ADAB KRITIK DAN MENILAI ORANG LAIN MENURUT MANHAJ AHLUS SUNNAH, Bagian-5.
Manhaj Ahlis
Sunnah wal Jama’ah fin Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin.
1.3. Mencegah
Ghibah.
Kaidah umum yang ketiga ketika mendengar penilaian negatif tentang
seseorang adalah mencegah ghibah. Kaidah ini berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa mencegah ghibah yang menyinggung kehormatan
saudaranya, maka Allah akan membebaskannya dari neraka.” (HR. Ahmad, VI: 461,
dan lihat dan lihat Shahihul Jami’, no. 6240)
Barangsiapa mendengar ghibah, kemudian merasa senang mendengarnya,
maka dia ikut mendapatkan dosa. Sebaliknya, apabila seseorang mencegah ghibah,
yang menyinggung kehormatan saudaranya, maka ia akan mendapatkan pahala yang
besar, yaitu Allah akan membebaskannya dari api neraka.
Kaum salaf ridhwanallah ‘alaihim senantiasa mencegah ghibah dari
orang yang melakukannya. Misalnya, Sufyan bin Al Husain berkata, “Saya pernah
duduk di sisi Iyas bin Mu’awiyah, tatkala itu lewatlah seorang laki-laki, lalu
aku mencela dia (aku berbuat ghibah). Kemudian Iyas berkata, ‘diam! Lalu
berkata lagi kepadaku, ‘apabila kamu memerangi Romawi?’ kujawab, “tidak”. Dia
berkata, ‘Romawi selamat dari kamu, Turki selamat dari kamu, tetapi saudara
muslimmu tidak selamat dari celaanmu.’ Setelah itu, aku tidak sekalipun
melakuka ghibah lagi.” (Tanbihul ghafilin, I: 178)
Ibrahim bin Adham rahimahullah pernah menjamu orang-orang.
Kemudian, ketika mereka hendak menyantap makanan, mreka terlebih dahulu
membicarakan seseorang. Lalu Ibrahim berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum
kita mereka itu memakan roti sebelum memkan daging, sedangkan kalian, memakan
daging terlebih dahulu (melakukan ghibah –pent) sebelum memakan roti.” (Lihat
Tnabihul Ghafilin, : 176)
Bagi setiap muslim, seharusnya menjadi pencemburu terhadap dirinya,
yaitu hendaknya ia tidak rela bila di hadapannya ada orang yang melakukan
ghibah. Sebab, bila ia rela mendengarkan ghibah, maka ia ikut mendapatkan dosa.
Jika ia tidak mampu menghentikan kemaksiatan (ghibah) tersebut, maka tidak
patut baginya untuk tetap bersama pelaku ghibah, bahkan harus pergi
meninggalkan mereka.
Setiap muslim harus waspada, jangan sampai terjerumus ke dalam
perbuatan ghibah, meskipun dengan alasan meluruskan seseorang, atau demi
kemaslahatan dakwah. Sesunggguhnya, alasan ini adalah tempat tergelincirnya
manusa ke dalam perbuatan ghibah. Mereka menduga, bahwa apa yang mereka
bicarakan, tentang suadara-saudaranya termasuk kemaslahatan dan nasihat,
padahal itu adalah ghibah karena motivasinya tidak semata-mata lillah, namun
ada motivasi lai yang tersembunyi dan tidak mereka perhatikan.
1.4. Menolak
Penilaian Negatif Rival
Penilaian negatif dari sesama rival atau pesaing, tidak boleh
diterima dan tidak perlu diriwayatkan. Ini adalah kaidah yang ditetapkan oleh
Jumhur salaf ridhwanallah ‘alaihim. Kita dapat melihat kembali beberapa
ketetapan mereka dalam hal ini.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ambillah ilmu dimana saja
kamu dapatkan, namun janganlah kamu ambil perkataan (negatif) di antara sesama
fuqaha karena mereka saling cemburu seperti cemburunya kambing dalam kandang.”
(Lihat: Jami’ul Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, II: 185)
Malik bin Dinar berkata, “perkataan para ‘alim dan qurra’ dipegang
dalam segala sesuatu, kecuali perkara (negatif) di antara sesama mereka karena
mereka lebih dengki dari kambing-kambing yang dimusuhi oleh kambing yang galak,
dimana yang satu berteriak di sini, dan yang lain berterika di sana.” (Jami’ul
Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, II: 9)
Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Perkataan (negatif) di antara
sesama rival jangan dipedulikan, apalagi jika kamu lihat bahwa perkataan
(negatif) itu muncul karena adanya suatu permusuhan, karena perbedaan madzhab
atau karena kedengkian. Tidaklah manusia selamat dari perbuatan tercela
tersebut kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. Saya belum mengetahui bahwa
pada suatu masa tertentu, penduduk (suatu negeri) selamat dari hal tersebut
(dengki, permusuhan dan lain-lain), selain para nabi dan shiddiqin. Seandainya
saya mau, tentu aka saya sebutkan beberapa buku mengenai hal itu (penduduk yang
melakukan perbuatan tercela).” (Lihat Mizanul I’tidal, I: 111)
Ibnu Abdil Bar berkata, “Sesungguhnya, sejak dahulu telah muncul
banyak perkataan yang diucapkan dalam keadaan marah, hal ini terjadi di antara
sesama kaum salaf ridhwanallah ‘alaihim. Di antara perkataan tersebut
dilontarkan karena dorongan rasa dengki, sebagaimana yang telah dilontarkan
oleh Ibnu Abbas, Malik bin Dinar, dan Abu Hazim. Perkataan lain dilontarklan
karena tujuan ta’wil, dan terhadap perkataan ini kita tidak diaruskan
mengikutinya. Dan sebagian mereka telah menyerang sebagian yang lain dengan
pedang, dikarenakan persoalan ta’wil dan ijtihad. Maka, kita tidak wajib mengikuti
mereka dalam hal tersebut tanpa hujjah yang mewajibkannya.” (Lihat: Jami’ul
Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, II: 186-187)
Menceritakan hal-hal negatif tentang rival atau pesaing, biasanya
didorong oleh rasa dengki dan persaingan yang tercela, baik peraingan dalam
perkara duniawi seperti perdagangan dan jabatan, atau dalam perkara akhirat,
seperti yang terjadi di antara para penuntut ilmu, para ‘alim dan para da’i.
Amat sedikit orang yang selamat dari membicarakan kejelekan pesaing atau rival.
Ada kaidah yang harus diperhatikan, yaitu: apabila seorang muslim
mendengar suatu celaan terhadap saudaranya, dan dia mengetahui secara jelas
bahwa hal itu berasal dari perkataan rivalnya, maka dia wajib menolak berita
tersebut dan tidak mempedulikannya. Manhaj inilah yang ditempuh dan
diperhatikan salafus Shalih, seperti: Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Malik bin
Dinar, Ibnu Abdul Bar, Adz Dzahabi, dan yang semisal dengan mereka dari
kalangan imam-imam salaf.
Di antara ulama yang paling banyak menjelaskan di dalam kitab-kitabnya
tentang manhaj yang benar menilai perkataan rival adalah Al Hafizh Adz Dzahabi
rahimahullah. Beliau telah mengmukakan sejumlah ocntoh perkataan sesama rival,
kemudian beliau memberikan komentar-komentar yang baik.
Adz Dzahabi ahimahullah berkata, “tentang perkataan terhadap sesama
rival, jika kita ketahui secara jelas bahwa perkataan itu didorong oleh hawa
nafsu dan ashabiyyah (fanatisme golongan), maka perkataan tersebut tidak boleh
diperdulikan, bahkan harus ditolak da tidak boleh diriwayatkan.” (Lihat Siyar
A’lamin Nubala’, X: 92)
Di
antara contoh-contoh erkataan sesama rival adalah:
1. Tentang
biografi Raja’ bin Hiwah, Adz Dzahabi berkata, “Makhul berkata, ‘saya masih
kuat menghadapi orang-orang yang memusuhiku, sampai (batas) Raja’ bih
Hiwahmenolong (membela) mereka terhadapku. Hal itu dilakukan oleh Raja’ karena
pemimpin penduduk Syam ada pada diri mereka (yang memusuhiku).’ Saya (Adz
Dzahabi) berkata, Di atara keduanya terdapat perbuatan tidak baik, karena
mereka berlaku seperti rival yang masih saling mencela. Makhul dan Raja’ adalah
sama-sama imam. Maka dari itu, perkataan negatiif yang satu terhadap yang
lainnya tidak perlu diperhatikan.” (Siyar A’lamin Nubala’, IV: 588)
2. Adz
Dzahabi berkata, “Adapun tentang perkataan Nasa’i tentang Ahmad bin Shalih,
yaitu ia pernah diusir oleh Ahmad bin Shalih dari majlisnya. Lalu Nasa’i
berkata tentangnya, ‘dia tidak tsiqah’.” (Siyar A’lamin Nubala’, XI: 83)
Di tempat lain, Adz Dzahabi berkata, “yang
menyebabkan Nasa’i menganggap Ahmad bin Shalih dla’if (tidak tsiqah) adalah
karena sebuah peristiwa berikut: Ahmad bin Shalih tidak mau mengutarakan hadits
kepada seseorang, sampai ada dua orang muslim yang memberikan kesaksian
kepadanya bahwa seseorang tersebut termasuk ahli kebaikan dan kuat dinnya. Jika
persyaratan tersebut telah terpenuhi, barulah Ahmad bin Shalih mengemukakan
hadits lalu menyampaikan ilmunya. Ia menganut madzhab Zaidah bin Qudamah. Suatu
ketika, Nasa’i datang untuk mendengar hadits, dan ia masuk tanpa meminta izin,
serta tidak membawa dua orang saksi yang diperlukan memberi kesaksian tentang
sidat adalah (konsistensi dalam din) yang dimiliki Nasa’i. Kemudian, tatkala
Ahmad ibn Shalih melihat Nasa’i berada dalam majlisnya, dia melarang dan
memerintahkan supaya Nasa’i dikeluarkan. Karena peristiwa inilah, akhirnya
Ahmad bin Shalih dianggap dlaif oleh Nasa’i.” (Siyar A’lamin Nubala’, XII:
167-168)
3. Al Hasan
bin Muhammad bin Jabir berkata, “Tatkala Muhammad bin Isma’il Al Bukhari
Naisaburi datang, saya dengar Muhammad bin Yahya Adz Dzahili berkata kepada
kami, ‘pergilah kalian kepada orang shalih itu dan dengarkan hadits-haditsnya.’
Lalu orang-orang pergi kepadanya dan mendengarkan hadits-haditsnya, sampai
nampak ada penyusutan di dalam majlis Muhammad bin Yahya. Melihat keadaan ini,
ia iri dan mencela Muhammad bin Ismail Al Nukhari.” (Siyar A’lamin Nubala’,
XII: 45; dan Tarikh Baghdad, II: 30)
Tentang apa yang terjadi antara adz Dzahili dan
Al Bukhari, Adz Dzahabi berkomentar, “perkataan (negatif) di antara sesama
tokoh yang sama, tidak perlu dipedulikan (tidak usah ditanggapi) secara
tersendiri (khusus).” (Siyar A’lamin Nubala’, XII: 285)
As Subki berkata, “Orang-orang yang adil tidak
akan ragu bahwa Muhammad bin Yahya Adz Dzahili telah terkena penyakit hasad
(iri hati), dan hanya orang-orang yang ma’shum sajalah (yaitu para nabi dan
rasul) yang selamat dari penyakit hasad (iri).” (Thabaqatus Syafi’iyyatil
Kubra, II: 230)
Di antara keadilan Imam Al Bukhari rahimahullah
yang patut disebutkan dan diingat adalah bahwa sekalipun dia telah dihasud dan
dicela oleh Adz Dzahili, namun dia tidak balas mencela dan tidak memberikan
penilaian negatif tentang Adz Dzahili, bahkan riwayatnya dia pakai dalam kitab
Shahihnya. Ini adalah akhlak yang mulia yang tidak dimiliki kecuali oleh
orang-orang yang mulia. Semoga Allah mengampuni dosa kita da kaum muslimin
karena sikap hasad atau iri hati.
4. Tentang
biohgrafi Muthain, Adz Dzahabi berkata, “dia telah dicela oleh Muhammad bin
Utsman bin Abi Syaibah, dan dia telah balik mencela Muhammad bin Utsman.
Biasanya (semestinya) pernyataan negatif di antara sesama rival tidak dianggap,
apalagi jika di antara keduanya terjad persaingan. Muhammad bin Utsman telah
menyebutkan (menuduhkan) sekitar tiga khayalan (cerita bohong) tentang Muthain.
Aka tetapi di antara keduanya itu, Muthain lebi tsiqah. Untuk membuktikan
ketsiqahannya, cukuplah bersandarkan pada hujjah Ad Daruquthni trhadapnya.”
(Siyar A’lamin Nubala’, XIV: 42)
5. Tentang
biografi Ibnu Mandah, Adz Dzahabi berkata, “Saya tidak akan mempedulikan
perkataan negatifmu (wahai Abu Nu’aim) terhadap rivalmu (yaitu Ibnu Mandah)
karena permusuhan yang berlangsung di antara kalian. Demikian pula, saya tidak
akan mendengar perkataan negatif Ibnu
Mandah terhadap kamu. Saya lihat, Ibnu Mandah telah mencela Abu Nu’aim
dan beberapa lainnya yang tidak ingin saya sebutkan. Akan tetapi, masing-asing
dari keduanya itu jujur, dan alhamdulillah, tidak tertuduh dusta dalam
riwayatnya.” (Siyar A’lamin Nubala’, XVII: 34)
Beberapa contoh tentang persaingan dan iri hati di atara sesama
rival tersebut di atas, saya kemukakan dengan tujuan agar pembaca mengetahui,
bahwa amat sedikit orang yang selamat dari menilai negatif terhadap sesama
rival. Oleh karena itu, apabila seorang muslim mendengar suatu perkataan
(penilaian) negatif dari rivalnya, hendalah perkataan itu diteliti dulu
kebenarannya. Apabila ternyata, motivasi pembawa berita adalah rasa dengki dan
persaingan terhadap orang yang dibicarakan, maka perkataannya tidak kita
jadikan sebagai hujjah. Dan apabila pada prinsipnya, perkataan tersebut
ternyata tidak mengandung faedah, maka hendaknya kita:
a. Menolak
dan tidak menerima perkataan tersebut, atau
b. Tidak
meriwayatkan dan tidak menyebarluaskanya, agar tidak menimbulkan permusuhan dan
perpecahan di kalangan umat yang mendengar perkataan tersebut.
Semoga Allah Ta’ala membimbing kita ke arah perbuatan yang Dia
senangi dan yang dia ridlai.
Apabila manusa belum ditaqdirkan berlaku adil seperti yang anda
harapkan dan anda lakukan, dan manusia masih mencela anda atau mencela
rivalnya, maka dalam hal ini, persoalannya kembali kepada Allah Ta’ala. Karena,
apa yang Allah kehendaki maka terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki, maka
tidak akan terjadi. Dan apabila anda mencela mereka karena sesuatu yang belum
ditaqdirkan oleh Allah, maka hal itu menunjukkan lemahnya keimanan anda. Maka
dari itu, janganlah anda mencela mereka karena mengikuti hawa nafsu.
Sesungguhnya orang yang dipuji oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka dialah
orang yang terpuji. Dan barangsiapa yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, maka
dialah orang yang tercela.” (Lihat Al Fatawa, I: 51-52)
Ibnu ‘Uyainah berkata, “Saya mendengar Abu Hazim mengatakan,
‘janganlah kamu memusuhi seseorang lalu melancarkan permusuhanmu kepadanya,
sampai kamu dapat melihat atinya (yaitu kemurnin hatinya di hadpan Allah
Ta’ala). Jika dia mempunyai hati yang baik, maka Allah Ta’ala tidak akan
menghinakannya dikarenakan permusuhanmu kepadanya. Da jika dia mempunyai hati
yang jahat, maka cukuplah bagimu kejahata-kejahatannya (karena hal ini
merupakan takdir Allah Ta’ala, maka janganlah kamu sesali). Dan seandainya kamu
ingin agar ia memperbanyak kemaksiatannya kepada Allah Ta’ala, niscaya kamu
tidak akan mampu melakukannya.” (Lihat Siyar A’lamin Nubala’, VI: 98)
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------