ADAB KRITIK DAN MENILAI ORANG LAIN MENURUT MANHAJ AHLUS SUNNAH, Bagian-6.
Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fin Naqdi Wal Hukmi ‘Alal Akharin.
BAB III : KAIDAH UMUM DALAM PERGAULAN.
1.1.    Kebahagiaan Bergaul.
Kebahagiaan pergaulan bersama manusia, akan terwujud manakala pergaulan tersebut dilandasi oleh niat yang benar. Seseorang dikatakan mempunyai niat yang benar, apabila ia mencintai atau membenci manusia, berbuat terhadap manusia atau meninggalkan manusia, bergerak atau diam, semua itu ia lakukan semata-mata karena Allah Subhanahu Wata’ala, serta dilandasi oleh keyakinan bahwa semua hal itu merupakan perintah Allah. Maka, orang yang memiliki niat yang benar, akan mendapatkna kebahagiaan dalam hidupnya.
Syaikhl Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan tentang kebahagiaan bergaulbersama manusia, dengan penjelasan yang amat bagus, yaitu beliau berkata, “Kalian dapat mencapai kebahagiaa dalam pergaulan bersama manusia, apabila kamu memiliki motivasi karena Allah. Hendaklah kamu berharap pahala hanya kepada Allah di dalam (semua hal yang menyangkut mua’amalah atau kehidupan bersama) mereka, dan janganlah kamu berharap pujian dari manusia di dalam (hal-hal yang menyangkut ibadah kepada) Allah. Hendaklah kamu takut terhadap adzab Allah di dalam (hal-hal atau perbuatan-perbuatan zalim) mereka, dan janganlah takut pada celaan-celaan manusia dalam (hal melaksanakan perintah serta menjauhilarangan) Allah. Hendaklah kamu berbuat baik kepada manusia karena mengharap pahala dari Allah, dan janganlah mengharapkan pahala pujian atau pemberian dari manusia. Hendaklah kamu mencegah kezaliman yang dipernbuat oleh manusi karena takut (azab) Allah, dan janganlah melakukan hal itu karena takut kepada (celaan atau ancaman) mereka. Sebagaimana tersebut di dalam atsar, ‘berharaplah kepada Allah di dalam (hal-hal mu’amalah bersama) manusia, dan janganlah berharap kepada pujian mausia di dalam (hal-hal ibadah kepada) Allah. Takutlah kepada Allah (tatkala melakukan kezaliman terhadap) manusia, dan janganlah takut kepada celaaan atau ancaman manusia di dalam (hal-hal melaksanakan perintah serta larangan Allah.’
Maksud dari perkataan Ibnu Taimiyah serta apa yang terdapat dalam atsar, adalah “Janganlah kamu berbuat salah satu dari jenis-jenis ibadah kepada Allah dengan motivasi karena mereka, yakni jangan mengharap pujian dan jangan pula taku kepada ancaman atau celaan mereka. Namun, berharaplah pertolongan dan pahala dari Allah, janganlah melakukan perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya dikarenakan takut kepada manusia, bahkan laksanakanlah perintah Allah itu meskipun mereka tidak menykainya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Sesungguhnya, di antara lemahnya keyakinan adalah kamu mencari keridlaan manusia dengan kemurkaan Allah. Atau kamu mencela mereka berdasarkan apa yang tidak Allah berikan kepadamu.” (HR. Abu Nu’aim, di dalam Al Hilyah, V: 106, X: 41.  Dan dalam sanadnya ada ‘Athiyatul ‘Aufa)
Pada hadits di atas, disebutkan tentang orang yang keyakinannya lemah. Yang termasuk keyakinan adalah:
1.    Yakin dalam menegakkan perintah Allah, yakin terhadap apa yang Allah janjikan kepada orang yang taat kepada-Nya.
2.    Yakin terhadap ketentuan Allah, pencipta-Nya, dan pengaturan-Nya.
Apabila seseorang mencari keridlaan manusia dengan kemurkaan Allah (yaitu perbuatan yang disetujui manusia namun melanggar syar’at Allah), maka dia trmasuk orang yang tidak yakin terhadap janji Allah maupun jaminan rezeki-Nya. Manusia terdorong untuk mencari keridlaan manusia dengan kemurkaan Allah, mungkin disebabklan oleh kecenderungannya kepada dunia yang telah berada di tangannya, lalu ia pun meninggalkan perintah-perintah Allah. Atau karena ia kurang yakin terhadap janji Allah bagi orang yang taat kepada-Nya, yaitu berupa pertolongan, dukungan dan pahala di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya, apabila manusia mencari keridlaan Allah, maka Allah akan menolongnya, memberi rezeki kepadanya, serta melindunginya dari kejahatan orang lain. Dan sesungguhnya, orang yang mencari keridlaan manusia dengan kemurkaan Allah, itu hanya disebabkan oleh rasa takut kepada manusia serta mengharapkan pahala (pujian atau imbalan) dari mereka. Inilah wujud dari lemahnya keyakinan seseorang.
1.2.    Pertemuan Yang Utama
Manusia senantiasa bertemu dengan orang lain di banyak tempat, baik di masjid, di jalan, di tempat pekerjaan, di rumah, atau di mana saja. Manusia juga menjumpai orang lain dalam keadaan yang berbeda-beda.
Kaum salaf ridhwanallah ‘alaihim mempunyai suatu mahaj tersendiri yang khas dalam pertemau antara mereka dengan orang-orang yang mereka temui di mana saja. Beberapa contoh akan kami sebutkan di bawah ini.
Abdurrahman bin Mahdi berkata, “apabila seseorang bertemu dengan orang lain yang tingkat ilmunya berada di atasnya, maka pertemuan itu merupakan ghanimah baginya. Apabila ia bertemu dengan orang yang ilmunya setingkat dengannya, maka ia belajar darinya. Dan apabila ia bertemu dengan orang yang tingkat ilmunya berada di bawahnya, maka ia berlaku rendah hati (tawadlu) terhadapnya, lalu mengajarkan ilmu kepadanya. Seseorang tidak akan menjadi imam dalam keilmuannya, jika ia senantiasa mengutarakan setiap apa yang didengarnya. Dan seseorang tidak akan pula menjadi imam, jika ia mengemukakan perkataan dari setiap orang, atau mengemukakan hadits secara ganjil. Sesungguhnya hafalan itu adalah untuk pendalaman ilmu.” (Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, IX: 203)
Abu Bakr Al Marwazi berkata, “Saya endengar Aba Abdillah (Imam Ahmad rahimahullah) berkata, ‘saya pernah bermudzakarah dengan waki’ bin Al Jarrrah tentang hadits Ats Tsauri. Apabila ia (Waki’) telah selesai shalat, lalu saya bermudzakarah dengannya. Adakalanya, pembicaraan kami mencapai sembilan atau sepuluh hadits, kemudian menghafalnya. Lalu, setelah ia (Waki’) masuk ke rumahnya, datanglah para Ashhabul Hadits dan berkata kepadaku, ‘diktekan kepadaku (hasil mudzakarahmu).’ Kemudian aku mendiktekan kepada mereka, dan mereka pun menulisnya.” (Lihat: Manaqibul Imam Ahmad, oleh Ibnul Jauzi. Hal. 61)
Abu Zur’ah ar Razi rahimahullah juga sering bermudzakarah tentang hadits-hadits dengan Imam Ahmad. Abdullan bin (Imam) Ahmad menyatakan, “Saya pernah mendengar Abu Zur’ah berkata, ‘Imam Ahmad bin Hanbal hafal satu juta hadits.’ Lalu dikatakan kepadanya, ‘apa yang kamu ketahui?’ Dia (Abu Zur’ah) berkata, ‘saya telah bermudzakarah dengannya (Imam Ahmad), lalu mendapatkan beberapa bab darinya.” (Lihat: Manaqibul Imam Ahmad, oleh Ibnul Jauzi, hal. 859)
Para pemuka ahli hadits seringkali duduk bersama-sama dalam sebuah majlis untuk bermudzakarah tentang hadits-hadits. Ishaq bin Rahawiah berkata, “Di Irak, saya pernah duduk bersama Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Mu’in, dan sahabat-sahabat kami. Kemudian kami bermudzakarah tentang hadits dari satu jalan (sanad), dua jalan, atau tiga jalan. Yahya bin Mu’in berkata di tengah-tengah mereka, ‘jalannya (sanad) begini.’ Lalu saya katakan, ‘bukankah telah shahih berdasarkan kesepakatan kita?’ mereka menjawab, ‘ya.’ Lalu saya kataka lagi, apa maksudnya, bagaimana penafsiran dan pemahamannya?’ semuaya diam kecuali Ahmad bin Hanbal (yang memberikan penjelasan).”
Masih banyak contoh tentang pertemuan-pertemuan yang utama di antara tokoh-tokoh kaum salaf dan para ‘alim, yang terdapat pada biografi mereka ataupun buku sejarah umat Islam.
1.3.    Menyikapi Kesalahan Orang
Allah Ta’ala berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir." (Al Baqarah 286)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa orang yang berijtihad mencari kebenaran dengan mengambil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian tersalah pada sebagian hal tersebut, maka Allah mengampuni kesalahannya sebagai perwujudan dari do’a yang telah dukabulkan oleh Allah kepada Nabi-Nya dan kaum mukminin, ketika mereka berdo’a ‘Ya Rabb kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah.” (Lihat Dar’u Ta’arudhil ‘Aql Wan Naql, II: 103)
Apabila seseorang berijtihad dalam mencari kebenaran dengan mengambil sumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian dalam upaya tersebut dia tersalah, maka kesalahannya diampuni oleh Allah Ta’ala berdasarkan nash sebagaimana tersebut di atas. Demikian pula terhadap ulama, bila ia telah mengerahkan kemampuannya untuk mencari kebenaran yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian tersalah dalam perkara-perkara akidah, maka janganlah dia dianggap bid’ah, apalagi kemudia diisolasi (umat tidak mau lagi bergaul dengannya). Jika seorang ‘alim telah mengatakan sesuatu (perkara akidah) yang termasuk perkara bid’ah, belum tentu ia adalah ahli bid’ah. Seperti juga seseorang yang mengatakan perkataan kafir belum tentu ia adalah orang kafir. Menuduh kafir terhadap seseorang memerlukan syarat-syarat (yang dapat memastikan bahwa ia adalah orang kafir) tanpa ada halangan (ganjalan yang meraguka). Demikian pula menurut bid’ah terhadap seseorang, dibutuhkan pemenuhan syarat-syarat (yang dapat memastikan bahwa ia selalu berbuat bid’ah) tanpa halangan (kraguan lagi). Berdasarkan persyaratan ini, maka kita tidak membid’ahkan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Atsqalani, Al Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi, dan ulama yang semisal dengan keduanya. Kita mengetahui sirah (sejarah perjalanan hidup) mereka dalam mencari kebenaran dan menelusuri As Sunnah.” (Lihat: Al Fatawa, XXVIII: 233-234)
Apabila terhadap setiap imam yang tersalah dalam setiap ijtihadnya, padahal dia telah mengerahkan semua kemampuanya untuk mencari kebenaran dan mengambil sumber yang benar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga Allah Ta’ala telah mengampuni kesalahannya, lalu kita tuduh bid’ah bahkan kita isolasi, tentu  sebagian besar ulama tidak akan selamat (dari tuduha bid’ah).
Seseorang yang mencari kebenaran, mengambil ajaran din, namun tidak mengambilnya dari sumber yang benar, yaitu dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun mengambilnya dari sumber yang lain (misalnya dari teori-teori filsafat), maka orang tersebut telah jelas-jelas melakuka bid’ah, mulai dari sumbernya, perkataannya, sampai akidahnya.
Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Seandainya setiap imam yang tersalah di dalam ijtihadnya tentang suatu masalah, padahal kesalahannya telah diampuni (oleh Allah), lalu kita menentangnya, menuduhnya bid’ah, dan mengisolasinya, maka sudah tentu tidak akan selamat (dari tuduhan kita, orang seperti) Ibnu Nashr, Ibnu Amdah, atau orang-orang yang melebihi keduanya (dalam hal kesalahannya). Padahal, Allah adalah pembimbing makhluk kepada kebenaran, dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang. Dan kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan perilaku yang buruk.” (Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, XIV: 40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang-orang telah membenarkan atau menyalahkan para mujtahid dalam berbagai masalah furu’ maupun ushul. Namun, kami hanya akan mengemukakan prinsip yang menyeluruh dan memberi manfaat, yaitu: mungkinkah setiap mujtahid mengetahui secara pasti kebenaran ijtihadnya dalam setiap masalah yang diperselisihkan? Karena ia tidak dapat memastikan kebenaran ijtihadnya, maka yang ia lakukan adalah mengerahkan seluruh kemampuanya untuk mencari kebenaran. Bila ia telah yakin, bahwa suatu perkara itu benar, maka ia berpegang kepada keyakinan tersebut. dan apabila ternyata ijtihadnya itu salah, pantaskah ia dihukum karena kesalahannya? Jawaban yang benar adalah bahwa tidak setiap ijtihad yang dilakuka oleh setiap mujtahid itu selalu mengantarkannya hingga mengetahui kebenaran (hakiki). Seorang mujtahid tidak berhak dituduh ahli bid’ah atau diancam karena kesalahan yang di luar kesanggupannya, namun orang yang berhak dituduh ahli bid’ah atau diancam hanyalah orang-orang yang jelas-jelas dengan sengaja meninggalkan perintah-perintah Allah dan melaksanakan larangan-larangan-Nya.
Bila seorang mujtahid, baik seorang imam, hakim, ‘alim, mufti, atau lainnya, apabila melakukan ijtihad, sambil senantiasa bertakwa kepada Allah sesuai dengan keanggupannya, maka yang demikian ini telah sesuai dengan apa yang dibebankan oleh Allah Ta’ala kepada hamba-Nya. Apabila seorang hamba bertajwa kepada Allah sesuai dengan maksimal kemampuannya, maka ia berhak mendapat pahala, dan Allah tidak akan menghukumnya sama sekali. Dia benar (tidak bid’ah) dalam pengertian, bahwa dia itu taat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat: Minhajus sunnatin Nabawiyyah, V: 84-125, kutipan ringkas)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Patut diketahui, bahwa di antara orang-orang yang memiliki ketinggian ilmu dan din, dari kalangan para sahabat, tabi’in, ahlul bait, ataupun yang lainnya, telah muncul berbagai ijtihad yang disertai praduga atau disertai hawa nafsu yang tersembunyi, keadaan seperti ini akan terus berlangsung hingga hari kiamat. Terhadap pemunculan ijtihad yang disertai praduga atau hawa nafsu yang tersembunyi tersebut, maka tidak patut kita ikuti, meskipun hal tersebut berasal dari wali-wali Allah yang bertakwa. Kemudian, sikap manusia dalam menaggapi hal tersebut, dapat kita bagi ke dalam dua kelompok sikap, yaitu:
1.    Kelompok manusia yang mengagungkan, membenarkan, dan mengikuti ijtihad tersebut.
2.    Kelompok manusia yang mencela (ijtihad tersebut), lalu menganggap mujtahidnya mempunyai cacat dalam tingkat kewalian, ketakwaan, kebaikan, dan kedudukannya sebagai ahli surga. Bahkan kelompok ini menganggap mujtahidnya tersebut telah keluar dari keimanannya.
Kedua kelompok tersebut tidak ada yang benar. Kelompok yang mengagungkan ataupun kelompok yang mencela para mujtahid secara berlebihan, baik dari kalangan kaum Khawarij, Rafidah, serta penganut hawa nafsu yang lain, mereka telah tersesat dari sikap yang berlebihan ini.
Barangsiap menempuh cara yang adil (dalam bersikap terhadap kesalahan seseorang), maka dia akan mengagungkan orang yang berhak diagungkan, mencintainya, loyal kepadanya, memberikan hak kepada yang berhak, menjunjung kebenaran, dan menyayangi makhluk. Orang yang adil mengetahui, bahwa seseorang tentu mempunyai kebaikan dan keburukan, dapat dipuji dan dicela, diberi pahala imbalan kebaikan dan dihukum, dicintai dari satu sisi (kebaikannya) dan dibenci dari sisi yang lain (keburukanya). Inilah manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang jelas berbeda dengan manhaj kaum Khawarij, Mu’tazilah, dan kaum yang sepakat dengan mereka.” (Lihat: Minhajus Sunnatun Nabawiyyah, IV: 543)
1.4.    Sebut-Sebutlah Allah
Ibnu ‘Aun berkata, “Menyebut mausia (membicarakan orang) adalah penyakit, dan menyebut Allah (dzikir kepada Allah) adalah obat.”
Adz Dzahabi berkata, “Demi Allah, kejaidian aneh ayng terjadi di antara kita dan sikap orang-orang jahil dari kalangan kita adalah, bagaimana jalan pikiran kita sehingga kita meninggalkan obat (dzikir) dan menerjang penyakit (membicarakan orang)? Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman:
“Karena itu, ingatlah kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu.” (Al Baqarah 152)
“Dan sesungguhnya dzikir kepada Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” ((Al ‘Ankabut 45)
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar Ra’d 28)
Akan tetapi, ketentraman hati tersebut tidak mungkin diperoleh kecuali karena taufiq Allah Ta’ala. Dan barangsiapa selalu berdoa kepada Allah untuk mengikuti pintu (taufiq Allah), maka Allah akan membukakan pintu taufiq baginya.” (Lihat: siyar A’lamin Nubala’, VI: 369)
Banyak ayat yang menjelaskan tentang kewajiban menjaga lisan dan ancaman terhadap perkataan (yang diucapkan) tanpa dzikir (terlebih dahulu). Di antara ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala berikut ini:
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (Al Qaaf 18)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al Isra’ 36)
“Dan diletakanla kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak ...”
Perhatikan dalil-dalil tentang keutamaan dzikir, sehingga ia dapat menyibukkan diri untuk melakukan perbuatan yang bermanfaat, yang mendatangkan kebaikan di dunia maupun akhirat.
1.5.    Berikan Hak Kepada Ahlinya
Kaidah dalam memberikan hak kepada ahlinya, hampir sama dengan kaidah adil dalam mensifati orang lain. Akan tetapi, kaidah ini ditekankan pada penjelasan tentang keistimewaan yang dimiliki oleh setiap orang. Terkadang, seseorang memiliki keistimewaan dalam bidang keilmuan, orang yang lain dalam bidang jihad, yang lain lagi dalam bidang da’wah, dan seterusnya.
Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Ahli tulis menulis adalah Ibnul Bawwab, ahli qira’ah adalah Ubay bin KA’ab, ahli hukum adalah Ali, ahli Fara’id adalah Zaid, ahli tafsir adalah Ibnu Abbas, orang yang paling dapat dipercaya adalah Abu Ubaidah, ahli Ibrah adalah Muhammad bin Sirin, yang paling benar (yang paling baik) dialeknya adalah Abu Dzar, ahli fiqh ummat adalah Malik, ahli hadits adalah Ahmad bin Hanbal, ahli lughah (bahasa) adalah Abu Ubaid, ahli sya’ir adalah Abu Tamam, yang paling ‘abid adalah Abu Fudhail, yang hafizh adalah Sufyan Ats Tsauri, ahli berita (sejarah) adalah Al Waqidi, ahli zuhud adalah Ma’raf Al Kurkhi, ahli nahwu adalah Sibawaeh, ahli ‘Arudl adalah Al Khalil, ahli pidato adalah Ibnu Nabatah, ahli mengarang adalah Al Qadhi Al Fadlil dan ahli penunggang kuda adalah Khalid Ibnul Walid. Semoga Allah Ta’ala merahmati mereka.” (Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, XVII: 319)
Demikianlah pembahasan lima buah kaidah umum yang pantas dimiliki oleh seorang muslim di dalam membangun pergaulan yang mulia di antara sesama manusia.
Dengan berakhirnya pembahasan bab ketiga ini, maka selesailah sudah seluruh pembahasna mengenai adab-adab dan kaidah-kaidah yangsepatutnya diperhatikan oleh seorang muslim, ketika ia melakukan penilaian terhadap orang lain, ketika ia mendengar seseorang memberikan penilaian negatif terhadap saudaranya, dan ketika melakukan pergaulan yang luas. Semoga tulisan ini mendatangkan kebaikan kepada anda yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan berbagai pengorbanan untuk mengikuti seluruh uraian dalam bab ini. Kami haya dapat mendoakan semoga Allah Ta’ala membukakan pintu hati anda untuk mengikuti semua kebaikan dan seluruh kebenaran yang berasal dari-Nya, dan semoga Allah Ta’ala menjauhakan diri anda dari perbuatan jahil dan zhalim yang disebabkan oleh kelemahan diri anda.
Terakhir, do’a kami kepada Allah Ta’ala, “Tiada daya dan tiada kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala. Dan segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam.



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------