MENGENAL JUAL BELI GHARAR
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar
adalah, al-khathr (pertaruhan) [1]. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul
al-’aqibah) [2]. Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah
(pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam
kategori perjudian [3].
Sehingga, dari penjelasan ini, dapat
diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual
beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian. [4]
HUKUM GHARAR
Dalam syari’at Islam, jual beli
gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.
“Artinya: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.” [5]
Dalam sistem jual beli gharar ini
terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah
melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam
firmanNya.
“Artinya: Dan janganlah sebagian
kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.”
(Qs. Al-Baqarah: 188)
“Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisaa: 29)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam
Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula
dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar
ini. [6].
Pelarangan ini juga dikuatkan dengan
pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah.
“Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah: 90)
Sedangkan jula-beli gharar,
menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti
menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak
buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang
diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an. [7]
HIKMAH LARANGAN JUAL BELI GHARAR
Diantara hikmah larangan julan beli
ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan
pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada
pihak lain. [8]. Larangan ini juga mengandung maksud untuk menjaga harta agar
tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat
jenis jual beli ini.
PENTINGNYA MENGENAL KAIDAH GHARAR
Dalam masalah jual beli, mengenal
kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli
yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam
Nawawi mengatakan: “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari
kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan.
Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak
terhitung.” [9]
JENIS GHARAR
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli
gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
Pertama: Jual-beli barang yang belum
ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan
ternak).
Kedua: Jual beli barang yang tidak
jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang: “Saya
menjual barang dengan harga seribu rupiah,” tetapi barangnya tidak
diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang: “Aku jual mobilku ini
kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak
jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “Aku
jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak
diketahui.
Ketiga: Jual-beli barang yang tidak
mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli
mobil yang dicuri.[10]. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan
pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan pada harga dapat
terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan
pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada
akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila
diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.[11]
Syaikh As-Sa’di menyatakan:
“Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli ma’dum (belum ada
wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang
tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau
kepada ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya.”
[12]
GHARAR YANG DIPERBOLEHKAN
Jual-beli yang mengandung gharar,
menurut hukumnya ada tiga macam.
[1]. Yang disepakati larangannya
dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).
[2]. Disepakati kebolehannya,
seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta
hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan
karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
Imam An-Nawawi menyatakan, pada
asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini. Maksudnya
adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin dilepas
darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya,
seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan
yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir
sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan
sejenisnya. Menurut ijma’, semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para
ulama menukilkan ijma tentang bolehnya barang-barang yang mengandung gharar
yang ringan. Di antaranya, umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah.”
[13]
Ibnul Qayyim juga mengatakan: “Tidak
semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit)
atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan
akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi
rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak
menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar
yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan
sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah
jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang
mungkin dapat dilepas darinya.” [14]
Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim
menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat
mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli
kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena
pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak
mungkin melihatnya. [15]
Dari sini dapat disimpulkan, gharar
yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan, atau ghararnya tidak
ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu,
Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada
hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan
susah, atau ghararnya ringan. [16]
[3]. Gharar yang masih
diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya
ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang
tanah, bawang dan lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang
keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam
menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka –diantaranya
Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya
dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang
lain di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan
memungkinkan untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan
Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah menyatakan: “Dalam permasalahan ini, madzhab Imam Malik adalah
madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua
yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya; sehingga memperbolehkan jual-beli yang
tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya.” [17]
Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan,
jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah tidak memiliki dua perkara
tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di lepas. [18]
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
menjadi jelaslah, bahwa tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar
dilarang. Permasalahan ini, sebagaimana nampak dari pandangan para ulama,
karena permasalahan yang menyangkut gharar ini sangat luas dan banyak.
Dengan mengetahui pandangan para ulama, mudah-mudahan Allah membimbing kita
dalam tafaqquh fiddin, dan lebih dalam mengenai persoalan halal dan
haram.
Wabillahit Taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
Foote Note
[1]. Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648
[2]. Majmu Fatawa, 29/22
[3]. Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar,
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M,
Dar Al-Jail. Hal.164
[4]. Al-Waaji Fi Fiqhu Sunnah wa Kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet.
I, Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332
[5]. HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab: Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai
Alladzi Fihi Gharar, 1513
[6]. Majmu Fatawa, 29/22
[7]. Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, Tahqiq
Abdulmajid Sulaim, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 342
[8]. Bahjah, Op.Cit, 165
[9]. Syarah Shahih Muslim, 10/156
[10]. Catatan Penulis dari pelajaran Nailul Authar yang disampaikan
Syaikh Abdulqayyum bin Muhammad As-Sahibaani di Fakultas Hadits Universitas
Islam Madinah, Lihat juga Al-Fiqhu Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah,
karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayaar, Prof. Dr Abdullah bin
Muhammad Al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cet. I, Th. 1425H,
hal. 34
[11]. Catatan penulis dari pelajaran Bidayatul Mujtahid, oleh Syaikh
Hamd Al-Hamaad, di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, KSA.
[12]. Bahjah, Op.Cit,. 166
[13]. Majmu Syarhu Al-Muhadzab, Imam An-Nawawi, 9/311
[14]. Zaadul Ma’ad, 5/727
[15] Syarh Syahih Muslim, 10/144
[16]. Majmu Syarhu Al-Muhadzab, 9/311
[17]. Majmu Fatawa, 29/33
[18]. Zaadul Ma’ad, 5/728
***
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------