek benarkan berita itu. Allah Ta’ala berfirman:
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (An Nur 12)
Sebagai contoh, sikap yang benar ketika mendengar isu, telah dicontohkan oleh Abu ayyub Khalid bin Zaid Al Anshari dan istrinya radhiyallahu ‘anhuma, yaitu mereka berdua tidak begitu saja mempercayai isu tersebut, mereka berpikir, tidak mungkin Aisyah Ummul Mu’minin istri Rasulullah dan Shafwan Ibnu Mu’atthal sahabat Rasulullah, melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Mereka adalah panutan umat ayng tidak tercela, dan semua orang mengetahui kebaikannya. Seperti inilah manhaj yang benar, yaitu ketika pertama kali mendengar isu, maka seorang muslim harus melakukan sebuah usaha penelitian batin, perasaan serta akalnya. Setelah itu, ia harus melakukan pembuktian berdasarkan fakta atau data yang otentik serta kuat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.” (An Nur 13)
Sungguh mendidik firman Allah Ta’ala tersebut. Mengapa setiap orang dengan mudah saja mengatakan keburukan orang lain tanpa meneliti kebenarannya, tanpa menyebutkan saksi-saksi yang dapat memperkuat berita tersebut? jika seseorang menuduh orang lain melakukan suatu perbuatan tercela, tanpa mendatangkan empat orang saksi, maka berita tersebut tak layak dipercaya, dan pembawa beritanya dapat dianggap berdusta.
Dua hal yang telah dilanggar oleh kaum muslimin, yaitu: berpikir dan merenungkan dalam hati mungkinkah peristiwa itu terjadi, serta meneliti kebenaran isi berita hingga ke sumber pembuat berita. Kdua hal inilah yang telah menyebabkan kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termodai, dan kaum muslimin menganggap hal ini masalah ringan, padahal ini adalah persoalan besar. Maka, Allah Ta’ala memperingatkan, agar kaum muslimin jangan sekalipun mengulangi tragedi serupa, hingga hari kiamat nanti. Dan untuk peristiwa hadits ifki tersebut, Allah Ta’ala telah menurunkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga penduduk kota Madinah tidak ditimpa adzab Allah, sebagaimana firmannya:
“Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.” (An Nur 14)
Beginilah Allah Ta’ala mendidik manusia. Ia mendidik secara keras, dan sungguh-sungguh, namun juga memberikan karunia. Pada kasus hadits ifki, manusia telah berbuat kesalahan besar, yang sesungguhnya pantas mendapatkan azab, yaitu setimpal dengan kepedihan yang menimpa Rasulullah, istrinya, serta sahabatnya, namun Allah mengampuni dosa mereka, asalkan mereka tidak lagi mengulangi kesalahan tersebut hingga hari bangkit.
Pada saat berkecamuknya berita bohong, tampak kendali umat telah terhapus, nilai-nilai luhur telah terkoyak, prinsip-prinsip kebaikan telah lenyap. Mereka menerima berita tanpa dicerna, tidak direnungi, “(ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong  itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal di sisi Allah adalah besar.” Allah Ta’ala tidak akan mengatakan hak tersebut besar, kecuali memang hal itu adalah besar, yang dapat mengguncangkan gunung, langit, dan bumi. Ingatlah firman allah Ta’ala:
“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar." (An Nur 16)
Allah pun berfirman:
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (AnNur 17)
Pada ayat di atas, Allah memulai dengan uslub tarbiyyah (metode pendidikan) yang mengesanka, serta lafazh peringatan yang paling tepat dan paling baik didengar, yaitu: “Allah memperingatkan kamu agar jangan kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya.” Lalu Allah Ta’ala menyadarkan peringatan tersebut dengan iman, “Jika kamu orang-orang yang beriman.” Lalu Allah melanjutkan dalam firman-Nya, “Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu.”  Yaitu menjelaskan permasalahan hadits ifki dan penyelesaiannya. “Dan Allah Maha Mengtahui dan Maha Bijaksana.” Yakni mengetahui niat dan tujuan manusia, serta mengetahui isi hati manusia. Dan Allah Maha bijaksana dalam mengobati hati yang rusak, bijaksana dalam mengyelesaiakan persoalan, serta bijaksana dalam meletakkan aturan dan batasan yang harus dipatuhi oleh manusia.
Perlakuan Terhadap Isu
Apabila seorang muslim mendengar isu atau suatu berita buruk tentang seseorang atau suatu hal, maka langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut:
1.    Bersangka baik. Mencari dalil atau argumentasi yang bersifat batiniyah. Ia harus berpikir, merenungkan dan merasakan mungkinkah seseorang yang terkenal kebaikannya, yang tidak tercela, serta terhormat, melakukan perbuatan tercela? Demikianlah cara mempertahankan shaff kaum muslimin, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An Nur 12)
2.    Mencari dalil yang bersifat faktual. Mencari data yang akurat dan otentik, yang dapat dipertanggungjawabkan secara empirik (dengan pembuktian). Allah Ta’ala berfirman:
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.” (An Nur 13)
3.    Meredam isu. Tidak menyebarkan isu, berita buruk, atau aib seseorang, yang baru didengarnya. Bila setiap muslim meredam isu, niscaya berita bohong itu tak akan tersebar, lalu hilang dengan sendirinya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar." (An Nur 16)
4.    Mengembalikan permasalahan kepada ulil amri. Berbagai persoalan umat hendaknya jangan disampaikan kepada sembarang orang, namun sampaikanlah kepada pelindung umat, yaitu ulil amri. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An Nisa 83)
Apabila seorang muslim senantiasa mengembalikan  persoalan-persoalan penting kepada ulil amri, serta melakukan ketiga hal lainnya (sebagaimana telah disebutkan pada nomor 1, 2, dan 3), niscaya isu itu tidak menjalar kemana-mana. Akan tetapi, meskipun manusia mengetahui cara-cara meredam isu, ada saja di antara manusia yang senang mendengarkan isu-isu, bahkan ada yang memiliki penyakit hati, yaitu senang mencari-cari kesalahan lalu merasa puas apabila sudah menyebarkannya. Tentang orang yang seperti ini, Allah Ta’ala berfirman:
“....sedang di antara kamu ada orang-orang yang Amat suka mendengarkan Perkataan mereka. ..” (At Taubah 47)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Allah telah mengabarkan, bahwa jika orang-orang munafik pergi berperang bersama pasukan muslimin, mereka tidak menambah apa-apa kecuali kerusakan. Orang-orang munafik akan cepat maju dari barisannya dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah bagi pasukan kaum muslimin. Da di antara pasukan kaum muslimin, ada orang yang menyambut sikap orang munafik, entah karena kesalahan, hawa nafsu, atau kedua-duanya.” (Dar’u Ta’ardhil ‘aql wan Naql)
5.    Tidak suka mendengarkan isu, yang (biasanya) bersumber dari para pendusta, orang-orang munafik, pelaku ghibah, dan orang yang berpenyakit hati.
Inilah lima hal yang harus dilaksanakan seorang muslim mendengar berita buruk. Apabila kelima hal ini diabaikan, mungkin sekali akan terjadi fitnah besar. Manakala fitnah telah berkecamuk, sulitlah bagi siapa pun untuk memadamkannya, dan akibatnya akan menima semuanya, orang zalim maupun orang shaleh.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.” (Al Anfal 25)
Tidak ada yang selamat dari fitnah, kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. (Lihat Minhajus Sunnatin Nabawiyyah, IV: 343)
Betapa bahayanya isu, sehingga musuh-musuh Islam mengekploitasi isu untuk memecah belah barisan kaum muslimin, menyerang ulama, pemimpin, dan para da’i. Biasanya musuh-musuh Islam melakukan dua cara dalam menyebarkan isu, yaitu:
1.    Melancarkan tuduhan palsu terhadap ulama dan para da’i misalnya, menuduh mereka sebagai agent (mata-mata musuh), atau menuduh bahwa ulama memiliki motivasi mencari jabatan dan kesenangan duniawi.
2.    Mencari-cari kesalahan ulama’, baik dari segi ilmiyah maupun dari segi amaliah. Dari kesalahan yang kecil, kemudian dibesarkan serta ditambah-tambah dengan perkataan dusta. Yang mereka sebarkan memang ada benarnya, namun tidak sebanding dengan kesuataannya. Seperti halnya setan ketika memberi berita kepada dukun, kebenarannya mungkin hanya satu persen, dan kedustaannya sembilan puluh sembilan persen.
Berikut ini akan kami uraikan empat buah kaidah umum yang harus dipegang oleh seorang muslim, ketika ia mendengar penilaian negatif tentang saudaranya sesama muslim. Keempat kaidah ini adalah:
2.1.               Melihat Keadaan Penilai
Kaidah umum pertama ketika mendengar penilaian buruk tentang seseorang adalah harus melihat keadaan penilai. Kaidah ini berdasarkan firman Allah Ra’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti...” (Al Hujurat 6)
Sesungguhnya Allah Ta’ala menjelaskan, bahwa bersikap teliti terhadap setiap berita yang dibawa oleh orang fasik, merupakan suatu kewajiban. Sebelum neneliti isi berita, maka yang pertama harus dilihat adalah keadaan pembawa berita, apakah termasuk orang adil atau fasik? Apakah antara yang menilai dan yang ditilai itu terdapat permusuhan, kebencian, atau persaingan? Apakah penilai itu memiliki din yang baik serta dapat menjaga amanat? Dan sejumlah pertanyaan lain yang diperlukan untuk meneliti keadan oebawa berita negatif tersebut.
As Sakhawi berkata, “Ibnu Abdil Barr, memandang bahwa penilaian negatif terhadap ahli ilmu tidaklah diterima, kecuali dengan argumentasi yang jelas. Apabila penilaian negatif tersebut disertai dengan unsur permusuhan, maka penilaian itu tidak boleh diterima.” (Lihat Fathul Mughits, III: 328)
As Subki berkata, “Yang benar menurut kami adalah apabila sudah nyata keimanan dan keadilan seseorang, banyak orang memujinya, sedikit yang memberikan penilaian negatif terhadapnya, lalu ada orang lain yang mencelanya, apalagi celaannya itu didasar rasa ta’asshubterhadap suatu madzhab, maka kami menyikapi celaan tersebut dengan keadilan (yaitu mendahulukan baik sangka, meneliti pencela, kebenaran isi celaan, menimbang bayak mana kesalahan dan kebaikannya –ed). Kalau tidak bersikap adil, bahkan mendahulukan buruk sangka, maka menurut kami, tidak seorang imam pun yang selamat. Karena, di antara seluruh imam, tidak ada yang terlepas dari kesalahan atau cacian.” (Lihat: Thabaqatus Syafi’iyatil Kubra, II: 9)


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------