SUAMI (AYAH)
DAYYUTS,
BENCANA BAGI
ISTERI DAN ANAK-ANAKNYA
بسم الله الرحمن
الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد
“Rumahku
adalah surgaku”,
itulah ungkapan yang sering kita dengar, yang menggambarkan keinginan setiap
insan akan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupan anggota keluarganya. Karena
cinta kepada istri dan anak-anak merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa
setiap manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ
حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ
مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ
وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ
الْمَآبِ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali
‘Imran: 14)
Bersamaan
dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian
yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal
ini dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka…” (QS At
Taghaabun: 14).
Makna
“menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakuakan amal
shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, 4/482).
Kita
dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada
istri dan anak-anak, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam
hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru
akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.
Sewaktu
menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “…Karena jiwa
manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam
ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan
sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan
anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi
hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
mendahulukan keridhaan-Nya…” ( Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal.
637).
Oleh
karena itulah, seorang suami dan bapak yang benar-benar menginginkan kebaikan
dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah
tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam
keluarganya, karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak.
Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam bersabda,
ألا كلكم راع وكلكم
مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم
“Ketahuilah,
kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban
tentang apa yang dipimpinnya…seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan
dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka.” (HR.
Bukhari, no. 2278 dan Muslim, no. 1829).
Ancaman
keras bagi orang yang membiarkan perbuatan maksiat dalam keluarganya
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam,
ثلاثة لا ينظر الله
عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه, والمرأة المترجلة, والديوث…
“Ada
tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat oleh Allah (dengan pandangan
kasih sayang) pada hari kiamat nanti: orang yang durhaka kepada kedua orang
tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan ad-dayyuts…” (HR An-Nasai, no. 2562, Ahamad
2/134, dan lain-lain di-shahih-kan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Kitabul
kabair, hal. 55 dan di-hasan-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilatul
Ahaaditsish Shahihah, no. 284).
Makna
ad-dayyuts adalah seorang suami atau bapak yang membiarkan terjadinya perbuatan
buruk dalam keluarganya. (Lihat Fathul Baari, 10/406. Makna ini
disebutkan dalam riwayat lain dari hadits di atas dalam Musnad Imam Ahmad
2/69, akan tetapi sanad-nya lemah karena adanya seorang perawi yang majhul
(tidak dikenal). Lihat Silsilatul Ahaaditsish Shahihah 2/284).
Lawannya
adalah al-gayur (Lihat Tuhfatul ahwadzi, 9/357). Yaitu, orang
yang memiliki kecemburuan besar terhadap keluarganya sehingga dia tidak
membiarkan mereka berbuat maksiat.
Ancaman
keras dalam hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar yang
sangat dimurkai oleh Allah Ta’ala, karena termasuk ciri-ciri dosa besar
adalah jika perbuatan tersebut diancam akan mendapatkan balasan di akhirat
nanti, baik berupa siksaan, kemurkaan Allah ataupun ancaman keras lainnya.
(Lihat Kitabul Kabair, hal. 4).
Oleh karena itulah, imam Adz-Dzahabi mencantumkan perbuatan ini dalam kitab
beliau (Al-Kabair, hal. 55), dan beliau berkata setelah membawakan
hadits di atas, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) bahwa
tiga perbuatan tersebut termasuk dosa-dosa besar.” (Dinukil oleh Al-Munawi
dalam Faidhul Qadiir 3/327 dan ucapan ini tidak kami dapati dalam dua
cetakan kitab Al-Kabair yang ada pada kami).
Dampak
negatif diyatsah (tidak punya rasa cemburu)
Ancaman
keras terhadap perbuatan ini yang disebutkan dalam hadits di atas adalah sangat
wajar jika kita mengamati dampak buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan ini.
Karena perbuatan ini disamping akan berakibat merusak agama seseorang, juga
akan merusak agama dan akhlak anggota kelurganya. Adapun kerusakan bagi agama
seseorang, karena perbuatan ini akan menghilangkan atau minimal melemahkan
sifat ghirah (kecemburuan karena kebaikan dalam agama), yang merupakan
pendorong kebaikan dalam diri seorang hamba.
Imam
Ibnul Qayyim ketika menjelaskan dampak buruk perbuatan maksiat, diantaranya
perbuatan ad-diyatsah/ad-dayytus (membiarkan perbuatan buruk dalam
keluarga) yang timbul karena lemah atau hilangnya sifat ghirah dalam
hati pelakunya, beliau berkata, “…Oleh karena itulah, ad-dayyuts adalah
makhluk Allah yang paling buruk dan diharamkan baginya masuk surga, demikian
juga orang yang membolehkan dan menganggap baik perbuatan zhalim dan melampaui
batas bagi orang lain. Maka perhatikanlah akibat yang ditimbulkan karena
lemahnya sifat ghirah (dalam diri seseorang). Ini semua menunjukkan bahwa asal
(pokok) agama (seseorang) adalah sifat ghiroh, barangsiapa yang tidak memiliki
sifat ghirah maka berarti dia tidak memiliki agama (iman). Karena sifat inilah
yang akan menghidupkan hati (manusia) yang kemudian menghidupkan (kebaikan
pada) anggota badannya, sehingga anggota badannya akan menolak (semua)
perbuatan buruk dan keji (dari diri orang tersebut). (Sebaliknya), hilangnya sifat
ghirah akan mematikan hati (manusia) yang kemudian akan mematikan (kebaikan
pada) anggota badannya, sehingga sama sekali tidak ada penolak keburukan pada
dirinya…”. (Kitab Ad-Dau wad Dawaa, hal. 84).
Adapun
keburukan terhadap agama istri dan anak-anaknya, karena dengan membiarkan atau
menuruti keinginan mereka dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat,
berarti menjerumuskan mereka ke dalam jurang kehancuran. Seorang istri
bagaimanapun baik sifat asalnya, tetap saja dia adalah seorang perempuan yang
lemah dan asalnya susah untuk diluruskan, karena diciptakan dari tulang rusuk
yang bengkok, ditambah lagi dengan kekurangan pada akalnya. Rasulullah
shallallhu ‘alahi wa sallam bersabda,
إن المرأة خلقت من
ضلع لن تستقيم لك على طريقة
“Sesungguhnya
perempuan diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), (sehingga) dia tidak
bisa terus-menerus (dalam keadaan) lurus jalan (hidup)nya.” (HR. Muslim no. 1468).
Dalam
hadits lain Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam mensifati perempuan
sebagai,
“…ناقصات عقل ودين”
“…Orang-orang
yang kurang (lemah) akal dan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 298 dan Muslim no. 132).
Maka
seorang perempuan yang demikian keadaannya tentu sangat membutuhkan bimbingan
dan pengarahan dari seorang laki-laki yang memiliki akal, kekuatan, kesabaran,
dan keteguhan pendirian yang melebihi perempuan. (Lihat Taisiirul Kariimir
Rahmaan, hal. 101).
Oleh
karena itulah, Allah Ta’ala menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin
dan penegak urusan kaum perempuan, dalam firman-Nya,
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka”.
Makna
“Pemimpin bagi kaum perempuan” adalah penegak (urusan) mereka dengan
mewajibkan bagi mereka untuk menunaikan hak-hak Allah, dengan melaksanakan
kewajiban-kewajiban (yang) Allah (tetapkan), dan melarang mereka dari
perbuatan-perbuatan yang merusak (maksiat), serta mendidik mereka untuk
meluruskan kebengkokan mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/653 dan Taisiirul
Kariimir Rahmaan, hal. 100).
Kalau
kita mendapati banyak perempuan yang rusak agamanya padahal suaminya telah
berusaha keras mendidik dan mengarahkannya kepada kebaikan, maka apalagi
perempuan yang tidak diarahkan dan bahkan dibiarkan larut dalam kerusakan dan
maksiat?!
Terlebih
lagi anak-anak, jika tidak diarahkan kepada kebaikan dan dibiarkan larut dalam
maksiat, maka tentu mereka akan terbiasa dan menganggap remeh maksiat tersebut
sampai mereka dewasa.
Seorang
penyair berkata,
“Anak
kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari
orang tuanya.
Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh.”
(Kitab Adabud Dunya wad Diin, hal. 334).
Senada
dengan syair di atas ada pepatah arab yang mengatakan,
“Barangsiapa
yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tuapun dia akan terus
melakukannya.” (Dinukil dan dibenarkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh
al-’Utsaimin dalam Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah, hal. 43).
Nasehat untuk para kepala keluarga
Seorang
suami dan bapak yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan
anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap
mereka tidak hanya diwujudkan dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas
hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan
rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari
petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam. Inilah
bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu
yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Karena
pentingnya hal ini, Allah ‘Azza wa Jalla
mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَة
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS at-Tahriim: 6).
Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di
atas berkata, “(Maknanya), Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan
keluargamu.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak
2/535, di-shahih-kan oleh Al-Hakim sendiri dan
disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka)
adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan
kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api
neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam),
serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba
tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar)
melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada
orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.” (Lihat Taisiirul
Kariimir Rahmaan, hal. 640).
Demikian
juga dalam hadits yang shahih ketika
Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam melarang Hasan
bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah,
padahal waktu itu Hasan radhiallahu ‘anhu masih
kecil, Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam
bersabda, “Hekh-hekh” agar Hasan membuang kurma
tersebut, kemudian Beliau shallallhu ‘alahi wa sallam
bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah
shallallhu ‘alahi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”
(HR. Bukhari no. 1420 dan Muslim no. 1069).
Imam
Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa
anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi
mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka
sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama),
meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih
melakukan kebaikan tersebut. (Fathul Baari, 3/355).
Kemudian,
hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, berarti dia telah
mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan
banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia
dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun di antara sesama keluarganya.
Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah
tangga, adalah perbuatan maksiat manusia? Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ
مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
(dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).”
(QS. Asy-Syuura: 30).
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh
(ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk)
perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…“. (Dinukil
oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Dau wad Dawaa, hal.
68).
Dan
barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya
kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi
cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata, serta mengisinya dengan
saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala
berfirman,
الْأَخِلَّاءُ
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Orang-orang
yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama
lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zukhruf:67).
Ayat
ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan
karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan,
dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya. (Lihat
Tafsir
Ibnu Katsir, 4/170).
Lebih
daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba – dengan
izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan melihat pada diri istri dan
anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan
hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan
kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala
memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini
kepada-Nya, dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ
أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
“Dan
(mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami),
dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan: 74).
Imam
Hasan Al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata,
“Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri,
saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah, demi
Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim
dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang
dicintainya taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Dinukil oleh
Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/439).
Akhirnya,
kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa
melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.
Ya
Rabb kami,
anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk
(pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang
bertakwa.
وصلى الله وسلم
وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota
Nabi shallallhu ‘alahi wa sallam, 3 Rabi’ul
awal 1430 H.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------