Perceraian dan Pengaruhnya
Terhadap Pendidikan dan Perkembangan Anak
Tentang pembahasan ini kami kutipkan dengan cukup panjang tulisan Adnan Hasan Shalih Baharats, dalam bukunya “Mas’ulliyatul Abil Muslim fi Tarbiyatil Walad fi Marhalatith Thufulah” hlm 543 – 546 berikut ini:
Peran Ibu dalam Pendidikan Anak
Peran ibu bukan semata-mata menyiapkan makanan untuk anak, merawat tubuhnya dan mengurus pakaiannya saja, yang paling penting dan paling besar adalah limpahan cinta darinya kepada anak. Dan kasih sayang itulah yang membuat anak merasa aman dan bahagia, sehingga fisik, intelektual, dan jiwanya menjadi berkembang paripurna. Sebaliknya anak yang tidak memperoleh cinta dan kesempatan mencintai pada awal kehidupannya, maka akan menjadikannya mengisolasi diri, menjauhkan diri dari ibu, terlambat perkembangan fisik, intelektual, jiwa, bahasa dan sosialnya. Dan kepribadiannya mengalami penderitaan. Masa kanak-kanak awal terutama pada saat usia 9 – 18 bulan, adalah masa yang paling kritis yang dapat menimbulkan bencana pada anak, bila orang berani memisahkannya dari ibunya. Oleh karena itu ayah dilarang mengambil keputusan cerai pada masa seperti itu. Namun ayah harus bersabar dan penuh pengertian dan menangguhkan talak atas isterinya sampai waktu yang tepat yang disyariatkan, setelah dia melakukan berbagai upaya perbaikan.
Melihat pentingnya peran ibu dalam kaitannya dalam pendidikan anak, maka syariat islam mengutamakan peran wanita daripada laki-laki dalam pemeliharaann anak. Sehubungan dengan masalah ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wanita paling berhak atas anaknya selama ia belum kawin lagi” (HR Daraquthni).
Al Mawardi rahimahullah menggambarkan hubungan ibu dengan anak-anaknya. Dia berkata, “Kaum ibu lebih unggul dalam hal kasih sayangnya, lebih melimpah cinta kasihnya, karena merekalah yang langsung melahirkannya, dan memperhatikan pendidikannya. Mereka manusia yang paling lembut hatinya dan paling halus jiwanya”.
Oleh karena itu, keberadaan ibu dalam keluarga, pelaksanaan kewajibannya dalam mendidik dan merawat, dipandang sebagai tiang keluarga muslim yang paling penting dan sebagai sebab utama ketentraman psikologis dan sosiologis keluarga.
Sabar dalam Menghadapi Wanita
Islam memerintahkan agar memperhatikan perilaku dan karakteristik wanita, terutama selama mengandung, setelah melahirkan dan selama menstruasi. Disini kesabaran mereka berkurang sementara kesulitannya bertambah banyak. Suami harus dapat mengendalikan dirinya, terutama pada masa-masa tersebut, untuk tidak tergesa-gesa bertindak cepat terhadap apa yang dilihatnya atau kata-kata yang tidak layak didengarnya, atau bersikap ketus. Patut disadari bahwa perilaku seperti itu hanya sesaat datang padanya. Sehubungan dengan hal ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah seorang mukmin laki-laki membenci isterinya yang mukminah. Apabila ia membenci suatu perilakunya, tentu ia suka pada perilakunya yang lain” (HR Muuslim).
Maksudnya didalam diri wanita itu terdapat perilaku lainnya yang baik. Apabila muncul beberapa perilakunya yang buruk, maka harus senantiasa melihat aspek-aspek kebaikan dan keburuukannya secara seimbang.
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang takkan lurus secara pantas. Bila kamu meluruskannya maka ia akan patah. Dan apabila kamu membiarkannya maka kamu akan beroleh kesenangan daripada dirinya terdapat kebengkokan” (HR Ahmad).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang beroleh kesulitan dari salah satu isterinya. Hal ini bisa kita ketahui dari asbab turunnya surat At Tahrim, khususnya ayat 1 – 3. Terkadang salah satu isterinya bersikap keras, namun beliau hadapi denggan penuh kesabaran.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku pun benar-benar mengetahui bila kamu suka kepadaku dan bila kamu marah kepadaku. Aisyah Radliyallahu ‘anhu berkata: “Dari mana Engkau mengetahui hal itu?” Nabi bersabda: “Apabila kamu suka kepadaku, maka kamu berkata, ‘Tidak, demi Rabb (nya) Muhammad’, dan apabila kamu membenciku maka kamuu berkata, ‘Tidak demi Rabb (nya) Ibrahim” (HR Muslim).
Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa suatu ketika (seperti dalam surat At Tahrim), beliau SAW pernah memboikot isteri-isterinya selama 40 hari. (HR Abu Dawud, dalam sunannya, jilid 4: 280).
Bahkan Nabi SAW pernah mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan, disebabkan ulah dari salah satu isterinya (QS At Tahrim ayat 1 – 2).
Akibat Perceraian
Mari kita renungkan kembali keindahan pernikahan yang seharusnya diperoleh oleh setiap pasangan muslim, sakinah, mawaddah, dan rahmah (QS Ar Rum: 21).
Ketentraman semacam ini, tidak mungkin terwujud kecuali apabila masing-masing suami dan isteri mengikatkan diri dengan rambu-rambunya, mengakui hak-hak pihak lain, dan menjalankan tugas syari’atnya. Apabila salahh satunya berbuat curang, atau mungkin keduanya, terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut, timbullah perselisihan yang bisa menjurus kepada percekcokan dan pertengkaran waktu ke waktu. Apabila orang tua, ketika perseteruan terjadi, mereka berdua tidak menghiraukan posisi anak-anaknya, lalu keduanya mengungkapkan kepedihan, kesedihan, dan pengaduannya dihadapan anak-anaknya maka perkembangan kesehatan afeksi anak bisa terancam dan dalam keadaan behaya. Anak-anaknya tersentak menyaksikan kedua orangtuanya dalam sosoknya yang mengerikan, penuh emosi dan terkadang tak terkendali sehingga mengeluarkan berbagai kata-kata tak pantas dan sikap yang aneh. Lebih dari apabila sang ayah sudah mulai ringan tangan, memukul dan menghajar isterinya, disaksikan anak-anaknya. Bagaimana jika hal demikian terulang-ulang terjadi? Pasti lembaga keluarga menjadi terancam, dan anak-anak dalam bahaya satu, dalam peristilahan gempa. Peristiwa ini, apabila terlalu sering, maka akan mendoronga anak untuk kabuur dan pergi dari rumah, mencari dunia lain yang menurutnya bisa menentramkan dan dapat melindungi dirinya. Lalu anak-anak menemukan komunitas baru, bisa positif dan bisa negatif, tergantung ketahanan mental dan kepribadian anak-anak tersebut. Yang paling kita takutkan adalah mereka bergabung dengan geng-geng anak nakal, peminum, dan pemabuk.
Sepperti yang sering kita saksikan dalam kehidupan, betapa menyedihkannya kondisi suami isteri yang bercerai, jika hanya menurutkan hawa nafsunya, tanpa pertimbangan matang-matang dalam mengambil keputusan cerai tersebut. Mereka tak beroleh ketenangan dan keintiman yang dahulu pernah mereka nikmati bersama. Kalaupun masing-masing dari keduanya dapat memperoleh ketenangan karena faktor lainnya, maka tidak seperti halnya yang dialami oleh anak-anaknya yang lebih banyak memperoleh dampak negatifnya saja. Anak tak akan tumbuh berkembang dengan baik, stabil, dan terkendali, jika tidak didukung oleh hadirnya ayah ibu yang harmonis. Dan hal ini akan sangat dirasakan lagi oleh anak-anak usia 6 atau 7 tahun.
Dari data statistik daalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa perceraian merupakan faktor dominan dalam melahirkan anak-anak nakal didalam bersosialisasi. Mereka melihat gambaran yang buruk dari kondisi yang menimpa keluarganya karena retaknya hubungan antara ayah dan ibunya.
Namun apabila peristiwa yang menakutkan dan dikhawatirkan oleh setiap pasangan itu telah terjadi, sesuai dengan suratan takdir Allah, dan sebagai jalan terbaik yang mesti ditempuh dalam kehidupan berkeluarga, maka minimal ayah harus menjelaskan kepada anak-anaknya yang besar dengan memuaskan, bahwa cerai ini merupakan pilihan terbaik dalam mempertahankan kepentingan yang lebih besar. Dan ayah hendaknya menjelaskan tentang adanya aturan Allah yang mengatur perceraian dalam Islam. Bisa saja ayah atau ibu menjelaskan kepada anak-anak tentang pola hidup yang akan mereka tempuh setelah perceraian, bagaimana kelak mereka akan berkumpul pada waktu-waktu tertentu dengannya, dan berkumpul pada waktu tertentu pula dengan ibu. Ayah perlu meningkatkan kecintaannya kepada mereka, karena sesungguhnya dia membutuhkan mereka dan keberadaannya.
Dengan cara diatas atau cara-cara lainnya, ayah dapat meminimalkan pengaruh perceraian pada anak-anak sehingga dalam diri mereka tidak tumbuh prasangka buruk kepada orangtuanya. Ayah tidak mencela ibu dihadapan anak-anak atau mensifati ibu dengan sifat-sifat yang tidak layak atau sebaliknya ibu kepada ayah. Apabila ayah tatkala bersama anak-anaknya, bertemu dengan ibu kemudian ia bergegas menghindar, maka ayah harus bersikap bijak, karena sikap ini akan membawa dampak yang tidak baik bagi anak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat tidak suka kepada orang yang memisahkan hubungan antara ibu dan anak-anaknya, sebagaimana sabdanya:
“Barangsiapa yang memisahkan hubungan antara ibu dan anak-anaknya, maka kelak pada hari kiamat Allah akan memisahkannya antara dirinya dengan orang yang dicintainya” (HR Thirmidzi).
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------