SUAMI (AYAH) DAYYUTS,
BENCANA BAGI ISTERI DAN ANAK-ANAKNYA
Penulis Ustadz Abdullah Taslim Al-Buthani, M.A.
Artkel www.manisnyaiman.com

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد
“Rumahku adalah surgaku”, itulah ungkapan yang sering kita dengar, yang menggambarkan keinginan setiap insan akan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupan anggota keluarganya. Karena cinta kepada istri dan anak-anak merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali ‘Imran: 14)

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At Taghaabun: 14).
Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakuakan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/482).

Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak-anak, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.
Sewaktu menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…” ( Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 637).

Oleh karena itulah, seorang suami dan bapak yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam bersabda,
ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم
Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya…seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka.” (HR. Bukhari, no. 2278 dan Muslim, no. 1829).

Ancaman keras bagi orang yang membiarkan perbuatan maksiat dalam keluarganya
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam,
ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه, والمرأة المترجلة, والديوث
“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat oleh Allah (dengan pandangan kasih sayang) pada hari kiamat nanti: orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan ad-dayyuts…” (HR An-Nasai, no. 2562, Ahamad 2/134, dan lain-lain di-shahih-kan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Kitabul kabair, hal. 55 dan di-hasan-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahihah, no. 284).
Makna ad-dayyuts adalah seorang suami atau bapak yang membiarkan terjadinya perbuatan buruk dalam keluarganya. (Lihat Fathul Baari, 10/406. Makna ini disebutkan dalam riwayat lain dari hadits di atas dalam Musnad Imam Ahmad 2/69, akan tetapi sanad-nya lemah karena adanya seorang perawi yang majhul (tidak dikenal). Lihat Silsilatul Ahaaditsish Shahihah 2/284).

Lawannya adalah al-gayur (Lihat Tuhfatul ahwadzi, 9/357). Yaitu, orang yang memiliki kecemburuan besar terhadap keluarganya sehingga dia tidak membiarkan mereka berbuat maksiat.
Ancaman keras dalam hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar yang sangat dimurkai oleh Allah Ta’ala, karena termasuk ciri-ciri dosa besar adalah jika perbuatan tersebut diancam akan mendapatkan balasan di akhirat nanti, baik berupa siksaan, kemurkaan Allah ataupun ancaman keras lainnya. (Lihat Kitabul Kabair, hal. 4).
Oleh karena itulah, imam Adz-Dzahabi mencantumkan perbuatan ini dalam kitab beliau (Al-Kabair, hal. 55), dan beliau berkata setelah membawakan hadits di atas, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) bahwa tiga perbuatan tersebut termasuk dosa-dosa besar.” (Dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadiir 3/327 dan ucapan ini tidak kami dapati dalam dua cetakan kitab Al-Kabair yang ada pada kami).

Dampak negatif diyatsah (tidak punya rasa cemburu)
Ancaman keras terhadap perbuatan ini yang disebutkan dalam hadits di atas adalah sangat wajar jika kita mengamati dampak buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan ini. Karena perbuatan ini disamping akan berakibat merusak agama seseorang, juga akan merusak agama dan akhlak anggota kelurganya. Adapun kerusakan bagi agama seseorang, karena perbuatan ini akan menghilangkan atau minimal melemahkan sifat ghirah (kecemburuan karena kebaikan dalam agama), yang merupakan pendorong kebaikan dalam diri seorang hamba.

Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan dampak buruk perbuatan maksiat, diantaranya perbuatan ad-diyatsah/ad-dayytus (membiarkan perbuatan buruk dalam keluarga) yang timbul karena lemah atau hilangnya sifat ghirah dalam hati pelakunya, beliau berkata, “…Oleh karena itulah, ad-dayyuts adalah makhluk Allah yang paling buruk dan diharamkan baginya masuk surga, demikian juga orang yang membolehkan dan menganggap baik perbuatan zhalim dan melampaui batas bagi orang lain. Maka perhatikanlah akibat yang ditimbulkan karena lemahnya sifat ghirah (dalam diri seseorang). Ini semua menunjukkan bahwa asal (pokok) agama (seseorang) adalah sifat ghiroh, barangsiapa yang tidak memiliki sifat ghirah maka berarti dia tidak memiliki agama (iman). Karena sifat inilah yang akan menghidupkan hati (manusia) yang kemudian menghidupkan (kebaikan pada) anggota badannya, sehingga anggota badannya akan menolak (semua) perbuatan buruk dan keji (dari diri orang tersebut). (Sebaliknya), hilangnya sifat ghirah akan mematikan hati (manusia) yang kemudian akan mematikan (kebaikan pada) anggota badannya, sehingga sama sekali tidak ada penolak keburukan pada dirinya…”. (Kitab Ad-Dau wad Dawaa, hal. 84).

Adapun keburukan terhadap agama istri dan anak-anaknya, karena dengan membiarkan atau menuruti keinginan mereka dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat, berarti menjerumuskan mereka ke dalam jurang kehancuran. Seorang istri bagaimanapun baik sifat asalnya, tetap saja dia adalah seorang perempuan yang lemah dan asalnya susah untuk diluruskan, karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, ditambah lagi dengan kekurangan pada akalnya. Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam bersabda,
إن المرأة خلقت من ضلع لن تستقيم لك على طريقة
“Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), (sehingga) dia tidak bisa terus-menerus (dalam keadaan) lurus jalan (hidup)nya.” (HR. Muslim no. 1468).
Dalam hadits lain Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam mensifati perempuan sebagai,
“…ناقصات عقل ودين
“…Orang-orang yang kurang (lemah) akal dan agamanya.” (HR. Bukhari no. 298 dan Muslim no. 132).
Maka seorang perempuan yang demikian keadaannya tentu sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari seorang laki-laki yang memiliki akal, kekuatan, kesabaran, dan keteguhan pendirian yang melebihi perempuan. (Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 101).
Oleh karena itulah, Allah Ta’ala menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin dan penegak urusan kaum perempuan, dalam firman-Nya,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka”.
Makna “Pemimpin bagi kaum perempuan” adalah penegak (urusan) mereka dengan mewajibkan bagi mereka untuk menunaikan hak-hak Allah, dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban (yang) Allah (tetapkan), dan melarang mereka dari perbuatan-perbuatan yang merusak (maksiat), serta mendidik mereka untuk meluruskan kebengkokan mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/653 dan Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 100).
Kalau kita mendapati banyak perempuan yang rusak agamanya padahal suaminya telah berusaha keras mendidik dan mengarahkannya kepada kebaikan, maka apalagi perempuan yang tidak diarahkan dan bahkan dibiarkan larut dalam kerusakan dan maksiat?!
Terlebih lagi anak-anak, jika tidak diarahkan kepada kebaikan dan dibiarkan larut dalam maksiat, maka tentu mereka akan terbiasa dan menganggap remeh maksiat tersebut sampai mereka dewasa.

Seorang penyair berkata,
“Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang tuanya.
Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh.”

(Kitab Adabud Dunya wad Diin, hal. 334).

Senada dengan syair di atas ada pepatah arab yang mengatakan,
“Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tuapun dia akan terus melakukannya.” (Dinukil dan dibenarkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin dalam Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah, hal. 43).

Nasehat untuk para kepala keluarga
Seorang suami dan bapak yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak hanya diwujudkan dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Karena pentingnya hal ini, Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَة
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS at-Tahriim: 6).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya), Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/535, di-shahih-kan oleh Al-Hakim sendiri dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.” (Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 640).

Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiallahu ‘anhu masih kecil, Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam bersabda, “Hekh-hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian Beliau shallallhu ‘alahi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallhu ‘alahi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?” (HR. Bukhari no. 1420 dan Muslim no. 1069).

Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut. (Fathul Baari, 3/355).

Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuura: 30).
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…“. (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Dau wad Dawaa, hal. 68).

Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata, serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zukhruf:67).
Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/170).

Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba – dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan: 74).
Imam Hasan Al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah, demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/439).
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallhu ‘alahi wa sallam, 3 Rabi’ul awal 1430 H.

Penulis Ustadz Abdullah Taslim Al-Buthani, M.A.
Artkel www.manisnyaiman.com




0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------