ADAB KRITIK DAN MENILAI ORANG LAIN MENURUT MANHAJ AHLUS SUNNAH, Bagian-4.
Manhaj Ahlis
Sunnah wal Jama’ah fin Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin.
1.1. Meneliti
Setiap Berita.
Kaidah umum kedua ketika mendengar penilaian negatif terhadap
seseorang, maka kita harus bersikap teliti tentang berita tersebut, benarkah
berita ataukah sebuah kedustaan? Kaidah untuk meneliti setiap berita, merupakan
prinsip yang agung dalam menerima dan memperlakukan berbagai berita serta
riwayat yang diterima. Kaidah ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al Hujurat 6)
Syaikh Al Allamah Muhammad Al Amin Asya Syanqithi rahimahullah
berkata, “ayat tersebut menunjukkan dua hal, yaitu:
1. Sesungguhnya
setiap berita yang diawa oleh orang fasik, jika memungkinkan untuk diketahui
hakikat kebenarannya, maka berita tersebut harus diteliti, benarkah atau
dustakah?
2. Ahlus
Sunnah (ulama ushul fiqh) mempunyai dasar, bahwa sebuah berita dapat diterima
jika disampaiakn oleh orang yang adil. Pada firman Allah Ta’ala di atas,
kalimat “Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti.” Maka mafhum mukhalafahnya (atau pengertian sebaliknya yang
tersirat di dalam konteks pembicaraan ayat tersebut) adalah, jika yang datang
membawa berita itu bukan orang fasik, tetapi orang yang adil, maka beritanya
tidak harus diteliti. (Lihat Adhwa’ul Bayan, VII: 627)
Dalam melakukan penelitian terhadap sebuah berita, sepatutnya kita
memperhatikan sikap dan tindakan ulama hadits ketika melakukan kritik dan
melakukan penilaian terhadap para perawi, yakni tatkala membedakan mereka
antara yang dlabith (orang yang menyampaikan berita secara tepat, tidak
menambah atau mengurangi isi berita dari aslinya –ed) dengan yang tidak
dlabith, dan antara yang hafizh (orang yang hafalannya baik atau kuat) dengan
yang tidak hafizh.
Pada kesempatan ini, saya tidak akan membicarakan manhaj ulama ahli
hadits dalam melakukan jarh wat ta’dil, karena yang saya maksud dengan
“meneliti setiap berita” adalah untuk menjelaskan manhaj yang benar dalam menerima berita-berita secara umum, dan
dalam setiap perkara, baik dalam periwayatan hadits, dalam menukil fatwa-fatwa
ulama, atau dalam menukil perkataan orang lain.
Terhada pembawa suatu berita, maka harus dibedakan, antara yang
kuat hafalannya dengan yang kurang,
antara yang lurus pemahamannya dengan yang menyimpang, atau antara yang mudah
dimengerti pengungkapannya dengan yang berbelit-belit, dan lebih penting lagi,
meneliti kejujuran dan sifat amanatnya.
Suatu berita, apabila dibawa oleh seseorang yang lemah hafalannya,
rancu pemahamannya, atau tidak teratur pengungkapannya, maka berita tersebut
harus diteliti dan dicek ulang kebenarannya. Sebab, pembawa berita seperti itu,
biasanya membuat perubahan berita dari yang semestinya, yang seharusnya berita
itu mempunyai suatu batasan, lalu dia buat umum, atau yang sebenarnya
membutuhkan perincian, kemudian dia buat global. Apabila suatu berita
disampaikan oleh orang yang pemahamannya buruk, dapat terjadi bahwa ia
menyampaikan suatu perkataan yang tidak dikatakan atau tidak dikehendaki oleh
orang yang mengatakannya, sehingga maksudnya menjadi berubah atau bahkan
terbalik. Mungkin juga berita itu dikurangi, sehingga berita yang pada
hakikatnya penting, dipahami sebagai berita yang tidak penting. Seseorang yang
ungkapannya buruk, seringkali telah memahami suatu berita, namun ia tidak dapat
mengungkapkannya secara baik, sehingga orang yang mendengar berita tersebut akan
memahami dengan pemahaman yang keliru dari maksud sesungguhnya. Keburukan atau
kelemahan tersebut terkadang kumpul pada diri seorang pembawa berita, sehingga
bila kita tidak melakukan penelitian terhadap berita tersebut, akhirnya dapat
menjadi bencana yang diakibatkan oleh kesalahan dalam penukilan berita.
Apabila seorang pembawa berita mempunyai salah satu sifat buruk,
apakah tentang hafalan, pemahaman, atau ungkapan, apalagi kalau ketiga-tiganya,
maka terhadap berita yang ia bawa, harus diteliti jika berita itu penting, dan
harus ditinggalkan jika berita itu tidak penting.
Banyak terjadi pada masa sekarang ini, manusia menukil fatwa-fatwa
ulama, namun isinya berbeda dengan yang difatwaka ulama tersebut. hal ini
terjadi, karena buruknya hafalan dan pemahaman mereka tentang fatwa tersebut.
Ditambah lagi, cara mengungkapkannya juga tidak baik. Bukti-bukti tentang hal
ini cukup banyak dan tidak perlu agi saya ucapkan. Selan itu, banyak berita
yang dinukil oleh para tokoh atau lembaga-lembaga kemudian disebarluaskan tanpa
mengindahkan asas kebenaran. Hal ini disebabkan oleh keburukan pembawa berita,
apabila kita asumsikan bahwa si pembicara benar dan terbebas dari tuduhan
dusta.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Orang mukmin itu tidak
terburu-buru, sampai jelas.” (Lihat Al Fatawa, X: 382)
Tolok ukur terhadap sebuah berita adalah apabila pembawa berita
termasuk orang yang dikenal baik dalam hal kejujurannya, dinnya, kualitas
pemahamannya, hafalannya, ungkapannya, serta penyampaianya, maka kita boleh menerima
berita darinya tanpa ada penelitian. Namun, apabila pada diri pembawa berita
terdapat salah satu dari sifat-sifat buruk, atau karena ia menceritakan
kejelekan rivalnya, maka berita darinya perlu diteliti kebenarannya, khususnya
jika berita itu memuat berita-berita penting.
Banyak orang telah berkata, bahwa penyakit berita itu, tiada yang
lain kecuali para perawinya (yaitu pembawa berita)
Cara yang benar dalam menukil berita, berupa fatwa-fatwa ulama,
perkataan tokoh-tokoh, atau informasi dari lembaga-lembaga, sedapat mungkin
dinukil secara sempurna, agar terhindar dari penyakit-penyakit atau kesalahan
sebagaimana disebutkan di atas. Dalam sebuah hadits, terdapat sebuah isyarat
tentang makna ini, yaitu sabda Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam.
“Allah merasa senang terhadap seorang hamba yang mendengar
perkataanku, kemudian menghafalkan dan memahaminya, kemudian menyamoaikannya
kepada orang yang tidak mendengarnya. Seringkali orang yang membawa suatu
pemahaman (ilmu) dia itu tidak mempunyai pemahaman. Dan seringkali orang
membawa suatu pemahaman (ilmu) kepada orang yang lebih paham (lebih pandai)
dari dia.” (Lihat: Musnad Imam Ahmad, IV: 82 dan Shahihut Targhib Wat Tarhib, :
87)
Pada hadits di atas, kalimat “kemudian menghafalkan dan
memahaminya” mengisyaratkan tentang seseorang yang memiliki hafalan serta
pemahaman yang baik dan benar. Kalimat “kemudian menyampaikannya kepada orang
yang tidak mendengarnya” mengisyaratkan tentang penyampaian perkataan atau
berita secara sempurna, dengan teks yang lengkap.
Kalimat “Seringkali orang yang membawa suatu pemahaman (ilmu) dia
itu tidak mempunyai pemahaman” mengisyaratkan tentang seseorang pembawa berita
yang memiliki pemahaman lemah.
Kalimat “Dan seringkali orang membawa suatu pemahaman (ilmu) kepada
orang yang lebih paham (lebih pandai) dari dia” mengisyaratkan tentang adanya
pemahaman yang berbeda-beda, tekadang pemahaman orang yang mendengar suatu
berita tidak seperti pemahaman orang pembawa berita, atau sebaliknya, terkadang
orang yang mendengar berita justru lebih paham terhadap isi berita dibandingkan
pembawa berita.
Hadits tersebut di atas termasuk “jawami’ul kalim” (perkataan
simpel yang memilki makna lusa) yang diberikan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
2 komentar:
Bismillah...
jazakallah khoiron atas ilmunya....
ustadz...bagaimana caranya agar kita senantiasa terbiasa di dalam suasana saling menasehati karena Allah....
karena yang sering ana lihat ketika kita menasehati seseorang, bahkan dengan cara yang di usahakan terbaik pun orang yang di nesehati malah menyimpulkan kalau kita itu sedang memvonis, menghakimi, menilai atau bahkan merendahkan dia...padahal nasehat itu untuk memuliakan dirinya di hadapan Allah.
ketika kita memberi nasehat-pun tidak dalam rangka merasa paling sholeh dan paling pintar.....hanya hati ini ga nyaman saja ketika melihat saudara kita "nyaman" dalam kesalahannya...inilah kasih sayang sesungguhnya yang ana fahami ketika kita saling menasehati karena Allah...
kemudian terkadang selalu ada sikap tidak enak ketika akan menasehati seseorang karena takut tersinggung, takut ini dan itu....(karena efeknya mungkin seperti ana katakan tadi, orang yang di nesehati malah menyimpulkan kalau kita itu sedang memvonis, menghakimi, menilai atau bahkan merendahkan dia).
sebuah lingkungan tanpa terbiasa akan saling menasehati ana yakin hanya akan membentuk insan-insan yang berhati batu, jauh dari petunjuk dan kebenaran.
yang ana lebih takutkan ketika diri ana dalam kekeliruan dan kesalahan...kemudian orang lain pun enggan menegur atau menasehati ana...padahal ana sangat butuh itu....
banyak juga ketika kehidupan saling memberi nasehat itu tidak ada, kemudian lahir pola kehidupan ghibah yang tidak bermanfaat....karena lisan tidak mampu memberi nasehat yang baik....akhirnya ghibah yang haram-pun sering lebih dominan terjadi....
hal ini terjadi dimana mana...saat nasehat tidak lagi dianggap sebagai obat dari kebodohan, ga lagi di anggap pelita dalam kegelapan dan kesalahan....nasehat menjadi musuh karena dianggap sebagai vonis dan atau menilai orang......
bagaimana solusi merubah keadaan ini agar kita menjadi orang-orang yang sadar dan bersyukur kemudian bahkan merasa butuh setiap saat akan nasehat dari sesama....??
syukron atas penjelasannya....
jazakallahu khoir...
abu farraas
saya mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan...
barokallohufiik....
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------