Makna Adab Dalam Perspektif
Pendidikan Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini
Bagian ke-1/7
Pendahuluan
Artikel
Insists; Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) dan Kamus Umum
Bahasa Indonesia (1976) susunan W.J.S. Poerwadarminta, kata “adab”
didefinisikan sebagai: kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, dan
akhlak. Sedangkan “beradab” diartikan sebagai sopan, baik budi bahasa, dan
telah maju tingkat kehidupan lahir dan batinnya. Sedangkan Kamus Besar
Bahasa Melayu Utusan, mengartikan kata “adab” dengan “sopan” (lawan dari kata
“biadab”). “Beradab” berarti baik budi bahasa. 1
Istilah
“adab” tentu saja bukan hal yang asing bagi bangsa Indonesia. Sebab, kata ini
sudah terbiasa digunakan di tengah masyarakat dan juga tercantum dalam
Pancasila, sila kedua, yaitu: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Masuknya
istilah “adab” dalam Pancasila ini merupakan indikasi kuatnya pengaruh Islamic
worldview (pandangan alam Islam) dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, dimana
terdapat rumusan Pancasila. Indikasi yang lebih jelas tentang kuatnya
pandangan-alam Islam pada rumusan Pancasila adalah terdapatnya sejumlah istilah
kunci dalam Islam lainnya, seperti kata “adil”, “
“hikmah”, rakyat, daulat, wakil, dan “musyawarah”.
Akan
tetapi, selama ini, dalam berbagai penataran tentang Pancasila dan pelajaran
Kewargaan Negara, istilah adab itu tidak dibahas secara khusus secara
komprehansif. Sebagai contoh, sebuah buku tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (Ketetapan MPR No. II/MPR/1978), terbitan Team
Pembinaan Penatar dan Bahan-bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia (tanta
tahun), disebutkan tentang arti sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
sebagai berikut:
“Dengan
sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, manusia diakui dan diperlukan sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama
derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan social, warna kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap
saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan “tepa selira”, serta
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar
melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan
keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia
merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu
dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa
lain.”
Tampak
dalam pemaknaaan sila kedua dari Pancasila tersebut, sisi humanismenya sangat
kental. Bung Hatta pernah menjelaskan makna sila kedua Pancasila sebagai
berikut:
“Yang
harus disempurnakan dalam Pancasila, ialah kedudukan manusia sebagai hamba
Allah, yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab langsung terletak di bawah sila pertama.
Dasar kemanusiaan itu harus dilaksanakan dalam pergaulan hidup. Dalam segala
hubungan manusia satu sama lain harus berlaku rasa persaudaraan. Persaudaraan
itu menembus batas nasional, yaitu persaudaraan mausia antarbagsa, dan
persaudaraan antarbangsa-bangsa dengan prinsip kesedarajatan manusia.” 2
Ki
Hajar Dewantoro pernah memberikan penjelasan tentang sifat beradab:
“Pancasila
menjelaskan serta menegaskan corak warna atau watak rakyat kita sebagai
bangsa-bangsa yang beradab, bangsa yang berkebudayaan, bangsa yang menginsyafi
keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan hidup
kebangsaannya dengan dasar perikemanusiaan yang universal, meliputi seluruh
alam kemanusiaan, yang seluas-luasnya, pula dalam arti kenegaraan pada
khususnya.” 3
Sementara
itu, Bung Karno menyatakan, sila kedua itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
tidak menganut paham kebangsaan yang picik,, melainkan nasionalisme yang luas.
Soekarno memandang internasionalisme sama dengan “humanity”,
peri-kemanusiaan. Soekarno terinspirasi oleh Gandhi yang menyatakan: My
nationality is humanity.” Namun, Bung Hatta mengingatkan, bahwa
berhubung dengan power politics, maka kita harus berhati-hati
mengartikan internasionalisme sama dengan humanity. 4
Menurut
Dr. Yudi Latif, kalimat “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah satu
kesatuan, yang harus diucapkan dalam satu tarikan nafas, untuk bisa memahaminya
secara utuh. Kemanusiaan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri
Republik ini adalah “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam pelbagai dimensi
dan menifestasinya. Di sini, tegas Yudi Latif, “dimensi humanitarianisme dan
universalitas hadir begitu kuat mewarnai sila kemanusiaan. Prinsip
egalitarianisme dan emansipasi tampak kental, meski secara tersirat.” 5
Jika
ditelaah, berbagai rumusan makna dari “adil” dan “beradab” dalam sila kedua
Pancasila tersebut masih berpijak atas dasar kemanusiaan universal, yang dalam
berbagai aplikasinya menimbulkan penafsiran yang sangat berbeda, antar berbagai
agama dan aliran-aliran pemikiran besar, seperti Islam, Kristen, liberalisme,
komunisme, dan sebagainya. “Kemanusiaan” atau humanity memang istilah
yang disepakati oleh seluruh manusia, sebagai istilah yang baik. Tetapi, umat
manusia tidak bersepakat tentang makna dan batas-batas kemanusiaan.
Karena itulah, dalam konsep HAM, misalnya, ada perbedaan antara Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) degan Deklarasi Kairo tentang HAM yang
dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), khususnya menyangkur hak
asasi tentang pindah agama dan pernikahan lintas agama. Persoalan hak-hak kaum
homo dan lesbi untuk menikah secara legal juga terus memicu perdebatan
internasional. Sebuah contoh sikap Negara Islam terhadap HAM, ditunjukkan oleh
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dalam salah satu suratnya kepada International
Organizations on Human Rights: “The marriage of a non-Muslim
whether he is a Christian or a Jew for instance, to a Muslim woman has been
prohibited by Islam…”. 6
ADAB
DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Dr. Adian Husaini, ke-2/7)
Perlu
dicatat, rumusan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sangat berbeda dengan
rumusan yang pernah diusulkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, Muhammad Yamin,
dalam Sidang BPUPK, tanggal 29 Mei 1945, mengusulkan rumusan sila keduanya:
“Peri Kemanusiaan”. Soekarno, pada 1 Juni 1945, mengusulkan rumusan sila
kedua: “Internasionalisme atau Perikemanusiaan.” Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku 29 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950
memuat rumusan sila kedua: “Peri Kemanusiaan”. Rumusan “Peri Kemanusiaan”
ini juga diteruskan dalam Konstitusi UUDS, 1950 sampai 5 Juli 1959. 7
Dengan
mencermati berbagai rumusan sila kedua yang pernah diusulkan atau
dicantumkan dalam beberaa Konstitusi RI, tampak bahwa dua istilah – “adil”
dan “adab” – ini jelas berasal dari kosakata Islam, yang
memiliki makna khusus (istilaahan) dan hanya bisa dipahami dengan tepat
jika dirunut pada pandangan-dunia Islam. Kedua istilah tersebut jelas tidak
ditemukan dalam tradisi Indonesia asli, sebelum kedatangan Islam. Adil adalah
istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh
dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah
memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang
dekat dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah
mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90).
Prof.
Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil dalam
ayat ini, yaitu “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan
membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan
berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran
karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan
yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. “Maka
selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia,
maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan
percaya-mempercayai,” tulis Hamka. 8
Jadi,
adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang
oleh orang Islam, seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-dunia Islam,
karena konsep ini terikat dengan konsep-konsep Islam lainnya. Jika konsep adil
dipahami dalam kerangka pandangan-alam Barat (western worldview), maka
akan berubah maknanya. Sejumlah aktivis Kesetaraan Gender, yang berpedoman pada
“setara” menurut pandangan Barat, misalnya, mulai menggugat berbagai ajaran
Islam yang dinilai menerapkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
Dipertanyakan, mengapa aqiqah untuk bayi laki-laki, misalnya, adalah dua
kambing dan aqiqah untuk bayi perempuan adalah 1 kambing. Konsep itu dinilai
tidak adil dan diskriminatif. Dalam Islam, laki-laki berhak menjadi imam shalat
bagi laki-laki dan perempuan adalah adil. Menurut konsep yang lain, bisa
dikatakan tidak adil. Dalam pandangan demokrasi Barat, tidak ada pembedaan
antara hak “orang jahat” dengan”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek
kehidupan lainnya. Bagi hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil jika
Presiden – yang tidak ada hubungan keluarga apa pun – berhak memberikan grasi
kepada seorang terhukum. Tetapi, dalam Islam, yang lebih adil adalah jika hak
pengampunan itu diberikan kepada keluar korban kejahatan. Jadi, kata adil,
memang sangat beragam maknanya, tergantung pandangan-dunia apa yang digunakan.
Sejumlah
kalangan, dengan alasan HAM, menilai aturan Islam tidak adil, karena
melarang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Juga dengan dasar
yang sama, mereka menuntut keadilan, agar kaum homoseksual dan lesbian juga
diberikan hak yang sama untuk diakui keabsahan pernikahan mereka, sebagaimana
pernikahan kaum hetero. Lama-lama, bisa juga mereka menuntut hak untuk
pengesahan perkawinan manusia dengan binatang, dengan alasan, tidak mengganggu
orang lain. Ada juga tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak untuk hidup. Dan
sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua – Kemanusiaan yang
adil dan beradab – dilepaskan maknanya dari sudut pandangan-alam (worldview)
Islam, maka akan terlepas pula maknanya yang hakiki, sebagaimana
dimaksudkan oleh para perumus Pancasila itu sendiri.
Bagi
kaum Muslim, khususnya, Prof. Naquib al-Attas mengingatkan perlunya
memperhatikan masalah penggunaan bahasa atau istilah-istilah dasar dalam Islam
dengan benar agar jangan sampai terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan
dalam memahami Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut
Prof. Naquib, banyak istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi kabur
dipergunakan sewenang-wenang sehingga menyimpang dari makna yang sebenarnya. Ia
menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of language).
Contoh kasus penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang
diartikan sebagai “tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf
tanpa batasan, atau sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman
makna istilah adab, yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai
kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. 9
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------