KETERKAITAN ANTARA AKHLAK DAN AQIDAH
Syaikh Dr. Ibrahim ad Duwais

        Pada kenyataanya, akhlak tersebut mempunyai hubungan khusus yang sangat erat dengan keimanan dan aqidah. Imam Ibnu Qoyim menyatakan dalam sebuah pernyataannya: 'Agama itu seluruhnya mengandung akhlak, sehingga, barangsiapa yang menambah saldo akhlaknya maka agamanya ikut bertambah'.
       Adapun penulis risalah yang sangat bagus, yang berjudul 'Shilatul Akhlak bil Aqidah wal Iman', mengatakan didalam salah satu pembahasannya; 'Sesungguhnya siapa saja yang mau meneliti secara mendalam tentang keadaan manusia, dirinya akan mendapati, kebanyakan dari kaum muslimin mengeyampingkan, dan menganggap remeh serta enggan untuk masalah yang satu ini. Mereka tidak paham akan adanya hubungan yang sangat kuat antara akhlak yang luhur dengan iman dan aqidah. Yang mana, adakalanya anda menjumpai ada seseorang yang mengira bahwa dirinya telah benar-benar telah merealisasikan tauhid dan mencapai pada tingkat keimanan yang murni, didapati dirinya sangat jauh dari akhlak mulia dan terhimpun padanya akhlak yang kurang pantas serta kekurangan budi pekerti lainnya, yang bisa jadi telah menghilangkan keimanannya yang pokok, atau setidaknya dirinya telah terhalangi dari tingkat kesempuranaan yang ditekankan, seperti halnya masuk pada sombong, hasad, berprasangka buruk, dusta, berkata jorok, egois dan lain sebagainya. Yang terkadang semua itu dibarengi dengan kejahilan akan bahaya penyakit-penyakit tersebut pada aqidah dan keimanannya, atau juga disebabkan karena dirinya lalai terhadap keuniversalan kandungan agama ini yang ada pada setiap lini kehidupan. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah Ta'ala melalui firmanNya:
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ  (سورة الأنعام 162-163)  .
"Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".  (QS al-An'aam: 162-163).
        Sesungguhnya dalam merealisasikan tauhid serta usaha menyempurnakan keimanan bukan hanya sekedar menjauhi perbuatan syirik besar saja. Namun perlu dipahami, bahwa hal itu juga harus didukung dengan menjauhi segala perbuatan yang bisa meniadakan aqidah dan setiap perkara yang bisa menghilangkan nilai aqidah, atau membuat dirinya tertuduh didalam kesempurnaan tauhid dan keimanannya…". Demikian seterusnya apa yang dikatakan oleh penulis.
      Dari sini bisa dipahami, bahwa aqidah itu bukan hanya yang ada dikitab-kitab mutun saja, tidak pula yang tercantum didalam nash-nash yang dihafal, namun tuntutan yang harus terpenuhi dari hal tersebut adalah adanya timbal balik dan bukti nyata dalam penerapan kehidupan keseharian, demikian pula tatkala berinteraksi bersama orang lain, sehingga ketika pola pikir seperti ini telah sampai pada otak sebagian orang, mungkin akan menghentikan denyut nadinya yaitu manakala digandengkan bersama pemahaman pengertian iman serta kandungannya, yang insya Allah akan datang pembahasannya secara tersendiri.
 

KENYATAAN KITA DAN AKHLAK YANG INDAH
        Sesungguhnya manusia pada saat sekarang ini, yang tinggal dipermukaan bumi tanpa terkecuali, sangat memerlukan adanya seseorang yang mau berdiskusi bersamanya, membantu dirinya mengusir perasaan gelisah dan khawatir yang menghantuinya.  Membutuhkan seseorang yang mampu menunjukan pada mereka jalan menuju kebahagian serta ketenangan jiwa, dan butuh pada orang yang rela tanpa pamrih menggandeng tangan mereka supaya diarahkan pada jalan keselamatan dan ketentraman.
       Walaupun peradaban dunia yang semakin tinggi, ditambah model penemuan dan penciptaan berbagai macam tekhnologi, serta penemuan-penemuan modern yang baru telah berhasil mereka singkap.  Seharusnya semua hal tersebut bisa menjadi penopang kemuliaan serta kebahagian umat manusia, namun, sangat disayangkan sekali, umat manusia pada saat ini telah begitu dalam tenggelam, hanyut, larut bersama laut dunia yang tanpa ada batasnya.
       Kebanyakan dari mereka, terlihat begitu dahaganya tatkala dihadapankan pada harta benda dan perniagaan, tatkala berdiri dibelakang kelezatan dunia dan pelbagai macam syahwatnya, ketika mereka berada dihadapan kekuasaan, mereka akan sibuk mencari untuk mencicipinya dengan berbagai macam cara dan sarana walaupun harus mengeluarkan dan merogoh kantong serta mengeluarkan uang yang banyak. Yang penting baginya adalah puas bisa mendapatkan kemauan yang diinginkannya.
       Inilah kenyataan yang ada secara global, terkait dengan keadaan umat manusia pada saat sekarang ini, kecuali orang yang dikecualikan oleh Allah Tabaraka wa ta'ala. Dan ditengah-tengah keadaan yang seperti ini, sebagian mereka ada yang mencoba melirik, mencari tauladan, dan menyibak prinsip, akhlak serta adab dibarisan manusia yang ada disekelilingnya, kemudian tanpa sadar dirinya menjumpai orang yang menyatakan sebagai juru selamat, yaitu sebuah slogan yang sering digunakan oleh para juru dakwah agama nasrani,para misionaris. Lalu mereka ikut larut menamakan dirinya dengan itu bahkan yang disayangkan lagi mereka meneladani orang-orang kafir tersebut.
       Ada seorang teman yang pernah bercerita padaku; 'Pada suatu hari, aku pergi kedokter untuk menjalani pemeriksaan rutin yang sudah biasa aku lakukan di sebuah rumah sakit umum. Disana aku dilayani oleh seorang dokter, yang saya perhatikan begitu baik  dalam interaksi bersama pasien dan antusias sekali didalam menangani pasiennya, sehingga terlintas dalam benakku bahwa dokter tersebut merupakan salah seorang misionaris, karena aku pernah membaca dalam sebuah buku dan mendengar cara dan metode yang mereka gunakan".
      Dirinya meneruskan; 'Akan tetapi pikiranku segera aku tampik, karena aku berusaha untuk berprasangka baik padanya, terlebih dokter tersebut orang arab, dan tinggal di negeri muslim, akan tetapi aku baru sadar bahwa dirinya memang beragama nasrani, mungkin karena masuk Kristen atau karena merasa sebagai juru selamat, sebagaimana yang biasa mereka gembar-gemborkan'. Sampai disini kisah teman kita tadi.
       Saudaraku, bukankah seorang muslim itu lebih layak dan pantas untuk menamakan dirinya sebagai pemberi kabar gembira? Dan lebih layak untuk menyandang akhlak budi pekerti yang luhur?. Tidakkah engkau mendengar firman kebenaran dari Maha Benar Azza wa jalla yang mengatakan:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَا نُرۡسِلُ ٱلۡمُرۡسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَۚ . (سورة الكهف 56)  .
"Dan tidaklah Kami mengutus para Rasul melainkan hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan".  (QS al-Kahfi: 56).

Bukankah Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: « يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا وَسَكِّنُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا ».  [رواه البخاري ومسلم]
"Mudahkanlah janganlah kalian persulit, berilah kabar gembira jangan bikin mereka lari".  HR Bukhari dan Muslim.
       Bukankah kita, kaum muslimin itu lebih layak untuk bersikap lemah lembut bersama orang lain? Lebih pantas untuk menyandang akhlak yang baik dan menyebarkan harapan pada jiwa?
       Kenapa sikap kasar dan merintangi, serta menjauhkan dan meninggalkan ini ada disebagian pribadi muslim? Sungguh kehidupan serba tercukupi serta peradaban yang ada telah mengikis habis akhlak kita dan cara kita bergaul bersama orang lain, sampai sekiranya ada sebagian yang menyangka bahwasannya tidak mungkin bersatu antara peradaban modern dan tuntutan mengkais rizki dengan berhias bersama akhlak dan adab budi pekerti yang luhur, sehingga ada salah seorang diantara mereka yang mengatakan dalam untaian bait syairnya:

Kalau sekiranya dunia didapat dengan paksaan
                                  Lalu merubah dirimu dari kesulitan menjadi kemudahan

Baru engkau sadar betapa rendahnya kita
                                          Sungguh cela bagi kita bertopeng dengan kemiskinan
        Dan kita masih seringkali mendengar dari kalangan orang yang mempunyai kedudukan, atau seorang saudagar, atau juga seorang pejabat yang masih berhias dengan akhlak yang luhur dan adab budi pekerti. Akan tetapi, orang lebih sering menyebutnya dalam bentuk pujian dan takjub, ketika menjumpai orang yang berada dalam kedudukan yang seperti itu masih saja menikmati akhlak yang indah.

Saudaraku..
         Sesungguhnya manakala orang mau melihat dan membaca tentang agama Islam, lebih khusus lagi dalam permasalahan adab dan akhlak serta interaksi pergaulan dengan sesama, tentu dirinya akan merasa takjub dengan ketakjuban yang luar biasa, merasakan betapa agungnya agama ini, karena begitu rinci dan perhatiannya dalam masalah perasaan dan pergaulan, serta semangatnya di dalam menyebarkan perdamaian dalam bungkus percintaan.
       Simaklah hadits ini, yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau menceritakan; 'Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قال النبي صلى الله عليه و سلم: (( إذا أحدث أحدكم في صلاته فليأخذ بأنفه ثم لينصرف)) [ رواه أبو داود]
"Apabila salah seorang diantara kalian berhadats ketika sedang sholat, (lalu ingin keluar) maka peganglah hidungnya kemudian baru keluar (dari shaf)".  HR Abu Dawud. Dishahihkan oleh al-AlBani.
       Mungkin ada yang bertanya, kenapa harus menutup hidungnya, apa hubungannya antara hidung dengan kejadian yang baru saja dialaminya?. Jawabanya ada pada keagungan yang menunjukan pada betapa agungnya agama ini, yang mana begitu perhatiannya agama Islam dengan perasaan yang timbul dari dalam hati, serta menjaga perasaan orang lain. Yang mana dirinya diperintah untuk menutup hidungnya untuk memberi sangkaan pada orang yang berada disampingnya, ada sesuatu yang terjadi pada hidungnya namun tidak nampak oleh tetangga sampingnya, sehingga dirinya merasa malu lalu keluar.
        Al-Khitabi mengatakan di dalam kitabnya 'Badzlul Majhud Syarh Sunan Abi Dawud', mengomentari hadits ini dengan pernyataannya: 'Hanya saja dirinya diperintah untuk menutup hidung agar memunculkan rumor pada orang lain kalau hidungnya mengeluarkan darah. Maka dalam hadits ini diambil faidah adab didalam menutupi aurat dan menyembunyikan kejelekan serta tauriyah dengan cara yang lebih baik, dan hal tersebut bukan masuk dalam bab riya' dan sombong, namun itu masuk dalam bab berhias diri dan menyematkan rasa malu serta mencari selamat dari tuduhan orang lain'.  
       Sehingga pada ujungnya orang lain ridho seperti halnya engkau juga ridho memperlakukan hal tersebut untuk dirimu. Karena pada hakekatnya seluruh manusia itu sama dari jenis makhluk yang serumpun. Maka tidak adil rasanya jika engkau sengaja membikin murung hatinya disebabkan oleh keramahan padanya, sedangkan mereka sama seperti dirimu, mereka merasa sebagaimana engkau juga punya perasaan.
         Akan tetapi, barangsiapa yang melihat pada kenyataan sekarang ini, dirinya akan kaget melihat betapa rendahnya akhlak yang ada dilingkungan masyarakat Islam dalam derap kehidupan nyata. Bahkan yang lebih parah, ada orang yang silau dengan gemerlap peradaban barat lalu menjiplak mentah-mentah perilaku mereka, yang selanjutnya menularkan pada kaum muslimin, baik yang positif maupun negatifnya.
       Adapun kami kaum muslimin, dengan adanya ajakan dan tuntutan zaman, dengan kemajuan dan peradaban, tetap mengambil manfaat dari adanya kemajuan teknologi dan produksi, dan menerima adanya penelitian dan kecakapan. Namun, kami tetap mengucapkan dengan bahasa seorang muslim yang jujur dan cemburu terhadap ajarannya, tidak goyah dengan sampah adat dan kebiasaan orang barat yang mengikis habis akhlak dengan slogan ompongnya 'kebebasan' dan ajakan untuk menuntut persamaan hak-hak wanita.
       Mereka menyatakan; 'Karena membungkus kemulian, dan menjaga terhadap aurat, kehormatan serta budi pekerti yang luhur dalam bingkai peradaban dan sangkaan kemajuan, sebuah kemunduran', maka itu semua adalah tipu daya semu yang telah terbongkar keburukannya, yang tidak terselubung lagi, melainkan bagi orang yang lalai dan senang memprediksi dalam pola pikirnya atau memang hatinya sudah akut oleh penyakit hati.
        Sesungguhnya di dalam akhlak dan adab yang kami miliki sebagai seorang muslim, bahkan hal tersebut juga merupakan bagian dari adat dan kebiasaan kami sebagai seorang arab, tidak pernah membiarkan hatinya penuh dengan sifat senang berbangga diri dan merasa lebih mulia, dan tinggi serta berkuasa. Karena Allah telah memilihkan pada kita kedudukan dan tempat yang lebih mulia dari itu semua, sebagaimana hal itu tergambar dalam sebuah firmanNya:
قال الله تعالى: ﴿ وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ . (سورة البقرة 143)  .
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu".  (QS al-Baqarah: 143).

        Sekarang aku bertanya kepada anda, apakah kedudukan seperti ini layak disandang oleh tindakan sebagian orang yang telah lalai, baik laki maupun wanita, yang senang mengekor dan menyerupai orang kafir dan para pelaku kesyirikan di dalam adat kebiasaan, cara berpakaian dan berbagai kotoran sampah akhlak, perilaku mereka?
       Maka engkau duhai seorang muslim, harus menjadi orang yang diikuti dan diambil contohnya bukan malah mengikuti, sebagai pemimpin bukan yang terpimpin. Di iringi bersama dengan kejernihan aqidah dan keteguhan prinsip ajaran agamamu, serta ajaran-ajaran luhur agamamu, lalu di barengi dengan keindahan akhlakmu. Kenapa kita tidak bangga dengan menjadi sosok pribadi seorang muslim? Kenapa kita tidak tunjukan pada seluruh dunia bahwa kita adalah para penganut agama yang mengajarkan akhlak yang luhur?
       Dan kita mempunyai Shibghah[1] khusus yang membedakan antara kita dengan yang lainnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Ta'ala dalam firmanNya:     

قال الله تعالى: ﴿ صِبۡغَةَ ٱللَّهِ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ صِبۡغَةٗۖ وَنَحۡنُ لَهُۥ عَٰبِدُونَ  (سورة البقرة : 138) 
"Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah".  (QS al-Baqarah: 138).




[1] . Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah, maksudnya; celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------