PENYUSUAN, PENYAPIAN DAN PENGASUHAN ANAK
OLEH ABU FAHMI
Tafsir Tematik QS
Al-Baqarah: 233
Allah
Berfirman :
233.
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Makna Al-Hadlonah (Pengasuhan) adalah: melindungi anak dan membiayainya hingga
mencapai usia baligh (Dari Syaikh Abu Bakar al Jazairi dalam kitabnya ”Minhajul
Muslim, hal. 364, Dar As Salam-Kairo-Mesir, Edisi Baru).
Hadlonah ini wajib diberikan kepada anak-anak yang masih kecil
untuk menjaga badan mereka, akal mereka, dan agama mereka. Tentu saja
kewajiban ini ada pada pundak kedua orangtuanya. Jika keduanya telah meninggal
dunia, maka hadlonah terhadap anak mereka wajib dikerjakan oleh sanak
kerabatnya yang paling dekat dan sanak kerabat urutan berikutnya. Jika mereka
itu semuanya tak ada, maka hadlonah dilimpahkan kepada pemerintah atau satu
jama`ah dari kaum muslimin (misal saja: lembaga pengasuhan anak- anak muslim
yang ada disekitar kita, semacam panti-panti spsial asuhan anak – PSAA).
Hak HADLONAH bagi si
kecil ketika ayah-ibunya bercerai
Bagaimana jika suami isteri beercerai,
sementara masih ada hak hadlonah
bagi anak nya ? Jika terjadi
perceraian atau salah satunya meninggal, maka orang yang paling berhak
meng-hadlonah anak-anak ialah ibunya (jika diceraikan suaminya, dan
belum menikah lagi), berdasarkan sabda Nabi Saw:
{أَنْتِ أَ حَقُّ بِهِ مَا
لَمْ تَنْـكَحِيْ}
“Engkau (isteri) lebih berhak atas anakmu,
selagi engkau belum menikah lagi”
(HR Ahmad, Abu Daud,, dan dishahihkan oleh
al Hakim).
Jika ibunya tidak ada, maka
orang yang paling berhak meng-hadlonah anak kecil tersebut ialah nenek
dari jalur ibu, dan jika ia pun tidak ada maka orang yang paling berhak
menghadlonah anak tersebut ialah bibi
dari jalur ibunya. Karena keduanya (nenek atau bibi dari jalur ibu)
posisinya seperti ibunya sendiri bagi si anak. Nabi Saw bersabda:
{ اَ لْـخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ}
“Bibi dari jalur ibu itu seperti
ibu” (HR Bukhari-Muslim).
Jika bibi dari jalur ibu tidak ada,
maka orang paling berhak meng-hadlonah anak kecil tsb adalah nenek dari jalur
ayahnya, juka nenek dari jalur ayahnya tidak ada, maka yang paling berhak
menghadlonah anak tsb saudara perempuan anak kecil tsb, jika ia pun tak ada,
maka beralih kepada bibi dari jalur ayahnya, dan jika ia juga tak ada maka
beralih kepada perempuan dari saudara ayah tsb. Jika semua orang di atas tidak
ada, maka hadlonah kembali kepada ayahnya., lalu kakeknya, lalu saudara
ayahnya, kemudian anak dari saudara ayahnya, kemudian pamannya dari jalur
ayahnya, lalu keluarga yang paling dekat, dan keluarga lainnya sesuai dengan
urutan kekerabatan.
Saudara kandung lebih diutamakan untuk menghadlonah anak kecil daripada
saudara seayah, dan saudara perempuan
sekandung juga lebih didahulukan untuk menhadlonah nya daripada saudara
perempuan seayah. (Minhajul Muslim, hal. 365).
Penjelasan Tafsinya:
{وَاْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْ لاَ دَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ}
(Para ibu hendaknya menyusui
anak-anaknya selama 2 tahun penuh).
Disebutnya waktu penyusuan 2 tahun ini menunjukkan bukti secara hakiki dan
bukan perkiraan. Tidak seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah, yang
menyebutnya 30 bulan, atau yang dikatakan Ali Zafar yang menyebutnya 3 tahun.
{لِمَنْ أَرَادَ أَنْ
يُـتِمَّ الـرَّضَاعَة}
(Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan susuan).
Hal ini menunjukkan bahwa waktu 2 tahun itu bukan harga mati, namun bisa lebih pendek dari itu, tak ada batasan pasti, tergantung dari
kemaslahatan bagi anak dan ibunya maupun pola makannya. Ayat ini secara jelas
mewajibkan para ibu untuk menyusui bayinya, terlebih lagi jika wanita lain
tidak dapat diterima oleh si bayi (Tafsir Fathul Qadir, I/301; Husnul Uswah,
Sayyid Muhammad Shiddiq Khan , 44-45)
{اَ لْمَوْلُوْدُ لَـهُ}
artinya ayah anak. Lafazh ini
lebih diutamakan penggunaannya daripada
lafazh al-waalid. Guna menunjukkan bahwa anak itu milik ayahnya dan
bukan milik ibunya, karenanya setiap anak itu dinisbatkan kepada ayah.
{ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالـمَعْرُوْفِ}
.
Artinya makanan yang
mencukupi dan yang lazim dikonsumsi umumnya orang. Begitu juga pakaian. Artinya menurut kadar kemampuan dan mudah
diperolehnya. Kewajiban ayah ini berlaku
terhadap ibu (isteri) yang sedang menyusui, sebagaimana halnya ketika tidak
dalam menyusui. Adapun untuk isteri yang ditalak ba’in (tak bisa rujuk kembali
kecuali diselengi dengan menikah lagi isterinya), kewajiban ayah adalah
menafkahi isteri yang menyusui. Imam al Qurthubi menegaskan, bahwa kewajiban
ayah ini berkenaan dengan isteri yang berada dalam ikatan perkawinan, pemenuhan
pangan dan sandang. Begitu pula kewajiban ayah memberi nafkah kepada anak,
Allah menisbatkan kepada ibu karena makanan anak itu masuk melalui ibunya
ketika menyusuinya. Sebagaimana para ulama sepakat kewajiban ayah memberi
nafkah anak-anaknya yang masih kecil.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan
tentang ayat ini sbb: Maksudnya, seorang ayah berkewajiban memberikan nafkah
dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma`ruf, yaitu yang
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing, dengan tidak
berlebihan atau kurang dari selayaknya, sesuai dengan kemampuan dan kemudahan
yang dialami oleh ayah si bayi. Sebagaimana firman Allah, QS Ath-Thaalaq: 7
“ (Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang telah Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan)”.
Adl-Dlohhak berkata: “Jika suami
menceraikan istrinya, dan ia memperoleh anak dari isterinya tersebut, lalu
mantan istrinya itu menyusui anaknya itu, maka sebagai ayah ia berkewajiban
memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan istrinya te
ersebut dengan cara yang ma`ruf”.
{لاَ تُكَـلَّفُ نَفْسٌ }
مِنَ النَّفَقَةِ وَ الكِسْوَةِ { إِلاَّ
وُسْعَـهَا لاَ تَضَأرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَ لاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ}
(Seorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya).
Syaikh Shiddiq Ahmad Khan
mengatakan, “Maksudnya bahwa seseorang tidak dibebani nafkah dan pakaian,
melainkan menurut kemampuannya. Istri tak boleh mendapat madlarat dari pihak
suami karena tidak terpenuhinya kewajiban dari suaminya atau suami merenggut
anak dari tangannya tanpa sebab. Ayah juga tidak boleh mendapat madlarat karena
anak, seperti tuntutan dari isteri kepadanya diluar kemampuannya, baik berupa
nafkah maupun pakaian. Makna ini didasarkan pada lafazh “maf`ul”. Jika
menggunakan lafazh “fa`il”, maka maknanya, ibu tidak boleh menimbulkan madlarat terhadap ayah, karena ia
mendidik anak dengan cara yang buruk atau mengurangi porsi seimbang makanan
nya. Ayah juga tidak boleh mengabaikan pemeliharaan anak dan memenuhi
kebutuhannya. Kadang kala anak dikaitkan dengan ayah, namun kadang juga dengan
ibu. Ini hanyalah untuk menggugah perasaan dan bukan untuk memposisikan nasab.
Karena nasab disandarkan kepada ayah saja. (hal. 46).
Ibnu Katsir rahimahullah dalam
tafsirnya mengatakan, tentang firman Allah (Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya), yaitu si ibu
memberikan anak-nya kepada ayahnya dengan maksud untuk menyusahkan ayahnya
(mantan suaminya) dalam mengasuhnya. Si ibu tadi juga tidak boleh menyerahkan
bayinya itu ketika baru melahirkannya sehingga ia menyusuinya karena dikhawatirkan
kesehatannya dan kehidupannya (nyawanya) terancam jika tak di susuinya.
Kemudian setelah penyusuannya, ia boleh menyerahkan bayi tsb jika ia
menghendaki. Tetapi jika menyusahkan ayahnya, maka ia tak boleh menyerahkan
bayi itu kepadanya, sebagaimana si ayah tidak boleh merebut bayi tsb dari
ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara. Oleh karenanya Allah berfirman
(Dan jangan pula seorang ayah menderita kesengsaraan karena anaknya), yakni si
ayah berkeinginan untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk
menyakitinya. Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, adl-Dlohhak,
az-Zuhri,
as-Suddi, ats-Tsauri, serta Ibnu
Zaid, dll.
{ وَ عَلَى الْـوَارِثُ
مِثْلُ ذلِكَ}
(Dan warispun berkewajiban demikian) .
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan: Ada yang mengatakan, tidak boleh
menimpakan madlarat kepada kerabatnya. Seperti dikatakan oleh Mujahid,
asy-Sya`bi dan adl-Dlohhak, Ada juga yang mengatakan kepada ahli waris
diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada ayah bayi itu. Yaitu memberikan
nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak mencelakakannya. Demikian menurut jumhur
`ulama. Ibnu Jarir ath Thabari secara panjang lebar membahas dalam kitab
Tafsirnya. Hal ini dijadikan dalil oleh pengikut madzhab Hanafi fan Hanbali
yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian
yang lain. Yang demikian ini juga diriwayatkan oleh Umar bin Khtottob Ra dan
jumhur `ulama salaf.
{فَإِنْ أَرَادَ فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا} (في ذلك
الفصال) وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ
تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ (إلى
الأمهات) مَا آتَيْتُمْ
(Apabila
keduanya ingin menyapih – sebelum 2 tahun, haruslah – dengan kerelaan keduanya
dan musyawarah). Artinya, jika anak
hendak disapih berdasarkan kesepakatan dua orang tua, jika masanya belum genap
2 tahun, mereka berdua memusyawarahkan nya dan (lebih baik lagi) meminta
pertimbangan kepada ahli ilmu, hingga mereka memberitahukan bahwa penyapihan sebelum 2 tahun itu tak
membahaya kan anak. Kesepakatan itu diambil karena melihat adanyan kebaikan
dalam hal itu bagi si bayi, tentu tidak ada dosa bagi keduanya. Namun tindakan
penyapihan ini menjadi cacat jika
keputusan diambil secara sepihak tanpa musyawarah dan pertimbangan matang.
Allah mengingatkan kepada kedua orang tua agar selalu memperhatikan pemeliharaan
anak- anak mereka serta membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan
juga anak anaknya.
Perhatikan firman Allah dalam QS
Ath-Thalaq: 6 (Jika mereka menyusui –
anak anak - mu untukmu, maka berikanlah
kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan
baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya).
Seruan ini ditujukan kepada ayah dan
ibu. Tidak mengapa mengupah wanita lain (yang bukan ibu kandungnya) dengan cara
yang baik dan penuh kasih sayang.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ketika ia
menafsirkan firman Allah (Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan), ia
mengatakan, “Kebanyakan para Imam berpendapat bahwasanya tidak menjadi mahram
status bayi yang menyusu ibu lain kecuali yang kurang dari 2 tahun. Jadi
apabila ada bayi yang berusia lebih dari 2 tahun masih menyusu kepada wanita
lain (bukan ibu kandungnya), maka yang demikian itu tidak menjadi mahram bagi
anak dan ibu susunya itu. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Saw:
لا َ يُحَـرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ , إِلاَّ مَاكَانَ فِيْ
الْحَوْ لَيْنِ
“Tidaklah menjadikan mahram karena
penyusuan, kecuali yang dilakukan
kurang dari 2 tahun” )HR Daruquthni)
وَ مَا كَانَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ
فَلَيْسَ بِشَيْءٍ
“Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh apapun”
(HR Darawardi dari Tsaur, dari
Ikrimah, darim Ibnu Abbas)
Makna di atas akan menjadi sempurna
jika kita kaitkan dengan QS Luqman: 14 (menyapihnya dalam 2 tahun, Bersyukurlah
kepada Ku). Dan QS Al-Ahqaf: 15 (Mengandungnya dan menyapihnya adalah 30 bulan)
Berdasarkan hadits Muslim dan Ibnu
Majah yang menyatakan, bahwa semula ayat menyebut kan 10 kali penyusuan menjadikan
keduanya haram nikah, lalu di nasakh menjadi
5 X penyusuan. Sehingga 5 kali penyusuan itulah
yang dihukumi haram menikah antara kedua nya (yang menyusui dan yang disusui,
berikut terhadap saudara-saudara senasab dari ke-2 pihak)
Penyusuan (Radla`ah) tidak
menjadikan orang yang menyusui dan yang disususui haram menikah, kecuali
penyusuan yang dilakukan sebelum berakhirnya penyusuan selama 2 tahun. Ini
sesuai dengan sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah Ra yang
menceritakan bahwa Nabi Saw pernah
bersabda:
لاَ يُحَـرِّمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ إِلاَّ مَافَتَقَ
الأَمْعَاءَ فِيْ الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
“Tidak haram (menikah) karena
penyusuan melainkan apa yang (seorang bayi) merasa cukup dengannya dan
dilakukan sebelum disapih dari menyusui” (HR Tirmidzi)
Dalam hadits Aisyah Ra disebutkan
bahwa Nabi Saw bersabda: “Satu atau dua
hisapan itu tidak mengharamkan (pernikahan)” (HR Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi,
juga Ibnu Majah).
{ لاَ تُحَـرِّمُ الْـمَصَّة ُ وَ لاَ
الْـمَصَّتَانِ}
Tentang perlunya saksi, terdapat riwayat dari Imam
Bukhari, Abu Dawud dan At Tirmidzi, yang menyatakan bahwa Satu saksi seorang
diri adalah sah. Namun Ibnu Abbas menambahkan perlunya pengambilan sumpah atas
saksi seorang diri tadi, begitu pula Imam Ahmad dan Ishak. Madzhab Hanafi berpendapat
harus 2 orang saksi laki-laki, atau 1 laki-laki dan 2 orang wanita, dan katanya
tidak diterima kesaksian dari pihak wanita saja. Ia mendasarkan pada QS 2: 282. Dan menurut Imam Malik, bahwa kesaksian 2
orang wanita dapat diterima dengan syarat telah tersebarnya ucapan keduanya tsb
sebelum memberikan kesaksian.
Kesimpulan:
1.
Ibu
yang telah diceraikan mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang masih menyusu.
Ini merupakan kewajiban Allah yang tak boleh terkalahkan oleh suasana sedihnya
dan hancurnya bangunan rumah tangga, agar tidak merugikan si kecil.
2.
Allah
mewajibkan penyusuan ini kepada sang ibu
selama 2 tahun penuh. Pada masa ini merupakan masa ideal bagi sang bayi baik
ditinjau dari aspek kesehatan maupun
kejiwaannya. “yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”
3.
Ayah
(meskipun telah menceraikan istrinya) berkewajiban untuk memberi nafkah dan
pakaian bagi si ibu secara patut dan baik. Keduanya sama-sama memiliki beban
dan tanggung jawab terhadap si kecil yang masih menyusu ini. Si Ibu merawatnya
dengan menyusui dan memeliharanya, dan si syah harus memberi makanan dan
pakaian kepada si ibu agar dia dapat memelihara anaknya. Masing-masing wajib
menunaikan amanatnya sesuai dengan kamampuannya. “Seorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya”
4.
Jangan
sampai salah seorang dari kedua orang tua ini menjadikan si anak untuk
memadlaratkan yang satunya. “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya”
5.
Haram
bagi si ayah untuk mengeksploitasi kasih sayang ibu terhadap anaknya, untuk
bertindak sewenang-wenang terhadapnya, atau agar si ibu menyusui anaknya dengan
tidak diberinya imbalan. Jangan pula si ibu mengeksploitasi kasih sayang ayah
terhadap anaknya, lantas dia mengajukan tuntutan-tuntutan yang memberatkannya.
6.
Apabila
si syah meninggal dunia, dalam kondisi istri yang dicerai dan masih harus
menyusui si kecil, maka kewajiban-kewajibannya pindah kepada ahli warisnya.
“Waris pun berkewajiban demikian”. Ahli
waris diberi beban untuk memberi sandang pangan kepada si ibu yang menyusui itu
secara ma`ruf dan baik, sebagai ujud solidaritas keluarga yang diantaranya
terujud dalam bentuk pewarisan. Dan, pada sisi lain dalam bentuk menanggung
beban orang yang diwarisi hartanya. Dengan demikian, kematian ayah tidak lah
menjadi terabaikan nasib si kecil (anaknya). Maka haknya dan hak ibunya dalam
semua keadaannya tetap terjamin.
7.
Ayah
dan ibu dari anak yang menyusu tadi, atau si ibu dan ahli waris, apabila
menghendaki untuk menyapih si anak
sebelum genap 2 tahun – karena mereka melihat
penyapihan merupakan cara terbaik dan yang paling maslahat bagi si anak
– maka tak ada dosa bagi keduanya. “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum 2
tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tak ada dosa atas keduanya”
8.
Apabila
si ayah ingin mendatangkan seseorang untuk menyusui anaknya , jika memang
disanalah ada maslahat bagi si anak untuk disusukan kepada wanita (yang baik
akhlaknya), maka boleh saja ia lakukan dengan syarat ia harus memberinya upah dan hendaklah ia memperlakukannya dengan
baik. “Jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut”. Yang demikian ini
akan dapat menjamin bahwa wanita itu akan berlaku jujur terhadap anak
susuannya, serta akan memelihara dan mengasuhnya dengan baik.
9.
Pada
akhirnya, semua urusan ini dihubungkan dengan ikatan Ilahi, yaitu dengan taqwa.
Karena perasaan yang dalam dan penuh kasih sayang tidak akan terealisasikan
kecuali dengan adanya unsur taqwa tersebut. “Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
10.
Tentang
hubungan anak susuan dengan wanita yang menyusuinya bisa dihukumi “mahram”
(tidak boleh dinikahkan selama-lamanya), apabila penyusuan itu minimal 5
penyusuan. Karena satu atau dua hisapan tidaklah membuat keduanya menjadi haram
dinikahkan. Dan hal ini berlaku, jika penyusuan itu sebelum mencapai 2 tahun.
Dengan demikian, penyusuan anak yang sudah di atas 2 tahun penuh, atau telah disapih
(karena satu hal, padahal belum 2 tahun penuh) maka tidaklah menjadi haram
untuk dinikahkan.
11.
Kesaksian
wanita seorang diri di dalam hal penyusuan
dapat diterima dan sah menurut Thawus, az-Zuhri, Ibnu Abi Dzi`bi,
Al-Auza`i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad. Berdasarkan hadits Bukhari, Abu
Daud dan Tirmidzi. Wallahu a`lam ….
Sumber: Tafsir Ibnu Katsir, Husnul Uswah-Shiddiq Ahmad Khan,
Fiqh Nisa’-Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Tafsir Fathul Qadir, Tafsir Taisir al
Karim ar Rahman-Syaikh As Sa`adi, Minhajul Muslim-Syaikh Abubakar Al Jazairi,
dan Tafsir Fi Zhilal al Qur’an, khususnya ayat 233 surat 2.
Catatan Penting Tambahan:
Tentang Nafaqah:
Artinya adalah setiap kewajiban yang
harus dipenuhi oleh seseorang terhadap orang lain yang di bawah tanggungannya,
berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Siapa dan kepada siapa Nafakah itu
menjadi wajib ?
Pertama:
Suami terhadap isterinya, baik
ketika masih terikat secara hakiki maupun ketika isteri dicerai dengan
Talak raj`i (talak I dan II atau talak
yang boleh kembali lagi) sebelum selesai masa iddahnya. Dasarnya hadits Nabi
saw, riwayat At Tirmidzi, shahih.
Kedua :
Suami kepada Isteri yang ditalak secara ba`in pada hari-hari iddahnya
manakala ia dalam keadaan hamil. (Iddah hamil adalah sampai ia melahirkan
bayinya), QS Ath Thalaq: 6.
Ketiga:
Anak laki kepada kedua orang tuanya,
dasarnya QS al Baqarah: 83. juga beberapa riwayat dari sabda Nabi Saw. Antara
lain dalam Shahih Bukhari 2/8, Shahih Muslim, dalam Bakti dan Menjalin tali
rahim, 2, 1, Abu Dawud dan an Nasai dalam bab Thaharah.
Keempat:
Ayah kepada anak-anaknya yang belum
dewasa. Dasarnya surat An Nisa’: 5
Kelima :
Tuan (majikan) kepada para
pekerjanya (pembatunya).
Pemilik binatang kepada para
binatang peliharaannya.
Kapan Terputusnya Kewajiban Nafakah
itu ?
1.
Suami
terhadap isteri yang melakukan nusyuz, atau jika tak mau diajak berhubungan
tanpa alasan syar’iyah.
2.
Isteri
yang ditalak raj`i setelah habis masa iddahnya
3.
isteri
yang ditalak dalam keadaan hamil setelah kelahirannya. Namun jika ia mau menyusuinya
sampai penyapihannya, ia berhak memperoleh upah dari mantan suami karena
penyusuannya itu. Ath Thalak: 6.
4.
Kedua
orang tua yang berkecukupan, tentu gugur bagi anak laki menafakahi mereka. Atau
karena kefaqiran anak laki sehingga tak sanggup menafkahi orangtuanya.
5.
Ayah
terhadap anak-anak laki ketika telah mencapai baligh, atau anak wanita setelah
ia dinikahkan. Kecuali jika anak laki yang baligh tadi gila atau belum mandiri
(masih studi dll-nya). Wallahu a`lam. (Sumber Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar
al Jazairi, Dar As Salam, Kairo Mesir, hal. 363-366, Edisi Baru)
Fatwa Dari `Ulama:
Pertanyaan :Tentang wanita yang memiliki bayi laki-laki dan wanita
yant memiliki bayi perempuan, mereka saling tukar menyusui. Siapa di antara
saudara-saudara kedua wanita itu yang halal menikah dengan anak yang kedua tadi
?
Jawab:
“Jika seorang wanita menyusui bayi
sebanyak (minimal menurut jumhur `ulama, lima kali susuan) atau lebih dalam
kurun waktu dua tahun (haulaian, lihat ayat 233 surat al Baqarah), maka anak
yang disusui itu menjadi anak suaminya sebagai penyebab tersedianya air susu
tersebut, dan semua anak-anak wanita itu baik dari suaminya (sebagai penyebab
adanya air susu tsb) atau lainnya menjadi saudara-saudara si anak dan
saudara-saudara suaminya menjadi paman-pamannya si anak. Ayahnya si wanita
menjadi kakeknya si anak, ibunya si wanita menjadi neneknya si anak, ayahnya
suami wanita (yang menjadi penyebab adanya air susu tsb) menjadi kakeknya si
anak, dan ibunya si wanita (yang menjadi penyebab adanya air susu) menjadi
neneknya. Dasarnya adalah QS An-Nisa’ : 23. dan Sabda Nabi Saw
“Diharamkan karena susuan apa yang
diharamkan karena garis keturunan” (HR Bukhari, kitab Asy Syahadat 2645, Ibnu
Majah dalam kitab Ar-Rodlo`, 1939.
Dan sabda beliau Saw pula “Tidak
dianggap penyusuan kecuali dalam masa dua tahun (pertama …. Masa penyusuan yang
sempurna menurut al Baqarah: 233 di atas).
Dalam riwayat Muslim, bahwa Aisyah
Ra berkata, “Dulu yang ditetapkan Al Qur’an adalah sepuluh kali susuan
menyebabkan haram (dinikahi), kemudian dihapus menjadi lima kali susuan. Dan
ketika Nabi Saw wafat, ketetapannya masih seperti itu” (HR Timidzi dengan
lafazh serupa dengan Muslim).
Penyusuan Bagaimanakah Yang
menyebabkan mahrom ?
Jawab: Penyusuan yang menyebabkan
mahram adalah yang memenuhi tiga syarat:
- air Susu itu berasal dari manusia (ASI), sebab
anak-anak yang menyusu susu buatan dengan merk yang sama atau menyusu air
susu binatang yang sama, tidaklah menjadi mahrom antara mereka itu. Lihat
kembali QS 4 (An Nisa’) : 23
- Minimal 5 X (lima kali) susuan atau lebih secara
terpisah. Adapun yang kurang dari lima kali makan tidaklah menjadi mahrom.
Simak kembali perkataan Aisyah Ra di atas.
- Masih pada masa menyusu (dua tahun pertama sejak
kelahirannya menurut zhahir ayat 233 surat Al Baqarah di atas. atau pada
masa sebelum disapih walau belum mencapai 2 tahun karena beberapa hal yang
menyebabkannya). Setelah masa itu (baik setelah 2 tahun masa menysu atau
setelah disapih) maka susuan terhadap ibu susu tidaklah menjadikan
mahrom., Nabi Saw bersabda :
{إِ نَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ}
“Penyusuan itu sah (menjadi mahrom)
karena (dapat melepaskan) ras alapar si bayi” (HR Muslim dalam kitab ar-Rodlo’
1455, dan sabda Nabi saw:
لاَ رَ ضَاعَ إِلاَّ مَا أَنْشَزَ الْعَظْمَ وَكَانَ قَبْلَ
الْفِطَامِ
“Tidak dianggap
penyusuan kecuali yang membentuk tulang dan itu sebelum disapih” (HR Tirmidzi
dalam kitab ar Rodlo’ 1152 …. Dengan lafazh “Tidak diharamkan karena susuan
kecuali yang berkembangnya lambung akibat dari tetek, dan itu sebelum disapih”.
Hadits ini menurut Abu Isa berderajat hasan shahih.
(Sumber: Fatwa Terkini, jilid I,
Penerbit Darul Haq Jakarta, hal.513-515).
--------------------
Disarankan Jika berkeinginan, terutama untuk ibu-ibu dan
muslimah khususnya, serta keluarga muslim umumnya, membaca :
1.Buku “Wadlifatul
Mar’ah fil Mujtama’ al Insani” (Peranan wanita dalam masyakarat
manusia), karya Syaikh Dr. Ali Al Qadli.
Edisi Indonesianya diterbitkan oleh
Penerbit Mustaqim Jakarta, dengan judul:
“Rumah Tanggaku, Kaririku. Wahai
Wanita Karir, tahukah letak kesalahanmu ?
2. Fatwa Terkini I dan II, dst sampai 20 Jilid, karya para `ulama Besar
Timur Tengah
3. Fatwa Syaikh Utsaimin tentang
“Syarah Rukun Islam”. dll
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------