Seri Kado Pernikahan -10


3.2 Talak dan Permasalahannya Bagi Pendidikan Anak.
Alternatif solusi Islam yang panjang tersebut diatas bukan berarti Islam sama sekali menutup lubang, dalam kodisi serumit apapun untuk mempertahankan keutuhan keluarga, sehingga tidak boleh bercerai. Akan tetapi harus kita pahami adalah cerai itu ibarat lubang sangat sempit dan hanya boleh dibuka jika sangat darurat, sebagai jalan keluar dari kemelut dalam keluarga.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Diantara hal-hal yang halal namun dibenci Allah adalah talak” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Kehidupan keluarga adalah mahligai, baik bagi ruh, pikiran, perasaan, maupun jiwa raga. Mahligai merupakan anugerah Allah Ta’ala bagi manusia. Allah menyebut kehidupan suami-isteri sebagai mahligai dan pakaian. Nilai mahligai dan pakaian tetap mulia selama mampu memberikan pengaruh yang terpuji. Tetapi jika nilai suatu mahligai dan pakaian sudah berkurang atau tidak mampu memberikan ketenangan kepada jiwa, pikiran, perasaan, dan raga, serta tidak mungkin lagi untuk mengatasi faktor-faktor kekurangan tersebut, pemecahan yang ditempuh adalah perpisahan dan kebaikan.
Sebagai metode perbaikan keluarga, maka tahap dilakukan pada tahap tertentu. Disamping itu talak terjadi pada saat dan situasi yang khusus.
Tahapan talak ditempuh setelah suami-isteri gagal mengusahakan perdamaian sebagaimana diuraikan diatas. Mari kita perhatikan pula firman Allah dibawah ini:
“Jika keduanya bercerai, Allah akan memberikan kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia Nya) lagi Maha Bijaksana” (QS 4: 130).
Ibnu Katsir mengatakan, “Hal ini merupakan kondisi yang menuntut perceraian. Allah telah memberitahukan bahwa apabila kedunya berpisah. Allah akan melepaskan rasa saling membutuhkan diantara sumi dan isteri, yaitu akan menggantikannya dengan suami atau isteri yang lebih baik” (Tafsir Ibnu Katsir, I: 492).
Islam mensyariatkan talak adalah sebagai penghormatan bagi karakter manusia, karena Allah ‘Azza wa Jalla tidak menghendaki manusia bergaul dengan sesamanya dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Tatkala mensyariatkan talak, tujuan Islam hanyalah untuk menghindarkan keluarga dari penyakit yang berkepanjangan, karena talak merupakan satu-satunya jalan yang tidak bisa dihindari, meskipun perbuatan yang halal namun dibenci.
Dalam sebuah hadits: “Diantara hal-hal yang halal namun dibenci Allah adalah talak” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Mengenai waktu talak yang khusus, Al Qur’an telah menjelaskan, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai Nabi, apabila mencerai isteri-isteri kamu, hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah, Rabbmu. Janganlah kamu megeluarkan mereka dari kumah mereka, dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengeluarkan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Apabila mereka telah mendekati masa iddahnya, rujukilah mereka dengan baik atau lepaslah mereka dengan baik. Persaksilah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu mengadakan persaksian itu karena Allah. Demikinlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu” (Ath Thalaq: 1 – 3).
Kisah turunnya ayat tersebut, yang membatasi waktu terjadinya talak adalah sebagai pemecahan krisis yang sulit deselesaikan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Radiyallahu ‘anhu, sebagai berikut:
“Dari Ibnu Syihab, dari Salim bahwasannya Abdullah bin Umar menceraikan isterinya dikala sedang haidl. Lalu Umar menceritakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah bersabda: “Hendaklah merujuknya kemudian mengekangnya sampai suci, kemudian haidl kemudian suci kembali. Jika ada kejelasan baginya untuk menceraikannya, hendakllah ia menceraikannya dalam keadaan suci sebelum menyentuhnya. Itulah iddah yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla” (HR Bukhori).
Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan, “Itulah Iddah yang diperintahkan oleh Allah bagi wanita yang diceraikan” (HR Muslim).
Jadi, waktu talak adalah ketika isteri dalam keadaan suci dan belum disentuh (disetubuhi), yakni saat isteri dapat menjalani iddahnya tepat setelah ditalak, dan talak itu ditempuh setelah melakukan berbagai macam upaya perdamaian dengan usaha yang sungguh-sungguh guna menyatukan kembali hubungan suami-isteri. Apabila perdamaian itu menemui jalan buntu, maka perceraianlah yang harus ditempuh. Dengan talak itu barangkali Allah mengadakan sesuatu yang baru sesudah itu, sehingga jiwa kembali  menjadi bersih setelah merasakan sakit dan pahitnya perceraian. Atau Allah akan memberikan ganti yang lebih bbaik bagi keduanya, yaitu masing-masing akan hidup didalam rumah tangga dan keluarga baru yang penuh cinta dan kasih sayang.
Talak bukanlah kekuasaan yang ada ditangan laki-laki yang dapat digunakan sekehendak hatinya. Namun tidak ada kekuasaan yang mengikat orang laki-laki dalam menggunakan hak syariatnya pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan ikatan sama sekali, demikian pula dengan para sahabatnya.
Apabila hak ini terabaikan, pemecahan yang logis meneliti faktor-faktor moralitas dan keagamaan, bukan dengan meneliti undang-undang karena hanya akan menambah keruwetan.

Implikasi Talak:
·         Memberikan nafkah dan tempat tinggal
·         Memberikan mahar yang tersisa
·         Menjalani iddah
·         Menyusui anak yang masih kecil

Ruju’ dan menghilangkan madlarat
Talak bukanlah suatu hukuman, dan Islam mensyariatkannya bukan sebagai balas dendam, namun sebagai masa perbaikan perasaan atau sebagai masa pergantian suami isteri.
Dari sini, masa perbaikan atau masa pergantian tersebut tidak memutuskan seluruh hubungan, sebelum selesai seluruh kewajiban yang bersangkutan dengan kehidupan suami isteri yang pernah dialami/ dijalani sebelumnya. Masalah-masalah yang mungkin berkaitan dengan kehidupan pertama (kehidupan rumah tangga yang pernah dijalani) tercakup dalam beberapa hal yang telah disebutkan diatas, yaitu:
Pertama nafkah, tampat tinggal dan mahar yang tersisa
Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memuliakan anak cucu Adam, baik pada masa hidupnya maupun pada masa wafatnya, ini sudah merupakan pengertian umum. Sebagai manusia, orang yang ditalak juga mendapatkan kemuliaan tersebut. Oleh karena itu, suuami yang menceraikan tetap berkewajiban memberi nafkah kepada isteri yang diceraikannya. Dengan demikian Islam hendak mempertegas hak isteri yang ditalak untuk mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Dalam hal ini, Islam menjelaskannya sangat mendetail, karena ia menguraikan hak-hak ini dengan uraian yang belum pernah diketahui oleh peraturan-peraturan sebelumnya, dan tidak ada peraturan setelahnya yang dapat menyamainya dalam memberikan keadilan, pemerataan dan kemuliaan.

Islam telah menetapkan bagi wanita yang diceraikan, hak-hak yang sesuai dengan kondisinya:
·       Wanita yang diceraikan sebelum melakukan badan dan belum ditentukan mahar baginya
·       Wanita yang diceraikan setelah melakukan hubungan badan

Mengenai kondisi yang pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidak ada bagi suami membayar (mahar) jika kamu menceraikan isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS Al Baqarah: 236).
Islam mensyariatkan penggantian atau pemberian bagi wanita yang diceraikan sebelum bercampur, yang disebut ‘tamti’ (pemberian), yaitu untuk menghindari bahaya moral yang terkadang menimpanya disebkan oleh perceraian, sementara ia masih bergantung pada orangtuanya. Besar kecilnya pemberian tersebut disesuaikan dengan standar kema’rufan.
Pada ayat tersebut, yang menjadi khitob (lawan bicara) adalah masyarakat muslim yang selalu merasa dibawah pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan merasakan kekuasaan Allah pada segala sesuatu.
Kema’rufan disini bersifat nisbi, yaitu disesuaikan dengan kemampuan seseorang. Oleh karena itu jika masalah ini diserahkan kepada adat masyarakat yang tunduk pada aturan-aturan agama, maka lebih tepat untuk menjaga nama baik/ reputasi wanita dan lebih terhormat menurut pertimbangan keluarganya daripada diserahkan kepada catatan sipil atau pengadilan.
Wanita diceraikan ini dibebaskan oleh Allah dari iddah, karena jalinan ikatan antara dia dan suaminya belum terwujud.
Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu wanita-wanita yang beriman, kemudian kamu menceraikan sebelum kamu campur, sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Berilah mut’ah dan lepaslah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya” (QS Al Ahzab: 49).
Jika wanita yang diceraikan itu belum pernah disetubuhi, dia berhak mendapat mahar yang wajib dibayar oleh suami yang menceraikannya, yaitu setengah dari keseluruhan mahar yang telah ditetapkan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu campuri mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah ditentukan, kecuali isteri-isterimu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan maaf itu lebih dekat kepada taqwa dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan” (QS Al Baqarah: 237).
Ayat diatas mewajibkan laki-laki yang menceraikannya untuk membayar setengah dari mahar yang telah ditentukan jika dia menceraikannya sebelum mencampurinya, dan ayat diatas tidak menyebutkannya sebagai mut’ah (pemberian).
Yang perlu mendapat perhatian dalam ayat tersebut adalah kelebihan dalam menentukan hukum, yaitu dengan jalan toleransi, kemurahan dan kebaikan.
Ditetapkannya pembayaran seperdua mahar sebagai hak wanita
Kemudian ketentuan tersebut diberi dispensasi berupa pemaafan dari orang yang berhak menerimanya atau dari orang yang memegang ikatan nikah
Diserukan untuk memberi maaf, karena pemberian maaf itu lebih dekat kepada taqwa
Diberikan peringatan untuk tidak melupakan keutamaan pergaulan
Wasiat-wasiat ini berada dibawah kekuasaan/ keluasan ilmu Allah dan Penguasaannya yang tidak terbatas.
Dengan demikian, adakah isteri yang dicerai tidak menghendaki maaf dari Allah Ta’ala? Adakah wali wanita yang diceraikan tidak menghendaki maaf yang telah diserukan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya? Adakah suami yang menceraikan isterinya lalu menunggu maaf dari manusia setelah menolak maaf dari Allah Ta’ala?
Bukankan penolakan maaf merupakan aib dalam tingkah laku sosial bagi suami maupun isteri? Adakah setelah Islam memberi jalan keluar, akan ada ahli hukum muslim yang mampu mencampuri urusan talak melalui pembuatan undang-undang material dalam masalah ini? Saya tidak yakin terhadap hal itu.
Tentang permasalahan kedua, yaitu menceraikan isteri yang telah hidup dalam mahligai keluarga, Islam memberikan hak kepada isteri untuk:
Mendapatkan mahar yang tersisa
Nafkah dan tempat tinggal
Iddah (menunggu tiga kali quru’)
Melahirkan anak dalam kandungannya apabila dia sedang mengandung
Semua hak wanita tersebut ditujukan untuk melindungi wanita, untuk memadukan furu’ dengan ushul, dan memelihara hak-hak Allah dalam menghormati syariat dan ketentuan-ketentuan Nya.
Dalam hal ini Allah berfirman:
“Jika kamu ingin mengganti isteri kamu dengan isteri yang lain sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata” (QS 4: 20).
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) sedang hamil, maka berikanlah nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka meyusukan anakmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik, jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Kelak Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan” (QS Ath Thalaq: 6 – 7).
Dengan demikian, Islam jelas-jelas telah menjamin hak-hak wanita setelah diceraikan suaminya. Islam menjamin baginya tempat tinggal dan nafkah yang disesuaikan dengan kemampuan suaminya. Islam juga menjamin pengaruh-pengaruh hubungan dengan suaminya pada masa lalu, yang mungkin masih merupakan beban yang belum muncul, oleh karena itu muncullah apa yang disebut iddah.
Hak-hak yang demikian itu dikuatkan oleh firman Allah:
“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu” (QS 2: 237).


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------