Seri Kado Pernikahan -11


Iddah.
Iddah adalah masa yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia lah Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui seluk beluk karakter manusia. Iddah merupakan masa untuk menegaskan terlepasnya isteri dari dari hubungan nisbi dengan suami yang menceraikannya, dan juga sebagai sikap setia terhadap hubungan-hubungan baik yang terjalin pada suatu masa.
Iddah mengandung dua sisi: (1) ia sebagai keterlepasan tanggung jawab wanita dari pengaruh yang merugikannya dari suaminya pada masa yang lalu, (2) sisi manusiaawi, yaitu kesedihan atas perpisahan -sekalipun berpisah karena talak- sebab keduanya telah bersama-sama melalui bahtera kehidupan yang tidak patut diakhiri dengan suatu hal yang halal namun sangat debenci, yaitu talak.
Talak adalah suatu kasus yang menimbulkan kesedihan dalam jiwa, sebab talak merupakan bentuk kegagalan dalam suatu fase kehidupan. Oleh karena itu, iddah merupakan suatu masa untuk meminimalkan dampak krisis keretakan yang membuat pesimis terhadap munculnya tabiat yang normal. Disisi lain iddah juga merupakan kesempatan untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, jika keduanya menginginkan perbaikan. Apabila perpisahan yang menyedihkan itu disebabkan kematian, maka Islam mensyariatkan iddah untuk mengangkat tabi’at kemanusiaan, yaitu:
Memelihara hak setiap orang yang berhak mendapatkan warisan
Perwujudan dari sikap setia sang isteri terhadap suaminya yang telah tiada
Sikap setia sang isteri terhadap suaminya setelah kematiannya, meliputi pemenuhan janji hidup bersuami-isteri, dan moral seorang muslimah. Betapa banyak kaum wanita yang komit memegang janji perkawinan dengan suaminya, sehingga dia rela menjanda dalam waktu cukup lama.
Iddah isteri yang dicerai adalah tiga kali quru’ berdasarkan firman Allah:
“Isteri-isteri yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami itu) menghendaki perbaikan. Dan para isteri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS 2: 228).
Sedangkan iddah isteri yang ditinggal mati suaminya lebih lama lagi, sebab Islam merupakan agama aktual yang sangat menghormati perasaan wanita yang mendalam disebabkan kematian suaminya
Jika isteri yang ditinggal suaminya itu memiliki status sosial terpandang dalam masyarakat, dan dia merasa aib untuk keluar rumah suaminya selama beberapa waktu, atau perasaannya sangat sedih disebabkan terjadinya perpisahan, sehingga sangat memberatkan dirinya untuk segera keluar dari rumah suami kecuali setelah beberapa lama, maka Allah telah menentukan iddah khusus bagi isteri demikian, yaitu satu tahun penuh. Namun bukan sebagai keharusan, sangat kondisional, tergantung dari kondisi isteri yang ditinggal tersebut.
“Dan orang-orang yang akan meninggal diantara kamu yang meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah sendiri, maka tak mengapa (tak berdosa) bagimu wali atau waris yang meninggal membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka” (QS 2: 240).
Ibnu Katsir mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan, “ayat tersebut tidak menunjukkan wajibnya pemenuhan wasiat itu hingga satu tahun penuh, sebagaimana yang diungkapkan oleh jamhur ulama, sebelum dinasakh oleh ayat yang menyebutkan bahwa batasan iddah adalah empat bulan sepuluh hari. Tetapi ayat tersebut menunjukkan bahwa hal itu termasuk wasiat bagi para isteri yang memungkinkan untuk tinggal dirumah suaminya selama satu tahun, jika isteri menghendaki. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: “Hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya”. Ini adalah isyarat perlunya suami berwasiat atas isterinya, sebagaimana firman Nya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian untuk anak-anakmu”. (QS 4: 10). (Tafsir Ibnu Katsir, I: 292).
Secara umum hukum iddah isteri yang ditinggal mati suaminya, disebutkan dalam ayat berikut:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian dengan meninggalkan isteri-siteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya maka tiada berdosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut” (QS 2: 234).
Ibnu Katsir mengatakan, bahwa perintah ini adalah bagi setiap isteri yang ditinggal mati suaminya agar mereka beriddah 4 bulan 10 hari, hukum ini berlaku baik isteri yang telah bercampur ataupun belum (Tafsir Ibnu Katsir, I: 284).
Ayat 240 Srat Al Baqarah diatas, membolehkan sang isteri untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama satu tahun dengan mendapatkan pemberian (mata’) yang memadai, dan tidak seorang pun dari walinya berhak mengeluarkannya dari rumah suaminya secara paksa. Sedangkan ayat 234 surat Al Baqarah, menyebutkan iddah isteri yang ditinggal suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Antara keduanya tidak ada naakh dan mansukh.
Demikian syariat Islam memberikan keleluasaan kehidupan yang mulia bagi seorang wanita dalam sudut kehidupannya yang menjamin:
·  Kemuliaan atas kehormatannya
·  Pemeliharaan atas perasaannya
·  Penghormatan bagi pendapatnya
·  Pemberian setiap hak material

Menyusui
Ayat Al Qur’an turun bbagaikan madu manis yang dapat menyembuhkan penyakit, namun ia juga bisa menjadi obat yang sangat pahit bagi mereka yang mencampakannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Para Ibu hendaknya menyusui anaknya selama dua tahu penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani kecuali sesuai dengan kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan seorang ayah menderita karena anaknya dan ahli warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Jika kamu inginkan anakmu disusukan kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembiayaan menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS 2: 233).
“Dan  jika mereka itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika menyusukan (anak-anakmu) untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (QS Ath Thalaq: 6).
Jika kita cermati dua ayat diatas, tentu setiap orangtua menginginkan adanya tangan lembut yang mampu membelai si kecil dengan penuh kasih sayang, dan menginginkan keharuman kasih sayang yang ditebarkan Al Qur’an dalam perasaan kedua orangtua. Oleh karena itu kewajiban suami atas isterinya diungkapkan dengan penuh kasih sayang, yaitu dengan ungkapan: dengan cara yang ma’ruf, sesuai dengan kemampuan, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, dan memberikan kemudahan setelah kesulitan.
Al Alusi mengatakan, “Ungkapan tentang mereka (para isteri) seperti ini adalah untuk menarik simpati para ibu kepada anak-anak mereka” (Tafsir Ruhul M’ani, II: 125).
Ibnu Katsir mengatakan, “Sang bapak wajib memberikan nafkah dan pakaian kepada sang ibu yang sedang menyusui dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang berlaku, yaitu sesuai dengan kemampuannya”.
Adl Dlalak mengatakan, “Apabila seorang suami yang menceraikan isterinya sedangkan dia telah mendapatkan anak dari isterinya itu, kemudian sang isteri itu menyusuinya, maka dia (suuami) wajib memberikan pakaian dan nafkah kepada isterinya dengan cara yang ma’ruf” (Tafsir Ibnu Katsir, I: 283).
Etika Perceraian
Dalam Islam perceraian bukanlah merupakan perbuatan yang diridlai Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebab sekalipun sebagai perbuatan yang halal, ia termasuk perbuatan yang paling dibenci oleh Nya. Perceraian adalah tindakan untuk melindungi kehormatan dan keturunan daro problematika keluarga tatkala dalam keadaan gersang, ketika tidak ada cinta kasih sayang sehingga suami isteri saling mengejek, mengolok-olok, membenci dan menampakan permusuhan.
Dengan pengertian diatas, talak adalah halal, guna memberikan kesempatan kepada kedua pihak untuk saling mengambil sikap, mungkin saja keduanya akan mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan dari orang lain. Halal namun dibenci, dikarenakan merupakan kekosongan ikatan setelah Allah mengambil perjanjian agung dari keduanya. Keduanya telah saling menjaga rahasia, dan rahasia hanya bisa ditutupi oleh kehidupan rumah tangga. Adapun perceraian akan mengakibatkan rahasia tersebut terbongkar dan menjadi bahan pembicaraan yang tak menyenangkan.
Oleh karena itu, Islam tidak membolehkan perceraian dan ruju’ sebagai suatu permainan yang sekedar menurutkan hawa nafsu. Untuk mencapai tujuan itu, maka Islam lebih menitik beratkan pada wanita, karena dalam banyak hal wanita lebih banyak menggunakan perasaan.
Islam menyerahkan hak talak pada laki-laki, namun tidak membiarkan laki-laki itu mempermainkannya. Bahkan Islam membuat perangkatt aturan talak.
Oleh karenanya Islam meletakkan aturan kepada suami dan hal talak ini sebagai berikut:
Suami tidak boleh menjadikan perceraian sebagai penjerat yang dapat menyulitkan dan mencelakakan isteri. Perhatikan QS 2: 231
Suami yang telah menceraikan isterinya, tidak berhak melarang isterinya untuk menikah lagi dengan laki-laki lain


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------