Menjaga Bahtera Rumah Tangga Agar Tidak
Karam di Perjalanan
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Ummu
‘Ishaq al-Atsariyah
Editor : Tim
islamhouse.com
2013 – 1434, ISLAMHOUSE.COM
Rumah tangga yang dibina bisa saja kandas di tengah jalan
apabila suami istri tidak pandai mengantisipasi problem yang muncul menghadang
perjalanannya.
Karena problem pasti akan datang, tinggal setiap pihak
perlu tahu perkara apa saja yang dapat memicunya, yang dapat merusak hubungan
keduanya, dan bagaimana sikap yang tepat saat ada masalah.
Membanding-bandingkan keadaan diri atau pasangan hidup
dengan orang lain termasuk sebab terbesar yang merusak kehidupan rumah tangga.
Bisa jadi, sikap ini datang dari pihak suami. Tergambar pada dirinya sosok
wanita lain yang punya kelebihan yang tidak didapatkan pada istrinya. Padahal
apabila ia melihat hakikatnya, bisa jadi ia dapati istrinya memiliki
sifat-sifat yang puluhan wanita tidak mampu memilikinya. Akan tetapi, memang
jiwa itu selalu berhasrat untuk beroleh sesuatu yang jauh, yang dalam
anggapannya terkumpul pelbagai sifat kebagusan yang tidak ada pada apa yang
telah dimilikinya. Ibarat rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri.
Kenyataannya, tidak lain hanya fatamorgana.
Sikap membandingkan bisa pula datang dari pihak istri, di
mana ia membandingkan hidupnya dengan kehidupan wanita lain, membandingkan
suaminya dengan suami orang lain.
“Fulanah bisa begini, bisa begitu…. Diberi ini dan itu
oleh suaminya…. Sementara aku…? ”,
secara terus-menerus kalimat seperti itu ia ulang-ulang di depan suaminya
hingga suaminya jengkel.
Orang Arab mengatakan, “Bagi lelaki yang ingin
menikah, hendaklah ia tidak memilih tipe wanita; annanah, hannanah, dan
mannanah.”
Annanah adalah wanita yang banyak
menggerutu dan berkeluh kesah, setiap saat dan setiap waktu, dengan atau tanpa
sebab.
Hannanah adalah wanita yang banyak menuntut
kepada suaminya, ia tidak ridha apabila diberi sedikit. Ia suka membandingkan
suaminya dengan lelaki lain.
Mannanah adalah wanita yang suka
mengungkit-ungkit apa yang dilakukannya terhadap suaminya. Misal dengan
mengatakan, “Aku telah lakukan ini dan itu karena kamu….”
Betapa banyak perbuatan membanding-bandingkan tersebut dapat
merobohkan bangunan rumah tangga. Seorang muslim semestinya ridha dengan apa
yang ditetapkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla untuknya. Hendaklah ia
percaya bahwa siapa yang membanding-bandingkan keadaannya dengan orang lain,
niscaya ia akan menganggap kurang apa yang ada padanya, Karena kesempurnaan itu
sesuatu yang sulit diperoleh. Orang yang suka membanding-bandingkan keadaannya
dengan orang yang di atasnya, ia tidak bisa mensyukuri apa yang diberikan oleh
Allah Shubhanahu wa ta’alla kepadanya. Padahal sebenarnya masih banyak
orang yang keadaannya berada jauh di bawahnya, yang karenanya ia patut memuji dan
bersyukur kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla atas karunia -Nya.
Pokok masalah sekarang bukanlah banyaknya harta yang
dimiliki, bisa melancong dari satu tempat ke tempat lain, pakaian-pakaian yang
indah, perabot-perabot yang mewah, dan semisalnya. Akan tetapi, masalahnya
adalah kelapangan jiwa menerima pembagian Allah Shubhanahu wa ta’alla
serta sebuah rumah yang tegak di atas cinta dan kasih sayang. Apabila semua itu
sudah terkumpul, apa lagi yang diinginkan? Mengapa harus menyibukkan diri
mengamati keadaan orang lain hingga mengundang kesedihan dan kegundahgulanaan
jiwa?
Berikut
ada beberapa langkah-langkah agar keharmoisan dapat terjaga:
·
Menyembunyikan Masalah dari orang
Lain
Andai terjadi “keributan” di antara suami istri, seorang yang
cerdas adalah yang menjadikan problemnya sebagai sesuatu yang disimpan dan
dirahasiakan dari orang lain, ia tidak akan menampakkannya. Hal ini karena
problem di antara suami istri sebenarnya pemecahannya mudah, namun apabila
sampai diketahui pihak luar, niscaya semua orang akan “mengulurkan timbanya”,
hingga rusaklah cinta dan jauhlah yang semula dekat serta tercerai-berailah
keutuhan.
Karena itulah, hendaknya perkara ini menjadi pegangan
yang disepakati di awal pernikahan suami istri, yaitu apabila di kemudian hari
sampai terjadi perselisihan di antara keduanya, hendaknya tidak ditampakkan
kepada seorang pun, siapa pun dia. Hal ini karena jika sebagian orang ikut
campur dalam masalah keduanya, justru lebih merusak daripada memperbaiki,
walaupun itu kerabat istri sendiri. Bisa jadi, ia melakukannya karena dorongan
semangat membela keluarga.
Ada beberapa hal yang biasa dilakukan oleh sebagian
orang, yaitu merusak hubungan istri dengan suaminya. Perbuatan ini termasuk
dosa besar. Oleh karena itu, seorang muslim harus berhati-hati agar tidak
menjadi orang yang bersifat demikian sehingga ia berhadapan dengan ancaman yang
keras, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alihi wassallam bersabda,
(( وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا )) [ رواه أحمد ]
“Siapa yang merusak seorang wanita
dari suaminya, ia tidak termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad 2/397, sanadnya
sahih sebagaimana dinyatakan demikian dalam ash-Shahihah no. 324)
Betapa banyak masalah yang kecil di antara suami istri
menjadi besar karena adanya sebagian orang yang terus-menerus “meniup api”.
Seorang wanita datang dan berkata kepada si istri, “Kamu jangan mau mengalah…
Kamu jangan mau dibodoh-bodohi…. Minta dong ini dan itu sama suamimu! Masa
hidupmu begini begini saja?”
Demikianlah, kalimat-kalimat ini akan merusak dan
mengguncang ketenteraman rumah tangga.
Terkadang yang turut andil merobohkan rumah tangga adalah
ibu atau saudara perempuan istri. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya
tidak lemah akalnya sehingga menghancurkan rumah tangganya karena ucapan
orang-orang, yang terkadang mereka berbuat demikian karena hasad terhadap
kehidupannya.
Kemudian, perlu disadari bahwa menampakkan perselisihan
yang ada di antara suami istri kepada orang lain termasuk hal yang menjatuhkan
kewibawaan suami istri di hadapan orang lain dan di depan anak-anak. Maka dari
itu, suami istri tidak baik bertengkar atau adu mulut dalam sebuah masalah di
depan anak-anak. Hal ini termasuk yang menjatuhkan kepribadiannya di mata
anak-anak dan akan bermudarat karena membuat cacat bagi tarbiyah mereka. Setiap
pihak harus menjaga agar kehormatan pasangannya tidak jatuh di depan anak-anak.
Apabila anak-anak tidak lagi segan kepada ayah atau ibunya, lantas bagaimana
bisa tarbiyah mereka akan berhasil di saat pihak yang disegani anak sedang
bepergian (tidak di rumah)?
Muamalah di Antara Keduanya
Suami istri janganlah jual mahal untuk memaafkan
pasangannya ketika salah satunya meminta maaf dan meminta keridhaan. Seorang
istri tidak boleh bersikap angkuh dan tinggi hati untuk mengakui kesalahannya
di depan suaminya, seorang suami pun tidak boleh kaku dan keras hati. Apabila
istri sudah mengakui kesalahannya, hendaklah berlapang dada, selama masalahnya
tidak mencacati agama dan akhlak. Demikian pula ketika suami bersalah, dia
tidak boleh merasa gengsi untuk meminta maaf.
Namun, perlu diketahui, apabila seorang istri buruk
akhlaknya, seorang suami hendaknya tidak menahannya dalam ikatan pernikahan,
karena perempuan seperti itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda,
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: (( ثَلاَثَةٌ يَدْعُوْنَ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَهُمْ : رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا….)) [ رواه الحاكم ]
“Tiga golongan yang apabila berdoa
maka Allah tidak akan mengabulkan doa mereka, (di antaranya) seorang lelaki
yang memiliki istri berakhlak buruk, namun ia tidak mau menceraikannya….” (HR.
al-Hakim 2/302, sanadnya sahih secara zahir, kata al-Imam Albani t dalam
ash-Shahihah no. 1805 )
Seorang istri hendaknya menyadari bahwa berkhidmat kepada
suami adalah sesuatu yang tidak boleh dilalaikannya. Karena itulah, seorang
istri harus menunaikan pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan di rumah suaminya.
Ia tunduk kepada suaminya, tidak boleh mengangkat diri di
hadapannya. Jangan ia menafsirkan perintah suami kepadanya sebagai penghinaan
terhadapnya. Bisa jadi, si suami memerintahkannya melakukan sesuatu dalam
rumahnya, apa pun bentuknya, selama tidak bertentangan dengan agama atau
mencacati akhlak, ini termasuk dalam keumuman haknya terhadap istri. Oleh
karena itu, janganlah si istri merasa congkak untuk mematuhinya dan
menafsirkannya sebagai bentuk penghinaan terhadap dirinya.
Penting untuk diketahui bahwa kehidupan suami istri tidak
bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan apabila keduanya bersikap keras, salah
satunya harus ada yang lunak/lembut. Tentu, tidak diragukan bahwa itu adalah
istri! Kehidupan suami istri tidak bisa berjalan baik melainkan dengan seorang
suami yang kuat dan seorang istri yang tahu bahwa ia wanita yang lemah, itulah
sebabnya lelaki dijadikan sebagai qawwam bagi wanita, karena lelaki kuat dan
wanita lemah. Pihak yang lemah butuh sandaran yang kuat, tempat ia berlindung
dan bertumpu di kala sulit. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman,
قال الله تعالى:
﴿ ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعضَهُم
عَلَىٰ بَعض وَبِمَا أَنفَقُواْ مِن أَموَٰلِهِم فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰت
لِّلغَيبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهجُرُوهُنَّ
فِي ٱلمَضَاجِعِ وَٱضرِبُوهُنَّ [النساء: 34]
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi
kaum wanita dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas
sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, wanita yang salehah adalah wanita
yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada,
karena Allah telah memelihara mereka. Dan istri-istri yang kalian khawatirkan
nusyuznya maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka
dan pukullah mereka….” (an-Nisa: 34)
Jangan sampai seorang istri senang apabila suaminya
lemah, tidak bisa menegakkan urusan istrinya, dan tidak dapat mengayomi
istrinya, Inilah fitrah. Lantas, mengapa ada saja orang yang lari dan merasa
sombong untuk mengakuinya? Padahal keberadaan lelaki sebagai pihak yang kuat
tidak berarti ia bersifat zalim. Kuatnya kepribadian tidaklah sama dengan
kezaliman dan kekakuan.
Istri salehah adalah yang tahu besarnya kadar suaminya
dan besarnya hak suami terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia tidak
henti-hentinya mencurahkan upaya guna memberikan kelapangan dan kebahagiaan
bagi suaminya. Renungkanlah sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: (( لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا )) [ رواه أحمد
]
“Seandainya aku boleh memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan seorang
istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya.” (HR.
Ahmad 4/381, dinyatakan sahih dalam Irwa’ul Ghalil no. 1998 dan ash-Shahihah
no. 3366)
Demikian pula
sabda beliau,
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: (( لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلُحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إَلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قُرْحَةٌ تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحِسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ)) [ متفق عليه ]
“Tidak pantas seorang manusia sujud
kepada manusia yang lain. Seandainya pantas seorang manusia sujud kepada yang
lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena
besarnya haknya suami terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
seandainya pada telapak kaki suaminya sampai ke belahan rambutnya ada luka yang
mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadapi luka-luka
tersebut lalu menjilatinya, niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”
(HR. Ahmad 3/159, dinyatakan sahih oleh al-Haitsami 4/9, al-Mundziri 3/55,
dan Abu Nu’aim dalam ad-Dala’il no. 137. Lihat catatan kaki Musnad al-Imam
Ahmad 10/513, cet. Darul Hadits, Kairo)
Hadits ini adalah keterangan yang paling agung tentang
besarnya hak suami terhadap istrinya. Yang mengherankan adalah apabila ada
istri yang melewati dalil ini, namun ia tidak berhenti di hadapannya dengan
merenungkannya dan merasa takut apabila tidak mengamalkan tuntutannya!
Wajib bagi istri membaguskan pergaulannya dengan suaminya,
ia menjaga rahasianya, Ia menjaga hartanya karena ia diamanati oleh suaminya.
Janganlah ia membuka penutup tubuhnya (hijabnya) di hadapan lelaki selain
suaminya. Ia mendidik anak-anaknya agar hormat terhadap ayah mereka. Janganlah
ia bersifat kaku. Apabila suaminya membantunya dalam pekerjaannya atau
memberinya hadiah misalnya, hendaklah ia mensyukuri apa yang dilakukan oleh
suaminya. Ia puji suaminya dengan kebaikan dan jangan ia cela apa yang
diberikan oleh suaminya. Jangan menganggap jelek apa yang dilakukan oleh suami
untuknya dan anak-anaknya. Selain itu, wajib bagi istri mencari sisi-sisi yang
mengundang ridha suami, lalu ia bersegera melakukannya.
Istri hendaklah menjadi penolong suami dalam hal menjaga
iffah (kehormatan diri) dan menghalanginya dari godaan. Oleh karena itu, ia
tidak boleh meninggalkan tempat tidur suaminya dan “menghalangi dirinya” dari
suaminya. Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: (( إِذَا دَعَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ
تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
)) [ متفق عليه ]
“Apabila seorang suami memanggil
istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri tidak mendatangi suaminya, lalu si
suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, niscaya para malaikat akan
melaknat si istri sampai pagi hari.” (HR. al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no.
3526)
Hendaklah istri berteman dengan suaminya di dunia dengan
cara yang ma’ruf. Hendaknya ia melakukan apa yang dicintai oleh suaminya
walaupun ia sendiri tidak menyukainya. Hendaknya ia juga menjauhi segala
sesuatu yang tidak disukai oleh suaminya walaupun ia sendiri sebenarnya
menyenanginya, demi mengharapkan pahala dari Allah Shubhanahu
wa ta’alla
dan menghadirkan rasa bahwa suaminya adalah tamu di sisinya yang hampir-hampir
pergi meninggalkannya, sehingga ia tidak mau menyakitinya dengan ucapan atau
perbuatan. Nabi s bersabda,
(( لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ
زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ، قَتَلَكِ
اللهُ! فَإِنَّمَا هُوَ
عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا )) [رواه الترمذي]
Tidaklah seorang istri menyakiti
suaminya di dunia melainkan istri suaminya dari kalangan hurun ‘in 1 akan
mengatakan, “Jangan engkau sakiti dirinya, qatalakillah! 2 Karena dia hanya
tamu di sisimu dan sekadar singgah. Hampir-hampir ia akan berpisah denganmu
untuk bertemu kami.” (HR. at-Tirmidzi no. 1174 dan Ibnu Majah no. 204,
dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi)
Hendaklah seorang wanita mengetahui bahwa istri yang
paling utama adalah yang selalu menganggap besar apa yang dilakukan oleh
suaminya kepadanya walaupun sebenarnya kecil. Ia menyebut-nyebut suaminya di
hadapan banyak orang dengan kebaikan walaupun sebenarnya suaminya kurang
memenuhi haknya. Hendaknya ia yakin bahwa dengan berbuat demikian, kesudahan
yang baik akan kembali kepadanya.
Istri harus bersih hatinya terhadap suaminya, walaupun
mungkin suami kurang memenuhi haknya. Kalaupun suatu saat ia bermaksud
menyampaikan kekurangan tersebut, maka dilakukannya dengan perlahan dan santun
tanpa menyakiti suaminya, dengan mencari waktu yang tepat, di saat kosong
pikiran dan dada lapang. Karena maksudnya menyampaikan bukanlah untuk mendebat
suami atau menjadikannya lawan, tapi maksudnya adalah terlaksananya tujuan dan
berbuah apa yang diinginkan.
Adapun suami, ia harus menjadi seorang yang penuh kasih
sayang kepada istrinya. Ia syukuri apa yang dilakukan oleh istrinya untuknya,
berupa melayaninya di rumah, menjaga anak-anaknya, serta menyimpan rahasianya.
Hendaklah ia membantu istrinya dalam melakukan tugas-tugas tersebut dan
membesarkannya di hadapan anak-anak, memujinya dengan kebaikan, memberikan
nafkah kepadanya dengan nafkah yang membuatnya tidak lagi meminta kepada yang
lain, apabila memang suami memiliki kelapangan. Ia tidak mencela istrinya
dengan celaan yang melukai rasa malunya dan perasaannya sebagai perempuan, atau
menyifatinya dengan sifat yang buruk. Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa
sallam pernah ditanya,
سئل رسول الله
صلى الله عليه وسلم يا رَسُوْلَ اللهِ ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟
قَالَ: (( أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ،
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّح ْوَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ ))
[ رواه أبو داود ]
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah
seorang dari kami dari suaminya?” Rasulullah n menjawab, “Engkau beri makan
istrimu jika engkau makan dan engkau beri pakaian jika engkau berpakaian.
Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau menjelekkannya3, dan jangan
menghajr/memboikotnya kecuali dalam rumah4.” (HR. Abu Dawud no. 2142,
dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Suami hendaknya menyadari bahwa kemuliaan istri adalah
kemuliaannya juga, maka alangkah anehnya jika dia justru menghina istrinya?
Wajib bagi suami membaguskan pergaulannya dengan
istrinya. Ia menegakkan istrinya di atas ketaatan kepada Allah Shalallahu
‘alaihi wa sallam, mencegah dari istrinya seluruh ucapan dan perbuatan yang
bisa mencacati rasa malunya, baik ucapan/perbuatan yang didengar maupun yang
dilihat, karena istrinya akan menjadi pendidik bagi anak-anaknya, akan menjadi
contoh bagi putri-putrinya, dan sebagai pembimbing bagi anak-anaknya di saat
suami tidak ada. Istrilah yang paling sering bergaul dengan anak-anak karena
suami tersibukkan dengan mencari penghidupan.
Seharusnya, suami memuliakan istrinya di hadapan
anak-anaknya sehingga mereka segan kepada ibunya dan menghormatinya. Apabila
sampai ia “menjatuhkan” ibunya di depan mereka, mereka akan mendurhakai ibunya.
Apabila hal itu terjadi, anak-anak akan bertindak-tanduk yang buruk, saat
ayahnya tidak di rumah, karena tidak ada orang yang mereka takuti. Suami harus
berlaku lembut dalam memberikan pengajaran dan pengarahan kepada istrinya,
tidak keras dan kaku, atau dengan marah, atau dengan penghinaan. Nabi Muhammad Shalallhu
‘alaihi wasallam bersabda,
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: (( أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ )) [رواه الترمذي]
“Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
terhadap istri-istrinya.”5 (HR. at-Tirmidzi no. 1172, dinyatakan hasan dalam
ash-Shahihul Musnad 2/336—337)
Beliau juga
bersabda tentang diri beliau sebagai teladan bagi para suami,
(( وَأَنَا خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِيْ )) [ رواه الترمذي ]
“Aku adalah orang yang paling baik
di antara kalian terhadap istri-istriku.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih
dalam ash-Shahihah no. 285)
Tidaklah yang kita maksudkan dengan mencintai istri
adalah membiasakan istri hidup sebagai “nyonya besar” yang hanya bisa memerintah
dan bermalas-malasan. Wanita yang menghabiskan siangnya dengan tidur dan di
malam hari begadang, pindah dari satu restoran ke restoran lain, nongkrong di
kafe, melancong dari satu tempat ke tempat lain, shopping atau sekadar
jalan-jalan di mal, tidak pernah masak, tidak pernah membersihkan rumah, tidak
ada perhatian terhadap suami dan anak-anak, serta tidak peduli dengan keadaan
rumah. Kalau seperti ini keadaan seorang istri, lalu untuk apa seseorang
menikah? Apa sekadar simbol saja bahwa ia sudah berstatus menikah?
Suami memikul tanggung jawab yang besar apabila
membiasakan atau membiarkan istrinya berada di atas jalan yang jelek tersebut,
kelak ia akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Shubhanahu
wa ta’alla. Maka dari itu, sebelum semuanya terlambat hendaknya ia
“membenahi” istrinya.
Jadi, cinta tidak berarti memanjakan istri dengan dunia
dan mempersilakannya berbuat semaunya. Tetapi cinta adalah membimbing tangannya
dan mengarahkannya kepada kebaikan dengan penuh kelembutan.
Suami tidak boleh menganggap enteng apabila istrinya
berbuat dosa atau melakukan sesuatu yang tercela dalam kebiasaan manusia.
Jangan ia berdalih dengan kata “kasihan” untuk memperingatkan istrinya dari
perbuatan salah atau menyimpang. Bahkan, apabila perlu, ia memberikan hukuman
yang mendidik.
Suami harus punya rasa cemburu terhadap istrinya sehingga
tidak membiarkan istrinya tabarruj (bersolek) dan bercampur baur dengan lelaki
ajnabi atau membiarkan istrinya keluyuran, keluar masuk rumah semaunya. Suami yang
tidak cemburu kepada istrinya dan membiarkan istrinya bermaksiat kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla adalah dayyuts.
Suami harus menyadari, segigih apa pun upayanya untuk
memperbaiki istrinya, tetaplah pada diri sang istri ada kekurangan dan cacat.
Hanya saja, selama cacat itu bukan dalam hal agama dan akhlak, hendaklah
suaminya bersabar menghadapinya, karena memang mustahil ia bisa mendapatkan
wanita yang sempurna, sama sekali tidak memiliki kekurangan dari satu sisi pun.
Nabi Muhammad Shalallhu ‘alaihi wasallam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( وَاسْتَوْصُوْا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلْعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ
شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإنْ ذَهَبْتَ تُقيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإنْ
تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاء خَيْرًا )) [ متفق
عليه ]
“Mintalah wasiat untuk berbuat
kebaikan kepada para wanita (istri), karena mereka diciptakan dari tulang
rusuk. Sungguh, bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling
atasnya. Apabila engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk itu, niscaya
engkau akan mematahkannya. Namun, apabila engkau biarkan, ia akan terus-menerus
bengkok. Oleh karena itu, mintalah wasiat kebaikan dalam hal para istri.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Muhammad Shalallhu ‘alaihi wasallam
juga bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( الْمَرْأَةُ
كَالضِلْعِ، إِنْ أَقَمْتَهُ كَسَرْتَهُ وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ
بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ )) [ متفق عليه ]
“Wanita itu seperti tulang rusuk.
Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Jika engkau ingin
bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang dengannya, hanya saja
padanya ada kebengkokan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat al-Imam Muslim disebutkan dengan lafadz,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِنَّ
الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقٍ، فَإِنِ
اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُها )) [ متفق عليه ]
“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk
sehingga ia tidak akan terus-menerus lurus untukmu di atas satu jalan. Jika
engkau bernikmat-nikmat dengannya, engkau bisa melakukannya, namun padanya ada
kebengkokan. Jika engkau memaksa meluruskannya, engkau akan mematahkannya.
Patahnya adalah talaknya.”6
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِنَّمَا
النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةً لاَ تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً )) [ متفق عليه ]
“Manusia itu hanyalah seperti
seratus ekor unta, hampir-hampir dari seratus ekor tersebut engkau tidak
dapatkan seekor pun yang bagus untuk ditunggangi.” (HR. al-Bukhari no. 6498 dan
Muslim no. 2547)
Maksud hadits di atas, kata al-Imam al-Khaththabi,
“Mayoritas manusia itu memiliki kekurangan. Adapun orang yang punya keutamaan
dan kelebihan jumlahnya sedikit sekali. Oleh karena itu, mereka yang sedikit
itu seperti keberadaan unta yang bagus untuk ditunggangi dari sekian unta
pengangkut beban.” (Fathul Bari, 11/343)
Al-Imam an-Nawawi menyatakan, “Orang yang diridhai
keadaannya dari kalangan manusia, yang sempurna sifat-sifatnya, indah dipandang
mata, kuat menanggung beban (itu sedikit jumlahnya).” (Syarhu Shahih Muslim,
16/101)
Ibnu Baththal juga menyatakan hal serupa tentang makna
hadits di atas, “Manusia itu jumlahnya banyak, namun yang disenangi dari mereka
jumlahnya sedikit.” (Fathul Bari, 11/343)
Demikianlah… Sebagai akhir, hendaknya diketahui bahwa
siapa yang telah menikah berarti ia telah menjaga dirinya. Maka dari itu, hendaknya
ia bertakwa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla sebagai Rabbnya, dengan
tidak berbuat yang diharamkan. Hendaknya ia menjadi seorang ‘afif, yang
membatasi pandangan matanya hanya kepada pasangannya yang sah. Karena di dalam
pernikahan ada ketenangan bagi jiwa, dapat meredam syahwat yang menyimpang dan
menjauhkan dari yang haram, bersama seseorang yang merupakan miliknya sendiri,
yang telah diizinkan oleh Dzat Yang Maha Penyayang, Yang Maha tahu apa yang
tersembunyi dalam dada. Hendaknya ia bersyukur kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla
atas nikmat -Nya yang tiada terhitung, Dia telah memberikan sesuatu yang halal
kepadanya dan menjaganya dari yang haram.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salllam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِذَا
تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدَّيْنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ
فِيْمَا بَقِيَ )) [ رواه الطبراني في الأوسط ]
“Apabila seorang hamba telah menikah,
sungguh ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka dari itu, hendaklah ia
bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa.” (HR. ath-Thabarani dalam
al-Ausath [1/162/1], hadits ini hasan sebagaimana keterangan asy-Syaikh
al-Albani dalam ash-Shahihah no. 625)
Kita memohon kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla agar
menegakkan rumah tangga kita di atas kebahagiaan, penuh sakinah, mawaddah dan warrahmah,
serta menjadikan kita sebagai orang-orang yang terbimbing. Amin ya Mujibas
Sa’ilin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disusun dari tulisan berjudul : Walyasa’ki Baituki
min Ajli Hayah Zaujiyah Hani’ah dan dari beberapa sumber yang lain)
Catatan Kaki:
Al-hur jamak dari al-haur, yaitu wanita-wanita penduduk
surga yang lebar matanya, bagian yang putih dari matanya sangat putih dan bola
matanya sangat hitam. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283—284).
Artinya secara harfiah, “Semoga Allah l membunuhmu,
melaknat, atau memusuhimu.” Namun, maknanya untuk menyatakan keheranan dan
tidak dimaksudkan agar hal tersebut terjadi.
Maksudnya, mengucapkan ucapan yang buruk kepada istri,
mencaci makinya atau mengatakan kepadanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau
ucapan semisalnya. (Aunul Ma’bud, Kitab an-Nikah, bab “Fi Haqqil Mar’ah ‘ala
Zaujiha”).
Memboikot istri dilakukan ketika istri tidak mempan
dinasihati dalam hal kemaksiatan yang dilakukannya sebagaimana ditunjukkan
dalam ayat,
“Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka
berilah mau’izhah kepada mereka, boikotlah mereka di tempat tidur….” (an-Nisa:
34)
Pemboikotan ini bisa dilakukan di dalam atau di luar
rumah, seperti yang ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik z tentang Rasulullah
n yang meng’ila istrinya (bersumpah untuk tidak mendatangi istri-istrinya)
selama sebulan dan selama itu beliau tinggal di masyrabahnya (loteng). (HR.
al-Bukhari)
Hal ini tentu melihat keadaan. Apabila memang diperlukan
boikot di luar rumah, hal itu dilakukan. Namun, apabila tidak diperlukan, cukup
di dalam rumah. Bisa jadi, boikot di dalam rumah lebih mengena dan lebih
menyiksa perasaan si istri daripada boikot di luar rumah. Namun, bisa juga
sebaliknya. Akan tetapi, yang dominan, boikot di luar rumah lebih menyiksa
jiwa, terkhusus jika yang menghadapinya kaum wanita karena lemahnya jiwa
mereka. (Fathul Bari, 9/374)
Al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan kisah
Rasulullah n meng-ila’ istri-istrinya, “Suami berhak menghajr istrinya dan
memisahkan diri dari istrinya ke rumah lain apabila ada sebab yang bersumber
dari sang istri.” (al-Minhaj, 10/334)
Nabi n menyatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling
baik terhadap istri-istrinya”, karena para wanita/istri adalah makhluk Allah l
yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul
Ahwadzi, 4/273)
Hadits-hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut
kepada para wanita/istri, berbuat baik kepada mereka, bersabar atas kebengkokan
akhlak mereka, menanggung kelemahan akal mereka dengan sabar, tidak
disenanginya menalak mereka tanpa ada sebab, dan tidak boleh berambisi
meluruskan mereka dengan paksa. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/42
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------