ADAB KRITIK DAN MENILAI ORANG LAIN MENURUT MANHAJ AHLUS SUNNAH, Bagian-3.
Manhaj Ahlis
Sunnah wal Jama’ah fin Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin.
BAB II : KAIDAH UMUM
MENDENGAR PENILAIAN BURUK.
Bahaya Penyebaran Isu.
Ketika seorang muslim mendalami Al Kitab, As Sunnah, dan sejarah
Islam, maka salah satu hal penting yang patut dicatat adalah betapa besar
bahaya yang ditimbulkan oleh penyebaran isu. Isu merupakan “senjata” yang amat
berbahaya dan sangat ampuh untuk menghancurkan kehormatan seseorang ataupun
kemapanan suatu masyarakat. Entah sudah berapa ribu kali, isu berhasil
mencemaskan orang tak bersalah, merusak kehormatan orang bsar, menghancurkan
ikatan keluarga, memutuskan tali persahabatan, memunculkan berbagai kejahatan,
memporak-porandakan keutuhan pasukan, serta mencabik-cabik kekokohan umat.
Mengingat betapa bahayanya isu, maka kita lihat, setiap negara
sangat memperhatikan dan berhati-hati terhadap penyebaran isu. Bahkan, isu
dijadikan alat ukur untuk mengetahui tingkat kepekaan masyarakat dan tingkat
stabilitas pemerintahan, sehingga dari penyebaran isu, dapat diperdiksi
peristiwa yang mungkin terjadi pada masa mendatang, di tingkat nasional maupun
tingkat international.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khususnya, dan para sahabat
pada umumnya, pernah mengalami guncangan hebat yang diakibatkan oleh
tersebarnya haditsul ifki (berida bohong) tentang Aisyah istri Rasulullah.
(setelah berperang dengan Bani Mushtaliq pada tahun ke-5 Hijriah, dalam
perjalanan pulang, Aisyah tertinggal dari rombongan di suatu tempat. Dalam
keadaan menunggu, mengharapkan ada di antara rombongan yang akan kembali
menjemputnya, lewatlah seorang sahabat, Shafwan Ibnu Mu’atthal. Kemudian,
shafwan mempersilakan Aisyah untuk mengendarai untanya, sementara ia berjalan
menuntun unta. Ketika memasuki Madinah, orang-orang yang melihatnya
membicarakan mereka berdua dengan pendapatnya masing-masing. Kemudian, kaum
munafik menambah-nambah berita sambil menyebarluaskannya. Terjadilah
keguncangan hebat di kalangan kaum muslimin. Hingga turunlah firman Allah
Ta’ala untuk menjernihkan suasana, sebagaimana terdapat dalam An Nur 11-19 –ed)
Kaum muslimin di Madinah telah termakan oleh berita bohong tersebut
yang telah tersiar sebulan penuh, dan seandainya buka karena pertolongan Allah
Ta’ala, niscaya dapat membinasakan orang yang buruk maupun orang yang baik
tanpa kecuali. Kejadian besar ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi
kaum muslimin pda masa Rasulullah maupun umat Islam pada masa berikutnya hingga
hari kiamat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan
ia adalah baik bagi kamu...” (An Nur 11)
Tatkala tersiarnya isu, maka setiap orang berada dalam kebimbangan
dan kegelisahan, antara membenarkan dan menolak. Kemudian, pendapat seorang muslim
dengan muslim yang lain mulai berbeda, sikap yang satu dengan yang lain mulai
berbeda, sikap yang satu dengan yang mulai bertentangan, akhirnya memecah belah
persatuan ummat. Oleh karena itu, hendaklah setiap muslim brhati-hati, jangan
mengemukakan setiap yang didengarnya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Cukuplah seseorang itu (dikatakan) berdusta bila ia mengatakan
setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim, dalam muqaddimah Ash Shahih, no. 5)
“cukuplah seseorang itu berdosa bila ia mengatakan setiap apa yang
ia dengar.” (Lihat Shahihul Jami’, no. 4480)
Imam Malik rahimahullah berkata, “Ketahuilah, termasuk kerusakan
besar, apabila seseorang mengatakan setiap apa yang ia dengar.” (Suiyar A’lamin
Nubala’, VIII: 66)
Betapa buruk akibat yang ditimbulkan oleh isu-isu, dan beberapa
contoh berikut ini kan lebih memperjelas tentang malapetaka oleh isu, yaitu
antara lain:
a. Setelah
sebagian kaum muslimin melaksanakan hijrah ke Habsyah, tersebar isu, bahwa kaum
kafir Quraisy telah masuk Islam. Akibatnya, kaum muslimin yang telah berhijrah
tadi, kembali ke Mekkah. Namun sebelum memmasuki Mekkah, mereka mengetahui
bahwa berita itu hayalah isu. Maka sebagian di antara mereka ada yang berbalik
ke Habsyah, naum sebagiannya lagi tetap ke Mekkah. Lalu, sesampainya di Mekkah,
di antara mereka ada yang mengalami penyiksaan dari kaium kafir Quraisy,
padahal sebelumnya, mereka berhijrah karena menghindari penyiksaan tersebut.
namun, hikmah dari semua kejadian tersebut, hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
b. Pada
Perang Uhud, tersiar isu bahwa Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam telah
terbunuh. Maka, berita ini sangat melemahkan semangan juang pasukan muslimin,
bahkan adapula yang melemparkan senjatanya lalu berlari meninggalkan medan
pertempuran.
c. Kaum
munafik pernah menyebarkan isu tentang keburukan Khalifah Usman bin Affan
radhiyallahu ‘anhu. Akibat isu ini, muncullah persekongkolan antara kaum
muanfik dan orang-orang bodoh. Mereka menghentikan suplai air untuk Khalifah,
lalu brsama-sama membunuhnya.
d. Terjadinya
perang Jamal dan perang shiffin merupakan akibat dari isu, yang kemudian
mendatangkan akibat tambahan berupa munculnya beberapa paham bid’ah, seperti:
syi’ah, Murji’ah, dan Qadariyah. Selain itu, bid’ah merajalela hingga saat
sekarang, dan kita turut merasakan akibat buruknya.
Kita tengok kembali peristiwa hadits ifki, yang berhasil
mengguncang rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama sebulan
penuh,mengguncang seluruh isi kota Madinah, bahkan se,uruh kaum muslimin. Hadits
ifki telah membebabi jiwa yang paling suci, yaitu jiwa Rasulullah, lalu
menimbulkan kepedihan yang tida tertahankan ada hatinya, paad hati Aisyah, Abu
Bakar Shidiq dan istrinya, hati Shafwan bin Mu’atthal, dan hati sahabat-sahabat
ridhwanullah ‘alaihim. Selama bulan tersebut, mereka diliputi keraguan,
kecemasan, dan kepedihan, mereka diliputi keraguan, kecemasan, dan kepedihan,
yang mereka sendiri tidak mengetahui, kapan akhirnya ujian yang teramat berat
itu? (Lihat Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, IV: 2495)
Peristiwa hadits ifki mrupakan pendidikan dari Allah Ta’ala, berupa
pendidikan yang keras, serta nasihat yang besar, yang sudah pasti mempunyai
hikmah amat penting bagi seluruh kaum muslimin. Dan hanya Allah yang
Mahabijaksana lagi maha mengetahui terhadap segala sesuatu. Dia ttelah
berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah
dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi
kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil
bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang
besar.” (An Nur 11)
Pembawa berita bohong yang mengguncang penduduk Madinah, bukan pula
sejumlah orang yang terpisah-pisah, namun sekelompok orang yang bersatu padu
dengan tujuan yang sama. Pelaku berita bohong itu bukan hanya Abdullah bin Ubay
bin Salul saja, meskipun ia memang tokoh sentral penggerak tersiarnya isu, yang
tingkah lakunya mencerminkan kelompok yahudi serta kelompok munafiqun, (dan
yahudi serta munafikin inilah yang memperbesar isu) karena mereka tidak mampu
memerangi kaum muslimin secara terang-terangan.
Dalam menyelaesaikan kasus hadits ifki, Allah Ta’ala memulai alur
pembicaraa-Nya dengan penjelasan hakikat hadits ifki, lalu betapa besar nilai
bahayanya, serta membongkar akar masalah yang memunculkan hadits ifki. Sebagai
terapi, Allah Swt menenangkan gejolak hati kaum muslimin dengan berfirman: “Janganlah
kamu kira bahwa berita bohog itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi
kamu.”
Berkata bohong yang telah merusak keseerasian masyarakat muslim di
Madinah itu, Allah katakan tidak buruk, bahkan baik bagi kaum muslimin.
Kebaikan ini ditinjau dari beberapa segi, antara lain:
1. Melalui
kasus hadits ifki, Allah Ta’ala dapat mengungkap pelaku-pelaku makar yang
menujukan makarnya kepada Rasulullah dan keluargaya.
2. Karena
adanya kasus ini, Allah menjelaskan kepada kaum muslimin, bahwa menuduh seorang
tanpa fakta termasuk perbuatan haram, dan baginya pantas mendapatkan hukuman.
3. Melalui
kasus ini pula, maka Allah Ta’ala dapat menunjukkan manhaj yang benar dalam
menilai seseorang, yang sebelumnya tidak seorang muslim pun tidak
mengetahuinya.
Setiap orang yang memiliki andil penyiaran berita bohong,
mendapatkan balasan dari Allah Ta’ala, sesuai dengan kesalahannya
masing-masing. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Tiap-tiap orang dari mereka
mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Sedangkan yang mengambil
bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong tersebut, baginya azab yang
besar.”
Allah Ta’ala menunjukkan manhaj yang benar bagi seorang muslim
ketika pertama kali ia mendengar sebuah khabar buruk, yaitu ia harus
berkeyakinan bahwa khabar tersebut tidaklah benar, sambil ia meneliti dari mana
sumber berita itu, serta mengecek benarkan berita itu. Allah Ta’ala berfirman:
“Mengapa
di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat
tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata:
"Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (An Nur 12)
Sebagai contoh, sikap yang benar ketika mendengar isu, telah
dicontohkan oleh Abu ayyub Khalid bin Zaid Al Anshari dan istrinya radhiyallahu
‘anhuma, yaitu mereka berdua tidak begitu saja mempercayai isu tersebut, mereka
berpikir, tidak mungkin Aisyah Ummul Mu’minin istri Rasulullah dan Shafwan Ibnu
Mu’atthal sahabat Rasulullah, melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Mereka
adalah panutan umat ayng tidak tercela, dan semua orang mengetahui kebaikannya.
Seperti inilah manhaj yang benar, yaitu ketika pertama kali mendengar isu, maka
seorang muslim harus melakukan sebuah usaha penelitian batin, perasaan serta
akalnya. Setelah itu, ia harus melakukan pembuktian berdasarkan fakta atau data
yang otentik serta kuat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang
saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi
Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.” (An Nur 13)
Sungguh mendidik firman Allah Ta’ala tersebut. Mengapa setiap orang
dengan mudah saja mengatakan keburukan orang lain tanpa meneliti kebenarannya,
tanpa menyebutkan saksi-saksi yang dapat memperkuat berita tersebut? jika
seseorang menuduh orang lain melakukan suatu perbuatan tercela, tanpa
mendatangkan empat orang saksi, maka berita tersebut tak layak dipercaya, dan
pembawa beritanya dapat dianggap berdusta.
Dua hal yang telah dilanggar oleh kaum muslimin, yaitu: berpikir
dan merenungkan dalam hati mungkinkah peristiwa itu terjadi, serta meneliti
kebenaran isi berita hingga ke sumber pembuat berita. Kdua hal inilah yang
telah menyebabkan kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termodai,
dan kaum muslimin menganggap hal ini masalah ringan, padahal ini adalah
persoalan besar. Maka, Allah Ta’ala memperingatkan, agar kaum muslimin jangan
sekalipun mengulangi tragedi serupa, hingga hari kiamat nanti. Dan untuk
peristiwa hadits ifki tersebut, Allah Ta’ala telah menurunkan karunia dan
rahmat-Nya, sehingga penduduk kota Madinah tidak ditimpa adzab Allah,
sebagaimana firmannya:
“Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua
di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena
pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.” (An Nur 14)
Beginilah Allah Ta’ala mendidik manusia. Ia mendidik secara keras,
dan sungguh-sungguh, namun juga memberikan karunia. Pada kasus hadits ifki,
manusia telah berbuat kesalahan besar, yang sesungguhnya pantas mendapatkan
azab, yaitu setimpal dengan kepedihan yang menimpa Rasulullah, istrinya, serta
sahabatnya, namun Allah mengampuni dosa mereka, asalkan mereka tidak lagi
mengulangi kesalahan tersebut hingga hari bangkit.
Pada saat berkecamuknya berita bohong, tampak kendali umat telah
terhapus, nilai-nilai luhur telah terkoyak, prinsip-prinsip kebaikan telah
lenyap. Mereka menerima berita tanpa dicerna, tidak direnungi, “(ingatlah) di
waktu kamu menerima berita bohong itu
dari mulut ke mulut, dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikit pun, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal di sisi
Allah adalah besar.” Allah Ta’ala tidak akan mengatakan hak tersebut besar,
kecuali memang hal itu adalah besar, yang dapat mengguncangkan gunung, langit,
dan bumi. Ingatlah firman allah Ta’ala:
“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong
itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci
Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar." (An Nur 16)
Allah pun berfirman:
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang
seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (AnNur 17)
Pada ayat di atas, Allah memulai dengan uslub tarbiyyah (metode
pendidikan) yang mengesanka, serta lafazh peringatan yang paling tepat dan
paling baik didengar, yaitu: “Allah memperingatkan kamu agar jangan kembali
memperbuat yang seperti itu selama-lamanya.” Lalu Allah Ta’ala menyadarkan
peringatan tersebut dengan iman, “Jika kamu orang-orang yang beriman.” Lalu
Allah melanjutkan dalam firman-Nya, “Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
kamu.” Yaitu menjelaskan permasalahan
hadits ifki dan penyelesaiannya. “Dan Allah Maha Mengtahui dan Maha Bijaksana.”
Yakni mengetahui niat dan tujuan manusia, serta mengetahui isi hati manusia.
Dan Allah Maha bijaksana dalam mengobati hati yang rusak, bijaksana dalam
mengyelesaiakan persoalan, serta bijaksana dalam meletakkan aturan dan batasan
yang harus dipatuhi oleh manusia.
Perlakuan
Terhadap Isu
Apabila seorang muslim mendengar isu atau suatu berita buruk
tentang seseorang atau suatu hal, maka langkah yang harus diambil adalah
sebagai berikut:
1. Bersangka
baik. Mencari dalil atau argumentasi yang bersifat batiniyah. Ia harus
berpikir, merenungkan dan merasakan mungkinkah seseorang yang terkenal
kebaikannya, yang tidak tercela, serta terhormat, melakukan perbuatan tercela?
Demikianlah cara mempertahankan shaff kaum muslimin, sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman:
“Mengapa di waktu kamu
mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka
baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini
adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An Nur 12)
2. Mencari
dalil yang bersifat faktual. Mencari data yang akurat dan otentik, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara empirik (dengan pembuktian). Allah Ta’ala
berfirman:
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak
mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang
dusta.” (An Nur 13)
3. Meredam
isu. Tidak menyebarkan isu, berita buruk, atau aib seseorang, yang baru
didengarnya. Bila setiap muslim meredam isu, niscaya berita bohong itu tak akan
tersebar, lalu hilang dengan sendirinya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu
mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita
memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang
besar." (An Nur 16)
4. Mengembalikan
permasalahan kepada ulil amri. Berbagai persoalan umat hendaknya jangan
disampaikan kepada sembarang orang, namun sampaikanlah kepada pelindung umat,
yaitu ulil amri. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu).” (An Nisa 83)
Apabila seorang muslim
senantiasa mengembalikan
persoalan-persoalan penting kepada ulil amri, serta melakukan ketiga hal
lainnya (sebagaimana telah disebutkan pada nomor 1, 2, dan 3), niscaya isu itu
tidak menjalar kemana-mana. Akan tetapi, meskipun manusia mengetahui cara-cara
meredam isu, ada saja di antara manusia yang senang mendengarkan isu-isu,
bahkan ada yang memiliki penyakit hati, yaitu senang mencari-cari kesalahan lalu
merasa puas apabila sudah menyebarkannya. Tentang orang yang seperti ini, Allah
Ta’ala berfirman:
“....sedang di antara kamu ada orang-orang yang
Amat suka mendengarkan Perkataan mereka. ..” (At Taubah 47)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Allah telah mengabarkan, bahwa jika orang-orang munafik pergi berperang
bersama pasukan muslimin, mereka tidak menambah apa-apa kecuali kerusakan.
Orang-orang munafik akan cepat maju dari barisannya dengan tujuan untuk
menimbulkan fitnah bagi pasukan kaum muslimin. Da di antara pasukan kaum
muslimin, ada orang yang menyambut sikap orang munafik, entah karena kesalahan,
hawa nafsu, atau kedua-duanya.” (Dar’u Ta’ardhil ‘aql wan Naql)
5. Tidak
suka mendengarkan isu, yang (biasanya) bersumber dari para pendusta,
orang-orang munafik, pelaku ghibah, dan orang yang berpenyakit hati.
Inilah lima hal yang harus dilaksanakan seorang muslim mendengar
berita buruk. Apabila kelima hal ini diabaikan, mungkin sekali akan terjadi
fitnah besar. Manakala fitnah telah berkecamuk, sulitlah bagi siapa pun untuk
memadamkannya, dan akibatnya akan menima semuanya, orang zalim maupun orang
shaleh.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat
keras siksaan-Nya.” (Al Anfal 25)
Tidak ada yang selamat dari fitnah, kecuali orang yang dipelihara
oleh Allah. (Lihat Minhajus Sunnatin Nabawiyyah, IV: 343)
Betapa bahayanya isu, sehingga musuh-musuh Islam mengekploitasi isu
untuk memecah belah barisan kaum muslimin, menyerang ulama, pemimpin, dan para
da’i. Biasanya musuh-musuh Islam melakukan dua cara dalam menyebarkan isu,
yaitu:
1. Melancarkan
tuduhan palsu terhadap ulama dan para da’i misalnya, menuduh mereka sebagai
agent (mata-mata musuh), atau menuduh bahwa ulama memiliki motivasi mencari
jabatan dan kesenangan duniawi.
2. Mencari-cari
kesalahan ulama’, baik dari segi ilmiyah maupun dari segi amaliah. Dari
kesalahan yang kecil, kemudian dibesarkan serta ditambah-tambah dengan
perkataan dusta. Yang mereka sebarkan memang ada benarnya, namun tidak
sebanding dengan kesuataannya. Seperti halnya setan ketika memberi berita
kepada dukun, kebenarannya mungkin hanya satu persen, dan kedustaannya sembilan
puluh sembilan persen.
Berikut ini akan kami uraikan empat buah kaidah umum yang harus
dipegang oleh seorang muslim, ketika ia mendengar penilaian negatif tentang
saudaranya sesama muslim. Keempat kaidah ini adalah:
2.1.
Melihat Keadaan Penilai
Kaidah
umum pertama ketika mendengar penilaian buruk tentang seseorang adalah harus
melihat keadaan penilai. Kaidah ini berdasarkan firman Allah Ra’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti...” (Al Hujurat 6)
Sesungguhnya Allah Ta’ala menjelaskan, bahwa bersikap teliti
terhadap setiap berita yang dibawa oleh orang fasik, merupakan suatu kewajiban.
Sebelum neneliti isi berita, maka yang pertama harus dilihat adalah keadaan
pembawa berita, apakah termasuk orang adil atau fasik? Apakah antara yang
menilai dan yang ditilai itu terdapat permusuhan, kebencian, atau persaingan?
Apakah penilai itu memiliki din yang baik serta dapat menjaga amanat? Dan
sejumlah pertanyaan lain yang diperlukan untuk meneliti keadan oebawa berita
negatif tersebut.
As Sakhawi berkata, “Ibnu Abdil Barr, memandang bahwa penilaian
negatif terhadap ahli ilmu tidaklah diterima, kecuali dengan argumentasi yang
jelas. Apabila penilaian negatif tersebut disertai dengan unsur permusuhan,
maka penilaian itu tidak boleh diterima.” (Lihat Fathul Mughits, III: 328)
As Subki berkata, “Yang benar menurut kami adalah apabila sudah
nyata keimanan dan keadilan seseorang, banyak orang memujinya, sedikit yang
memberikan penilaian negatif terhadapnya, lalu ada orang lain yang mencelanya,
apalagi celaannya itu didasar rasa ta’asshubterhadap suatu madzhab, maka kami
menyikapi celaan tersebut dengan keadilan (yaitu mendahulukan baik sangka,
meneliti pencela, kebenaran isi celaan, menimbang bayak mana kesalahan dan kebaikannya
–ed). Kalau tidak bersikap adil, bahkan mendahulukan buruk sangka, maka menurut
kami, tidak seorang imam pun yang selamat. Karena, di antara seluruh imam,
tidak ada yang terlepas dari kesalahan atau cacian.” (Lihat: Thabaqatus
Syafi’iyatil Kubra, II: 9)
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------